GHOST FRIEND

Aku tidak memaksamu untuk percaya apa yang kulihat. Hanya ingin memberitahu, kalau mereka ada.

 

                        ***
Setelah menempati kamar apartemen itu, Alan maupun Alana sudah mulai terbiasa dengan kondisi apartemen. Tidak ada gangguan apa-apa, hanya sesekali dia merasa aneh dengan tetangga perempuannya waktu itu. Mengindahkan kecurigaan, Alan berusaha untuk tidak perduli dengan hal itu.

Alan menyantap makanannya dengan tenang. Sedangkan Alana tengah tertidur  di kamarnya, sampai terdengar bunyi gaduh yang membuat Alan menoleh pada kamar gadis muda itu.

Duk! Duk! Duk!

Alan memutar kepalanya, lalu menggeleng heran dengan kelakuan adiknya. Buat apa malam-malam begini membuat suara gaduh seperti itu, pikirnya.

"Na, lo ngapain sih sebenarnya?" tanya Alan setengah berteriak. Tidak disahut, pria itu kembali menyuap makanannya.

Duk! Duk! Duk!

Alan berhenti menyuap, dengan kesal dia beranjak menuju kamar Alana. Lalu terheran-heran setelah melihat gadis itu tengah tertidur pulas di kasurnya. Alis tebal Alan terangkat, lalu menatap atap kamar.

Senyap. Tidak ada bunyi apa-apa. Pria dengan rambut gondrong berwarna cokelat itu menutup pintu, pelan. Sampai akhirnya dia kagetkan lagi oleh suara tersebut.

Duk! Duk! Duk!

"Siapa sih malam begini loncat-loncat kagak jelas?" gumam Alan merasakan bunyi itu semakin keras. Alan sebisa mungkin mengenyahkan perasaan kesal dengan kembali makan. Sial, nafsu makannya hilang saat suara itu muncul.

Tidak lama dia masuk ke kamarnya, untuk beristirahat. Dan lagi-lagi suara sialan itu muncul.

"Woi, inget waktu oi!" teriaknya keluar kamar. Kesal setengah mati dengan orang penghuni kamar atas. Pria itu memijit pelipisnya sambil menyandarkan tubuh pada sofa.

Duk! Duk! Duk!

Alan memejamkan matanya menahan kekesalan. "Berisik!" umpatnya agak nyaring sampai membangunkan si kembaran. Alana dengan muka bantal menatap atap kamar mereka yang sedang Alan pandang. "Lo ngapain teriak-teriak? Udah gak waras?" ledek Alana.

"Lo gak keganggu apa, sama suara orang di atas?"

"Suara apa? Perasaan gue denger mulut lo ngunyah aja dari tadi."

"Telinga lo budek! Jelas banget orang atas lagi loncat-loncat kagak jelas!" ucapnya dengan muka masam. Alana menggaruk kepalanya, bingung dengan ucapan Alan.

"Gue gak denger apa-apa."

Mendengar penuturan Alana yang keliatan tidak tahu menahu itu membuat Alan bangkit keluar balkon kamar. Pria tersebut melihat sekelilingnya. Kota Manado yang tengah senyap. Tertidur bersama malam yang menyelimutinya. Hanya ada lampu-lampu perumahan yang terlihat mengalahkan gemintang di langit. Alan menoleh pada balkon sebelahnya yang kosong. Namun tatapannya lagi-lagi mengarah pada gadis yang sempat dia lihat beberapa hari lalu.

Gadis berambut pendek itu tengah bercengkrama. Yang anehnya, dengan siapa dia bicara. Alan tahu kadang seseorang perlu teman untuk bicara, tapi melihat gadis itu. Alan merasa kadar kewarasannya mungkin sudah tidak ada, batinnya keheranan.

Nefa yang tidak sadar dilihat oleh Alan terus berbicara dengan Arabella yang melayang di sampingnya.

"Gimana kalau kamu bikin makanan besok. Terus bagiin tuh ke tetangga. Woku bikinan kamu enak."

"Kamu bilang enak kayak pernah makan aja." Ucap Nefa meledek Arabella yang tengah melipat tangan di dadanya. Wajah manis gadis itu merengut saat mendengar ucapan Nefa, "Sebagai hantu, aku juga pernah hidup. Aku juga tahu mana masakan enak dengan enggak."

Nefa mencibir dengan mulutnya. "Tapi ide kamu boleh juga. Aku bakalan kasih tahu besok. Semoga mereka percaya aja sih." Ucap Nefa lesu. Tantangan terberatnya, kepercayaan orang lain adalah hal yang sulit Nefa dapatkan. Apalagi menyangkut mereka yang hanya bisa dilihat oleh orang seperti Nefa. Bukan keistimewaan memang, Nefa pikir melihat makhluk sejenis Arabella adalah kekonyolan. Kenapa? Ya, karena dia merasa tidak normal jika berkomunikasi dengan hal yang tak terlihat.

"Ra, kamu lihat sesuatu?" tanya Nefa sadar Arabella tengah memandang ke balkon lain.

Telunjuk kurus Arabella mengarah pada Alan yang tengah menatapnya dari kejauhan. Lalu pria itu menggeleng, sama seperti waktu itu.

"Gelengan kepalanya tuh bentuk kebingungan dia kan, Ra?" tanya Nefa polos, lalu diangguki Arabella.

"Sapa, Nef!"

Dengan ragu Nefa melambaikan tangan. "Lo gak usah sok kenal", balas pria itu menohok. Nefa mengerutkan wajahnya, meringis menahan malu untuk kedua kalinya. Alan sepertinya sudah mencap dirinya aneh, pikir Nefa yang mundur perlahan menuju sofa tunggal dekat pintu.

"Gila, malu untuk kedua kalinya!" keluh Nefa menutup wajahnya. Arabella terbang menuju Nefa. Duduk di bawah kaki perempuan itu dengan wajah lugunya.

"Dia gantengkan?"

"Lebih ganteng dari Deniz, mantanku." Sahut Nefa mengibaskan tangannya karena pigmen merah di pipinya tak kunjung hilang.

"Justru karena itu, kamu harus ekstra buat kasih tahu dia. Siapa tahu, kan?" Arabella menaik-naikkan alisnya. Nefa mengibaskan tangan seolah hal yang Arabella pikirkan adalah kemustahilan.

"Gak ada yang mustahil tahu..." sahut Arabella.

"Iya, Arabella anak Belanda."

"Jangan gitu dong, Nef. Aku jadi malu sama kamu. Bangsaku udah bikin kalian menderita." Arabella kembali pada hal yang terus membuatnya tak kunjung berproses. Nefa tersenyum, jika saja Arabella bisa dia sentuh. Tubuh langsing gadis itu sudah dia peluk sedari tadi.

"Masalalu ya masalalu. Kamu harus berproses."

"Aku udah janji jaga kamu." Balas Arabella lagi-lagi menciptakan suasana mengharu biru. Nefa melayangkan tangannya hendak memeluk Arabella. Hingga sosok itu melayang menuju Nefa. Bersatu dalam jiwa gadis itu.

Dia tahu ada kehangatan dalam diri Nefa. Yang membuatnya merasa istimewa berada di sisi Nefa. Teman kecilnya.

"Aku senang merasakan hangatnya. Makasih Nefa. Sudah menerimaku."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top