A c a r o n a r

Tiap insan tak dapat menentukan takdir; dari awal mereka didatangkan ke bumi atau bahkan dalam rahim seorang wanita, mereka telah ditentukan oleh yang Maha Kuasa. Diantaranya mereka terlahir dengan normal, tidak normal, ruang lingkup baik atau tidak baik; semua berjalan sesuai dengan kehendakNya. Akan tetapi, pilihan melangkah masih ada, Ia takkan memberi cobaan tidak sesuai kemampuan; menyerah atau terus berjuang akan menjadi pilihan sendiri. Mereka diberi kelebihan serta kekurangan, membuktikan tiada yang sempurna di dunia ini. Lantas, mereka yang terus memandang kekurangan dan tidak memandang kelebihan sendiri memilih untuk mengakhiri hidup secara sepihak.

[Full Name], gadis dengan mahkota [Hair colour] itu datang ke bumi sama seperti tiap insan. Perbedaannya ialah sang Ibu meninggal dunia dan dirinya kehilangan ayah ketika menginjak umur 5. Pada umur kecil, sudah kehilangan kedua orang tua; tak lagi mendapatkan kasih sayang seperti anak-anak pada umumnya. Lantas, dia tinggal di kediaman tetangga, mengingat tiada satupun relasi ingin menerimanya.

"Hei, kau!" panggil sosok anak lelaki berumur 10 tahun pada [Name]. Helaian rambut putih dengan dua ahoge di kepala; iris merah itu melempar siratan bingung.

Sang gadis berumur 5 tahun itu menoleh, melempar tatapan datar; meskipun begitu terlihat jelas bekas tangis. Dia perlahan mencoba mengulas senyum ke arah lelaki tersebut, "Hai, ada apa?"

Lelaki itu terdiam, rasa ingin melindungi sosok mungil itu muncul menghanyutkan diri. Selama ini, tak pernah dia menyangka dia ingin melindungi perempuan lain selain Ibu dan adiknya sendiri. Dia sendiri sudah mendengar kabar mengenai gosipan [Name], jauh membuat dia meyakinkan diri untuk melindungi. "Aohitsugi Samatoki, siapa namamu?" tanyanya, Samatoki.

"[Full name]."

---

Valentine Project of Swanrovstte; Hot Chocolate – Mad Trigger Crew.

Acaronar

(n.) too tenderly, lovingly pull someone closer

Chara: Aohitsugi Samatoki

Genre: Romance, Fluff, slight! Hurt/comfort

Word: 4k+

---

Cakrawala gelap dengan rembulan malam sebagai pusat cahaya; taburan bintang menjadi teman pemberi keindahan. Semilir angin berembus memberi sensasi dingin menusuk kulit; malam jauh lebih dingin mengingat musim dipijaki kini ialah musim dingin. Rintikan hujan padat telah berhenti jatuh, mengepung sebagian teritorial Yokohama. Lalu-lalang sukacita natal dan tahun baru belum berakhir meskipun telah melewati dua minggu.

[Name], gadis itu merenggangkan otot mencoba melepas kelelahan setelah pekerjaannya selesai. Waktu menunjuk pukul 8 malam, senyuman melebar merasakan kelegaan karena telah selesai melakukan tanggung jawab. Menoleh sejenak ke belakang, melempar lambaian pada rekan kerja sebagai pamitan pulang terlebih dahulu. "Aku duluan, ya!"

"Hati-hati di jalan, [Name]-san!"

Sang gadis mengangguk kecil, melepas senyuman lebar sebelum benar-benar melangkah keluar gedung. Belum beberapa langkah diambil, ketika ingin menaruh atensi pada jalan secara tidak sengaja menabrak dada bidang. Lantas dia menengadah mendapati sosok pria bermahkota putih, melempar senyuman; mengingat pria itu tidak lagi asing baginya. "Maaf, Samatoki!"

Samatoki, pria itu melepas decakan halus. Memperhatikan wajah seri milik [Name] membuatnya cukup lega, pertanda bahwa gadis itu tidak mengalami masalah selama pekerjaan. "Ayo, pulang," ucap Samatoki, membalikkan badan melangkah terlebih dahulu membiarkan sang gadis mengikuti dari belakang.

"Apa kita harus langsung pulang? Aku lapar, makan ramen, yuk!" ajak [Name], melepas senyuman lebar; langkah dipercepat guna menyamakan kaki Samatoki.

Yang diajak tidak langsung merespon, satu tangan menyalakan mancis dan dekatkan pada ujung rokok di bibirnya. Menghisap seraya menaruh kembali mancis pada saku, kemudian mengembuskan asap rokok ke arah berlawanan dari [Name]. Samatoki sendiri sudah menduga bahwa gadis itu ada niat untuk mengunjungi tempat lain; ya, meskipun sudah menjadi seperti ruitinitas bagi dirinya. "Sudah tiga hari kau minta ke ramen, [Name]," balasnya.

