Ch 1

"Kali ini Pak Uchiha mau bertugas di mana lagi dengan pakaian seperti itu?"

Salah satu rekan di kantor kepolisiannya memandang ke arah Sasuke dengan satu mata yang dipicingkan. Pria tersebut memang lebih senior darinya, hanya saja berada di bidang berbeda dengan dirinya.

Sasuke masih tidak menjawab. Ia memakai jaket hitam berbahan kulit dan menggunakan topi baseball.

"Kau terlalu mencolok dengan pakaian seperti itu. Apa tidak cepat ketahuan, eh?"

Meski Uchiha Sasuke adalah anak dari mantan Kepala Kepolisian Negara Jepang, ia tidak pernah diperlakukan spesial –orang tuanya juga melarangnya seperti itu.

Tidak salah, jika banyak seniornya yang terkadang bertindak semaunya sendiri pada dirinya. Tapi Sasuke tidak mempermasalahkan itu. Dedikasinya sebagai salah satu anggota kepolisian negara, memang harus tunduk terhadap senior. Terlebih lagi yang ada di hadapannya ini adalah kepala kantor kepolisian tempatnya bekerja.

Mendengar seniornya seperti itu, Sasuke akhirnya melepaskan topinya, berdiri tegak dan memberikan hormat.

"Saya mau melakukan operasi ke bagian distrik 4, Komandan." Ucapnya.

Seperti akan teringat sesuatu, sang kepala mengangguk-anggukkan kepalanya, "menguntit terduga bandar narkoba?"

"Benar, Komandan."

Pria akhir 30 tahunan itu menepuk-nepuk jaket kulit yang dikenakan Sasuke sambil memperhatikannya dengan seksama. "Gantilah dengan jaket lain. Kau terlalu mencolok."

Sebenarnya ini bukan pertama kalinya Sasuke mendapatkan tugas sebagai seorang intel dan mengikuti seseorang yang menjadi incaran kepolisian. Sasuke pikir, pakaiannya ini tidak mencolok dan terlihat biasa saja.

Dirinya sudah sering menggunakan kostum seperti ini ketika melaksanakan tugas sebagai intel. Semua penjahat, berhasil ia tangkap.

Meski ia tidak setuju dengan pendapat komandannya, Sasuke melepaskan jaket tersebut dan menggantinya dengan kemeja biasa sebagai outer yang ia ambil dari loker di ruangannya.

"Nah, begini, kan, tidak mencolok." Komentar sang komandan. Sasuke tidak menanggapi, dan ia sudah harus menuju ke lokasi sebelum sang pelaku pulang ke apatonya.

Uchiha Sasuke, pria muda berusia 26 tahun yang bekerja sebagai polisi di bagian intelijen dan Keamanan. Sudah 5 tahun ia mendedikasikan dirinya di kepolisian Jepang untuk mengikuti kemauan ayahnya.

Gender kedua Sasuke adalah Enigma. Ya. Gender terkuat yang bahkan melebihi seorang alpha sekalipun. Dirinya beruntung mendapatkan statusnya tersebut karena gen yang dihasilkan oleh kedua orang tuanya.

Uchiha Fugaku, seorang alpha yang merupakan mantan Kepala Kepolisian Jepang. Prestasi sang ayah begitu banyak selama kariernya di Instansi kepolisian. Namanya begitu harum di negeri ini.

Tentu saja Fugaku yang kini telah pensiun,menginginkan kedua anaknya mengikuti jejaknya untuk bergabung ke kepolisian. Uchiha Itachi menolak dan lebih memilih sebagai seorang dokter ahli bedah.

Mau tidak mau, Sasuke yang menurut dan masuk ke Akademi Kepolisian setelah lulus dari SMA. Dia lulus dengan nilai bagus dan langsung ditempatkan di bagian penting di instansi tersebut.

Sasuke tidak pernah mengandalkan jabatan dari ayahnya yang dulu. Dirinya berhasil menempati jabatannya sekarang karena kecerdasannya.

Semua orang yang pernah satu sekolah dengan Uchiha Sasuke pasti sudah tahu bahwa pria tampan dengan rambut raven ini memang sangat cerdas.

Salah satu teman yang sangat mengakui kecerdasan Sasuke adalah Uzumaki Naruto, sahabat yang sudah ada bersamanya sejak masih duduk di bangku sekolah dasar hingga sekarang.

Dan kini, Naruto sedang ada di sampingnya, dengan lahap memakan ramen kesukaannya hingga wajah pria muda itu seperti tenggelam ke dalam mangkok.

"Huaah! Ichiraku Ramen dari dulu memang selalu enak."

"Hn."

Naruto menoleh ke arah Sasuke yang duduk di sampingnya sambil terus mengaduk ramen yang masih tersisa banyak.

