06. Ia mengatakannya

          Liburan musim panas kali ini, Simon dan Elisa pulang ke rumah. Namun lagi-lagi Papa dan Mama lebih memilih untuk menghabiskan liburan mereka di kantor daripada menghabiskan waktu bersama anak-anak mereka di rumah.

          Keluarga yang ironis.

          Elisa pergi dua menit yang lalu. Gadis yang lima tahun lebih tua dariku itu mengatakan akan kembali dua puluh menit kemudian setelah ia selesai mendapatkan produk maybeline yang baru keluar. Dan aku tidak peduli. Jangankan make up, memakai bedak saja merupakan suatu keajaiban untukku.

          "Jadi," ucap Simon pelan. Tangannya meraih sepotong cookies yang tersaji hangat di hadapan kami. Kami, ya maksudku aku, Simon, dan Gerald. "Apa rencana kalian di liburan musim panas ini?"

          Memang begitu laki-laki, baru berbincang tak lebih dari sepuluh menit akrabnya sudah mengalahkan dua orang gadis yang setahun bersahabat.

          "Belajar bersama, mengerjakan PR bersama, pergi ke perpustakaan, bermain basket..." Gerald menghitung menggunakan jari-jari tangannya. Kemudian ia menoleh kepadaku dengan dahi berkerut, "Apa ada yang kulupakan?"

          Aku berpikir sesaat. "Menonton film?" tebakku asal.

          Gerald menjentikkan jari. "Ide yang bagus, aku suka. Bagaimana denganmu, Simon?"

          "Dia sibuk membuat lagu," celetukku, sedikit menyindir. 

          Alih-alih merasa tersindir, Simon justru tersenyum. Mengerikan kalau boleh kubilang. "Pintar kau memang. Yap, aku sedang sibuk menulis lagu baru bertemakan musim panas."

          "Menulis lagu tidak sulit untukmu, kan?"

          "Aha," Simon menyeruput kopi panasnya perlahan. "Dan aku tidak ingin membuang waktuku untuk hal yang tidak penting."

          Gerald mendengus. "Tidak penting? Hey, Simon, kau ini manusia butuh hiburan sekali-kali. Jangan terlalu tegang."

          "Musik adalah hiburanku."

          "Astaga, siapa kau ini sebenarnya?" Aku melirik Gerald yang terlihat sedikit tegang. "Pernahkah kau menemani Jenneth sekali saja untuk bermain?"

          "Dulu sewaktu kami masih kecil."

          "Simon, aku serius."

          "Aku juga tak kalah serius, bung."

          Meski kentara kesal, tapi Gerald berusaha sekuat tenaga menahan emosinya. Laki-laki itu meraup oksigen sebanyak yang ia mampu sebelum mengembuskannya sedikit keras. "Katakan saja kalian saudara tiri atau orangtuamu memungut Jenneth atau kau sendiri di panti asuhan maka aku akan mengerti--tapi hey, dia adik kandungmu, Simon!"

          "Lalu?" tanya Simon santai. Salah satu alisnya naik.

          Tenang Gerald, kalau kau sungkan untuk meninjunya, maka aku tidak akan keberatan menggantikanmu. Dia memang kakak kandung terbiadab yang pernah ada di dunia ini.

          "Biarkan saja Gerald, dia memang sudah memiliki kepribadian aneh sejak dalam kandungan." Aku melirik sinis Simon yang mengangguk-angguk setuju. Lihat, dia memang aneh.

          "Dengar Simon," kata Gerald terdengar serius. "Aku sayang kepada Jenneth sepenuh hatiku, dan akan kulakukan apapun untuk membahagiakannya."

          Jemariku terasa hangat. Tangan Gerald menggenggam erat tanganku.

          Simon mengerutkan dahinya. "Kalian berpacaran?"

          Gerald tidak menjawab.

          Dan aku tak tahu bagaimana harus menjawabnya.

          Sejak kejadian itu, aku selalu melamun sendiri. Kalimat Gerald benar-benar menghipnotisku, membuatku selalu kepikiran sepanjang waktu.

          "Aku sayang kepada Jenneth sepenuh hatiku, dan akan kulakukan apapun untuk membahagiakannya."

          Gerald bilang, ia menyayangiku.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top