Ch. 21: What is this? A movie date? (2)

"Mau ke mana, Dek?"

Jiva berhenti memoles bibir pink polosnya sesaat dengan pewarna buatan bernama lipstik yang kemarin baru ia beli di mall bareng Gita sama Laras. Pandangannya lantas turun ke arah layar ponsel yang menyala, di mana hanya ada latar belakang studio kerja Bian alih-alih wajah sang kakak.

"Mau keluar." Jawaban terkesan acuh tak acuh itu mendorong alis Bian terangkat sebelah.

"Sama Gita sama Laras?" Walau ketiganya belum pernah saling bertemu, tapi mereka sama-sama saling tahu keberadaan masing-masing. Jiva sering cerita tentang teman-teman kuliahnya ke Bian, lalu baru-baru kemarin ini ia juga bercerita sedikit tentang Bian ke kedua temannya.

"Enggak."

Satu jawaban tersebut langsung buat Bian terbangun, mengubah mode kamera ke depan sehingga wajah tampan kelelahannya itu kini muncul. "Cowok?" selidiknya hati-hati.

Jiva hanya mengiakan sambil melanjutkan memoles lipstik ke bibir.

"Siapa? Teman sekelas? Sekampus? Orangnya kayak gimana? Gak seaneh dulu, kan? Udah berapa lama dekat? Bagi abang kontaknya."

Telinganya penuh serentetan pertanyaan yang Bian lontarkan dalam satu tarikan napas. Gaya bicaranya yang cepat persis seperti orang lagi mau ngerap. Walau kesal dengerinnya, Jiva tetap meladeninya. "Namanya Mas Awan, lengkapnya Lawana Mahasura. Bukan teman sekelas, sekampus iya, dia kating. Kurang tahu soalnya baru-baru ini dekat. Buat apa ngasih kontaknya ke abang?"

"Buat jaga-jaga aja."

Jaga-jaga maksudnya cross-check alias Awan bakalan dapat telpon dari Bian. Terus ditanyain ini itu atau paling anehnya, Bian suka pura-pura jadi cewek buat nguji. Ada-ada saja. Kasus Shaga dulu juga gitu cuma orangnya lebih beruntung soalnya pas diuji yang pegang hapenya cewek pertamanya.

"Oh ya, mumpung aku baru ingat. Abang tau gak, masa temannya Abang naksir Jiva. Hahaha." Sambil cekikikan Jiva mengangkat kamera ke depan sehingga wajah cantiknya full make-up tipis-tipis memenuhi isi layar Bian. "Adik lo keren ya, Bang. Ditaksir dua cowok sekaligus. Yang satu mahasiswa, satunya penyanyi terkenal."

Bian terhenyak sebentar untuk berpikir-pikir. Lalu matanya terbelalak. "Maksudnya Ryan?"

"Iya. Sempak superman."

"Dia bilang ke kamu? Atau udah ne-"

Kepalanya menggeleng. "Enggak-eh, belum maksudnya. Tadi nebak doang, taunya beneran dong."

"Tadi?" lanjutnya, "terus tau gini kamu mau apain. Maksudnya kalau gini kan sama aja perasaan lo ke Ryan ke balas."

"Ke balas?" Dahinya mengerut ke dalam seiring tatapan aneh yang ditunjukkan ke Bian. Kemudian perlahan ekspresinya berubah ketika memori masa lampaunya menyentil memori masa kininya. "Ah, kalau itu aku pas kelas satu paling udah jingkrak-jingkrak kesenangan. Atau malah udah nyeret Kak Ryan ke KUA. Hahaha. Tapi itu kan past tense bukan present tense. Perasaan masa lalu sama sekarang udah beda, ya."

"Jadi, teman gue lo tolak?"

"Tolak apaanya, nembak aja belum."

"Terus?"

"Kalau dia mau, saingan dulu sama Mas Awan. Enak kali deketin cewek gak mau usaha. Aku aja usaha buat deketin Mas Arif padahal dia punya cewek."