"Heh, Saskey~" Panggilnya sambil menyenggol bahu pria raven itu dengan bahunya. "Ada masalah dengan pekerjaanmu?"

"Ya."

Naruto mengelap sisa kuah ramen yang ada di mulutnya dengan serampangan menggunakan telapak tangan, kemudian ia berkata, "apa misimu kali ini?"

Sasuke yang hendak menyimpit mie ramen ke dalam mulutnya, langsung berhenti dan melirik tajam kepada sahabatnya itu, "mana bisa aku cerita."

Naruto menepuk dahinya dengan keras setelah mengetahui kebodohannya, "ahh... iya...iya." Ia lalu tertawa, "hampir lupa kalau kau intel – umph!"

Sasuke segera membekap mulut Naruto karena sahabatnya ini memang ceplas ceplos dan mengatakan apapun tanpa memikirkannya terlebih dulu.

"Umph!" Naruto memprotes agar Sasuke melepaskan tangannya yang masih membekap dirinya. " –MAAF!"

"Bodoh." Gerutu Sasuke dengan suara lirihnya. Kemudian pria tersebut melanjutkan makannya lagi. Entah bagaimana, dirinya yang semula sedang menyelidiki terduka pelaku narkoba, justru berakhir di Ichiraku Ramen.

Dirinya memang sudah menunggu sang terduga tersangka itu, tapi tak kunjung kelihatan batang hidungnya. Dirinya sudah sangat bosan dan ia telah menunggu berjam-jam di depan apato di distrik 4 itu.

Mungkin sedikit jalan-jalan, bisa menghilangkan kebosanan ini –begitu pemikiran Sasuke, sebelum ada sebuah pesan masuk dari Naruto yang menyuruhnya ke Ichiraku Ramen karena sahabatnya itu sudah berada di sana.

Dan sekaranglah dirinya di sini, makan ramen dan merasa bodoh karena ia malah menyusul sahabat pirangnya itu ke kedai langganannya, dari pada terus menunggu di titik operasinya.

"Bagaimana pekerjaanmu?" Dengan suara baritonenya, Sasuke bertanya pada sang sahabat yang kini sedang menyantap ramen keduanya.

"Kacau." Jawabnya. Ia kembali mengunyah ramennya dan kembali berbicara, "properti di kawasan Aburame rusak total karena kebakaran kemarin. Rugi...rugi..."

Sasuke melirik sang sahabat yang kini mengerutkan dahinya –pertanda bocah pirang itu sedang banyak pikiran. Sasuke sudah sangat paham mengingat mereka sudah berteman lama.

Uzumaki Naruto, seorang pebisnis properti muda, warisan dari kedua orang tuanya. Mereka seumuran, dan dari Sekolah Dasar hingga sedewasa sekarang, mereka terus bersama.

Kedua orang tuanya juga saling mengenal, terlebih mereka bertetangga, meski pada saat SMA, Sasuke dan keluarganya pindah karena ingin suasana baru katanya. Beruntung, mereka masih satu sekolah meski sudah tidak bertetangga.

"Kau bisa klaim asuransi." Saran Sasuke pada Naruto. Sahabatnya itu memang pebisnis, tapi terkadang otaknya tidak jalan untung situasi-situasi genting.

Naruto yang telah menandaskan mangkuk ramen keduanya, berteriak lega dan menoleh menatap sahabat dinginnya itu, "merepotkan sekali sebenarnya untuk klaim asuransi."

"Mau kubantu?" Sasuke memiliki beberapa kenalan pengacara, mungkin bisa membantu Naruto untuk menyelesaikan masalah ini.

"Paman!" Bukannya menjawab, Naruto justru memanggil paman pemilik keedai." Ada sake?"

"Ada. Mau pesan berapa botol?"

"Dua." Jawab Naruto dengan memberikan jarinya yang membentuk dua jari ke depan wajah paman tersebut.

"Aku tidak minum, Naruto." Jawab Sasuke dengan ketus. Dirinya memang kuat dengan alkohol. Tapi setelah ini, dirinya masih meneruskan misi.

Pria dengan senyuman lima jari itu menepuk-nepuk bahu sahabatnya dan berkata, "tenang. Aku pesan untuk diriku sendiri, kok."

Sasuke langsung berdecak kurang suka. Dirinya memang terkenal dengan sikap acuhnya. Tapi melihat Naruto yang sering sekali menenggak alkohol dalam batas kurang wajar, membuat dirinya ingin menyeret si kepala pirang ke rumah dan menguncinya di dalam dengan teh oca satu kendi penuh.

