Ch. 19: Si Bayi Hilang

Ketukan di luar pintu kamar sangat menganggu. Bintang satu karena menyebabkan polusi suara, berisik banget, dan mengusik jam hibernasinya. Sengaja dibiarkan biar si penganggu menyerah, eh malah tetap terlarut-larut mengetuk pintu kamarnya. Entah orang mana yang lagi punya nyali gede pagi ini, menganggu hibernasi sang betina di hari rayanya.

Ughh ... Jiva mengerang jengkel. Kedua kaki dan tangan memukul-mukul kasur, melampiaskan semua emosi paginya. Muka bantalnya mulai bersunggut-sunggut marah bak banteng betina, menatap tajam sosok pemilik nyali gede yang telah menganggu jam tidurnya di hari Minggu. Dengan bringas dia meloncat turun dari kasur, mendekati pintu, dan siap-siap membuka benda penghalang tersebut untuk meluapkan sumpah serapahnya pada tamu tak diundang. Dia percaya diri bahwa penganggunya bukanlah salah satu dari penghuni kos-kosan. Setiap penghuni kos yang dia kenal, punya ciri khas mereka sendiri saat mengetuk pintu kamarnya, sementara tamu tak diundang ini enggak ada ciri khasnya.

“Anak setan lu, ya? Berisik tau gak!?” umpatnya sesaat menarik pintu ke dalam.

Si tamu tak diundang mengerjapkan mata tampak linglung. Tiba-tiba dapat dampratan, yang jelas dia kaget.

Meski sempat kaget lihat identitas si tamu tak diundang, Jiva tetap masih marah. Sorot tajam itu sewaktu-waktu bisa membelah tubuh si pria jadi dua bagian, kalau-kalau dia nekat membela diri atas tindakannya sekarang. Bah! Enak saja manis-manisin orang yang datang-datang tanpa undangan dan menganggu jam tidurnya di hari libur. Memang dia siapa? Presidenkah sampai harus diprioritaskan segala? Cih. Presiden lewat jalan raya pun Jiva abaikan apalagi manusia tak tahu malu ini.

“Hmm ... morning?”

“Morning morning pala kau peak?” sahutnya kesal bukan main lagi. “Tata kramanya ke mana, hah? Nyasar kemari kok sepagi ini. Gak ada urat malu, kah?”

Ryan meringis kecil agak menyesali kesembronoannya yang ngotot bertamu sepagi ini.

“Pulang. Pulang. Pulang,” Jiva langsung mengusirnya tanpa pikir panjang lagi, “pemilik kamarnya lagi gak butuh tamu.”

“Kok diusir? Gue udah jauh-jauh kemari, lho.”

“Gak ada yang nyuruh Kak Ry—” Refleks kepala Jiva celingukan ke kanan kiri, memastikan kalau belum ada penghuni kos yang berkeliaran di koridor pagi-pagi. Lalu menatap Ryan yang muncul di kos-kosannya lengkap dengan jaket dan topi, setidaknya orang ini muncul dalam keadaan tertutup. Pagi ini dia juga beruntung karena belum ada tanda-tanda kehidupan dari anak kos lain. Jiva mengelus-elus dada lega. Namun, tak bisa dipungkiri kalau dia masih jengkel sama Ryan, si perusak hari rayanya.

“Ngapain Kak Ryan ke sini lagi? Bukannya hari ini jadwal pulang, ya?” tanyanya pelan-pelan, menjaga suaranya agar tak mengebu-ebu seperti awal, agar tak ada penghuni kos yang terbangun gara-gara letupan emosinya. Walau romannya dia ingin memakan hidup-hidup manusia di hadapannya ini, lalu menyisahkan tulang-tulang miliknya untuk di buang ke bawah jembatan gantung dekat kosnya Gita sama Laras.

“Iya, jam tiga sore nanti harus udah stand by di bandara.”

“Terus?”

“Masih ada 7 sampai 8 jam buat jalan-jalan ke sini.”

“Jalan-jalan?” Dia mencemoohnya. “Emang taman safari jalan-jalan? Ini kos-kosan putri, ya, bukan taman safari. Masih pagi jangan ngelawak.”

