Belati Setia Bapak
Cerpen pertama berdasarkan puisi milik Bang Moera_Ruqiya.
Terima kasih sudah mengijinkan dedek menggubahnya jadi cerpen. Walau jauh dari kata bagus.
👉👈
"Aku ingin merayakan cinta malam ini, maka sertailah aku."
Suara itu berbarengan dengan tangan yang mengangkat di udara, diam sejenak. Lalu angin malam merampok pejaman matanya, membuatnya terbuka dengan tiga garis di antara kedua alis.
"Telah kuundang kesejukan untuk menghias langit berkanvas kelabu."
Mimik mukanya menyahdu, membangunkan bulu kuduk di tepian sisa gelungan rambut. Padahal cerutunya sudah tak berasap lagi, kehilangan bara dan masih mengisi sela bibirnya. Aku melihat itu setiap malam dari jendela kamar.
Kelambu biru tua penutup kaca, menyamarkan gelaknya yang bercampur air mata. Di pojok halaman sepetak itu, saung bambu mengabadikan malam-malam lelaki tua berhias sarung kotak-kotak. Letaknya menyerong dari bahu kiri ke pinggang kanan.
"Ini sarung peninggalan ibumu, Nduk," katanya suatu hari saat pertanyaanku berani terucap soal sarung itu. Warna cokelat mudanya sudah pudar dan kedua ujungnya mengerut seperti pegas. Meski ditarik agar lurus dan rapi, selalu menolak dan mengeriting lagi.
"Ibumu bilang, Bapak kelihatan gagah pake sarung ini." Wajahnya semringah saat tuturnya ia sampaikan dengan mata menerawang. Air ludah di sudut bibirnya memutih kental, menandakan ia sudah banyak bercerita.
Cerita tentang Ibu yang cantiknya tidak kalah dengan penyanyi Yuni Sara, tentang lemah lembutnya yang mirip dengan perempuan karaton, juga tentang cintanya yang teramat banyak untuk Ibu.
"Susah nyari pasangan macem ibumu. Bapak dulu punya banyak saingan, tapi ibumu memilih bapak dengan bijak." Beriak matanya penuh kebanggaan, menanam dalam diriku bahwa pilihan Ibu adalah tepat.
Tepat sekali. Karena bagiku pria yang sebagian rambutnya memutih, yang kerutan di wajahnya semakin jelas kian hari, yang bibirnya menghitam akibat nikotin terlalu lama menjadi konsumsinya, adalah panutan. Tegas sekaligus penuh cinta. Sabar sekaligus setia.
"Suatu hari aku mau nikah sama orang kayak Bapak," sahutku tak kalah semringah, mengimbangi kekehannya yang mengudara. Saat itu usiaku masih sepuluh tahun. Dan ibuku sudah meninggal lima tahun sebelumnya.
Aku hidup bersama Bapak, menjadi saksi kesetiaan dengan merawatku. Pun menjadi spektator deklamasi di saung kala malam datang. Kebiasaan Bapak mengenang cintanya, atau merindukan yang dicinta?
"Juga telah kuhadirkan untaian dawai dari negri bidadari."
Suaranya menghentak tinggi, menaikkan intonasi yang mengundang telinga agar segera mendengarkannya, mungkin juga pertanda agar maklum selalu sedia.
Bapakku itu lelaki serba bisa, menjadi ibu yang lihai memasak kadang juga pandai bercerita. Dari cerita anak-anak sampai cerita romansa kala aku tumbuh remaja.
Namun, sejatinya lelaki tetap lelaki. Bapak pernah marah dan menantang pada teman sekolahku, saat itu usiaku tujuh belas tahun. Aku pulang malam setelah tugas kelompok, diantar Jovan teman sekelas.
Bapak berdiri di pintu pagar yang setinggi dadanya, matanya menanap ke arah Jovan yang hendak meraih tangan Bapak. Tapi, tangan itu tidak serta merta disambut, melainkan tangan kokohnya menyorong sedikit bahu Jovan.