Jemari lentik bergerak menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga, menoleh ke sana kemari seolah-olah mencari sesuatu yang mampu menarik perhatian. Helaan napas lolos dari bibir ketika tidak mendapati eksistensi penarik perhatian, melirik ke arah Samatoki. Iris menangkap eksistensi asap rokok di sekitar Samatoki, senyuman mengembang, "Habis, tidak ada yang lebih menarik di sini selain Samatoki! Dan ramen sedang muncul di pikiranku!"

Ucapan itu sukses membuat Samatoki terdiam, jemari mengapit rokok sukses menutup wajah dengan bagian telapak tangan sehingga meminimalisir penglihatan [Name] untuk melihat rona. Decakan lolos dari bibir kembali, dia melirik ke arah gadis tersebut, mempertemukan kedua pasang mata, "Kau traktir."

"Eh—"

"Hari ini gajian, kan? Seharusnya kau mentraktirku karena tiap hari selalu menjemputmu pulang," lanjut Samatoki, mata dipejam sekilas kemudian menaruh atensi pada rembulan malam. Dia mengulurkan tangan, menekan kepala [Name], mendorong pelan guna membantu sang gadis melangkah lebih cepat. Jika dilihat dari pandangan ketiga, diantara melihat sebagai sepasang kekasih atau kakak adik.

"Hehe! Kau hafal sekali kapan aku gajian! Baiklah, aku traktir, tetapi kau harus traktir aku makan steak besok atau kau akan makan masakan Rio-san!" Sang gadis melempar senyuman manis disirati kekejaman tak terduga. Mengingat Samatoki paling menghindari jika sudah berkaitan dengan makanan buatan Rio. Tidak, bukan karena tidak enak melainkan karena bahan yang digunakan memancing rasa kejijikan beberapa insan.

"Keparat," erang Samatoki, menandakan seberapa kesal atas ancaman [Name]. Erangan kesal, tetapi dia tidak keberatan sama sekali untuk mentraktir. Kenapa? Alasannya cukup mudah.

Samatoki mencintai [Name].

---

Acaronar

In order to be happy oneself it is necessary to make at least one other person happy.

---

Banner bernuansa merah jambu, tertulis jelas pada bagian atas 'Promotion for Valentine'. Iris merah menangkap banner tersebut, mengernyit sejenak; kemudian lanjut membaca point lain mengenai banner tersebut. Setelah diperhatikan lebih teliti, ternyata promosi kali ini berupa cokelat yang akan dijual pada saat Valentine. Mengingat perayaan Valentine pasti akan memancing pembeli sehingga mendapatkan laba lebih banyak dengan cokelat kasih sayang. Terlebih lagi, cokelat di café adalah cokelat berkualitas baik, enak, juga tidak membuat orang benci. Ya, meskipun memang ada yang tidak menyukai manis.

Samatoki mengalihkan pandangan ke arah daun pintu kaca, mendapati eksistensi gadis bermahkota [Hair colour] tengah berfokus pada cangkir dan alat-alat barista. Di lihat dari sisi manapun, memperlihatkan bahwa gadis itu mempunyai keahlian khusus sehingga menjadi barista. Dia melirik ke arah samping lagi, menangkap dua sosok familiar berjalan ke arahnya. Dengusan lolos dari bibir sebelum membuka suara, "Kalian lama."

"Kau yang terlalu cepat, Samatoki," balas eksistensi pria bermahkota cokelat, Rio. Raut wajah netral senantiasa terpasang pada wajah, menaruh atensi pada Samatoki sebelum melirik ke arah dalam café. "[Name] sedang sibuk ternyata, tidak ada waktu untuk menemani Samatoki."

Perempatan muncul di kening Samatoki, rasa enggan menerima kenyataan ditambah kesal muncul. Rasa ingin menghancurkan muka Rio sekarang juga, tetapi mengingat kembali bahwa memang Rio tidak ada salah. "Keparat!"

"Kalem, Samatoki," sahut Jyuto, melepas kekehan tertahan pada leher. Sudah bukan sesuatu yang aneh ketika mendapati pria emosional itu emosi karena digoda, terutama mengenai [Name]. Dia tahu, Samatoki mencintai sang gadis sejak dulu sehingga sangat melindungi; sama besar kasih sayangnya seperti pada adiknya, Nemu.

"[Name]—" Suara Rio sukses menarik atensi Samatoki dan Jyuto sebelum mereka berdebat. Lantas saat menoleh, mendapati sang gadis, [Name], sedang didekati oleh seorang pria bermahkota pirang. Raut wajah mengeras seolah tak nyaman dengan interaksi, tak lama lengan ditarik oleh sang pirang membuat [Name] sedikit menggigit bawah bibir.

