Ch. 15: Sat set sat set, nih?
Lawana Mahasura atau biasa dipanggil Awan ini tipikal laki-laki yang suka ngajak bercanda, tapi di balik candaannya itu dia orang serius penuh percaya diri. Orang yang akan maju duluan untuk mengambil kesempatan di depan mata selama dia mampu. Buang-buang waktu bukanlah gayanya.
Maka ketika gadis yang belakang ini sedang dicari-cari menghampirinya sendiri, Awan segera melangkah untuk mengambil kesempatan tersebut.
“Kenalan?” Si gadis linglung. Tiba-tiba diajak kenalan sama laki-laki yang baru ditemui, siapa coba yang enggak jadi linglung. “Boleh—eh, enggak! Enggak, enggak gitu maksudnya ....” Dia yang gugup bicara ngawur. Lantas menoleh belakang mencari-cari eksistensi dua temannya yang berdiri tak jauh di sana memunggunginya dengan sorot mata kesal.
Kesal bukan main! Kenapa sih, mereka nyuruh dia buat nyamperin orang ini dengan persiapan seadanya. Terus lelucon takdir macam apa ini? Kenapa juga korban salah sasarannya harus bernama Lawana Mahasura, yang Laras sebut si pengirim fotonya di akun upcantik.
Kekehan Awan menyadarkan lamunannya. Jiva berpaling lagi ke arahnya. Berdehem sesaat sembari mengontrol wajah linglung bercampur kagetnya itu. Membalas tatapan lurus Awan yang sarat akan kejenakaan. Jiva akui, Awan memang keren, ganteng juga iya—Arifin ada diurutan kedua apabila dua laki-laki itu dibandingin. Ketika dia tersenyum kharismanya ikut bertambah dua kali lipat. Jiva memendam kecurigaan bahwa acapkali Lawana Mahasura tersenyum, semua perhatian akan tertuju padanya.
Jiva bahkan sampai tertegun, hilang fokus gara-gara lihatin senyuman mautnya itu.
Kepala Awan sedikit miring, menatap geli wajah melamun itu. Iseng-iseng tangannya mengibas di depan wajah Jiva. “Hallo?” sapanya tetap tersenyum.
Jiva mengerjapkan mata. Lagi-lagi kaget sama reaksinya sendiri. Refleks dia berbalik memunggungi Awan. Gadis itu mengutuk diri sendiri yang sempat-sempatnya ikut bengong di depan cowok yang pernah dia sebut biasa-biasa saja dalam perbedatannya bersama Gita. Dapat dibayangkan Gita lagi mentertawakan dirinya di sana.
Di luar rencana! Jiva melontarkan tatapan tajam ke arah punggung dua temannya itu yang masih bersikap seolah tidak lihat apa-apa, bersumpah serapah akan mendiamkan mereka sesudah ini. Gara-gara mereka Jiva jadi terjebak dalam situasi ambigu ini.
“Jiva?”
Punggungnya menegang berkat panggilannya. Namun, pula dahinya mengernyit penasaran. Jiva lantas menepuk jidat, berbalik lagi, lalu tertawa hambar. “Haha. Iya. Iya. Boleh, boleh.” Sontak dia diam, menatap bertanya-tanya Awan ketika teringat sesuatu. “Lah kok ... udah tau namanya? Dari mana?” Jiva setengah heran; setengahnya lagi mulai mencurigainya. “Mas Awan ini pasti suka cari informasi orang, ya? Ckck. People nowdays mau ngajak kenalan, tapi udah tau namanya duluan. Sangat sangat tidak anggunly.”
“Anggunly?” Awan tersenyum geli. Enggak lucu-lucu banget sih, tapi entah kenapa dia langsung tersenyum geli dengerinnya. Mungkin gara-gara ekspresi cewek bernama Jiva ini yang terlihat begitu ekspresif. Apalagi ketika Jiva mencebikkan bibir, meremehkan Awan yang enggak sengaja memberitahunya kalau dia sudah tahu namanya. Di mata Awan reaksinya itu sangat lucu.
“Remidi, remidi. Mending Mas Awan belajar lagi sama orang profesional,” ucapnya sudah lupa sama kelakuan bengongnya tadi.
Kali ini Awan tertawa. Sangat unik. Baru kali ini ada cewek mau diajak kenalan malah nyuruh dia belajar lagi. Yang lebih lucu lagi cara dia memanggil nama Awan terdengar santai, tidak canggung, padahal baru kali ini mereka ketemu dan saling bicara.
“Sayang banget, ya, remidi.” Awan menahan tawanya selama membalas. “Tapi masih boleh kenalan gak walau hasil yang pertama remidi?”
