Ch. 22: Apologize
“Mba Aca.”
Namanya Caca, panggilannya Aca. Salah satu anggota kementerian di sistem BEM kampus. Gadis bersurai pendek dengan wajah bulat itu menoleh usai mendengar namanya dipanggil. Mengenali orang yang memanggilnya, Caca kemudian urung naik ke lantai dua.
“Keringat lu banyak amat. Habis work out di kampus lo? Bareng siapa? Di gedung mana? Berapa durasi?” Kadang-kadang candaan Caca suka ngalur ngidul alias nyeleneh.
Jiva mengusap bulir di wajah. Efek main petak umpet dari Gita tubuhnya jadi keringatan begini. Barusan dia kabur setelah sukses bajak hape Gita, berpura-pura jadi orangnya buat chat Dava—komting kelas yang terkenal dingin dan super kaku itu—ngajak nonton bioskop bareng. Pas Gita tahu kalau hapenya lagi dibajak, dia ngamuk marah-marah apalagi setelah chat-nya dibalas Dava dengan singkat, padat, dan jelas berupa tiga huruf belaka, “gak”. Sesuai dengan predikatnya sebagai komting dingin dan super kaku, balasannya pun demikian. Jiva ngakak kenceng, terus kabur duluan sebelum terkamehameha.
Padahal, ide bajak hape Gita itu idenya Laras. Jiva cuma pelaksana doang. Sedihnya cuma dia yang disalahin.
“Habis work out bareng penghuni gedung L lantai dua di lapangan basketnya. Mbak Caca mau ikut? Biar durasi makin panjang.”
Pundak Caca langsung bergidik horor. Lapangan basket lantai dua di gedung olahraga itu terkenal angker. Bisa-bisanya penghuninya dibuat candaan sama Jiva.
“Awas lu ntar beneran diajak work out sama penghuninya.”
Jiva langsung gelagapan. “Maksudnya penghuni itu anak basket. Kaptennya ukm basket, yang kepala setengah plotos tapi cakep itu. Aduh, lupa gue siapa namanya.”
“Vero?”
“NAH IYA. MAS VERO!”
Wajah Caca berubah skeptis. “Doyan lu sama si Vero? Asal lo tau dia playboy cap buaya darat.”
“Laras yang naksir. Kata gue orangnya emang cakep, tapi gue gak naksir. B aja.” Gimana mau naksir kalau dia naksir Arifin duluan. Walau si ketua ukm basket cakepnya sudah kayak model catwalk, favorite Jiva tetaplah Arifin. “Btw, Mbak Aca lihat Mas Awan gak?”
Semenjak ikut volunter konser tahunan dies natalis kampus kemarin, Jiva dan dua temannya jadi akrab sama Caca yang ternyata berasal dari kota sama. Makanya mereka kalau ngobrol suka santai, suka campur-campur juga panggilannya. Biasanya aku-kamu, biasanya gue-lo.
“Di ruang bem masih debat kusir sama Arif terus Farrel.”
“Kira-kira selesainya lama gak? Mau balikin earphone nih, yang kemarin gue pinjam.”
“Gue saranin mending gak usah ditungguin. Awan kalau lagi mode debat itu pasti lama. Lamaaaa ... banget. Apalagi lawannya si Arif sama Farrel. Beuh, tiga orang ini udah kayak trio dewan parlementer.”
Jiva meringis tak tahu-menahu. Sebenarnya dia enggak peduli mau itu lama atau singkat. Rencananya datang ke gedung ukm cuma buat ketemu Awan, balikin earphone yang kemarin dia pinjam. Jiva sudah bilang di chat kalau dia sendiri yang akan mengantarkan barang pinjaman ke pemiliknya.
“Gapapa deh, aku tungguin.” Dia menatap Caca. “Mbak Aca tadi mau ke mana?”
“Mau ke atas ambil tas terus balik.”
“Balik nanti aja, Mbak. Temenin gue di sini nungguin Mas Awan.”
“Terus kalau gue nemenin lo di sini. Mau lo ajak apa?” tanya Caca.
