DOCUMENT 0.4

Begitu mendengar kabar bahwa tim pemberdayaan akan menyelidiki kasus KDRT di sebuah desa pelosok Below, Ivana kehilangan semangat hidupnya. Gadis itu lebih senang berfantasi dengan kasus pembunuhan misterius yang jasadnya raib atau pembunuh tampan yang sebenarnya baik. Dia sama sekali tidak berminat menyentuh urusan rumah tangga orang lain.

Meski demikian, ranselnya tetap dipenuhi pakaian dan dokumen, serta beberapa perlengkapan lain. Pagi-pagi sekali Ganesha sudah membuat keributan dengan mengetuk pintu asrama Ivana. Bukan suatu hal yang aneh jika dua orang itu pergi bersama ke kantor yang jaraknya tak sampai setengah kilometer.

Bertha adalah orang pertama yang menyambut keduanya di selasar tim pemberdayaan. "Sudah siap?" tanyanya semangat, rambut curly panjangnya ikut berayun manja.

Ivana masih galau, meski tidak separah kemarin malam. Jadi, dia hanya mengangguk sambil berusaha tersenyum manis.

Tugas dinas itu memakan waktu enam jam perjalanan meski dengan mobil berteknologi tinggi. Berbeda dengan cara berpergian ke Above yang bisa naik ke permukaan hanya dengan sebuah kapsul, berkendara di Below masih menggunakan cara lama: dengan mobil. Kendaraan berisi enam orang tim pemberdayaan yang semula membelah jalanan beraspal, kini mulai menapaki tanah berkerikil di tengah hutan nan lebat.

Jalan setapak selebar tiga meter itu tertutupi dedaunan kering, sisi-sisinya berbatasan langsung dengan pepohonan yang tumbuh rapat. Udara segar berkesiur pelan, menyalurkan suara-suara alam yang jauh dari perkotaan. Pemandangan itu terus berlanjut hingga nyaris tengah hari dan mereka mulai mendapati satu dua rumah penduduk yang berdiri dengan jarak yang cukup jauh.

Mata Ivana tak berhenti menatap bosan ke luar jendela, berharap menemukan sesuatu yang menarik. Misalnya penyihir, atau pertarungan antar dimensi yang rusak. Namun, yang didapatinya hanyalah seonggok bangunan mirip gudang di kejauhan, pepohonan, kuburan warga, dan pepohonan lagi.

"Sebentar lagi kita akan sampai, siapkan barang-barang kalian," peringat Bertha dari kursi depan. "Ingat, kita di sini bukan sebagai tim pemberdayaan, tetapi mahasiswa yang akan melakukan pengabdian masyarakat." Matanya nyalang menatap kelima anggotanya satu persatu. "Jangan sampai ada yang tahu kita sedang menyelidiki kasus di desa ini, paham?"

Mereka semua mengangguk bersamaan, kemudian meraih ransel dan bersiap. Begitu mobil melewati gapura yang terbuat dari bambu, Ivana tanpa sadar menahan napasnya. Benaknya masih berusaha menghibur diri, mungkin saja nanti ada stasiun tua yang bisa mengantarkannya ke dunia sihir, atau penampakan organ-organ yang terbang tanpa tubuh.

Lima belas menit kemudian, mobil benar-benar berhenti di depan sebuah rumah kayu besar. Sisi-sisinya dihiasi tumbuhan berwarna kecokelatan, seolah mereka benar-benar berada di dunia lain yang serba cokelat.

Di luar perkiraan Ivana, mereka disambut hangat oleh warga. Beberapa anak kecil berlarian mendatangi tim berisi setengah lusin manusia itu, bahkan tak jarang ada anak-anak memeluk kaki Ivana dari bawah. Melihatnya, Ivana jadi tersenyum senang. Sudah lama dia tidak melihat anak kecil, mengingat memiliki anak berarti menempuh konsekuensi tinggi dan proses hukum di Above dan Below yang panjang.

"Selamat datang di desa Cokelat." Seorang lelaki dengan rambut yang sudah putih seutuhnya berjalan pelan mendatangi rombongan itu menggunakan tongkat kayu. "Saya sudah membaca proposal kalian, silakan ikuti saya."

Singkatnya, mereka dibawa berkeliling desa yang ternyata cukup kecil dan tersusun rapi nan simetris. Ivana bahkan bisa menghitung jumlah rumah yang ada di sana, sekitar 24 saja, belum termasuk balai desa, penginapan, dan pasar. Matanya awas mengamati sekitar, memastikan tidak melewatkan satu orang pun yang akan ditemuinya.

