DOCUMENT 0.6
"Dokter yang mengobati Jelita itu mencurigakan, Nes." Selama perjalanan, Ivana tak bisa berhenti memikirkan apa yang akan mereka hadapi selama sebulan tinggal dan menyamar sebagai mahasiswa KKN PGSD di Desa Cokelat. Bahkan, ketika mereka sudah sampai di penginapan, kerutan di kening gadis itu tak kunjung menghilang.
Ganesha pun sama mengernyitnya. Sambil membongkar koper, lelaki itu bicara tanpa melihat Ivana, "Bakal repot kalo kita harus nyembunyiin ini dari anggota tim yang lain."
Ivana setuju dengan itu. "Tapi posisi kita nggak menguntungkan. Kita baru aja ditendang dari Tim Penyidik. Kalau kita ikut campur urusan Koala Killer lagi, bisa-bisa kita dicap tidak becus dan tidak profesional." Dia duduk melipat kedua lututnya dan memeluknya hingga menyentuh dada, sementara tangannya mengetuk-ngetuk kuku jari tangan.
Di sebelahnya, Ganesha diam-diam mengamini ucapan gadis itu. "Kenapa? Kukumu bermasalah?" Melihat Ivana tak kunjung mengalihkan pandangannya dari jemari, Ganesha bertanya. "Oh, aku lupa kasih jadwal mengajar. Bertha ngasih ini kemarin malam pas kau nggak ada di asrama. Kau ke mana?"
Setelah menimang-nimang sejenak, Ivana memutuskan membuka suara. "Tapi jangan kasih tau Nathan, ya?"
Dari kejauhan, diam-diam mereka mengawasi target: Jelita. Saat ini, Tim Pemberdayaan sedang melakukan pengawasan, tetapi sebagai guru anak-anak sekolah dasar yang akses pendidikannya terbatas.
Di tempat yang cukup jauh dari jangkauan dunia luar, Desa Cokelat bagaikan lingkungan yang terasingkan. Jarak dari kota kecil terdekat mencapai dua puluh kilometer. Mereka semua hidup mengandalkan sumber daya alam dan gotong royong. Dengan hutan dan sungai yang mengelilingi Desa Cokelat, mereka hidup berkecukupan.
Namun, sebab itu pula kebanyakan dari anak kecil di sini tidak dapat mengampu pendidikan yang layak. Hal tersebut menjadi alasan utama Tim Pemberdayaan untuk singgah di sini saat menyerahkan proposal palsu itu. Semua ini dilakukan, semata-mata hanya untuk mengawasi Jelita dan ayahnya dari dekat.
Ini sudah hari ke-lima, tetapi mereka sama sekali tidak menemukan hal yang mencurigakan. Hubungan ayah dan anak itu baik-baik saja seperti keluarga pada umumnya. Ganesha bahkan sering berkunjung ke rumah Jelita, sekadar untuk menyapa dan bertukar pikiran dengan Pak Heri sambil menjalankan bidak catur.
"Apa saja yang kalian dapatkan seminggu ini?" Bertha membuka rapat Tim Pemberdayaan malam itu di kamarnya yang paling luas. Mereka berenam duduk di lantai membentuk lingkaran dengan kertas yang dipegang masing-masing.
Michael mengangkat satu tangannya dengan raut serius. "Sebelumnya aku dan Hana menyelidiki rumor yang beredar di masyarakat tentang keluarga itu. Kebanyakan orang mengatakan mereka sering mendengar Jelita menangis di malam hari, kemudian diseret paksa menjauhi desa." Dia mengerutkan wajah, membuat rupanya yang tirus menonjolkan tulang rahang dan pipinya.
Gadis berambut pendek dengan bando kuning yang duduk manis berbalut piyama senada itu mengangguk. "Sampai sekarang, masih banyak anak-anak kecil yang enggan bermain dengan Jelita karena kondisinya itu. Untungnya dia tidak sampai dikucilkan." Tangan mungilnya membalik selembaran kertas. "Aku menemukan ini di kelas pagi Jumat lalu." Dia menyerahkan kertas itu di tengah-tengah lingkaran.
Kertas bergaris dengan coretan beberapa manusia lidi warna-warni di atasnya. Dari banyaknya manusia lidi berwajah tersenyum, hanya ada satu yang kelabu di ujung kertas. Sosok itu seperti diikat oleh gambar berbentuk bola-bola yang saling menyambung membentuk rantai.
"Anak kecil lain yang menggambarnya. Ketika aku bertanya, siapa anak yang di ujung, dia menatapku dan berlari."
Ivana mengamati lekat-lekat kertas itu. "Ini tulisan tangan anak yang tinggal di rumah nomor 05. Dia memang tak banyak bicara, tapi dia mau berteman dengan Jelita." Jemarinya menyusun-nyusun kertas di hadapannya, kemudian menarik salah satu dari kertas-kertas tersebut. "Jelita menceritakan temannya itu saat aku dan Ganesha ke rumahnya. Namun, semua rumor dan gosip dari warga itu tidak relevan dengan data yang kami peroleh."
Johan mengamini. "Aku dan Bertha juga tidak menangkap bukti lain. Kameraku sampai sekarang hanya berisi foto kucing dan anak-anak yang minta difoto."
Diskusi itu tak berjalan lama. Dua jam kemudian, mereka semua dipersilakan untuk kembali ke kamar masing-masing. Namun, Ivana masih super duper bingung dengan banyaknya hal yang tidak pasti di kepalanya. Benang merah di dalam otaknya sungguh tak memiliki ujung.