“Ngobrollah. Masa ngelesbi.” Jiva cuma tertawa dengan muka sok polos. “Gosipin Mas Awan. Ada yang mau gue tanyain sama Mbak Aca.”
Setelah berpikir sebentar, Caca kemudian mengiakan ajakan Jiva ngobrol bareng. Kedua gadis itu lantas duduk di bangku teras yang kebetulan siang itu lagi sepi dari mahasiswa. Hanya ada 1 atau 2 orang berkeliaran menaiki tangga atau terlihat keluar masuk dari pintu ruangan bem yang terletak di lantai dasar.
“Mau gosipin Awan soal apa, nih?” tanya Caca yang sudah tahu kalau dua orang ini memang lagi dekat. “Aslinya gosipin Awan tuh, gak ada enak-enaknya. Hidup dia boring. Tapi kalau lo ada bahan gosip, bisalah bagi ke gue biar gue cecengin anaknya.” (meledek; menghina)
“Biasalah mau tanya-tanya doang. Mbak Aca udah kenal Mas Awan lama, kan?”
“Lumayanlah. Pas dipindah ke bem pusat jadi lebih kenal anaknya.”
“Menurut Mbak Aca, Mas Awan orangnya kayak apa?”
Dibanding Ryan yang sudah dia kenal dari kelas 1 SMA, sama Awan dia masih merasa abu-abu. Pasalnya belum ada banyak yang dia ketahui tentang laki-laki tersebut. Mendapatkan sumber informasi tentang Ryan lebih gampang ketimbang Awan. Jiva hanya setidaknya perlu punya satu sumber terpercaya yang sekiranya telah kenal laki-laki itu lebih lama dibanding dirinya.
“Awan ya ...,” Caca bergumam panjang tampak sedikit serius memikirkan. “Orangnya sih, baik ya, gak neko-neko. Cuma gue kurang suka sifat baiknya itu. Dia tuh apa ya ... terlalu gampang ngeiyain omongan orang gitu lho. Kayak kalau lo terlalu baik sama orang, pasti lo bakal dimanfaatin orang juga. Nah, dia tipe kayak gitu. Sama gue gak suka dia kalau udah mode sok keras.”
“Sok kerasnya gimana?”
“Kelas lo ada kan, tipe mahasiswa yang suka nanya dan menyanggah jawaban orang pas presentasi? Nah, dia suka begitu. Kalau udah mode gitu pasti ujung-ujungnya jadi debat kusir. Kayak sekarang tuh di dalam. Tapi gue akui tanggung jawab dia paling gede terus kalau ngomong suka jujur. Misal kalau dia gak suka ya, bakalan bilang gak suka beserta tetek bengek alasan dia gak suka.”
Jiva mengangguk-angguk, mulai untuk mengenali karakter Awan. Mode sok keras, ya? Dia belum pernah lihat sisi Awan satu ini. Penjelasan Caca tentang mode sok keras Awan hanya mengingatkan Jiva pada sosok komting kelasnya yang sering jadi boomerang ketakutan bagi anak-anak kelasnya saat presentasi. Mereka takut Dava bertanya, makanya sebagian besar teman sekelasnya sepakat untuk pura-pura tak lihat acungan tangan Dava. Kecuali di kondisi tertentu, maka mereka terpaksa melihat.
“Playboy gak? Orangnya suka akrab sama cewek gitu gak? Yang naksir Mas Awan pasti banyak ya, Mbak Aca?”
Caca diam lagi berpikir. “Gak playboy, tapi kalau akrab cewek iya. Terlalu baik, sering dimanfaatin. Nah, ini sumber masalah buat dia. Kalau yang naksir Awan gue kurang tahu ya ... mungkin iya ada banyak tapi gue gak tahu siapa aja.” Lalu tiba-tiba dia berseru keras, “Eh, ada orang yang gue tau. Lo tau ceweknya Arif gak?”
Jiva mengangguk cepat. Mendadak kepo karena nama Arif di bawa-bawa dalam obrolan mereka.