Dari data yang diberikan tim pemberdayaan, tersangka adalah seorang pria 35 tahun, orang tua tunggal, yang melakukan kekerasan pada anak perempuannya yang masih berumur 10 tahun. Ketika melewati rumah tersangka, Ivana benar-benar menguliti pemandanganya secara detail. Sekilas tampak tidak ada yang aneh, semunya baik-baik saja, tetapi Ivana tahu ada yang tidak beres dengan semua kenormalan itu.

Semua benar-benar berjalan sesuai rencana Bertha selaku ketua tim. Mereka cukup menyurvei desa itu, mengumpulkan sedikit data di lapangan, kemudian pulang. Ivana benar-benar berharap hari ini selesai dengan cepat agar dirinya bisa berbaring kembali dan merenungi keadaannya sendiri.

Namun, ketika senja mulai tampak di sisi langit barat, dan semua orang sudah bersiap untuk kembali di ambang pintu mobil, jeritan justru menggelegar di desa yang kecil itu. Mendengarnya, para pemuda desa langsung memasang posisi siaga sambil mendengarkan dengan seksama.

"Dari arah sana, ayo!" Bertha adalah orang pertama yang membanting pintu mobil dan berlari menyusuri jalan setapak secepat kilat. Di belakangnya, warga lain menyusul termasuk Ivana yang sudah menyambar tasnya dari dalam mobil.

Tak memerlukan waktu lama bagi mereka untuk menemukan sumber suara. Dari dalam rumah nomor 13, terdengar raungan menyeramkan seorang gadis kecil. Tanpa aba-aba, Bertha yang menerabas masuk ke rumah tersebut langsung disuguhi pemandangan luar biasa aneh.

Ivana yang tiba beberapa detik kemudian ikut terpana di depan pintu. Dia bingung mengapa orang-orang desa tidak ada yang berani masuk menyusul Bertha di dalam. Akhirnya, dengan sedikit dorongan, Ivana menyelinap di kerumunan hingga menyusul tepat di belakang punggung Bertha. Tatapannya tak bergerak ke manapun saat melihat sosok gadis kecil tergeletak di lantai kayu ruang tamu rumah tersebut.

Tubuh gadis itu bergetar hebat sambil terus meraung kesetanan, sementara di sebelahnya, sosok lelaki berusaha mencengkeram kedua tangan sang gadis agar tenang. Rautnya menyiratkan kekhwatiran dan ketakutan, bintik-bintik peluh mulai muncul di pelipis dan hidungnya.

"Ada apa ini?!" Ivana meringsek maju, meletakkan tasnya dan bersimpuh di dekat si lelaki. Sebelum sosok yang ditanya menjawab, Ivana dengan cepat mengaktifkan kekuatannya. Pupil mata gadis itu seketika mengecil ketika mendapati sejumlah bayangan aneh bertumpuk di tubuh gadis itu. Sama seperti Koala Killer malam itu.

Dengan suara bergetar, si lelaki berkata panik, "Jelita memang sering seperti ini sejak beberapa bulan lalu, tetapi ini yang paling parah." Napasnya sesenggukan, air mata lelaki itu bisa jatuh kapan saja melihat gadis yang dicintainya menderita. "Tolong ... tolong anak saya. Saya akan melalukan apa saja asal dia bisa sembuh."

"Apa sebelumnya anak bapak pernah melakukan pemeriksaan atau perawatan?"

"Hari ini jadwal kontrolnya, tetapi penyakitnya kambuh lebih cepat dari sebelumnya."

Kepala Ivana berpikir keras, ini jelas ada hubungannya dengan bayang-bayang tak stabil yang ada di dalam tubuh gadis itu. Dia mencoba fokus, mengerahkan seluruh kekuatannya sembari mengusap kening hingga ubun-ubun gadis kecil itu. Telapak tangannya merasakan suhu yang tidak normal, tetapi Ivana masih berusaha mempertahankan fokusnya mengendalikan apa yang ada di dalam diri gadis itu.

Perlahan, rontaan dan raungan gadis itu mulai mereda. Si lelaki tak lagi memegangi kedua tangan putrinya, beralih mengusap peluh di dahi dan leher. Bertha sendiri menatap tak percaya dari ambang pintu. Ini semua berbeda dari data yang mereka dapatkan. Dua orang di hadapannya terverifikasi adalah korban dan tersangka kasus KDRT, tetapi keduanya tampak saling menyayangi dan peduli. Apa yang sebenarnya terjadi di sini?

"Ayah," lirih si gadis kecil, kemudian menangis pilu seraya memeluk lelaki yang dipanggil Ayah.

Ivana terduduk lemas di lantai kayu. Keringat bahkan membasahi bagian punggung kemeja navy yang dikenakannya. Pupilnya berangsur-angsur normal dan kembali ke warna semula. Meski demikian, benaknya masih berisik dengan berbagai pertanyaan. Sebenarnya apa itu? Mengapa bayang-bayang itu ada banyak, juga dalam keadaan yang tidak stabil?