Bian geleng-geleng kemudian. Arifin. Satu nama ini beberapa kali sering dia denger lewat mulut adiknya sendiri. Tepatnya setelah adiknya itu masuk ke dunia perkuliahan, ketika pulang ke rumah dia paling sering tiba-tiba cerita soal Arif. Terus mulai jarang pas Jiva udah punya pacar-yang sayangnya cowok itu berengsek.

"Aku bilang gitu ke orangnya tadi," lanjutnya.

"Tadi?" Bian kembali tertarik dengan satu kata dari pernyataan.

"Iya. Tadi waktu orangnya ke sini."

"Ke sini?" Refleks Bian membasahi bibirnya. Dorongan atas rasa penasaran membuatnya tak bisa duduk santai lagi. "Ryan ke situ?"

"Iya," jawab Jiva dengan muka polos.

"Ke mana tepatnya?"

"Kos-kosan. Emang mau ke mana lagi? Kafe? Ya gaklah. Bisa-bisa ketangkap jempretan kamera jadul."

"RYAN KE KOS LO, DEK?!" ucapnya penuh penekanan tiap kata.

"Iya."

"Ryan Balakosa, teman abang, ke kos lo? Kos cewek itu? Sendiri?"

"Iya, Bang Tata."

Bian semakin jadi membasahi bibirnya. Rasa tak tenang mulai merayapi dirinya. Sehingga duduknya sering berubah-ubah, dan kakinya kini bergerak-gerak dengan tak tenang.

"Berapa jam ketemunya? Ngapain aja?"

Sambil berpikir ia mulai berhitung dengan jari-jarinya. "Errr ... lima jam, maybe? Lupa deh, pokoknya dari pagi tadi terus orangnya juga baru balik ke hotel. Ya ... cuma ngobrol biasa."

"LIMA JAM LO BILANG?" sahutnya serentak bangkit berdiri dari sofanya yang empuk. "Lima jam dia ke kos lo, sendiri, di kamar lo cuma berduan dan ngobrol, doang?"

"Iya ngobrol terus nonton film bareng. Udah gitu doang."

"Si bangsat. Gue bolehin lo deketin adik gue, bukan berarti boleh nyamperin anaknya ke kos-kosannya," gumam Bian dengan nada jengkel.

Kepala Jiva sedikit miring. Wajahnya terlihat bingung melihat Bian yang terlihat kalut dan tambah bingung lagi saat tiba-tiba face time mereka dimatikan sepihak. Jiva bengong seperti orang bodoh.

"Kok dimatiin? Abaaang, gue belum minta uang jajan!!!" rengeknya kemudian.

• knock knock your heart •

Untung dia langsung dapat uang jajan tambahan dari Bian setelah merengek di room chat. Tapi uang jajan itu tidak diberikan secara cuma-cuma. Ada beberapa syarat yang perlu Jiva lakukan kalau mau dapat transferan uang jajan. Salah satu dari syaratnya itu dia harus berbagi kontak Awan, salah satunya lagi melarangnya buat berkontakan sama Ryan.

Kontakan apanya kalau akun sempaksuperman masih dia blok dan mereka pun belum pernah bertukar kontak pribadi. Maka syarat kedua sudah dipastikan Jiva mampu menyanggupi.

"Yah, gak masalah kalau abang kamu mau minta kontakku," respon Awan setelah Jiva dengan hati-hati minta izin ke orangnya langsung mumpung lagi ketemuan. "Atau mending gini aja. Kamu kasih kontak abang kamu ke aku, nanti biar aku yang telepon orangnya."

Jiva berhenti berjalan. Terkejut sendiri atas saran tak disangka-sangka ini. "Mas Awan mau nelpon abang aku sendiri? Yakin? Gak takut diapa-apain?"

