CLOSER
Berhati-hatilah dengan mereka yang baru masuk ke dalam kehidupanmu.
Setelah kejadian tak mengenakkan itu, Alan dan Alana masih bertahan dengan gangguan aneh yang mulai menerpa mereka berdua. Semacam kegaduhan yang sempat Alan rasakan sendiri, kini Alana pun juga ikut mendengar hal itu. Lebih dari itu, terkadang bunyi-bunyi suara perempuan hadir di tengah malam saat mereka sudah terlelap.
Merasakan hal itu, semakin menganggu, Alana berinisiatif untuk menginap dengan Nefa. Gadis berambut pendek seleher itu dengan senang hati mengizinkan keduanya. Meski Alan tampak sekali ragu-ragu. Yah dia adalah orang yang sejak awal enggan sekali melibatkan hidupnya untuk mengenal Nefa. Tapi sang adik perempuannya sama sekali tidak selaras dengannya.
Hal itulah yang membuat Alan jadi sangat kesal.
“Nefa… ini lo yang gambar?”
“Iya, itu Sarah.” Ucap Nefa sambil menyiapkan beberapa masakan sederhana. Alan memerhatikan dari sofa interaksi dua gadis itu. Helaan napasnya tampak berat.
“Siapa ya yang tega ngelakuin hal segila itu? Kita kan sesama makhluk Tuhan, tapi kenapa malah saling menyakiti. Kasian Sarah.”
Arabella yang terbang bebas hanya menggelengkan kepalanya. Heran juga takjub akan pikiran Alana. Nefa membalikkan badannya, tersenyum tipis pada Alana yang memandang kasian pada gambar penampakan Sarah.
“Selain Sarah, ada gambar lain?” tanya Alana mulai antusias. Alan menggeleng memerhatikan tingkah Alana yang sok-sok mengerti masalah gaib.
“Banyak, tapi kemarin-kemarin dibawa sama Nadya.” Alana meletakkan buku sketsa Nefa.
“Buat apa?”
“Haha, dia Ghost Hunter loh. Ya, walau gak peka seperti aku. Dia nyimpen gambar itu di studionya dia, buat keperluan konten aja sih.” Ucap Nefa tiba-tiba berbangga diri. Alana mendekati Nefa yang menyuruhnya untuk makan malam. Alan meski ogah-ogahan, dia tetap berjalan menuju meja makan. Memandang masakan Nefa dengan wajah berbinar.
“Nah lo, gue pikir lo gak mau makan, Lan.” Sindir Alana. Alan yang mendengarnya tak jadi menarik bangku. Berbalik melangkah menuju sofa. Merajuk.
“Lan, ayo makan bareng. Ngapain ngambek, kayak anak kecil tau.” Ledek Nefa. Alan berbalik lagi, menarik bangku kemudian menyantap hidangan yang sudah disiapkan. Alana terkekeh melihat kelakuan kembarannya itu. Biarpun Alan kadang bersikap jutek, atau marah bahkan dengan ceplas ceplosnya sekalipun, Alana tak dapat menyembunyikan tawanya jika jiwa kekanakan Alan kambuh.
“Nef, lo kan indigo, bisa ngelihat kayak begituan sejak kapan?” percakapan di meja makan pun dimulai. Nefa tersenyum untuk kesekian kali, Alana adalah gadis yang mudah penasaran, pikirnya saat tatapan Alana menyiratkan keingintahuannya.
“Sejak umur 10 tahun, waktu itu aku ngelihat pertama kali saat di rumah nenek. Mba-mba baju putih itu muncul di jendela kamar. Nemplok gitu, aku pikir orang iseng. Tau-taunya…” Ucap Nefa diiringi tawa Alana. Dua gadis itu melempar candaan layaknya teman sebaya yang tengah merangkai persahabatan, melupakan posisi Alan yang hanya jadi pendengar. Bukan, dia bahkan tepat disebut obat nyamuk sekarang.
“Waktu bisa ngelihat, setiap jalan, setiap mau mandi, mau ngaca, mau ngapain aja selalu ada makhluk itu. Dari yang kepalanya jatoh ke lantai, sampai bola matanya lepas di depan aku. Menganggu banget, Na. Sampai akhirnya aku ketemu seorang anak Belanda. Waktu dia datang, semua makhluk itu menghilang. Mereka selalu bilang, 'perusuh' ketika Arabella datang.”
“Aku pikir Arabella adalah anak Belanda yang lagi berkunjung. Saat nenek tanya, aku main sama siapa, dia kaget karena sosok Arabella gak kelihatan sama keluargaku. Nenek aku yang sama seperti aku, akhirnya nunjukin sosok asli Arabella.”
Arabella yang sedang diperbincangkan hanya menggeleng. Lalu melayang kabur keluar apartemen Nefa. Dia agak jengah sedikit.
Melihat sahabat gaibnya pergi, Nefa melanjutkan ucapannya, “Aku kaget. Arabella gak seperti kelihatannya, dia menyeramkan. Saat itu dia pergi, segala serangan gaib aku hadapi sendiri sebisa mungkin. Dan saat 19 tahun, Arabella Corrine datang lagi, dia minta izin sama nenekku untuk tetap ngejaga aku. Sampai sekarang… dia masih sama aku. Barusan keluar loh.” Ucap Nefa menunjuk pintu apartemennya. Alana memandang takjub, sedangkan Alan memandang jengah percakapan keduanya.
“Jadi, lo pasti juga udah bincang-bincang sama penunggu kamar gue kan?” tanya Alana dengan muka penasaran. Alan meletakkan sendok dan garpu cukup tak etis, sampai menimbulkan bunyi dentingan keras. Bertepatan dengan itu, suara ketukan pintu membuat senyap ketiganya.
Nefa berlari kecil membukakan pintu, menampilkan sosok Randi yang kaget melihat Alan dan Alana yang sedang makan.
“Saya mau mampir, sebagai tetangga kita harus saling mengenalkan?” tanya Randi agak gugup saat Alana dan Alan menatapnya. Masih ingatkan, mereka sempat cekcok karena tingkah si kembar itu. Merasa ada kecanggungan yang cukup berarti membuat Nefa dengan cepat berinisiatif mengajak Randi ke meja makan.
“Makan bareng yuk, mumpung ada Alan sama Alana.” Randi mengulum senyumnya, beralih menatap dua insan di meja makan itu dengan jengah, walau akhirnya dia mengiyakan juga.
“Wah, ada yang SKSD nih…” suara ceplosan Alan yang mengakhiri makan itu lagi-lagi memercikkan kekesalan Randi. Pria itu duduk sambil melempar tatapan tajam.
“Matanya biasa aja.” Alana pun sama. Tiba-tiba tidak suka.
“Kalian berdua kenapa ya? Keliatan sekali tidak suka dengan kehadiran saya.” Randi menatap keduanya. Nefa menggigit bibirnya, bingung.
“Nefa…”
“Nefa…”
Tok Tok Tok
Nefa merasa bulu kuduknya meremang seiring dengan suara lirih yang berasal dari balkonnya. Gadis itu memutar kepalanya. Membeku saat melihat sosok perempuan yang tergantung terbalik itu tengah membenturkan kepalanya ke kaca.
“Nefa? Lo kenapa?”
Nefa menyapu wajahnya, saat darah yang berasal dari kepala hantu itu mengenai kaca.
Samar Alana melihat Nefa merapalkan nama “Sarah” sambil menatap kaca itu.
“Sarah?” tanya Alana membuat Alan dan Randi diam.
Tbc
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top