“Nope!” jawabnya sambil geleng-geleng percaya diri. “Harus belajar lagi sama orang profesional. Masa gitu aja mahasiswa gak tahu—eh, ampun, malah ngawur. Mas Awan ini gimana sih, kan aku ke sini bukan mau ngajakin stand up comedy!”
Lagi dan lagi, dia membuatnya terhibur.
Jiva memutar bola mata. Sebal sendiri. Ah, salahnya juga kenapa malah bahas masalah lain. Rencana dia waktu dipaksa nyamperin Awan ke sini sama Gita dan Laras cuma buat minta maaf bukan malah ngajakin komedian.
“Jangan ketawa lagi Mas Awan. Kali ini tolong dijawab serius, usahakan jangan remidi lagi,” ujarnya tetap saja diselingi banyolannya. Jiva menarik perhatian ke kepala Awan—tepatnya di jidat kemerah-merahan bekas timpukan buku paket kuliahnya. Dia meringis merasa bersalah lagi. Gara-gara kecerobohannya waktu di tangga main asal lempar buku paket, orang lain yang harus menderita. “Sorry banget, ya, Mas Awan buat yang ditangga tadi. Masih sakit gak itu?”
Tangan Awan terangkat menyentuh bekas luka yang didapat waktu turun dari tangga. Sakitnya masih terasa apalagi kalau disentuh soalnya dia kena bagian ujung buku. Tapi Awan menggeleng sebagai balasannya. “Gak kok. Udah baikan.”
“Beneran gak?”
Dia hanya mengiakan dengan anggukannya.
Jiva masih memandangi bekas luka itu. Rautnya benar-benar sarat akan rasa penyesalan.
“Omong-omong, tadi kenapa kamu mesti kabur? Padahal, aku gak bakalan nuntut, lho.”
“Eh, itu ....” Dia yang ragu-ragu hanya meringis kecil. Alasannya langsung kabur tentu saja dia malu. Malu banget sumpah! Jiva tetap meringis, enggan menjelaskan. “Oh ya! Ini buat Mas Awan sebagai permintaan maaf,” ucapnya sambil memberinya satu kantong plastik. Isinya ada 1 buah susu kotak rasa banana, 2 batang coklat, 2 roti selai cokelat kacang, dan 3 jenis snack berbeda dari merk yang sama.
Dia sempat bingung mau kasih apa sebagai permintaan maaf. Terus Laras menitahkan agar Jiva beli snack di kopima saja daripada bingung. Akhirnya dia beli snack berdasarkan apa yang dia sukai alih-alih menebak apa yang disukai korban salah sasarannya itu. Yang penting dia tulus mau minta maaf.
Awan tertegun mendapatkan sekantong plastik snack yang isinya ada dua makanan yang kurang dia suka. Cokelat dan roti selai. Susu kotak rasa banana dia sendiri belum pernah mencobanya. Namun, Awan tetap menerima dengan senyuman hangat.
“Kalau ada yang gak disuka kasih ke teman gak apa-apa, gak bakalan aku kutuk kok. Hehe.”
“Oh ...?” Walau kaget mendengar kelakarnya, dia tetap tertawa. “Makasih, ya.”
“Sama-sama.”
Kemudian mereka hanya saling bertukar pandang, tidak ada obrolan lagi ketika Awan menyimpan sekaligus snack ke dalam tas. Jiva sempat berpikir, memandang Awan sekali lagi, lalu bersiap-siap untuk pamit pergi. Langkahnya sudah siap membawa tubuhnya itu berbalik. Namun, urung ketika dia teringat sesuatu lagi.
“Yang ngirim fotoku ke upcantik beneran Mas Awan, ya?” tanyanya to the point tanpa basa-basi lagi. Jiva benar-benar tak kenal kata malu maupun canggung.
Awan terhenyak seketika. Takk mengira kalau Jiva akan secepat ini mengetahuinya. Padahal, baru satu foto yang dikirim, rencananya mau ada lanjutannya lagi. Dalam hati Awan berdecak menuduh Caca, salah satu dari admin pemegang akun upcantik, sebagai penipu. Gadis itu bilang identitasnya sebagai pengirim akan terjaga baik-baik, buktinya apa kalau Jiva akan tahu secepat ini. Gagal rencananya.
Sudah telanjur tahu percuma mencari-cari alasan. Maka Awan langsung mengiakan. Toh, dari pertama juga dia tidak berencana untuk merahasikan apa-apa.
“Boleh minta fotonya gak?” tanyanya dengan wajah semringah.
“Foto yang di upcantik atau ....”