Dia malah tertawa alih-alih ragu dengan keputusan mendadaknya itu. "Ngapain harus takut diapa-apain kalau cuma ngobrol via suara. Paling cuma ditanyain soal ini-itu gak jauh-jauh dari kamu." Justru Jiva-lah yang terlihat ragu. "Jiv, aku juga punya adik. Kurang lebih aku paham posisinya abang kamu."

"Mas Awan bukan anak tunggal?" Pembawaannya yang terlihat seperti anak tunggal membuat Jiva berpikir demikian.

"Aku anak ketiga. Punya dua kakak cewek, sama satu adik cewek."

"Berarti cuma Mas Awan dong cowok sendiri di rumahnya? Hmm, gak heran makanya jago nge-treat cewek," ucapnya.

"Masih ayahku lho, Jiv. Terus ada adik sepupuku masih SMP cowok dan ikut tinggal di rumah juga."

"Tetap aja hidup Mas Awan dikelilingi anak cewek."

Hidupnya dari kecil memang selalu dikelilingi anak cewek. Makanya dulu Awan sering banget diledekin sama teman sebayanya pas kecil cuma gara-gara sering diajak main sama kedua saudaranya, main pasar-pasaran atau main boneka sementara Awan suka pura-pura jadi monster bersama robot mainannya dulu. Ledekan itu terus berlanjut bahkan setelah memasuki sekolah dasar sampai menengah pertama. Ada kalanya Awan merasa malu dilahirkan sebagai satu-satunya anak cowok di keluarganya. Beberapa kali memberontak layaknya abg labil, pernah jadi anak nakal dengan bergaul bersama anak-anak yang sulit diatur biar tidak dapat lagi ledekan dari teman sebayanya. Selama prosesnya menjadi bocah nakal, ayahnya suka bersikap keras kepadanya, sering kasih hukuman, sementara pembelanya hanyalah ketiga perempuan di rumah. Lalu perlahan rasa malunya itu meredup usai ia merawat sang ibu yang selalu tampak kesulitan selama mengandung adiknya.

Masa nakal singkat Awan berakhir saat adiknya lahir dan ketika dia yang mulai tertarik datang ke bengkel, bergaul bersama orang-orang bengkel, ikut bantu dan sesekali belajar hingga tertarik untuk terjun ke dunia otomotif.

"Aku bagi kontaknya aja selesai nonton," ujar Jiva lalu melanjutkan lagi langkah kakinya disusul Awan yang berjalan di sisinya.

Setelah berjalan beberapa menit, kemudian mereka tiba di dalam bioskop. Jiva dan Awan tidak langsung pergi ke bagian tiket. Mereka cepar menyingkir berdiri di dekat dinding, menjaga jarak dari pengunjung lain supaya tak menganggu akses jalan. Jiva mulai sibuk menggulirkan layar ponsel ke atas, mencari satu judul film yang lagi tayang di layar bioskop, sementara Awan berdiri di depannya bagaikan tembok penghalang bagi orang awam yang ingin melihat sesuatu yang sedang bersembunyi di balik tembok tersebut.

Jiva mendongak ke depan. "Mas Awan keberatan gak kalau kita nonton film kartun aja? Atau mau film superhero mumpung masih ada."

"Yang superhero itu aku udah nonton. Kamu sendiri lebih suka yang mana?"

Ada satu film terbaru yang pengen banget dia tonton dan kebetulan baru tayang beberapa minggu di bioskop. Jiva mau nonton itu kalau ditanya suka yang mana. Cuma labelnya rated m, jadi dia langsung pura-pura tidak tertarik. Andai saja orang yang pergi bersamanya ke bioskop itu Laras atau Gita, mungkin mereka sudah Jiva tarik ke bagian tiket tanpa pikir panjang lagi.

"Kartun aja, ya." Jiva meringis kecil. Pilihannya memang random. Semua demi kenyamanan bersama saat nonton film. "Mas Awan gak keberatan, kan? Soalnya ini film anak-anak pasti di dalam-"

"Gak semua film kartun buat kartun buat anak-anak juga kok. Kalau kamu mau, ayo, nonton itu aja."