Setelah melihat kejadian yang sungguh berbanding terbalik dengan laporan yang diterima, Bertha mengarahkan timnya untuk menginap hari ini dan mencari bukti lebih lanjut. Sementara itu, Ivana tidak bisa lepas dari cekalan Jelita yang mulai menempel padanya ssjak kejadian mengerikan tadi sore. Gadis itu ditawari untuk menginap di rumah Jelita oleh sang ayah. Tentu saja Ivana mengiyakannya, dengan syarat Ganesha ikut menemani. Itu peluang yang sangat bagus untuk melihat interaksi kedua target secara langsung.

Karena keterbatasan ruangan di rumah itu, empat orang yang lain harus menginap di penginapan yang tak jauh dari rumah Jelita. Sebelum pergi, Bertha berpesan pada mereka berdua agar selalu mengabari dirinya apapun yang terjadi.

"Kakak punya kekuatan apa?" Jelita bertanya setelah mereka berempat makan malam dan sedang duduk-duduk di ruang tengah.

"Kakak bisa melihat hantu!" Melihat Jelita yang mengernyit takut akan jawabannya, Ivana tertawa sambil mengibaskan tangan. "Hantu-hantu itu baik, loh! Mereka sering membantu kakak saat menjalankan tugas!"

Sementara itu, Ganesha sibuk mengamati interior rumah yang bisa dibilang cukup bagus. Seluruh rumah di desa Cokelat terbuat dari kayu, bahkan interiornya juga didominasi dengan bahan yang sama. Rumah ini cukup besar, dengan luas sekitar seratus setengah meter persegi dan hanya dua manusia yang menempatinya. Mereka juga memiliki lantai atas yang belum berani Ivana dan Ganesha sentuh tanpa seizin empunya rumah.

Begitu sang ayah kembali dari urusannya di luar, Ganesha bergabung bersama Ivana dan Jelita, kembali ke ruang tengah. "Maaf, apakah sebelumnya Jelita sering kambuh seperti itu?" Ganesha membuka topik, langsung pada intinya.

Di sebuah meja lingkaran, sang ayah duduk mengisi tempat kosong di sela mereka. "Ini yang paling parah. Sebelumnya, Jelita hanya meraung sambil berguling saja. Awalnya saya pikir itu penyakit pencernaan, tetapi dokter tidak menemukan kejanggalan pada pencernaannya."

"Iya!" seru Jelita antusias, seolah penyakitnya yang membuat semua orang panik itu adalah cerita dongeng. "Rasanya kayak semua badan Jelita ditarik, kayak mau copot!" Tubuh kecil itu melompat-lompat di atas kursi kayu sebelum tangan ayahnya memaksa gadis itu duduk dengan baik. "Tapi Jelita kuat! Jelita bisa tahan!"

Ivana hanya tersenyum menanggapi gadis kecil itu. Pandangannya beralih pada sang ayah. "Lalu, bagaimana dokter menangani Jelita yang penyakitnya bahkan tidak diketahui? Prosedur seperti apa yang mereka lakukan sehingga mengharuskan Jelita kontrol seminggu sekali?"

Sang ayah mengusap tengkuknya pelan. "Jelita ... tidak ditangani oleh dokter di rumah sakit."

"Lalu?"

"Ada seseorang yang berjanji menyembuhkan Jelita. Satu hari, di malam badai dia mengetuk pintu rumah—"

"Kemudian Jelita dibawa ke gudang! Semuanya gelap, bahkan Jelita tidak bisa ingat apa-apa!" potong gadis kecil itu, kembali dengan gebrakannya menaiki kursi.

Kepala Ivana bekerja keras. Gudang apa yang dimaksud Jelita? Apakah itu gudang yang sama dengan yang dilihatnya saat perjalanan ke sini?

Sang ayah menasihati anaknya untuk tidak menyela percakapan orang dewasa, dan Jelita hanya mengangguk patuh kemudian duduk manis sambil tersenyum menatap ketiga orang dewasa itu satu persatu.

Ganesha yang sejak tadi memperhatikan, kini tertarik dengan topik yang dibahas. "Berapa Tuan membayar untuk kesembuhan Jelita?"

Sang ayah mendesis pelan. "Jangan panggil saya dengan sebutan itu. Panggil saya Pak Heri." Lelaki itu tersenyum, seolah dia benar-benar tidak bersalah dan tuduhan kasus KDRT itu raib adanya. "Orang itu tidak meminta apapun. Katanya, pengobatan Jelita akan membantu semua orang, dan itu sudah lebih dari cukup."

Baik Ganesha maupun Ivana, keduanya jelas tidak percaya. Mereka tahu ada yang tidak beres. Namun, untuk sementara, yang pasti adalah kasus KDRT itu dinyatakan negatif.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top