Ch. 16: Ryan Balakosa
Apa-apaan ini? Gimana ceritanya dia bisa ada di sini? Di antara puluhan kursi yang tersedia di bus, kenapa mesti duduk di kursi yang ini? Ugh! Yang ngatur tempat duduknya jadi begini beneran sinting—fix, si penulis yang sinting.
Wajahnya berpaling ke arah kaca jendela bus. Ia mengigit bibirnya bagian dalam, sementara kakinya yang tak sanggup diam dengan tenang terus bergerak-gerak gelisah. Coba ingat-ingat lagi alasan mengapa dia bisa duduk sebelahan sama Ryan Balakosa.
Awalnya Jiva bersama Danang. Mereka asyik ngobrol bareng dari pertama ketemu sampai lupa bantu angkut-angkut barang bawaan tim The Bastard ke dalam bus—tepatnya Danang melarang Jiva bekerja. Lalu perjalanan dari bandara ke hotel penginapan mereka masih bareng, duduk sebelahan juga—Jiva sampai tak punya kesempatan duduk di sebelah timnya sendiri berkat larangan Danang. Sesekali Evan join ke obrolan, tapi lebih sering Danang yang banyak omong. Sampai Jiva bingung merespon semua obrolan Danang yang lebih cocok disebut sesi tanya jawab.
Kearabkan mereka, justru membuatnya merasa tak enak hati sama timnya sendiri. Kesannya kayak kacang lupa kulit. Hanya karena kenal artis ibukota, dia sampai enggak mau bergaul lagi bareng timnya. Beruntung orang-orang itu terkesan tak begitu peduli, malahan merasa lega karena dengan demikian pihaknya enggak perlu repot-repot cari muka ke artis—dalam konotasi positif. Lalu entah dapat bisikan dari mana, tiba-tiba Ryan mencoleknya, menyuruh Jiva pindah kursi di sebelahnya yang kebetulan kosong.
“Daripada lo dibacotin Danang, mending pindah duduk sini aja,” katanya.
Jiva kemudian pindah kursi. Tanpa drama penolakan atau sok-sokan jual mahal. Dia segera angkat kaki saat itu juga setelah dapat tawaran. Saking jenuhnya dengerin bacotan Danang yang enggak habis-habisnya itu. Danang tentu jadi heboh sendiri dan langsung menggoda Jiva. Pakai bawa-bawa perasaan masa lalunya yang membuat gadis itu menjerit histeris sambil berusaha membungkam mulut itu.
Dari situ semua berakhir begini. Ternyata bukan penulis yang sinting, melainkan Jiva sendiri yang sinting. Mau-maunya terima tawaran Ryan buat duduk di sebelahnya.
Arghhh ... Jiva goblok!
Dengan ragu-ragu dia melirik Ryan. Beneran deh, dia enggak punya muka. Setelah semua omong kosong yang dia lontarkan, kutukan online, keangkuhan dalam balasan, dan ejekan nama untuknya, yang dia pikir mereka enggak akan pernah ketemu lagi dan makanya, kemarin-kemarin Jiva berulah seenak jidatnya terhadap pria ini. Realita justru berkebalikan dari firasatnya.
Huft ...!
Mungkin malunya sudah ada di maluku sekarang.
“Jiv.”
Ya Tuhan. Mengapa dia harus diberkati dengan kelakuan konyol bin ajaib ini? Mengapa sulit baginya mendapat berkah sebagai cewek anggun yang selalu jaga image sekalipun di depan mantan crush? Astaga, Kama Jiva Dewari. Kayaknya lo kebanyakan dosa di masa lalu, makanya enggak bisa hidup dengan damai di masa depan.
“Jiva.”
“Hah. Ya, apa?” sahutnya gelagapan menoleh, menatap lurus ke mata pria yang memanggilnya barusan.
Derai tawa seseorang menarik perhatian Jiva dari orang sebelahnya, ia pun berpaling ke penghuni kursi di sebrang. “Gak usah gerogi gitu duduk bareng—”
“STOOOOP ...!” teriaknya dengan tangan terulur ke depan, melewati badan Ryan, memberi peringatan Danang yang hampir mau bongkar rahasi masa lalunya. “Kak Danang, tolong, ya, jangan bicara lagi omong kosong. Gue lagi gak mau dengerin suara rakyat. Pencemaran suara ngerti gak?”