“Dulu sebelum mereka jadian, ceweknya Arif naksir Awan.”
“Sumpah?” Jiva terhenyak. “Kalau naksir Mas Awan, tapi kenapa jadiannya sama Mas Arif?”
“Arif naksir Bella, Bella naksir Awan. Arif sama Awan teman sefakultas. Nah, Awan tahu Arif naksir Bella, dia juga tahu Bella naksir dia. Beberapa kali Bella pernah ngajak Awan ngedate, tapi dia tolak. Terus yaudah, tahu-tahu malah Bella sama Arif jadian. Kalau kata Edo ada campur tangan Awan makanya mereka jadian.”
Kisah yang rumit. Jiva melipatkan kedua tangan. Mulai berandai-andai sendiri, andaikan Awan tidak ikut campur tangan, mungkin saat ini Arif masih jomlo dan Jiva punya kesempatan buat deketin Arif. Mendadak entah kenapa sekarang dia agak sebal sama Awan. Kemudian setuju kalau sifat terlalu baik Awan itu tidak patut disukai.
Caca melanjutkan lagi, “Si Ambar juga naksir Awan. Tuh, orang kayaknya masih berusaha buat deketin Awan. Haha. Hati-hati sama saingan lo. Ambar sama Awan tuh, deket tau.”
Jiva mendesis. “Kalau mereka deket, ya udahlah, tinggal pacaran. Ribet amat.”
Caca terbahak-bahak mengira Jiva cemburu. Padahal, dia hanya sebal setelah tahu Awan ikut campur dalam hubungan Arif dan Bella.
“Kalau segampang itu pacarin si Awan, udah dari dulu kali mereka jadian. Masalahnya Awan itu peka, tapi suka pura-pura bego. Apalagi sama si Ambar yang sudah pernah ditolak, tapi tetap deketin orangnya.”
“Mas Awan berarti bego. Si Ambar padahal cakep, kenapa gak suka dia aja, kenapa malah suka gue? Dih, harusnya dia gak usah ikut campur hubungannya Mas Arif.”
“Eh? Kok jadi Arif?”
Jiva mengibaskan tangan masa bodoh. Mengabaikan kebingungan Caca.
“Oh ya, Mas Awan ada mantan gak?”
“Ada. Kakak tingkat, dulu mantan ketua fotografi gitu. Putus pas ceweknya udah lulus.”
“Putusnya kenapa?”
Caca mengangkat bahu. “Coba tanya orangnya sendiri,” ujarnya sambil menunjuk sosok Awan yang baru keluar dari ruang BEM bersama dua orang.
Jiva mengikuti petunjuk Caca. Sehingga kini keduanya saling menyadari keberadaan masing-masing. Awan kemudian pamit ke kedua temannya, menyusul Jiva yang lagi duduk bersama Caca.
“Tumben banget selesainya cepet. Biasanya lama lho, sampai berjam-jam,” ujar Caca sambil mencuri pandang ke arah Awan yang kini mulai berhenti di depan Jiva. “Ya udah, gue tinggal ya. Gosipnya dilanjut lagi kapan-kapan.”
“Udah mau cabut, Ca?” tanya Awan.
“Ogah jadi obat nyamuk, mending gue cabut pulang.”
Setelah Caca pergi, tinggal Awan dan Jiva yang hanya diam saling bertukar pandang belaka. Ekspresi kecut Jiva begitu membingungkan Awan yang merasa sedang dimusuhinya.
“Aku udah buat salah, ya?” tanyanya hati-hati.
Tanpa ragu-ragu, kepala Jiva mengangguk dengan mantap. Awan terhenyak, dibuat bingung lagi. Dia salah apa?
Enggan menjelaskan alasannya terlihat bete ketemu Awan sekarang, Jiva hanya mengembalikan earphone. Setelah bilang makasih, niatnya dia mau langsung pulang. Tapi Awan segera mencegahnya.
“Jiv.”
“Ya,” sahutnya bernada ketus.