Siapa coba yang lagi ngelawak? Ryan cuma bisa menyakinkan dirinya, sekali lagi, buat tetap sabar menghadapi keajaiban dunia bernama Jiva. Semenjak gadis ini mulai tak suka padanya, sifat malu-malunya itu berubah jadi berapi-api. Perbedaannya cukup besar. Namun, Ryan tak pernah memedulikan perbedaan tersebut.

Bila Jiva sudah tidak menyukainya, maka Ryan tinggal membuat dia menyukainya lagi. Problem solving selesai.

Tangan yang sedari awal membawa totebag ukuran sedang, kini terangkat ke depan. “Sama mau balikin hoodie kemarin. Lo bilang kalau gak gue balikin, lo bakalan ngutuk gue. Terus sekalian ada sedikit oleh-oleh.”

“Anak SD kali suka oleh-oleh.” Sekali lagi Jiva mencibirnya. Pokoknya semua kata yang keluar dari mulut Ryan bawaannya pengen Jiva cibir. Sulit baginya untuk bersikap santai, selain karena dia datang di waktu kurang tepat, dia juga masih mendendam tanpa sebab untuk masa lalu mereka. Walau alasannya no sense sama sekali. Berhubung Jiva memiliki dua jenis hati: hati malaikat dan iblis. Setelah melihat ketulusan dari sang vokalis band terkenal ini, Jiva tetap menerima dengan tangan terbuka totebag tersebut.

“Ya udah deh, masuk.” Kalau lama-lama dibiarin berdiri di luar kamar, bisa bahaya. Tapi sebelum sampai Ryan melangkah masuk, tangan Jiva menghalangi langkahnya duluan. “Mainnya jangan lama-lama. Walau ini hari libur, gue orangnya juga sibuk.” Maksudnya sibuk tidur.

Ryan tidak berjanji, tapi tetap mengiakan seraya berjalan masuk untuk kedua kalinya ke dalam kamar kos-kosan milik Jiva. Kemarin malam waktu pertama kali datang kemari, Ryan tak bisa mengamati isi kamarnya karena Jiva ternyata sudah memesankan dia taksi online terus mengusirnya agar segera angkat kaki. Kali ini dia bisa melihat-lihat isi kamarnya tanpa khawatir diusir lagi. Ternyata tak banyak benda mengisi kamar kos-kosannya. Layaknya kamar kos-kosan pada umumnya, ada rak buku; lemari pakaian; meja dan kursi belajar; dan sebuah minibar di atas meja kecil samping lemari pakaian—bawaan pribadi dari rumah. Kamarnya tergolong rapi untuk ukuran seorang gadis yang baru bangun tidur. Hanya ada sedikit barang berserekan di meja belajar dan dua potong pakaian yang dibiarkan menggantung di sandaran kursi.

Jiva meletakkan totebag di meja sambil menggerutu. Kalau ada tamu begini, dia enggak bisa balik tidur lagi, terus harus banget pergi mandi. Padahal, selama jadi anak rantau ini kadang-kadang di hari libur Jiva suka malas mandi pagi. Pasti tiap weekend dia cuma mandi sekali, entah pas sore atau malam tergantung niat.

Mau sejengkel apa pun sama si tamu tak diundang, sebagai perempuan yang suka setengah-setengah menjunjung tinggi kebersihan, pagi ini Jiva harus tetap pergi mandi biar kelihatan fresh, bau badan wangi, dan enggak kelihatan kucel banget.

“Kak Ryan jangan macem-macem selama gue mandi. Jangan juga asal berantakan isi kamar. Awas aja kalau sampai ada barang pindah tempat, gue aduin ke Bang Tata.”

Sayangnya, Jiva keburu masuk ke dalam kamar mandi yang ada di dalam kamar. Padahal, Ryan mau bilang kalau lebih baik dapat kutukan daripada diaduin ke Bian. Gawat urusannya kalau Bian sampai tahu Ryan datang ke kosan adiknya. Bisa-bisa sampai ibukota dia kena ulti atau skenario buruknya, kepala Ryan digantung di tiang bendera.

Walau Bian sering usil dan suka mengolok-olok saudaranya sendiri, dia tetap konsisten menjadi garda terdepan melindungi adiknya. Kayaknya sehabis pulang dari sini Ryan perlu menemui Bian buat sungkem. Dan semoga saja Jiva tidak benar-benar mengadukan kedatangannya ke Bian.