"Beneran gak masalah?"

"Iya."

Jiva masih terlihat ragu-ragu. Ekspersi Awan terlihat serius, tidak ada keraguan sama sekali saat menyetujui ajakannya nonton film kartun. Berbeda saat dia harus berdebat dulu sama Ryan hanya untuk satu judul film belaka.

Menyaksikan gadis di hadapannya masih tampak ragu-ragu, Awan perlahan mencodongkan tubuh ke depan. Mendekat ke telinganya hanya untuk mengatakan, "Paling aku ketiduran kalau ceritanya ngebosenin."

Jiva sontak tertawa dengan kepala yang terangguk-angguk, sependapat dengan pernyataan Awan barusan.

"Oke. Kalau gitu nonton kartun aja." Saat baru selangkah maju ke depan, tiba-tiba lagi Jiva berhenti memaksa Awan ikut berhenti dan menatapnya bingung. "Siapa yang mau bayar tiket?" tanyanya to the point.

Awan mengerjapkan mata. Sempat kebingungan sebelum menunjuk dirinya sendiri. Baru kali ini mau nonton film sama cewek, tapi ditanya langsung siapa yang mau bayarin tiket.

"Uang tiketnya aku transfer se-"

"Apanya yang mau kamu transfer?" tanya Awan.

"Uang tiket nonton. Masa uang pajak pemerintah."

Jiva mengeluarkan ponselnya lagi; Awan segera menahan tangan itu saat mau mengaktifkan smarthphone tersebut.

"Gak perlu ditransfer biar aku yang bayar."

"Dua tiket harus dua orang yang bayar."

"Aku yang ngajakin kamu nonton. Berarti biaya tiket nonton udah jadi tanggungjawabku."

Jiva tetap menolak. "Mas Awan kebiasaan apa-apa bayarin duluan. Sebelum jadi ke mana-mana, aku peringatin aja. Kalau Mas Awan ngajakin aku jalan, harus siap-siap sama yang namanya bayar patungan. Ini biar aku gak ketergantungan dibayarin sama cowok. Apalagi aku sama Mas Awan masih proses pdkt. Daripada Mas Awan buang-buang duit buat cewek yang belum tentu nanti jadi pacarnya, mending duitnya dihemat aja."

Awan terhenyak merasa baru dapat siraman kalbu dari Jiva. Di balik pernyataannya tadi ada satu kalimat yang menarik dirinya.

"Walau kita proses pdkt. Kamu belum tentu mau jadi pacarku gitu?"

Jiva mengangkat bahu. "Bisa jadi mau, bisa juga enggak. Lihat-lihat dululah perasaanku mau ke mana."

"Ada orang lain?"

"Mas Awan mau jawaban jujur atau bohong?"

Awan memberinya tatapan lembut. Tanpa perlu diberi dipilihan pun sekiranya dia sudah tahu jawabannya. Daripada cemburu pada sesuatu yang belum pasti akhirnya, Awan hanya menggulum senyum. Membuat Jiva sendiri heran karena berpikir jiwa bersaing cowok pasti akan timbul setelah mengetahui dia punya saingan. Tapi Awan malah terlihat tenang, tidak ada indikasi adanya persaingan pada seseorang.

Karena penasaran dia akhirnya bertanya, "Mas Awan gak cemburu? Gak merasa tersaingi gitu? Gak takut kalau pihak kompetitor lebih unggul dibanding usahanya Mas Awan sekarang?"

"Cemburu, ya ...," gumamnya lumayan lama. "Kalau aku cemburu lalu harus apa? Ngelarang kamu jangan dekat-deket sama cowok lain? Atau nanya ini-itu soal pesaingku?" Ketenangannya ini justru semakin membuat Jiva kebingungan.