“Hmm ...,” Awan jelas bingung apa salahnya sampai dijutekin begini. Kalau masalah janji ketemu, sebelumnya dia bilang bakal lama selesai karena ada urusan di BEM yang perlu diselesaikan, dan Jiva bilang enggak masalah, bakalan tetap nunggu sampai selesai. Tadi di dalam dia sengaja mempercepat pekerjaannya biar Jiva enggak perlu nunggu lama. “Mau makan ice cream gak deket danau kampus?”
“Ice cream?”
“Iya, di kedai ice cream dekat danau kampus.”
“Aku tahu tempatnya,” jawabnya masih terdengar ketus bagi Awan. “Siang-siang begini gak bakalan ada tempat duduk.”
“Masih ada.”
“Tahu dari mana?” tanyanya dengan mata setengah memicing. “Mas Awan aja baru keluar dari ruang BEM, kok yakin banget bakalan ada tempat duduk?”
Awan memutar badan, jadi berdiri di sampingnya. Tangannya menyentuh kedua pundak Jiva, perlahan mengajaknya berjalan bersama-sama. “Ada satu tempat yang sering aku datengin sama anak-anak BEM. Tempat itu pasti kosong sekarang. Kalaupun ditempati orang, kita bisa cari tempat lain.”
Jiva meliriknya. “Mas Awan lagi pengen makan ice cream, ya?”
“Enggak.”
“Lah terus ngapain ngajakin ke sana?”
“Biar kamu yang dingin jadi menghangat,” ujarnya tersenyum hangat. “Aku minta maaf ya, kalau udah bikin kamu kesal hari ini. Kalau kamu belum bisa terima maafku sekarang gak papa, tapi tolong jangan ditolak ajakan makan ice creamnya. Barangkali setelah makan yang dingin-dingin, panasnya bisa mencair.”
Jiva ingin mengatakan sesuatu namun urung. Rasa sebalnya perlahan kini meluruh usai mendengar kata-katanya. Tak perlu menunggu merasakan sensasi dingin makan ice cream dulu untuk menghanyutkan kesinisannya, sekarang pun dia mulai menghangat dan sadar pada ketololannya karena telah menyalahkan sesuatu yang tak seharusnya diperdebatkan.
Tapi Jiva tetap pura-pura cemburut. Hanya cuma enggak mau Awan tahu kalau alasannya jengkel tadi gara-gara dia tahu campur tangan Awan dalam hubungan kencan Arif dan Bella.
“Terserah Mas Awan,” jawabnya sok cuek.
Awan tersenyum lega dan gemas melihat sikap cueknya segera mencolek hidung bangirnya.
“Arghhh ... hidung gue pesek nanti, jangan dicolek-colek!” protesnya sambil melindungi hidupnya pakai tangan.
“That sounds good. I mean, kamu kalau lagi ngomel pertanda mood udah bagus.”
“Dih. Sok tau.”
“Hahaha,” balas Awan yang langsung tertawa lega.
Actually, subjudul di atas juga merupakan permintaan maafku. Untuk kalian yang baca cerita “Knock Knock Your Heart” aku minta maaf karena sementara ini aku mau hiatus nulis. Kurang tahu sampai kapan, entah cuma 2 minggu aja atau 1 bulan, aku gak bisa pastiin. Tapi aku usahakan bisa update secepatnya begitu situasi sudah mendukung. Aku usahakan juga sebelum puasa bisa update lagi. Semoga kalian bisa menunggu sedikit lama updatean chapter 23, ya.
Terakhir, aku minta doanya ya teman-teman, semoga operasiku besok lancar tanpa hambatan apa pun.
Sekali lagi, aku minta maaf dan terima kasih bagi kalian semua yang sudah baca, vote, dan komentar “Knock Knock Your Heart”. Sampai ketemu lagi di chapter 23 nanti.
With love,
🦏 Hippoyeaa
Sebagai permintaan maafnya, kukasih trio ryan-jiva-awan cosplay ala-ala spiderman. Hohoho.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top