THE NEIGHBOUR
Kita tidak pernah tahu masalalu sebuah tempat yang tak berpenghuni.
Nefa mencium bau masakan Woku khas Manado yang dibuatnya. Aroma tumisan bumbu yang harum menyeruak ke segala penjuru. Nefa membersihkan potongan ayam yang sudah dia perasi jeruk nipis.
"Andai masih hidup aku mau jadi yang pertama icip." Arabella berandai-andai sambil terus menempeli Nefa yang khusyu sekali dengan acara masaknya. Gadis itu tidak ingin kesan pertama bertemu dengan pria itu hancur karena masakannya sendiri. Sudah cukup cap aneh tersemat di dirinya.
"Ra, capek tau." Keluh Nefa merasa energinya terkuras. Gadis itu memasukkan potongan ayam setelah bumbu yang dia tumis agak kecoklatan. Potongan daging ayam bersatu dengan bumbu harum itu, cepat Nefa memasukkan air. Tidak lama masakan itu sudah mulai menunjukkan tanda-tanda matang.
Nefa mengambil beberapa buah tomat dan satu ikat kemangi yang baru dia beli. Potongan tomat segar dan daun kemangi menghiasi ayam woku yang dia masak. Tak lupa cabe segar dia taburi setelah masakan itu matang sempurna.
"Jatuh hati juga tuh cowok makan masakan kamu, Nef." Puji Arabella membuat pipi mulus Nefa bersemu. Masih mengepulkan asap, potongan ayam dengan lumuran bumbu woku itu mendarat dalam mangkuk yang Nefa siapkan.
Ada dua mangkuk yang sudah dia sediakan. Tidak mungkin dia melupakan tetangga sebelahnya yang menghelat kamar Nefa dengan si pria itu. Nefa membawa satu mangkuk pertama ke kamar bernomor 604.
Pintu terbuka menampilkan sosok seorang pria dengan pakaian rapi seperti ingin pergi.
"Hai, saya Nefa. Orang baru di sini. Saya baru masak Woku."
"Hai, Nefa. Saya, Randi. Salam kenal ya, terima kasih Wokunya." Ucap Randi menyambut uluran mangkuk dari tangan Nefa yang kepanasan. Pria itu melengkungkan senyumnya lalu menatap masakan Nefa, "keliatannya lezat. Sekali lagi makasih ya." Pria itu tersenyum lagi membuat Nefa salah tingkah. Tak ingin berlama-lama, gadis itu pamit pergi ke kamarnya.
"Kenapa wajahmu itu?"
"Gak apa-apa." Sahut Nefa mengambil mangkuk kedua. Dengan tarikan napas panjangnya Nefa melangkah menuju pintu bernomor 603 itu dengan gugup. Ketukan pertama tidak ada yang menyahut. Ketukan kedua masih belum dibuka juga. Nefa menghembuskan napasnya, namun sepertinya nasibnya bertemu dengan pria itu selalu di waktu-waktu tidak pas. Saat kepalan tangannya hendak mengenai pintu, suara bass itu mengangetkannya.
"Mau ngapain lo?" tanya Alan datar. Rambut gondrongnya diikat ke belakang, menambahkan kesan manly.
Nefa meneguk ludahnya. "Anu- saya mau kasih ini." Ucap Nefa sambil menyerahkan mangkuk berisi woku. Alan menilik kemudian berterima kasih.
"Lan..." teriak Alana sambil menenteng belanjaan sendiri. Alan yang dipanggil namanya berpaling pada kembarannya. Nefa membulatkan mata melihat seorang perempuan yang mirip pria itu.
"Mereka kembaran?" batinnya masih memerhatikan dua orang yang kini berdiri di depannya. Nefa menyunggingkan senyum saat perempuan itu berkacak pinggang menatapnya.
"Hai, saya Nefa. Orang baru di sini."
"Yang waktu itu di lift, kan? Mau mampir?" ajak Alana membuat Alan menatapnya tidak setuju. Meskipun Alan tidak setuju tetap saja Alana mengajak Nefa masuk. Seketika Nefa dihadapkan dengan sosok itu. Sosok yang mungkin bakalan membawa hal negatif untuknya.
"Silakan duduk.... Lan, lo bawa belanjaannya. Sini masakannya." Alana merebut mangkuk itu. Alan menggeleng heran, terlebih lagi dia sebal melihat Alana dengan entengnya mengajak orang asing masuk.
"Lo yang masak?" tanya Alana mencicipi masakan Nefa. Gadis itu melebarkan matanya saat irisan daging ayam masuk ke mulut mungilnya.
Nefa mengangguk saja, dia terfokus pada makhluk yang terus memberinya tatapan kosong. Nefa tahu, jika memberitahu dua orang ini akan ada resiko yang bakalan dia hadapi. Pertama dia bakalan dibilang aneh. Kedua diusir.
"Enak lo, Lan. Cobain." Alana menyuapi pria itu di depan Nefa yang duduk gelisah memikirkan timing yang tepat. Namun melihat Alan yang ogah-ogahan membuat Alana sedikit memaksa pria itu hingga terjadi aksi kejar-kejaran kakak beradik.
Nefa semakin dibuat dilema dengan posisinya. "Penonton bayaran." Nefa membatin melihat Alan berteriak kesal pada Alana, yang kemudian keduanya saling beradu argument tidak bermanfaat di hadapan Nefa.
Tok! Tok! Tok!
"Biar saya yang bukain." Nefa beranjak membuka pintu. Randi dengan muka masam memandang Nefa sebentar lalu pada dua kakak beradik yang menatapnya.
"Maaf jika saya menganggu. Tapi bisakah suara kalian berdua dikecilkan sedikit. Saya merasa terganggu dengan teriakan kalian saat ini." Randi meminta dengan sopan pada Alan dan Alana.
Nefa memundurkan langkahnya, mengalihkan pandangan pada Alana yang berjalan ke pintu.
"Tapi kita gak ngerasa bikin kegaduhan deh. Kita cuma bercanda." Ada keterkejutan di wajah Randi yang merah padam. Alana memberi senyum tipis lalu mendorong dada Randi untuk keluar dari depan pintu kamarnya. Nefa jelas merasa jika dua orang ini bakalan bersikap sama dengan dirinya. Setelah dia mengatakan sebenarnya.
"Lo mau minum apa?"
"Kasih air putih aja." Sahut Alan ngasal. Nefa membatin kesekian kali mendengar omongan Alan.
"Lo asli sini?" tanya Alana benar-benar menyodorkan air putih pada Nefa.
"Iya, sebenarnya aku ke sini ada yang pengen diomongin." Alan dan Alana saling berpandangan.
"Lo keknya dari kemarin ada maksud tertentu banget. Lo naksir gue? Gue curiga ini modus lo doang. Ya, gak?" tanya Alan. Nefa ataupun Alana membulatkan matanya mendengar hal itu. Habis sudah, pikir Nefa.
"Bukan gitu dodol! Kenapa ini orang pedenya selangit!" Nefa sebal sendiri.
"Hai Nefa kau bisa melihatku, kan?" Tapi rasa sebal itu sirna saat Nefa sadar jika wajahnya kini berhadapan dengan sosok itu. Rambut kusut itu menutupi wajah Nefa, sedangkan mata yang memandangnya dari atas itu meluruhkan niat Nefa.
"Kau bisa melihatku, kan?"
"Kau bisa melihatku, kan?"
"Kau. Bisa. Melihatku. Kan?"
TBC
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top