Bukannya tutup mulut, Danang malah terbahak-bahak. Suara rakyat? Pencemaran suara? Akal bicaranya itu benar-benar tak ada tandingannya. Danang lantas bicara lagi, tapi bukan sama Jiva. Melainkan tengah mengadu ke ponselnya. “Adik lo bener-bener, ya, Ta. Masih aja kelakuannya ajaib.”
“Eh? Ada abang Jiva?” tanyanya mencari asal suara dari laki-laki yang sangat akrab di telinganya.
Danang memutar arah ponselnya menghadap Jiva. Ternyata suara yang dia dengar barusan memang bener milik abangnya. Melihat wajah Bian memenuhi layar ponsel Danang, Jiva spontan menjulurkan badannya ke arah kursi Danang yang ada di sebrang persis barisan kursinya.
“ABANGGG ...!” panggilnya heboh melihat Bian lagi pada hari ini. Tiap pagi sebelum berangkat kuliah biasanya Jiva suka iseng-iseng vidcall Bian cuma buat ganggu jam tidur saudaranya. Kebiasaan itu mulai muncul sejak mereka hidup berjauhan. “Abang, tolongin Jiva. Jiva lagi diculik sama temannya.”
“Yang ada penculiknya kapok nyulik lo, Dek.”
Danang tersedak oleh tawanya mendengar balasan Bian yant terkesan acuh tak acuh, membuat ponsel yang lagi dipegang ikut bergetar.
“Abang kandung atau abang tiri, sih? Jahat amat!”
“Nah, lo, adik kandung atau adik tiri gue?” balas Bian membalikkan pertanyaannya.
Jiva melotot sebal. “Gue adik tetangga lo. Adiknya Bang Ajun. Puas? Sekarang marahin teman lo biar gak bikin gue malu.”
Sementara Bian berdecak keras. “Bisa-bisanya gue punya adik kayak lo.”
“Mau tukeran adik gak, Ta?” timpal Danang. “Adik gue udah masuk TK gede. Udah bisa lo suruh-suruh beli ke warung. Atau mau lo jadiin babu juga bisa.”
“Lo tuh ada dendam apa sama adik lo, Nang?” tanya Evan bingung sama kelakuan Danang yang suka banget promosiin adiknya buat ditukerin sama adik temannya.
“Mungkin adiknya Kak Danang gak selucu Jiva,” sahut Jiva dengan muka polos tak berdosa itu.
Refleks Bian pura-pura mau muntah. “Yang ada amit-amit,” balasnya.
“Cuma Abang yang bilang amit-amit. Padahal, Abang lebih amit-amit. Emang, ya, selera orangtua selalu beda.”
“Buset. Orang tua. Hahaha.” Sekali lagi Jiva dan banyolannya itu sukses mengocok isi perut Danang yang kini terpingkal-pingkal.
Sementara Jiva masih adu konfrontasi bareng Bian, Ryan di sebelah hanya diam menyimak. Reaksinya tak jauh beda dari orang-orang di bus saat mendengar banyolan Jiva buat Bian. Dia akan tersenyum jika gadis ini mulai membual kata-kata konyol untuk membalas omongan saudaranya. Dia juga bertindak cepat untuk melindungi kepala Jiva dengan tangannya ini, agar tak sakit saat menghantam punggung kursi depan kursi mereka ketika bus goyang gara-gara lewat jalanan yang kurang baik.
Posisi duduk Jiva setengah badan menjulur ke samping, ke kursi sebrang sehingga melewati tempatnya, membuat Ryan tak bisa bergerak bebas. Inilah mengapa dia selalu diam tak ikut campur dalam obrolan walau Bian dan Danang sering bawa-bawa namanya. Cuma kedua tangannya yang bisa gerak bebas, yang kini melindungi kepala gadis tersebut.
Selesai berdebat, Jiva lantas memperbaiki posisi duduknya. Sepasang tangannya terlipat di depan dada dan mulut itu aktif ngomel-ngomel. Melontarkan sumpah serapah untuk Bian. Ryan terkekeh geli selama mengamati diam-diam dari samping.