"Jangan coba main-main sama Ayu!" sergahnya dengan suara berat penuh amarah. "Dia bukan gadis sembarangan, tapi anaknya Sudibyo. Ingat itu!"
Jovan yang seusiaku itu terlihat gemetar, hanya kepalanya yang berjengit. Aku geram, bukan pada Jovan. Melainkan pada Bapak yang berlaku demikian. Teman mana yang sanggup melihat teman baik disentak di hadapannya?
Geramku berubah ambekan, kutunjukkan dengan pijakan kaki yang sengaja kuentak-entakkan. Dalam perjalanan menuju rumah dari pagar yang sudah digembok rantai, Bapak mengiringiku dalam diam. Tak ada rayuan ataupun bujukan sebagaimana Ibu lakukan kala anaknya merajuk. Lelaki tetap lelaki, kerasnya tetap membekukan hati.
Sayangnya semua itu berubah. Di balik selimut yang menutup seluruh tubuh, aku merasakan kehadiran Bapak. Dia membaringkan tubuhnya di sebagian sisi ranjang tidurku, sehingga kucium jelas bau tembakau dari desahan napasnya.
"Bapak cuma jagain kamu, Ayu yang Bapak timang sudah besar, tentu pengawasannya harus besar. Kamu amanah ibumu, Bapak harus melaporkan yang baik-baik tentangmu kelak di surga."
Kusingkirkan selimut flanel bermotif salur yang menyembunyikanku, membalik badan dan melihat Bapak yang menekuri plafon kamar. Laburnya mengelupas di beberapa tempat, aus oleh air hujan yang lolos dari atap rumah.
"Jangan jadi gadis murahan, kamu harus bermartabat, anggun dan bijaksana."
"Kayak Ibu, ya, Pak?"
Lelaki nomor satu dalam hidupku itu memiringkan badan, membuat kami saling berhadapan. Satu tangannya mengelus kepalaku sambil tersenyum samar. Senyum yang menurutku penuh kerinduan.
"Benar, kayak Ibu. Kamu harus sebaik ibumu."
Dan aku mematri itu kuat-kuat di sanubari. Sebaik ibumu.
"Kisahku malam ini hanya tentang kekasih.
Namanya sudah kuletakkan di atas delima merah saga."
Deklamasinya belum usai, mengajakku mengingat kembali tentang kekasih yang teramat dicintai.
Masih di pembaringan dan waktu yang sama, Bapak menceritakan bagaimana dia menunjukkan cintanya pada Ibu.
Dulu, rumahku tak memiliki pompa air, karena keluargaku bukanlah orang berada. Maka, ketika baskara belum menyentuh ujung timur, Bapak sudah menimba air di sumur. Itu cinta, untuk membuktikan pada Ibu bahwa ia lelaki tepat menjadi tempat bergantungnya.
Ketika subuh mengangkat diri dan masjid-masjid menyuarakan sisa suara dzikir, Bapak menyalakan api tungku. Menanak nasi dan memasak lauk. Itu cinta, penyampaiannya sederhana lewat ikan asin yang digoreng kering, kadang kuat lewat sambal mentah dari garam bercampur cabai segar.
Dan setelah mentari menghangat, yang tingginya sedepa dari kaki langit. Bapak mengarak kambing ke ladang, memberi pakan agar kenyang dan cepat tumbuh besar, atau lekas beranak-pinak untuk dijual. Kemudian uangnya diberikan pada Ibu sebagai aplikasi tanggung jawab dari cintanya.
Bagaimana dengan Ibu?
Dia perempuan beruntung, disediakan bedak untuk memupuri wajah jelitanya. Dibelikan gincu sebagai perona bibirnya, lalu menyambut suami dengan rupawan.
Sungguh beruntung menjadi Ibu, karenanya....