Ketika lagi enak-enaknya lihatin foto-foto Jiva bareng teman-temannya yang ditempelin di rak hias foto di atas meja belajar, sudut mata Ryan berpaling ke benda pipih yang barusan menyala memunculkan dua pop up notifikasi chat baru. Ryan tak sengaja mengintip isi chat dari kontak bernama “Kak Awan” dan tanpa sadar pula bibirnya mencibir ketika membaca isinya tanpa sengaja.

Sorry, Bro, hari ini milik gue,” ucapnya mengejek isi chat Awan yang mengucapkan selamat pagi lalu lanjut tentang rencana nonton bareng.

Berpikir secara matang-matang, cara supaya Jiva untuk hari ini saja enggak fokus main hape dan cara agar Jiva enggak baca isi chat si Awan. Ryan harus mencari cara agar kedua misinya itu sukses. Kali ini dia harus bertindak lebih agresif lagi apabila berharap ada kemajuan pada strategi ala-ala Ryan mendekati Jiva. Apa pun itu harus dia kerjakan sekarang sebelum gadis itu keluar dari kamar mandi.

Cara ini mungkin agak kekanak-kanakkan, tapi siapa peduli soal itu. Selagi menguntungkan baginya, maka dia tak mau peduli soal image. Dengan begini Ryan telah menyembunyikan smartphone Jiva ke bawah bantal, yang dia tetapkan akan selalu bersamanya selama beberapa jam nanti.

Pokoknya jangan sampai Jiva tahu ponselnya ada di dalam bantal.

• knock knock your heart •

Selesai mandi, keluar-keluar Jiva langsung dibuat kaget pas lihatin kamar kosong, Ryan tiba-tiba enggak ada di kamarnya. Lantas dia berlari keluar kamar saat menyadari pintunya dibiarkan sedikit terbuka. Matanya kontan melotot lebar saat menyaksikan punggung tegap pria besar itu yang kini membelakanginya, yang lagi ngobrol sama mas-mas si pengantar makanan, alias gofood.

“KAK RY—” Bibirnya terkatup rapat. Urung meneriaki namanya begitu sadar identitas Ryan sebenarnya. Jiva mengumpat, lagi-lagi Ryan berhasil membuat dia kesal. Hanya ada artis gila yang nekat keluar kamar dari kos-kosan putri tanpa pakai pelindung apa-apa untuk merahasiakan identitas aslinya. “Dasar orang tua ...!” Ia menggeram, mengepalkan kedua tangan sembari berjalan panjang menyusulnya.

Jiva perlu menunggu sebentar sampai si pengantar makanan benar-benar pergi. Sampai Ryan berbalik arah dan melangkah masuk ke kosan. Barulah kemudian dia berlari, meloncat ke arahnya dengan melemparkan handuk bekas rambut basahnya yang dibebetkan ke kepalanya guna menutupi Ryan. Tepatnya menutupi wajah—sialan—terkenalnya ini dari mata-mata penghuni kos.

“Ssst, jangan berisik!” omelnya, mengapit kepala Ryan yang dibebat pakai handuk bekas rambut Jiva yang habis shamponan. Jiva menyeretnya cepat-cepat untuk masuk lagi ke kamar.

Sulit untuk mendapatkan napas segar dari balutan handuk basah. Ryan hanya sanggup menepuk-nepuk punggung Jiva, minta tolong agar dia segera membebaskanya. Kalau kelamaan begini dia bisa mati beneran bersama kegagalan rencana kencannya itu.

Ryan segera membuang handuk dari kepalanya setelah Jiva melepas pitingan lehernya.

“Kak Ryan stress, ya, keluar kos-kosan gak pakai topi sama jaket? Gimana kalau ada yang foto terus nyebar fotonya ke akun gosip?”

Sukses mengambil napas segar sebanyak-banyaknya, Ryan terduduk lemas di tepi kasur. Bekapan Jiva barusan rasanya mirip kayak dia lagi mau diculik sama penculik gadungan. Bulu romanya bergidik ngeri, membayangkan nyawanya bisa diujung tanduk kalau sampai berani membuat gadis ini murka lagi. Bisa-bisa dia kena bebetan handuk lagi.

“Ya Tuhan ... Minggu ini kenapa gue harus marah-marah mulu, sih!?” gerutunya sambil memijat bagian atas keningnya. Sumber pemicu dari kemarahannya adalah orang ini, si Ryan Balakosa. Andai dia punya tenaga segede milik Ade Rai, Jiva berharap untuk sehari bisa menonjok Ryan sepuas-puasnya.