Setelah setengah jam melakukan perjalanan dari bandara ke hotel, rombongan mereka akhirnya tiba di tempat tujuan. Bus berhenti di depan bangunan mewah bernama Nirvana Hotel. Satu-satunya hotel paling bagus yang lokasinya lumayan dekat dari Universitas Pendawa. Satu per satu kru mulai berdiri, bergilir keluar dari bus sambil bergotong royong menurunkan barang bawaan.
Jiva masih menunggu gilirannya keluar. Duduk di pojok dekat jendela, membuatnya terjebak beberapa saat di kursi. Ryan sendiri tak kunjung segera mengangkat pantatnya dari kursi, padahal selalu ada kesempatan baginya untuk keluar menyusul lainnya.
“Kak Ryan, buruan!” Tak ada lagi panggilan Kak Ian yang dulu, adanya sekarang hanyalah Kak Ryan.
“Ntar.”
Jiva berusaha tetap sabar menunggu walau ketukan sepatunya mulai terdengar tak sabaran lagi. “Kak Ryan.”
Ryan bergeming. Hanya mengulangi jawaban sebelumnya. Jiva semakin dibuat kesal. Jelas-jelas koridor sepi, dia bisa lewat sekarang, tapi dia bergeming dan memilih tetap duduk di kursinya dengan anteng.
“Buruan berdiri. Udah kosong—”
“Unblock dulu.” Ryan kemudian berbalik menghadap Jiva yang sekarang kelihatan binging. “Unblock dulu. Habis itu gue berdiri.”
“Apanya yang diunblock?”
“Instagram.”
Instagram? Ah, iya, dia baru ingat kalau akun sempaksuperman kena block akun sempakbatman. Dan dialah pemilik akun tersebut. “Gak mau. Ntar kena spam.”
“Berarti gak mau keluar?”
“Tetap maulah.”
“Berarti unblock dulu.”
Akun sempaksuperman memang sengaja dia block beberapa waktu lalu. Habisan siapa suruh bikin dia gedek sama spam chat tengah malam.
“Buruan berdiri gak?”
Ryan menggeleng dengan mantap. Menolak permintaannya yang semakin membuat gadis itu jengkel. Tambah kesal lagi ketika dia melihat senyuman miring tersemat di bibir Ryan. Yang benar saja astaga dia dapat ejekan darinya. Jiva tak terima!
“Cupu, huuu ...!” Jiva yang enggak mau kalah langsung balas mengejek Ryan. “Ih, apaan mainnya ngancem. Gak elit banget. Badan gede, tapi gaya gak elit. Cih! Malu atuh, sama otot di badan.”
Langsung dah, kena ulti. Ryan sampai tertohok. Enggak habis pikir kalau akan dapat balasan demikian darinya. Huh! Lagian apa yang perlu dia pikirkan kalau lawan bicaranya itu adiknya Bian? Ryan segera mengontrol ekspresi di wajahnya agar Jiva tak sadar kalau ejekannya barusan tepat sasaran.
“Ya udah, kalau gak mau berdiri gue bisa berdiri sendiri,” ucapnya sudah berdiri dari kursi.
Ryan mendongak, menunggu apa yang mau dilakukan gadis ini di posisinya sekarang. “Eeeh, Jivaaa!” Namun, langsung dibuat panik oleh aksi nekatnya itu. Serentak dia bangkit dari kursi dan mencengkram pinggang si gadis nekat ini, menahannya yang barusan mau nekat naik melewati kursi kosong depan kursinya. “Bener-bener lo ....”
“Benar-benar apa? Makanya buruan berdiri. Gue mau lewat. Kak Ryan gak usah ngancem-ngancem segala. Ntar gue kutuk lagi sampai sepuluh keturunan Kak Ryan. Masih mau, hah?”
Coba hitung sudah berapa kali lo ngutuk gue? Ryan mendesah pasrah. Menyerah selalu jadi pilihan terbaik. Kalau dia tetap main-main, gadis ini bakalan nekat naik kursi depannya itu. Untuk siapa pun yang memulai duluan, pada akhirnya Ryan juga yang kalah melawan Jiva.