"Aku mau jadi kayak Ibu, Pak," celetukku di antara kisah yang belum khatam ia paparkan.
Lagi-lagi senyumnya mengulum kerinduan.
"Hujan pun tak sanggup melunturkan ukiran yang terpahat permata."
"Yu, ngapain?" Itu suara Bulek yang entah sedari kapan mengisi ruang kamarku. Di tangannya ada kotak kayu berpelitur, pada bagian depannya terdapat pegangan terbuat dari besi kuning.
"Apa itu, Lek?"
"Buka aja!" pintanya setelah kotak kayu jati itu berpindah tangan padaku. "Ini kuncinya." Adik perempuan Bapak itu menyerahkan kunci besi sewarna dengan pegangan pada kotak itu.
Aku tak berani bertanya lebih lanjut, selain menuruti perintah Bulek. Sebab itu, aku berharap menemukan harta karun yang tersembunyi di sana.
Sekali putar, kunci itu berhasil membuka gerendelannya. Tepat saat tutupnya membuka sempurna, turut mengundang mataku membuka lebar.
Ada seutas kain membungkus belati, gagangnya terbuat dari kayu berukir mata elang. Aku melihat Bulek yang masih berdiri tak jauh dari tempatku. Mencoba bertanya dengan sirat mata keingintahuan, benda apa yang sedang kupangku ini?
"Kidung telah dilantunkan dan salam telah dihaturkan."
Suara Bapak turut mengisi kesunyian antara kebisuanku dan Bulek yang tak lekas menjawab. Bapak mendekat dengan langkah gagah, mendekatiku yang duduk di sembiran kasur. Rupanya bukan aku yang dituju, lelaki nomor wahidku itu mendekati Bulek yang mulai ketakutan. Sepasang kaki miliknya membawa tubuh mungil itu mundur perlahan.
Wajah Bulek kian pasi, menatap Bapak yang berdeklamasi dengan mimik muka penuh luka.
"Tirai disingkap."
"Yu, lari! Ibumu mati di tangan ba-" Belum tamat kalimat terucap, gerakan Bapak seperti kilat yang menyambar belati di pangkuanku lalu menyabet leher Bulek dalam hitungan sekian detik.
Itu bukan Bapakku, lelaki yang sedang menjilati darah di sebilah belati putih itu, bukan lagi panutanku. Dia serupa iblis yang kekejiannya baru nampak dari seringainya.
"Aku bapakmu, Yu. Aku bapakmu," katanya seraya mendekatiku dengan tatapan mengiba.
Bukan
"Ini bapakmu, Nduk. Mereka cuma nggak tau seperti apa ibumu."
Aku tahu
"Ibumu berselingkuh dengan pria lain, Bapak terpaksa mengabadikannya dalam belati ini."
Tidak mungkin!
"Oh, tuan putri belum terjaga."
Kata terakhirnya sebelum mengatupkan mataku perlahan, kemudian duniaku kelam dan hilang.
👉👈
Rajin amet kamu, Dek?
Selagi iseng, nggak papa kan?
Emangnya kamu nggak ada kerjaan?
Banyak. Termasuk mikirin kamu juga kerjaan.
Tapi, ini kok agak sadis, Dek?
Lagi nyoba aja, kalau nggak berhasil, dimaafkan, yah. 🙏🙏
Dari mana idenya?
Puisi Bang Moera_Ruqiya
Kalau aku punya puisi, mau nggak dedek jadiin cerpen?
Dengan senang hati, mau banget. 😍😍😍
Demikianlah lapak KOLABORASI ini dedek buat. Untuk kamu yang mau berbagi, untuk kamu yang ingin menikmati.
Karena dedek manusia iseng yang belum terjamah kesibukan. Hehehe
Oh iya, buat kak sudibyoayu, jangan salahin dedek kenapa namanya nangkring di mari. Itu usulannya si nenek AnggiaFM.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top