“Dia gak ngenalin gue kok. Makanya gue keluar.”

“Itu menurut Kak Ryan. Kalau dia cuma pura-pura gak kenal gimana? Masa gitu aja gak kepikiran.” Jiva berdecak tak habis pikir dengan pikiran pendek Ryan. Dia bukan artis kemarin sore, tapi pemahamannya masih sependek itu. Apa dia berpikir ketenarannya hanyalah kiasan dari nama belakangnya saja.

Daripada seharian dibuat marah-marah begini, lebih baik menyudahinya. Dia mendekati meja belajar sambil menggerutu, “Emang, ya, pikiran orang tua beda sama anak muda.”

Ryan fokus menatap Jiva yang kini tampak kebingungan saat mencari-cari hape di meja belajar. Mulai dari membolak-balikkan buku, membongkar isi tas, menarik laci di bawah meja, dan merogoh saku hoodie. Diam-diam Ryan menarik bantal tempat di mana dia menyimpan hape Jiva, segera menyembunyikan bantal tersebut di belakang punggungnya. Berpura-pura tak tahu, dia hanya menyaksikan Jiva yang sedang kesusahan mencari hape miliknya.

“Kak Ryan pernah lihat hape di sini gak?”

“Hape, ya? Hmm, gak. Gue gak lihat apa-apa di meja lo dari tadi,” kilahnya.

Jiva berhenti mencari. Memutar keras otaknya, mengingat-ingat lagi kapan terakhir kali dia meletakkan benda canggih tersebut. Tanpa mengucapkan apa-apa, dia berjalan keluar kamar. Samar-samar Ryan mendengar suaranya memanggil nama teman satu kos-kosannya. Karena tak ada balasan, tak lama dia balik lagi ke kamar dengan wajah kebingungan.

Melihat sorot bingung campur paniknya, membuat Ryan merasa bersalah. Hanya karena dia tak mau Jiva melihat chat si Awan, dia terpaksa bertindak kekanak-kanakkan.

“Btw, gue tadi beli sarapan,” ujarnya sambil menenteng bungkusan makanan yang dia beli.

Jiva mengibaskan tangan ke depan. “Sarapan nanti. Urusan hape lebih penting. Seingat gue semalam ada di meja. Kok sekarang gak ada. Aneh banget. Apa jangan-jangan diambil tuyul, ya?”

Anehnya, saat dia menyebutkan nama setan yang terkenal dengan kepala plontos itu, mata Jiva langsung mengarah ke arah Ryan. Ryan yang tertegun, spontan menelan saliva dengan was-was. Khawatir aksi kekanak-kanakan menyembunyikan hapenya ketahuan sekarang.

“Hm ... mungkin semalam hape lo dipinjam teman kosan terus lo lupa minta balik. Atau bisa juga lo lupa ninggalin hape di kamar teman lo,” ujarnya panik, beneran takut ketahuan.

“Kalau ketinggalan di kamar Mbak Anya pasti udah dibalikin duluan sebelum orangnya pergi.” Dia tadi keluar cuma mau cek ke kamar Anya, tapi ternyata orangnya lagi pergi. “Jangan-jangan Kak Ryan lagi yang ambil hapenya.”

DEG!

Ryan mencoba semaksimal mungkin agar tak menunjukkan wajah panik. “Kurang kerjaan banget gue ngambil hape lo.”

“Siapa tahu Kak Ryan ngambil hape gue buat buka blokiran akunnya,” sindirnya.

Sebelumnya dia sempat kepikiran begitu, mau buka blokiran akun sempaksuperman sebelum lihat chat si Awan. Tapi bagaimana caranya kalau hape Jiva pakai sistem brankas.

“Iya, kan? Ngaku sekarang!?”

“Ya, ya, enggaklah! Ngaco banget.” Ayo, tenang, tenang. Ryan menyuruh dirinya agar tetap tenang, stay cool, jangan sampai grogi walau tebakannya nyaris benar bahwa dialah dalang yang mengambil hape Jiva namun dengan alasan berbeda. “Daripada pagi-pagi ngeributin hape yang gak tahu ke mana itu, mending lo duduk. Sarapan dulu biar lo punya tenaga lebih buat ngomel-ngomel.”