Ryan melepas cengkraman pinggangnya. Perlahan berjalan menyingkir, memberi akses keluar si gadis yang terus memberinya tatapan tajam. Deathglare itu otomatis menyebabkan Ryan mengangkat kedua tangan ke udara, tanda bahwa dia sudah menyerah.
Setelah berhasil melewatinya, cepat-cepat Jiva lari mendekati pintu keluar bus. Dia berbalik sebentar menghadap Ryan untuk sekadar menjulurkan lidah. Mengejek laki-laki itu sekali lagi sebelum mau kabur. Naasnya, Jiva langsung kena karma instan. Saat mau mau kabur, pandangannya tak fokus lihat ke depan jadi kepalanya tanpa sengaja mencium besi pembatas pintu bus.
Bunyi benturannya terdengar keras. Ryan nyaris mau loncat ke depan menolongnya. Lalu urung ketika gadis itu berbalik lagi ke arahnya sambil menyentuh dahinya. Dia terlihat kesal sekali, cemberut, dan mengutuk Ryan seperti biasa. Seolah insiden barusan merupakan salahnya. Yeah, women always right. Walaupun si laki-laki tidak berbuat apa-apa, hanya berdiri menyaksikan, tetap dia juga yang kena.
“Wleeeek ...!” Sekali lagi, Jiva menjulurkan lidah, mengejak Ryan, sebelum berlari turun dari bus untuk kabur.
Tawa Ryan akhirnya meledak juga setelah menahannya beberapa waktu. Semua gara-gara ulah Jiva. Setiap ucapan dan kelakuan gadis itu masih tetap menghibur Ryan. Tidak ada yang berubah sifatnya. Jiva masihlah orang yang sama seperti dulu.
“Pelet adik lo bener-bener manjur, Ta,” gumam Ryan, heran sama diri sendiri kok bisa naksir sama adiknya Bian. Perasaan dulu dia biasa saja setiap ketemu Jiva, sama sekali enggak ada indikasi jatuh cinta, walau sering dibuat geli oleh kelakuannya itu. Lalu kini keadaan telah berubah. Apa pun perbuatan Jiva, afeksinya terasa begitu nyata terhadap Ryan. Indikasi itu telah timbul di dirinya dan Ryan tak bisa menolak keberadaannya.
Hidup ternyata semenarik ini. Siapa yang mengira beberapa tahun kemudian Ryan akan naksir Jiva.
• knock knock your heart •
“Padahal acaranya nanti malam. Tapi yang datang siang ini, gila, banyak banget. Pesona anggota The Bastard emang gak main-main, ya!” Gita dan lainnya masih tak percaya dengan keantusiasan penonton yang siang ini sudah berkumpul di luar area konser demi menyaksikan langsung soundcheck dari band The Bastard.
Dengan keantusiasan yang tiba-tiba membludak dari siang tadi, kru dari dies natalis segera bertindak cepat mengatasinya. Terutama dari mahasiswa kesatuan keamanan kampus segera membentuk barisan penjagaan di depan garis pembatas area konser, agar tak ada penonton yang nekat masuk sebelum pintu area dibuka. Bagian tiket sampai kewalahan melayani penjualan tiket konser di tempat. Sejak berita The Bastard melakukan soundcheck sendiri beredar dari mulut ke mulut mahasiswa, jumlah pengunjung konser siang ini lalu membludak. Orang-orang yang penasaran saling berbondong-bondong datang ke tempat konser. Pengaruh kemunculan anggota The Bastard saat sesi soundcheck benar-benar di luar ekspektasi kru dies natalis, terutama anggota BEM.
Mereka paham The Bastard merupakan salah satu band nasional yang terkenal selama beberapa tahun ini. Saking terkenalnya The Bastard sampai membuat mereka nyaris kewalahan meredam keantusian massa selama sesi soundcheck. Tahun kemarin kampus mengundang artis sama terkenalnya seperti The Bastard, malah lebih terkenal dulu dan masih eksis hingga kini, tapi selama soundcheck jumlah penontonnya tak seheboh tahun ini. Mereka syok, kewalahan, sekaligus senang melihat antusiasme para penonton konser nanti malam.