"Ah, terimakasih, Paman." Ucap Naruto dengan riang gembira ketika paman Ichiraku –sang pemilik kedai –mengantarkan pesananannya yang tadi.

"Jangan terlalu banyak mabuk." Sasuke mencoba memperingatkan sahabatnya. Naruto yang mabuk sangat merepotkan dan dirinya enggan sekali untuk membawanya pulang.

"Tenang saja, Saskey~" Ucap Naruto dengan nada mekedek, "aku bisa pulang sendiri naik taksi."

Bohong. Ya. Bohong.

Sasuke mengeluh saat dirinya membenarkan letak tangan Naruto yang ada di bahunya, sementara si kepala pirang sudah teler akibat menenggak alkohol terlalu banyak.

Katanya mau pulang sendiri, nyatanya malah merepotkannya. Sasuke bisa saja meninggalkan sahabatnya itu di kedai Ichiraku atau memanggilkan taksi.

Namun, pria raven itu tidak tega dan berakhir membawa sang sahabat yang lemas tak berdaya dengan susah payah.

Naruto memang lebih pendek darinya, tapi bocah berkulit tan ini memiliki massa otot yang besar.

Tentu saja Naruto berotot. Gender keduanya saja adalah seorang alpha yang terkenal dominan dan penuh kharisma.

Meski begitu, dirinya jauh lebih unggul dari alpha manapun. Menyandang status sebagai enigma sebenarnya cukup menguntungkan dirinya.

Ia bisa memilih pasangan mana saja yang dirinya mau tanpa ada penghalang. Tapi keluarganya yang terpandang, sudah pasti menginginkan Sasuke untuk menikahi seorang wanita alpha.

....dan sampai sekarang dirinya masih belum memiliki pasangan.

Dengan wajah super tampannya, Sasuke sebenarnya bisa dengan mudah menemukan tambatan hati. Entah itu seorang alpha, beta, omega dengan gender utama wanita atau laki-laki, Sasuke bisa mendapat perhatian lebih dari mereka.

Hanya saja, dirinya belum bisa membuka hati. Dirinya hanya fokus dengan karier dan kehidupannya saja. Urusan memiliki pasangan, ia pinggirkan dulu.

Apakah kedua orang tuanya tidak memaksa Sasuke untuk memiliki pasangan? Umur 26 tahun sudah cukup matang, bukan?

Baik Fugaku dan juga Mikoto tidak mempermasalahkannya. Toh, dirinya juga memiliki seorang kakak. Harusnya Itachi dulu yang harus menikah dalam waktu dekat.

Sasuke menghela napas keras ketika menaiki jalanan yang menanjak. Ia mengutuk idenya yang mematkirkan mobil di ujung jalan sana.

Tahu begini, ia tidak mau menerima ajakan Naruto –batinnya. Meski membawa Naruto dengan banyak menggerutu, tapi pada akhirnya mereka sampai di mobilnya Sasuke.

Pria tampan itu menaruh Naruto di kursi belakang dan menidurkannya. Dengan cepat, dirinya masuk ke kursi kemudi dan menjalankan kendaraan beroda empat itu untuk meninggalkan distrik tersebut.

****

"Maaf ya, Sasuke. Kau harus repot-repot begini mengantar Naruto yang mabuk itu pulang."

Sasuke hanya tersenyum ketika ibunya Naruto, yaitu Uzumaki Kushina menghidangkan teh dan jamuan lainnya.

"Terima kasih, bi."

"Ayo diminum." Wanita akhir 40 tahunan itu mempersilakan Sasuke menikmati jamuannya. "Ayah dan ibumu sehat?" Tanyanya basa-basi.

"Sehat, bi." Sasuke menoleh ke arah jam dinding yang ada di ruang tamu. Sudah hampir jam 12 malam, tapi kenapa dirinya malah dijamu seperti ini?

Awalnya Sasuke ingin mengantarkan Naruto ke apartemen pribadi bocah pirang itu, tapi setelah sampai sana, ia tidak tahu kata sandi pintunya. Bertanya kepada Naruto juga percuma karena pria tersebut sudah seperti orang mati.

Jadilah dia berbelok ke rumah keluarga Naruto yang sudah lama tidak ia kunjungi. Terakhir dirinya ke keluarga Uzumaki, ketika ada undangan makan malam waktu ayah Naruto sukses menjual property bernilai tinggi.

"Kakakmu bagaimana? Sudah selesai ujiannya?"

Sasuke memang tidak suka berbincang, tapi melihat wanita di hadapannya yang begitu ceria, ia tidak tega bila harus mengacuhkannya, "sudah, bi. Kak Itachi sudah jadi dokter spesialis bedah."