Samatoki menggertakkan gigi, raut wajah tidak senang benar-benar terpasang jelas. Hal tersebut sudah membuktikan seberapa temperamen dirinya. Dia perhatikan kembali sang pria pirang mencoba menarik [Name]; kerumunan sudah mengelilingi kedua insan berbeda gender tersebut. Beberapa orang tampak mencoba membujuk sang pria melepaskan [Name] tetapi tidak juga dituruti. Dengan langkah besar diambil oleh Samatoki, tak peduli dengan rokok masih menyala diapit dengan bibir dia melangkah masuk ke dalam café.

Suara denting lonceng pintu masuk berbunyi, tidak ada kata ucapan selamat datang, hiruk pikuk di dekat samping posisi barista bekerja. Setiap pengunjung menaruh atensi pada pusat tersebut, berbisik-bisik memberi penilaian luar.

"Kenapa kau tega meninggalkanku?!" seru sang pria pirang, kedua tangan menggenggam pada kedua bahu [Name], sukses semakin memancing hawa mencekam di sekeliling. Raut wajah tertulis jelas akan obsesi terhadap sosok gadis di hadapannya.

Tubuh bergemetar hebat, wajah memucat menjadi pembuktian ketakutan sosok mungil itu. "A-aku bahkan tidak mengenalmu!" balas [Name], mencoba menyerang kembali. Dia memejamkan mata erat, bayang-bayang helaian rambut putih muncul di kepala, bagai mantra dia ucapkan dalam hati, Samatoki, Samatoki, tolong aku!

Suara hentaman keras menyapa gendang telinga, pegang pada bahu terasa terlepas; meminimalisir rasa takut [Name]. Gadis itu membuka mata perlahan, mendapati sosok itu, sosok benaknya kini berdiri di hadapannya. Samatoki mendengus, hawa penekanan menguasai seisi ruangan; tak ada orang kembali berbicara menjadi hiruk pikuk. Ketegangan sukses merasuki tiap insan pada lokasi, keringat dingin perlahan turun, mulai takut jika perkelahian terjadi hingga melukai salah satu orang tak bersalah.

"Perhatikan di mana letak tanganmu, Bangsat," kata Samatoki seraya memandang ke arah si pirang dengan dagu sedikit naik. Memberi tatapan merendahkan eksistensi kesakitan menyentuh wajah sendiri. Amarah memuncak hingga ubun-ubun, rasa tidak suka begitu besar ketika melihat pria obsesi akan suatu hal mendekati sang pujaan hati.

"S-samatoki ...."

"Keparat! Kau pikir kau siapa melukaiku, ha?" gertak si pirang, beranjak dari posisi; menarik kerah Samatoki secara kasar. Amarah juga mulai menggerogoti sang pria dikarenakan urusan berakhir diinterupsi.

Samatoki mendengus kasar, seringai perlahan terulas tangan bergerak menarik kerah si pirang kembali. Tak menjawab lebih, dia meluncurkan kepalan tangan kembali ke arah lawan, membuat lawan kembali jatuh untuk kedua kalinya. "Aku? Aohitsugi Samatoki, kenapa? Bangsat sepertimu ingin melawanku?" Sang pria kembali melangkah ke depan, hendak melakukan tendangan tetapi sukses dihentikan oleh [Name].

Gadis itu menarik pakaian Samatoki bagian belakang, "J-jangan, Samatoki!" Hanya perlu dengan suara sang gadis, pria bermahkota putih itu menghentikan aksi. [Name] menelan saliva, mencoba menenangkan Samatoki dari titik puncak temperamen. Dia tahu, bahwa Samatoki sangat mengkhawatirkan dirinya, apalagi ketika mendapatkan pelecehan seperti ini. "Te-tenang, Samatoki, pelanggan lain terganggu!" lanjut [Name].

Jyuto, mengambil langkah ke depan, memandang ke arah si pirang dengan raut wajah netral sebelum mengulas senyuman miring. "Hmm, aku akan mengurusi ini, Samatoki," kata Jyuto seraya melangkah mendekat ke arah sosok pirang tersebut. Tak perlu waktu lama sang pria bermahkota hitam itu berbincang pada si pirang, mendapati langsung wajah pucat lawan bicara; lantas saat selesai berbicara, dia mengeluarkan borgol dan dipasangkan pada kedua pergelangan tangan itu.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Samatoki, membalikkan badan, menaruh atensi pada sosok [Name] masih bergemetar sedikit. Emosi pada di titik puncak telah turun, tangan bergerak menepuk pelan guna menenangkan sang gadis.

[Name] mengangguk kecil sebagai respon, membiarkan dirinya mendekatkan diri ke arah dada bidang Samatoki. Mencoba mencari ketenangan di pelukan tersebut. "Maaf, kau jadi repot," gumam pelan, sebisa mungkin gadis itu tidak menumpahkan tangis ketakutan tersebut. Bagaimanapun juga, dia mengalami perlakuan dari orang asing merupakan hal menakutkan bagi gadis kecil sepertinya.