Gita tiba-tiba menyikut lengan Jiva. “Beruntung banget lo bisa kenal anggota The Bastard.”
Jiva menghela napas. Mendadak bosan dengerin kalimat itu lagi. Nyaris dari kemarin dia selalu dapat pujian dari kru yang menganggapnya orang paling beruntung di dunia karena bisa kenal anggota The Bastard. Lagi jalan sebentar di koridor kampus, lalu ketemu kru dies natalis, langkahnya pasti langsung dicegah cuma buat ditanyain berita di kalangan kru soal “Jiva kenal anggota The Bastard”. Terus dapat pujian sama yang mulai terdengar membosankan, yang selalu diakhiri dengan kalimat, “Bisa dong, ngenalin kita ke anggota The Bastard?”
Sedang jawaban Jiva selalu sama, “Maaf, bukan biro kenalan. Kalau mau, kenalan sendiri. No asking and thanks.” Penolakan langsung darinya membuahkan hasil Jiva dicap sebagai orang sombong, hanya karena menolak tawaran mereka. Tak sedikit orang mulai mengolok-olok sikap blak-blakannya itu di belakang. Jiva jelas tahu dan tak mau peduli. Dia ngomong apa adanya, orang-orang itu saja tak suka ditolak.
Bahkan dua temannya sendiri, Gita sama Laras, dia tolak permintaannya buat dikenalin ke anggota The Bastard. Ada-ada saja. Tahun modern kok masih saja butuh biro kenalan. Sekarang kan jamannya independent.
“Harusnya lo bilang ke kita-kita kalau kenal mereka, Jiv.” Ngapain bilang-bilang kalau dia kenal anggota The Bastard. Untung baginya juga enggak, yang ada malah rugi. “Terus juga, lo kenal mereka. Napa malah jadi hatersnya Ryan Balakosa?”
“Cintanya pernah ditolak kali,” timpal Laras ngawur.
“Gue ditolak sempak superman? Mutahil! Yang ada gue nolak dia nanti,” jawab Jiva dengan nada mencemooh.
Gita mencibir diikuti Laras yang hanya tertawa. “Sombongnya minta ampun.”
“Jadi sombong itu perlu tau! Lagian Laras ngaco banget, yakali, gue suka om-om. Minimal kalau mau jadi pacar gue itu harus kayak Mas Arifin.”
“Si Arifin lagi.” Laras terheran-heran. “Lo lagi didektin Mas Awan, tapi masih aja si Arifin yang disebut.”
“Baru dideketin belum ada apa-apa. Sementara pilihan tetap Mas Arif. Kemarin gue berhasil ngobrol berdua sama Mas Arif. Kesempatan gue buat deket-deket dia kayaknya masih ada. Hahaha.” Jiva mulai tertawa-tawa sendiri seperti orang gila sedang dimabuk kasmaran. Memang benar kemarin dia dapat kesempatan ngobrol berdua sama Arif. Itu pun gara-gara Arif nanya Jiva soal berita dia kenal anggota The Bastard. Dari situlah mereka ngobrol bareng. Dan khusus buat Arif juga, Jiva langsung mengiakan saat diminta buat bantu Arif foto bareng The Bastard di backstage nanti malam.
Dasar pilih kasih!
“Oiya, Git. Lo jangan ke mana-mana setelah ini.”
“Kenapa?” tanya Gita.
“Lo tuh, sumber keberuntungan gue. Gara-gara lo, gue bisa ngobrol bareng Mas Arif kemarin. Hehe. Makanya jangan jauh-jauh, ntar gue nyesel lagi gak ikut lo.”
“Najis. Gue masih normal kali.”
Jiva sontak menatapnya dengan skeptis. “Dih? Siapa juga yang naksir lo. Amit-amit.”
Ujung-ujungnya Gita juga pergi saat dipanggil seniornya buat ikut bantu jaga loket tiket. Laras tak lama menyusul ikut pergi meninggalkan Jiva sendiri, berdiri dengan punggung menyandar pembatas area konser tepat di depan panggung. Dia enggak ada kegiatan lain, selain nonton The Bastard soundcheck di atas panggung. Semenjak mereka bertiga memutuskan untuk memilih Jiva sebagai pihak dari kampus yang akan mengawasinya, dia jadi tak bisa berkeliaran bebas dari group band ini.