"Apa yang kau pikirkan?" Rangkulan tangan Ganesha menyadarkannya dari lamunan. "Butuh menata pikiranmu? Biar kubantu, Bung."
Erangan kesal keluar dari mulut Ivana. Gadis itu marah dengan dirinya sendiri yang tidak bisa memecahkan teka-teki itu, padahal dia jelas berpengalaman setahun penuh di bidangnya. "Ada banyak yang masih sangat abu-abu, Nes." Ivana menutup pintu kamar dan duduk di ranjang sambil melihat kuku jarinya. "Bagaimana bisa laporan warga justru tidak ada buktinya? Apakah ini semacam lelucon karena mereka tidak menyukai Jelita? Tapi atas dasar apa? Kemudian penyakit Jelita dan siapa dokter yang dimaksud itu? Jelita dibawa keluar Desa, tapi ke mana? Apakah menemui dokter itu?" Kemudian gadis itu terdiam sejenak menyadari adanya hal yang dia lewatkan.
Ganesha memandang wajah Ivana, menunggu gadis itu melanjutkan kalimatnya. "Lalu?" tanyanya penasaran.
"Bisa kau ikut aku? Ada yang harus kuperiksa."
Malam itu, di kamarnya yang remang dengan cahaya merah, Johan hanya terdiam selama bermenit-menit memandangi foto cetak hasil jepretannya seminggu terakhir. Selain foto bersama anak-anak ketika kegiatan belajar, tidak ada foto lain dengan manusia di dalamnya. Kebanyakan hanya foto-foto tempat yang Johan rasa mencurigakan.
Sejak dibubarkannya rapat mingguan tadi, matanya tak beralih pada sebuah foto tempat yang dikelilingi pepohonan rimbun. Dia sendiri sudah lupa di mana foto tersebut diambil, tetapi hatinya merasa ada yang tidak beres dengan foto itu.
Hampir tengah malam, Johan memutuskan untuk naik ke ranjang dan memejamkan mata. Namun, sekuat apapun lelaki itu berusaha terlelap, kepalanya selalu dibayangi suatu tempat misterius berlatarkan hutan rimbun itu. Hatinya seolah menjeritkan takdirnya ada di dalam hutan tersebut.
Dengan langkah nekat, dia menyambar jaket dan senter, kemudian melangkah pelan keluar dari penginapan Tim Pemberdayaan. Hari sudah terlalu larut untuk orang-orang beraktivitas di luar rumah. Hanya ada bapak-bapak yang bergiliran menjaga keamanan desa ditemani seteko kopi dan tembakau bakar.
Jauh di dalam hatinya, Johan merasa kasus kali ini sama sekali tidak berhubungan dengan kekerasan dalam rumah tangga. Dia adalah orang yang paling cepat menilai situasi, dan menurutnya, tidak ada yang salah dengan perilaku Pak Heri maupun anaknya. Namun, Johan masih merasa tidak tenang. Ada sesuatu yang lain, menunggu untuk dipecahkan, dan itu juga berkaitan dengan Jelita.
Langkahnya menyeret semakin jauh dari desa. Masuk ke daerah pepohonan dan mulai menjauhi sumber cahaya rumah-rumah warga. Senternya mulai dinyalakan, keheningan selain suara serangga dan angin mengembus dedaunan melingkupi Johan dalam kesendirian yang tak bertahan lama.
Begitu menyadari hal tersebut, Johan lekas mematikan senter dan memaksa pupilnya untuk beradaptasi dengan minimnya cahaya bulan. Di sana, beberapa meter dari tempatnya berdiri, matanya menangkap siluet dua orang di sebuah bangunan tua. Tersadar akan sesuatu, tangannya merogoh foto yang ada di sakunya kemudian memandang ke depan. Ini adalah tempatnya mengambil foto tempat yang mencurigakan. Tapi siapa dua orang itu?
Perlahan, dia mengendap mendekati dua sosok bayangan itu. Tidak ada dari mereka yang menyalakan cahaya, sehingga semua penglihatan bergantung pada sinar bulan. Namun, keduanya mendadak lenyap di balik gedung tersebut, membuat Johan sedikit panik dan lekas menyusul tanpa menimbulkan banyak suara.
Begitu dilihat dari dekat, gudang itu seakan terbuat dari bahan semacam aluminium berkualitas tinggi tanpa karat. Ada sepasang pintu besar dengan rantai dan gembok melilit kedua gagangnya. Dia harus menemukan jalan masuk lain.
Lima menit mengelilingi bangunan yang cukup luas, Johan akhirnya menemukan tangga menuju atap yang tertancap pada satu sisi dinding. Tanpa pikir panjang, dipanjatnya tangga itu dan mulai merayap ke atas. Sesekali dia melongok ke bawah untuk menggeleng, tetapi aksinya justru membuat selembar foto itu terbang ke bawah.
Itu bisa diambil nanti-nanti, pikirnya. Jerih payahnya menaiki anak tangga setinggi nyaris sepuluh meter terbayarkan oleh pintu masuk yang tak terkunci. Tanpa jeda, lelaki itu mulai memasuki gudang besar misterius tanpa menimbulkan suara.
Hal pertama yang dibayangkan dalam kepalanya adalah gudang gelap berdebu dengan tumpukan barang dan jaring laba-laba besar. Namun, nyatanya dia tak perlu menyalakan senter untuk melihat segala keanehan yang tersembunyi di balik gudang tersebut.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top