"Wah...anak-anak Mikoto ternyata sudah sukses-sukses. Bibi ikut bangga. Sementara Naruto..." Kushina mendongak ke atas, di mana ada kamar Naruto di sana dan kemudian ia menghela napas.

"Naruto juga sukses mengelola bisnis keluarga." Tukas Sasuke. Ia tidak ingin dipuji berlebihan oleh orang tua sahabatnya.

"Ah, Sasuke tahu? Gedung yang ada di distrik Aburame kemarin kebakarab. Property kami di sana ikut terbakar juga." Wanita tersebut menjelaskannya dengan raut wajah sedih.

"Ya." REspon pemuda dingin itu, "Naruto telah menceritakannya padaku."

"Ah, bisa kau selidiki kasus itu? Bibi sudah melaporkannya, tapi polisi di sana penanganannya sangat lambat."

Sasuke belum merespon, ia memilih kata-kata yang sopan untuk menanggapi ini, "maaf, bi. Kasus seperti ini memang perlu dilakukan oleh kepolisian sektor lokasi kejadian." Jelas Sasuke.

"Kantor saya sendiri jauh dari distrik Aburame, jadi tidak ada kewenangan." Lanjutnya. Lagi pula, Sasuke adalah seorang intel, ini bukan kewenangannya.

"Oh begitu..." Tampak sekali jika Kushina merasa kecewa dan Sasuke tidak suka dengan hal itu.

"Tapi saya memiliki beberapa teman pengacara yang mungkin bisa membantu bibi untuk mendapatkan klaim kerugian."

Seketika, wajah Kushina langsung ceria, "benarkah?"

Pemuda berambut raven itu tersenyum tipis, "ya."

"Syukurlah."

Sasuke kembali melihat ke arah jam dan berniat untuk berpamitan, "kalau begitu, saya mau pamit, bi."

"Eh?" Kushina sedikit kaget dan ikut berdiri ketika sahabat anaknya mulai beranjak, "tidak tidur di sini saja? Sudah malam, loh."

"Tidak, bi. Maaf." Sasuke menolak dengan sopan, "saya masih ada tugas lagi dari kantor."

Kushina menatap Sasuke dengan prihatin, "Menjadi polisi memang sibuk, ya? Naruto juga. Sampai-sampai dia mencari pasangan saja tidak ada waktu."

Sasuke tidak tahu harus berkomentar apa. Dia hanya berdiri dan ingin sekali pergi dari sana.

"Sasuke punya teman polisi wanita yang belum menikah? Mungkin bisa dikenalkan dengan Naruto."

Pria berumur 26 tahun itu tidak bisa menjawab secara langsung, sebab dirinya juga bingung mau bagaimana meresponnya, "tidak ada, bi."

"Kalau begitu, ada kenalan wanita wanita?"

"Tidak ada juga, bi." Sasuke benar-benar ingin keluar dari rumah ini.

"Eh, Sasuke sudah ada kekasih?"

Ini lagi...

"Belum, bi."

Sasuke sedikit kaget ketika wanita di hadapannya memukul bahunya main-main, "kalian ini. Kerjaan terus yang dipikirin. Kapan menikah dan memberikan kami para orang tua satu atau dua cucu?"

Bahkan Sasuke belum pernah memikirkan kencan, bagaimana ia memiliki kekasih atau bahkan memikirkan anak?

Sasuke berusaha untuk berpamitan sekali lagi pada Kushina dan akhirnya berhasil.

Dirinya masuk ke dalam mobil dan membuang napasnya dengan lega karena tidak ditanyai lagi tentang jodoh dan pasangan hidup. Semua pertanyaan itu membuatnya pusing.

Dirinya memang sudah 26 tahun, tapi haruskah segera menikah? Kakaknya yang sudah 31 tahun saja masih belum menikah, berarti dirinya masih tergolong muda, bukan?

Tapi...ketika ibunya Naruto meminta dirinya memperkenalkan perempuan kepada Naruto, itu jauh lebih menyesakkan.

Entah kenapa...itu membuatnya kesal dan takut.

Takut? Entahlah. Mungkin takut ditinggal sahabat menikah. Karena setelah menikah, orang tersebut akan fokus dengan keluarga barunya dan Sasuke pasti akan dilupakan ketika teman pirangnya menikah.

Ya. Dirinya takut kehilangan persahabatannya dengan Naruto. Benar 'kan? Kenapa dirinya merasa, pikiran itu bukan berasal dari hatinya?

"Ah, sudahlah." Sasuke mencoba mengabaikannya.

Tbc


A/N : Cerita ini nantinya tidak diupload sampai ending karena khusus dinikmati pemesan aja. Jadi untuk kalian yang pengin ide cerita dijadiin cerita utuh, bisa hubungi author di 085156494198


Arigatchu~ :*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top