Jiva mendengus. Mengawasi apanya? Yang ada malah dia yang diawasi. Cih! Dia kesal karena dari kemarin harus berurusan sama The Bastard. Terutama sama vokalisnya itu, Ryan Balakosa, yang selalu punya cara untuk menganggunya. Ternyata keisengan Ryan melebihi isengnya Danang, cuma Evan yang tetap tenang dan tak pernah usil. Jiva sampai curiga Ryan dan Evan sedang bertukar badan, tapi keisengan Ryan hanya muncul ketika tak banyak orang melihat.
Kekesalannya mulai mereda ketika dia menoleh dan mendapati kamera Awan terarah padanya. Jiva sontak melemparkan senyum; Awan segera mengambil gambarnya. Selesai memotret Jiva dengan lensa kameranya, Awan lalu menyusulnya. Hanya untuk memberikan topi yang dia kenakan ke kepala gadis tersebut.
Jiva mendongak selama topi itu berpindah ke atas kepalanya. Perlahan atensinya turun memandangi senyum pemuda di hadapannya ini.
“Talk less do more, ya, Mas?”
Awan tersentak sesaat mendengar itu, lalu tertawa seiring anggukan kepalanya.
“Padahal, Mas Awan lebih butuh topinya daripada aku.” Awan lebih sering keliling untuk mengambil gambar, belum lagi nanti ikut bantu sana-sini. Sedang Jiva hanya menunggu sang artis selesai melakukan soundcheck sebelum sibuk mengikuti mereka kembali ke hotel.
“Gak papa. Justru kamu yang pakai kelihatan keren.”
“Kalau gak keren, gak mungkin Mas Awan naksir.”
Lagi-lagi gadis ini sukses membuat Lawana Mahasura terkejut oleh ucapannya yang suka blak-blakan itu. Awan seketika melangkah mundur, dengan kedua tangan terangkat tanda menyerah seiring senyum di bibir yang tak mereda. “Oke. Saya menyerah dan siap mengundurkan diri.”
“Payah. Baru strike satu langsung nyerah.”
“Kayaknya remidi lagi. Haha. Belajarnya masih belum seratus persen ini.”
“Makanya kalau lagi belajar itu serius, jangan setengah-setengah,” lanjutnya. “Mas Awan beneran mau pergi lagi?”
“Maunya sih stay, tapi masih banyak yang harus difoto.” Perlahan pun dia mulai melangkah bersiap-siap mau pergi. “Jiva,” panggilnya kemudian.
“Iya.”
“Ayo, lusa nanti kita ngedate nonton film berdua.”
Jiva tertegun oleh cara Awan mengajaknya ngedate nonton secara blak-blakan di tempat umum. Di mana akan ada orang di sekitar mereka yang dapat mendengar ajakannya itu. Namun, alih-alih malu, Jiva justru terkekeh dan tanpa pikir panjang menerima ajakan Awan.
“Yang barusan juga remidi, ya!” lanjutnya lagi, sebelum Awan benar-benar hilang dari pandangannya.
Begitu Awan sudah menjauh dari radarnya, Jiva lalu balik lagi fokus ke depan. Saat mendongak netranya tak sengaja menangkap perhatian Ryan dari atas panggung. Sehingga kini mereka berdua saling bertukar pandang. Kemudian Jiva menjulurkan lidah ke Ryan dengan ekspresi wajah yang sengaja dibuat-buat jelek, mengejek pria dewasa itu seperti biasa.
Ryan tersenyum geli melihatnya. “Lucu banget,” gumamnya.
Hehehe akhirnya update lagi! 🔥🔥🔥
Oiya ada dua pilihan untuk next chapter. Siapa yang bakalan nganterin Jiva pulang di chapter 17 besok. Silahkan pilih:
1. Tim persempakan (Ryan-Jiva)
2. Tim Ava (Awan-Jiva)
Pilah pilih silakan. Sampai jam 00.00 WIB. Pilihan ini akan memengaruhi alur cerita wkwk 🥸
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top