“Kak Ryan, hape itu udah kayak bayi gue sendiri. Kalau bayi gue hilang, otomatis separuh hidup gue juga hilang.”

“Dan gue nggak ngambil bayi lo, oke?” sahutnya sambil berdiri dari kasur mendekati. Ryan mencengkram pundak Jiva, mendorongnya pelan agar mau duduk anteng di kursi belajar. “Gue di sini tamu. Tolong, setidaknya hargai usaha gue buat ngerawat lo.”

“Pffft—dokter kah sampai ngerawat gue segala?”

“Jiva.”

Jiva mendongak, membalas tatapan setengah mengancamnya itu. “Sarapan dulu. Isi tenaga lo buat ngomelin gue sepuas lo nanti.”

“Gak mau. Bayi gue belum ketemu.” Sayangnya, Ryan tak mengizinkan dia untuk bangkit sesenti pun dari kursinya. Dia menahan tubuhnya agar tetap duduk di kursi.

“Ntar gue beliin hape baru lagi kalau yang lama gak ketemu.”

Dia mencibir. “Mentang-mentang orang tua duit banyak. Cih. Jangan sombong.”

Ryan tak segera menimpali. Mengalihkan sindirannya dengan menatakan makanan yang dia beli lewat jasa gofood ke atas meja. Tentu setelah dia meyingkirkan buku-buku yang bertumpukan tadi.

“Sarapan dulu sebelum lanjut ngomel-ngomel,” katanya.

Isi perut Jiva langsung berbunyi minta diperhatikan saat melihat menu makanan yang tertata rapi di depan matanya. Makanan enak, ada ayam besar kesukaannya lagi. Dia lantas menoleh lagi menatap Ryan. “Kak Ryan sendiri gak sarapan?”

“Gue udah sarapan di hotel.”

“Masa?”

Ryan mengiakan; Jiva sedikit kurang percaya. Dan tahu-tahu dia berhasil berdiri dari kursi lolos dari perhatian Ryan. Pergi mengambil meja kecil belajar yang biasa dia pakai untuk tataan laptop di atas kasur. Menata meja tersebut di atas karpet lantai, lalu memindahkan semua makanan ke atas sana.

“Kalau Kak Ryan gak mau kena bogem sekarang, mending nurut aja nemenin gue sarapan. Cepat duduk di situ,” ucapnya memberi perintah agar Ryan duduk di atas karpet lantai bulu warna merah.

Ancamannya cukup seram seiring pelototan tajam matanya. Ryan menurut saja duduk di tempat yang ditunjuk. Sambil mengawasi gadis yang kini duduk di hadapannya.

“Kak Ryan bilang gue harus isi tenaga dulu buat ngomel-ngomel nanti. Berarti Kak Ryan juga harus ngisi tenaga lagi buat terima semua omelan gue.” Jiva menarik tangan Ryan, menyerahkan satu sendok bersih ke dalam genggamannya. “Tapi Kak Ryan jangan anggap ini hal romantis, ya. Gue cuma merasa kasihan sama Kak Ryan yang lihatin gue sarapan,” lanjutnya sambil menyeringai jahil.

Ryan tersenyum geli hingga tangannya refleks mengacak kepala Jiva lantaran gemas.

“Ish, orang tua. Gue tau gue itu gemesin, tapi gak usah acak-acak kepala anak muda dong.”

“Hahaha.”

Derainya timbul bunyi. Mengisi keramaian kamar berukuran 3x4 meter ini. Jiva mendengus kesal menyaksikan dirinya sedang ditertawakan. Hingga timbul kemauan untuk membalas Ryan dengan mengacak-acak rambutnya.

“Wleekk ... sekarang impas!” ucapnya, sempat-sempatnya gadis itu menjulurkan lidah untuk meledak pria di depannya.

Ryan bergumam, “Lucu banget.”

Jiva yang mendengar gumamannya lantas menjulurkan lidah lagi bersama ekspresi wajah yang sengaja dibuat jelek, sedang Ryan melempar senyum untuk membalasnya.

Masa gak tahu polusi suara 😵 btw aku gagal bikin konsep pilihan alur 😩😭😭😭😭 niatnya dari awal kan mau ala-ala kayak game virtual simulasi gitu 🫂 huhuhu

Ternyata udah part 19 hoho tp ceritanya masih panjang dan aku kangen bian wkwkwk

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top