"Kenapa kau keluar dari lokasi barista? Bukannya seharusnya kau berada di dalam, ha?" tanya Samatoki, terdengar suara sedikit menggertak; diri itu juga mencoba tidak memancing emosi tinggi dikarenakan enggan membuat [Name] semakin terasa beban. Dia melirik ke arah sekitar mendapati para pelanggan kembali melakukan aktivitas seolah-olah tidak terjadi apa-apa, sebelum beralih ke arah salah satu rekan lelaki [Name], Tezuka Ryo.

"Aku selesai kerja, tiba-tiba saja langsung ditarik—" Sang gadis mencoba menjelaskan tetapi suara kembali tercegat, mengingat kembali beberapa waktu lalu kejadian tersebut membuatnya kembali takut. Takut jika kejadian terulang, kali ini mungkin ada Samatoki yang membantu, bagaimana dengan kedua kali? Ketiga kali? Ya, meskipun di sini ada rekan lelaki, bagaimana jika mereka tak berhasil mengadu kekuatan?

"[Name]-san baru saja jatuh dari tangga, saya menyuruhnya untuk pulang terlebih dahulu biar saya yang menggantikan pekerjaan. Tetapi ketika melangkah keluar dari lokasi barista, pria tadi sudah datang mencegat," jelas Ryo seraya mempertemukan pandang pada Samatoki, raut wajah khawatir tertera jelas dari wajah itu; menunjukkan ketidakmampuan dalam membantu untuk adu kekuatan.

Wajah pria berhelai putih itu mengeras, terfokus pada kalimat di mana [Name] jatuh dari tangga. Dia mengalihkan pandangan menunduk, menatap ke arah sang gadis. "Dasar Bodoh! Kau jalan pun bisa jatuh?!" tanya Samatoki lagi, sedikit meninggikan suara karena khawatir. Pria itu memijit kening, mencoba menenangkan temperamen; seharusnya dia tidak membentak gadis ini, gadis ini sudah mengalami kejadian menakutkan pastinya membutuh support. Tak ingin menunggu lebih lama, dia memindahkan tangan melingkari bahu [Name], satu tangan lainnya berpindah ke bagian belakang lutut dan mengangkat sang gadis ala tuan putri.

"S-samatoki!" Wajah perlahan memanas, kentara malu atas perlakuan ini di tempat umum. Raut ketakutan itu beralih ke panik sebelum beralih menjadi terasa nyaman di gendongan sosok sahabat kecil. [Name] menunduk, mencoba menyembunyikan rona merah, tangan melingkari leher Samatoki guna menjaga diri agar tidak jatuh.

"R-ruangan istirahat, silakan, Aohitsugi-san! Bos mengizinkan," ucap Ryo, membungkuk sedikit menandakan rasa hormat sekaligus permintaan maaf karena ketidakmampuan dalam membantu tadi. Mengingat status Samatoki adalah sahabat kecil dari [Name], pemilik café pun tidak begitu ketat sehingga sekali dua kali membiarkan Samatoki masuk untuk membantu [Name] berberes-beres atau semacamnya.

Tak perlu dua kali ucapan diulang, Samatoki beranjak dari posisi, membawa eksistensi sang gadis bersama dirinya menuju ke ruang istirahat guna mengganti pakaian dan membawa pulang barang-barang milik [Name]. Tak peduli juga beberapa tatapan tertuju ke arah mereka, termasuk Rio yang memandang dengan wajah netral; kemudian sang pria cokelat itu berucap dalam hati, apakah sekarang aku ditinggal sendiri?

Kaki kanan menginjak masuk ke dalam teritorial khusus karyawati, tidak menunjukkan eksistensi lain. Hanya beberapa lemari yang digunakan untuk meletakkan barang pribadi, ruangan ganti pakaian pada pojok ruangan serta bangku. Samatoki meletakkan [Name] perlahan pada bangku panjang, kemudian menegapkan tubuh kembali. "Mana kunci?" tanya Samatoki, mengulurkan tangan ke arah [Name].

Sang gadis meraih kunci lemari dari saku celana, memberikan ke Samatoki. [Name] sendiri memiringkan kepala sedikit, memandang sang pria beranjak dari posisi menuju ke arah lemari bagian [Name]. Senyuman tipis perlahan terulas, kini rasa takut sepenuhnya telah hilang berganti dengan rasa aman, nyaman, serta hangat. Jantung berdebar-debar, rasa semangat menyelimuti diri menggelitik diri melepas kekehan geli.

"Ada yang lucu?" tanya Samatoki, menaikan sebelah alis seraya memberikan pakaian ganti dan meletakkan tas pada samping sang gadis. Sang pujaan itu terlihat begitu memesonakan ketika melepas kekehan geli, tetapi rasa penasaran pasti mendatangi dirinya untuk bertanya.