Awan menarik pandangan Jiva agar membalas tatapannya yang lembut namun sanggup membuat lawan bicaranya hanyut ke dalam. "Kalau aku mulai cemburu, aku bakalan bilang sama kamu. Cuma bukan waktu sekarang ini. Daripada pikirin cemburu dan saingan yang akan merusak moment, mendingan kita perdalam aja proses kenalannya. Coba pikir-pikir lagi, kamu sudah sejauh mana kenal aku."

"Hehe. Baru sedikit." Dengan malu-malu Jiva meringis menjawabnya.

"Berlaku buatku juga. That's all. Mari fokus sama yang ada di sini sekarang. Okey?" ujarnya menyakinkan.

Jiva mengangguk paham. Lalu melupakan soal percakapan sebelumnya. Perlahan ia mulai melangkah menuju pembelian tiket bioskop.

"Jiva."

"Hm," sahutnya cepat menoleh ke samping.

"Tolong janji satu hal, ya."

"Janji apa?"

"Beri aku tanda kalau kamu sudah buat pilihan. Dengan begitu aku bisa mundur tanpa perlu kamu minta lagi."

Permintaannya memang terdengar sederhana. Namun, hanya memikirkannya saja rasanya tidak sesederhana itu. Rasa ganjil yang sulit untuk ia mengerti mulai timbul dan tertanam dalam-dalam pada dirinya. Sesuatu yang tidak bisa ia cabut walau telah berusaha keras. Jiva berhenti melangkah lagi, menatap Awan yang masih terlihat tenang bersama senyuman hangatnya itu.

Apa yang harus dia berikan padanya jika suatu saat nanti dia sudah menemukan pilihannya? Memikirkan pertanyaan itu di masa kini hanya membuatnya dilema. Jiva tak pernah berpikir bahwa akan ada waktunya dia terjebak pada dua pilihan.

Ryan Balakosa ya ... walau dulu dia pernah menyukai laki-laki tersebut, bukan berarti perasaannya sekarang berubah menyukainya lagi setelah tahu kalau ternyata Ryan juga suka padanya. Jiva hanya pernah menyukainya sekali dulu, tidak lagi untuk sekarang.

Lalu muncul Lawana Mahasura. Seseorang yang bahkan tidak pernah terpikirkan olehnya akan menjadi salah satu dari laki-laki yang menyukainya. Jiva kagum dengan pribadinya di waktu singkat ini mereka berkenalan, seperti bagaimana dia masih mengaggumi suara Ryan sebagai vokalis The Bastard. Apakah dia suka Awan? Dia menyukainya sebagai individu yang baik, tapi suka sebagai sosok lawan jenis dia masih abu-abu.

"Jangan melamun di tengah jalan," tegur Awan sambil mendorong pelan punggungnya agar kakinya mau melangkah ke depan.

Sadar sendiri Jiva kemudian mendengus. "Gara-gara Mas Awan nih, jadi kepikiran gue kan."

Awan tersenyum gemas melihat wajah cemberutnya. "Baguslah. Dengan begitu kamu juga lagi pertimbangkan perasaanku," ucapnya berbisik ke telinganya yang langsung Jiva balas dengan sikutan cepat.

Bian sama Aan kalau tukeran adik kayaknya Bian duluan yg bakalan bilang yes. Aya kalo bete cuma pengen lihat kebun binatang doang, Jiva bukan lagi cuma pengen lihat kebun binatang tapi seisi kebun binatang mau dia jambakin 🤡

Kalo ada typo sorry ya, soalnya belum w baca ulang 🫂

Maybe aku bakalan share bbrpa isi chat para karakter knock knock your heart (bukan versi lengkap, cuma potongan doang). Untuk kapannya kurang tahu, tapi ditunggu aja kalo jadi. Bakalan aku share di twitterku: nosaetre. Nanti aku infoin kalau jadi di wp/instagram (seperti biasa) hehe.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top