"Oh—bukan apa-apa! Hari ini, terima kasih, Samatoki," kata [Name] seraya menerima pakaian ganti. Jemari kembali bergerak menarik celemek yang mengikat pada pinggang. "Aku akan ganti baju lebih dahulu." Sang gadis bangkit berdiri dengan pelan, berjaga-jaga kehilangan keseimbangan karena rasa sakit pada kaki. Tangan Samatoki kemudian diletakkan pada pinggangnya, tangan dilingkari pada bahu, membantu secara pelan-pelan menuju ruang ganti.

"Bisa ganti? Atau perlu aku menggantikan?" tanya Samatoki, memberi siratan gurauan dan dipadu sedikit keseriusan. Dia benar-benar mengkhawatirkan sosok gadis itu, sekaligus juga masih respek terhadap privasi, melihat tubuh gadis yang bahkan tidak punya status apapun dengannya selain sahabat pasti tidak baik. Terutama, gadis itu masih 'gadis'.

"Aku tidak apa-apa! Kau mesum!" gerutu [Name], membiarkan Samatoki memandunya menuju ke ruang ganti. Sebelah pipi sedikit dikembungkan merasa sebal juga sedikit malu atas perlakuan dari Samatoki sendiri. Setelah langkah mendekat ke ruang ganti, dengan langkah hati-hati dia masuk ke dalam. Kemudian menatap ke arah Samatoki dengan sedikit tatapan tajam, "Jangan mengintip!"

"Iya, iya, Kuso Onna, cepat!" gerutu Samatoki seraya membalikkan badan beranjak dari pintu ruang ganti ke dinding dan bersandaran. Menunggu sang gadis berganti pakaian dalam ruangan kecil tersebut. Sesekali melirik ke arah lain guna menghilangi kebosanan dalam menunggu.

Hening kembali menyelimuti suasana ruangan, hanya terdengar suara di mana baju sedikit bergesekan menandakan bahwa [Name] sedang melakukan pergantian baju. Senyuman tipis menghiasi wajah, mengingat kembali raut wajah ketika Samatoki melepas kekhawatiran seperti seorang bodyguard setiap saat. Selama ini, selalu pria itu yang melindungi dirinya dari segala sesuatu. Jemari lentik menyelipkan rambut ke belakang guna memudahkan diri melihat posisi pakaian.

Kisaran 5 menit berlalu, gadis bermahkota [Hair colour] telah selesai menggantikan baju kerja dengan setelan dress putih dihiasi bunga snowdrop pada bagian bawah. Dia membuka pintu ruang ganti, melirik ke sana kemari mencari sosok Samatoki.

"Sudah?" Samatoki berdiri tegap, memiringkan kepala sedikit seraya beranjak dari posisi. Mata memperhatikan gerak-gerik [Name] tengah memakai pakaian hangat musim dingin. Rasa ingin mengabadikan setiap gerak-gerik sang gadis, ingin mendekap erat dan tak melepaskan. Tetapi, rasa respek terhadap wanita pasti mempunyai tahanan untuk memberi ruang, apalagi, sosok itu adalah sosok yang dicintai. Pasti berbeda dengan wanita-wanita dalam klub.

Anggukan kecil sebagai respon, mencoba kembali mengambil langkah. Kaki meskipun terasa lemah dan sakit ketika menginjak tiap keramik ditahan oleh [Name] agar tidak menimbulkan rasa kekhawatiran Samatoki. Mata sedikit tertutup rapat ketika merasakan getaran sakit, menggigit bawah bibir mencoba menahan erangan sakit. Lantas saat membuka mata kembali, dia mendapati sosok Samatoki berjongkok di hadapannya. "Eh?"

Sang pria berdehem pelan, menoleh ke belakang sedikit menengadah guna memandang paras indah milik [Name]. "Naik, sebelum kau kutinggalkan di sini," kata Samatoki seraya kembali menaruh atensi ke arah depan. Jelas, Seorang Samatoki tidak akan meninggalkannya di sini terlebih lagi dengan kaki terluka. Tidak tahu pasti kejadian, tak tahu juga seberapa dalam luka tersebut, patah atau retak atau keseleo itu masih dipertanyakan oleh Samatoki dan [Name] sendiri.

"Baik, baik," balas [Name], melepas kekehan geli. Dia menurut, karena dia percaya Samatoki. Samatoki sudah bersamanya bertahun-tahun, saat dia sakit selalu pria itu menjaganya bersama Nemu. Tak kenal suka ataupun duka, mereka terus bersama. Melewati kepedihan masing-masing, termasuk saat di mana [Name] kehilangan kedua orang tua bersamaan dengan yang namanya rumah; juga di saat di mana Samatoki melihat sang ayah melakukan kekerasan terhadap sang ibu, memandang kedua tubuh tak bernyawa di depan mata.

Samatoki kembali berdiri tegap, memberi gerakan dorong ke atas guna menyamankan posisi. Kedua kaki membawa sang empunya beranjak dari posisi menuju pintu ruangan. Pria itu rasakan kedua lengan kecil memeluk leher, merasakan kehangatan dan jauh lebih nyaman dibandingkan hanya mengenakan syal merah batanya. "Lain kali berhati-hati, kau tidak sedang memainkan ponsel ketika berjalan, 'kan?" tanya Samatoki.

Kekehan geli lolos dari bibir [Name], tak memberikan respon rasa bersalah karena sudah jatuh dari tangga. Sang gadis semakin mengeratkan pelukan pada leher, "Aku tadi sedang memikirkan sesuatu. Siapa sangka ada yang memanggilku dari belakang, aku menoleh, melangkah mundur ternyata sudah di tangga. Tidak perlu khawatir!"

"Dasar Bodoh!" gertak Samatoki kembali, mengerang pelan memikirkan kecerobohan sang pujaan hati. Semakin gadis itu bilang tidak perlu khawatir, semakin khawatir pula hati itu. Iris merah menangkap sosok Rio tengah duduk di salah satu bangku dengan makanan dan minuman, menduga pria mantan tentara itu memutuskan untuk makan sembari menunggu kedatangan kembali dirinya dan Jyuto. Tak lama dia melihat eksistensi itu, dia mendapati sosok Jyuto tiba di meja tersebut.

Tak perlu waktu lama bagi Rio dan Jyuto, mereka menyadari eksistensi Samatoki dan [Name]. Senyuman miring terulas pada bibir Jyuto, memiringkan kepala sedikit, "Hmm? Jadi, apa kalian sedang bermesraan dengan cara baru?" Kekehan tertahan pada leher lolos dari sang polisi.

Hanya raut wajah netral diberikan oleh Rio, menyesap pelan cokelat panas pesanan guna menghangatkan diri di tengah musim dingin. "Buatan [Name] jauh lebih enak," komentar Rio, kembali meletakkan cangkir pada meja kemudian lanjut memakan ramen pesanannya.

"Berisik, Jyuto!" gerutu Samatoki, mengalihkan pemandangan.

"Terima kasih, Rio!" ucap [Name], melepas senyuman lebar. Senang sudah pasti akan datang ketika ada yang lebih menyukai seduhannya. Sejujurnya, dia sama sekali tidak keberatan dengan ucapann Jyuto. Malah jauh lebih senang jika dikata mereka sepasang kekasih. Memang benar bahwa dia sudah menimbulkan rasa cinta pada sosok pria ubanan tersebut. Tahu juga bahwa pria ubanan itu membalas perasaannya. Lantas, kenapa mereka sampai sekarang belum menginjak jenjang kekasih? Atau bahkan pernikahan?

Jawabannya cukup mudah, belum diambil langkah oleh Samatoki juga [Name]. Rasa nyaman dengan hubungan sekarang membuat mereka melupakan akan status. Status tidak lagi menjadi utama bagi mereka ketika mereka bisa bersama, meskipun hanya dengan status persahabatan. Ya, mereka memang tidak menginjak ke dalam hubungan melakukan hal yang dilakukan sepasang kekasih; tetapi mereka tetap menikmati suasana saat ini. Ada saatnya mereka mulai beranjak dari status sekarang menuju ke jenjang pernikahan, ya, ada saatnya juga mereka melakukan hal yang akan dilakukan oleh sepasang kekasih.

"Aku akan mengantar [Name] pulang," ucap Samatoki seraya melirik ke arah belakang, "kalian makan saja." Langkah kembali diambil hendak meninggalkan café. Tak ingin melanjutkan perdebatan, meskipun dia menangkap suara kekehan tertahan pada Jyuto. Tak dipungkiri juga, dia merasa senang jika tindakan sekarang adalah mesraan bersama sang pujaan.

Sang barista melepas tawa pelan, melambai ke arah Jyuto dan Rio, "Kami duluan!" Sesekali melepas lambaian ke arah rekan kerja yang menyapanya sebelum Samatoki benar-benar menginjak teritorial luar gedung café. Atensi kembali dia taruh ke arah depan, memperhatikan tumpukan salju menutupi sebagian wilayah jalanan Yokohama. Kedua netra menangkap eksistensi bar tepat di depan café membuat sang gadis membuka suara guna bertanya, "Samatoki, apa kau masih sering ke bar di depan café?"

"Hn," respon Samatoki menandakan bukti bahwa masih sering berkunjung ke bar tersebut. Menghabiskan waktu di dalam gedung cahaya minim, dentuman musik keras mampu memekakan pendengaran, alkohol-alkohol sedap, wanita-wanita berpakaian minim, serta pasangan-pasangan bercumbu sudah menjadi salah satu ruitinitas bagi Samatoki. Profesi sebagai Yakuza memang guna untuk membantu sang adik kecil, tetapi karena profesi itu juga, dia menginjak ke dalam gedung itu dan menikmati setiap pandangan yang didapati.

[Name] memandang kembali ke arah bar sebelum menenggelamkan sebagian wajah pada bahu Samatoki. Mengembungkan sebelah pipi, merasakan hati kecil terbakar oleh kobaran api kecemburuan. "Apa wanita-wanita sana sangat menggoda?" tanyanya.

Tak memperoleh jawaban langsung dari Samatoki membuat [Name] menggerutu pelan. Pria itu melepas erangan halus, "Ya, menggoda."

"Cih, kalau aku dan mereka, jauh menggoda yang mana?" tanya [Name] langsung. Tatapan sayu tertuju pada tumpukan bekuan uap air. Tanpa disadari, rasa kecemburuan menguap ketika mendengar jawaban dari Samatoki.

"Menurutmu? Dasar Bodoh," ucap Samatoki lagi. Mengingat pria itu masih mempunyai naluri seorang lelaki, pikiran kotor sekilas datang ke benak; membayangkan sosok pujaan dan dibandingkan dengan wanita-wanita malam di bar. Rona merah samar menghiasi pipi, "Jangan pikir yang tidak-tidak."

Hanya dengan menangkap rona tipis pada paras Samatoki, jawaban secara tidak langsung sudah diperoleh. Senyuman kembali mengembang, meskipun tidak tahu pasti dugaan benar atau tidak, tetapi dia akan mengambil jalur positif. "Aku tidak akan pikir yang tidak-tidak kalau kau tidak memandang wanita berpakaian minim di bar, kau tahu? Bagaimana aku memberitahu Nemu kalau ternyata kakaknya itu sangat suka dengan wanita berpakaian minim?" goda [Name] seraya menekankan pipi sang pria dengan jari telunjuk.

"KUSO ONNA, BERISIK! JANGAN MEMBAWA-BAWA NAMA NEMU!" gertak Samatoki, tetapi suara itu hanya sebatas suara temperamen, bukan suara benar-benar marah terhadap sosok gadis bermahkota [Hair colour]. Justru suara itu mengundang tawa [Name].

"Iya, iya, karena aku tahu kalau Samatoki tidak akan bermacam-macam. Kecuali aku tiada, iya, kan?"

Satu pertanyaan singkat, tetapi sukses membuat Samatoki terdiam. Rasa takut kehilangan menggerogoti dirinya meskipun tidak ditunjukkan melalui raut wajah, tangan yang menopang bagian kaki sukses sedikit mengerat membuat [Name] peka akan dampak ucapan.

Titik cahaya tak ditemukan dari iris merah itu, menunjukkan kehampaan diri. Kedua lengan mengelilingi sosok anak kecil di bawah umurnya 7 tahun tengah terisak-isak tangis. Tak tahu harus apa yang dia lakukan, benak masih terbayang-bayang genangan darah didapati tadi. Pakaian layat bernuansa hitam masih melekat pada tubuh menandakan dukacita. Kepalan tangan mengerat, dia telah kehilangan. Kehilangan sang ibu yang selalu melindunginya dari kekerasan sang ayah. Pahlawannya telah mengalahkan musuh, tetapi, pahlawannya juga memutuskan hidup secara sepihak.

Kepedihan sukses mendominasi rasa senang. Bagaimana dia bisa senang ketika mendapati dua tubuh tak bernyawa dengan genangan darah sebagai hiasan terakhir untuk mengabadikan itu?

"Niichan, k-kita harus bagaimana?" tanya sang gadis kecil di sela isakan tangis. Air mata tak henti turun dari kedua mata sukses menjadi kepedihan tambahan bagi Samatoki. Tak berdaya dia saat ini, tak ada kemampuan apapun saat ini, kenapa dia tidak cukup kuat untuk melindungi dua insan dengan gender perempuan?

"Ne-nemu ...." Suara gumaman tersebut menyapa gendang telinga kedua eksistensi kakak adik. Raut wajah dihiasi dengan rasa simpati, juga sedih. [Name], gadis dengan usia lebih muda 5 tahun dari Samatoki itu juga melempar tatapan yang sama. Seperti pukulan ketiga menimpa dirinya, kenapa dia tidak bisa membahagiakan tiga insan bergender sama yang berharga untuknya?

"Maafkan Niichan, Nemu. Niichan ... pasti akan melindungi kalian," balasan lolos dari bibir Samatoki bersamaan dengan tekad bulat. Dia harus menjadi kuat, dia harus punya kekuatan, dia harus mampu melindungi dua gadis ini sekarang. Mereka terlalu berharga untuknya, hingga ajal menjemput, tugas wajibnya adalah melindungi, melindungi mereka.

"Samatoki ...," gumam [Name], langkah diambil mendekati keduanya. Kedua tangan direntangkan, memberi pelukan hangat. Gadis itu tahu, dia tidak bisa menghidupkan kedua orang tua Samatoki, dia pernah rasakan kehilangan itu, dia jelas tahu bahwa mereka butuh seseorang untuk menjadi pendukung mereka untuk melewati kepedihan ini. "Aku tidak akan meninggalkan kalian ..., kalian masih punya aku, 'kan?"

Di saat yang sama pada waktu yang berbeda kedua insan itu telah bertekad. Satu bertekad untuk melindungi, satu bertekad untuk mendampingi.

"Kau harus ingat apa yang kau janjikan, [Name]," peringat Samatoki dengan suara tenang. Benak membayangkan kembali kejadian mempiluhkan, tidak ingin kembali merasakan kehilangan. Jauh lebih baik dia mendahului sang pujaan dan adik dibandingkan mereka.

[Name] terdiam sejenak, dia tahu apa yang dimaksud oleh Samatoki. Tahu jelas bahwa pria itu tidak ingin kehilangan kembali seperti masa itu. Karena masa itu, dia harus menginjak profesi Yakuza untuk melindungi Nemu dan dirinya. Tetapi dengan keras kepala yang dimiliki, [Name] sukses untuk tetap tinggal di Jepang atas perlindungan ketat. Bela diri dipelajari, setidaknya untuk melindungi dirinya sendiri.

"Aku ingat."

Kecupan singkat mendarat pada pipi sang pria, menyalurkan kasih sayang melalui sana. Rasa kasih sayang tak perlu disampaikan dengan kata-kata, begitulah bagi kedua insan berbeda gender tersebut. Kedua bola mata milik Samatoki membelalak sebelum menoleh ke arah samping dan menangkap senyuman lembut [Name] guna meyakinkan diri sang pria bahwa gadis itu akan berusaha menepati janji.

Langkah kaki itu berhenti, kedua iris berbeda warna masih saling menatap. Perlahan, kelopak menutup, mereka saling mendekatkan wajah guna mempertemukan bibir mereka. Ciuman tersebut berlangsung lembut, tidak disiratkan nafsu di sana. Saling melahap bibir, kedua itu menikmati ciuman tersebut di tengah musim dingin.

Tekad itu akan selalu menjadi kewajiban.

---

Acaronar

Being deeply loved by someone gives you strength, while loving someone deeply gives you courage.

---

Cakrawala gelap, mentari telah kembali ke rumah membiarkan rembulan menggantikan tugas sebagai pusat penerangan bumi. Dingin belum kunjung pergi dari negara Jepang ketika menginjak bulan Februari minggu kedua. Semilir angin berembus menusuk permukaan kulit membuat insan menggigil dingin. Kota Yokohama tak menunjukkan minim orang pada cuaca dingin mengingat hari ini adalah hari kasih sayang, pasti banyak pasangan berkencan guna menghabiskan hari ini.

"Lama menunggu?" Pertanyaan dari sosok gadis bermahkota [Hari colour] membuat Samatoki sedikit tersontak. Segera, pria itu menaruh atensi pada [Name]. Melihat gadis itu melemparkan cengiran halus seperti biasanya.

"Tidak juga. Kau kan selalu siput, sudah terbiasa," respon Samatoki, melempar senyuman miring. Kemudian dia menaruh atensi pada cangkir di genggaman [Name], kedua alis berkedut; mempertanyakan kenapa sang gadis mengantarkan cangkir ke sini. "Kau mentraktirku kopi?" tanya Samatoki.

"Oh, bukan, ini untukmu. Tidak termasuk traktir, karena kubuat khusus untukmu!" ucap [Name], meletakkan cangkir dengan hati-hati di hadapan Samatoki. Dicium dari aroma sudah dipastikan bahwa seduhan tersebut bukanlah kopi melainkan cokelat. Yang sukses menarik perhatian bukanlah pertanyaan mengapa disuguhi cokelat tetapi gambar pada atasnya. Dengan gambar hati kemudian ditulis dengan tulisan 'Happy Valentine'.

Samatoki menaruh atensi pada cokelat, kemudian mengangkat cangkir dengan berpegang pada kuping cangkir. Dia menyesap pelan, menikmati cairan cokelat tersebut mengalir perlahan ke kerongkongan. Tiap tetes tak dia lewati, begitu nikmat meskipun masih terasa panas. Cangkir kembali diletakkan, raut wajah netral perlahan mengulas senyuman miring.

"Bagaimana rasanya?"

Pertanyaan itu tidak dijawab. Melainkan Samatoki menarik lengan [Name], membuat sang gadis jatuh duduk di atas pangkuan. Lantas saat sang gadis mengerang kaget, situ menjadi kesempatan di mana pria itu mendaratkan ciuman di bibir manis sang pujaan. Proses berawal dari lahapan lembut kemudian berjalan ke eksplorasi lebih dalam sebelum terlepas kembali. Sama sekali tidak ada penolakan dari [Name], dia justru sangat menikmati ciuman itu.

"Enak?" balas tanya Samatoki, menyeringai puas.

Rona merah menghiasi pipi [Name], jantung berdegup kencang, tetapi dia tidak malu untuk menjawab. "Enak. Aku masih menginginkannya, gimana ya?" Kekehan geli lolos dari bibir sang gadis, di hari ini, dia bersedia menyerahkan dirinya pada Samatoki.

"Lanjutkan di rumah."

"Happy Valentine, Samatoki!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top