“Semua fotonya kalau Mas Awan gak cuma foto satu. Hehe. Boleh, kan?” Jiva terlihat semringah senang. Melihat reaksinya itu membuat Awan ikut tersenyum. “Kirim via airdrop sekarang kira-kira bisa gak, Mas?”
“Kalau sekarang belum bisa. Semua foto belum dipindah. Besok aja, ya, aku copy di filedisk.”
“Yah, gak jadi ganti pp cantik, deh. Tapi yaudahlah. Beneran besok ya, Mas. Aku tungguin!”
Dan sekali lagi, Awan mengiakan. Setelah sepekat persoalan minta foto hasil jepretannya, Jiva lalu pamit. Kali ini dia benar-benar sudah melangkah pergi menjauh dari Awan. Saat tungkainya menggapai lokasi kedua temannya yang setia menunggu ini, tiba-tiba Awan berteriak memanggil namanya. Jiva refleks berhenti dan menoleh.
“Besok ngafe bareng sepulang kuliah, mau gak? Yah, sekalian ngasih foto gitu.”
“Mas Awan ngajakin kencan, ya?” Tentu saja, balasan Jiva itu di luar dugaan Awan. Bahkan dua temannya yang dengar langsung dibikin cengo. Bisa-bisanya orang itu ngomong tanpa rem. “Ckck. Barangkali Mas Awan lupa jadi aku ingatin lagi. Mas Awan masih remidi ngajakin aku kenalan, ya. Mending berguru lagi sama orang profesional.”
“Hahaha.” Awan yang sempat syok langsung tertawa membalasnya. Benar-benar di luar dugaannya. Baru kali ini nemu cewek kalau ngomong langsung ke pointnya. “Jiva.”
“Apa?” Lalu ia menambahi, “Jangan teriak-teriak di sana. Kalau mau ngomong samperin sini.”
“Buset,” gumam Laras dan Gita di belakang. Dengan kompak saling menepuk jidat. Sebagai temannya, mereka benar-benar malu sama peringai ajaib Jiva. Apalagi bukan cuma mereka yang denger balasannya itu.
Awan yang ditantangin beneran langsung menyusul ke tempat Jiva. Kakinya melangkah membawa tubuh itu tanpa ragu-ragu. Malah Jiva yang sekarang jadi syok karena leluconnya ditanggapi serius sama kakak tingkatnya ini.
“Ayo, sekarang aja.”
“Hah? Sekarang? Apa?” tanyanya bingung.
Awan mengabaikan itu. Malah pandangannya beralih ke arah dua teman Jiva. Garis bibirnya tertarik ke atas membentuk seuntas senyum, menyapa Gita dan Laras bersamaan. “Temannya boleh aku pinjam sebentar gak?”
“Iya. Iya. Silahkan dipinjam aja gak apa-apa, Mas,” jawab Laras.
“Tapi hati-hati, ya, Mas. Orangnya rada sengklek terus kalau ngomong suka ngawur,” sambung Gita yang langsung dapat pelototan marah dari Jiva.
“Haha. Oke. Makasih, ya,” balas Awan. Seolah sudah mengantongin izin atas dirinya dari kedua temannya itu, Awan lalu menggiring Jiva untuk ikut pergi bersamanya.
Jiva yang bingung bolak-balik menoleh antara Gita dan Laras yang berusaha mengusirnya setiap kali dia menatap mereka, menuntut penjelasan atas izin yang mereka berikan tanpa persetujuannya. Dia juga mempertanyakan dagangannya dengan bahasa isyarat yang segera dipahami Laras. Laras membalas dengan isyarat sama kalau urusan dagangan biar mereka yang urus.
Betapa beruntungnya Jiva selalu punya dua teman solid.
“Bilangnya tadi besok, kenapa jadi sekarang?” tanya Jiva setelah menjuah dari dua temannya.
“Tiba-tiba berubah pikiran.”
Jiva berdecak. “Mas Awan beneran gak profesional banget, ya. Di mana-mana itu selalu ada tahapannya. Ini langsung gas pol aja.”
“Hahaha. Kalau sekarang bisa kenapa harus ditunda-tunda. Oiya, kita cuma ke kafe kampus aja. Tapi maaf ya, gak bisa lama-lama. Jam tigaan harus ambil job foto.”
“Tuh kan, gak profesional banget!?”
Dan Awan yang tersentak lalu tertawa terbahak-bahak. Mungkin dia benar Awan kurang profesional. Tapi sekali lagi perlu diingatkan kalau Awan selalu percaya diri sama intuisinya. Begitu ada kesempatan, dia akan melangkah duluan dan tidak akan menunda-nunda lagi.
• knock knock your heart •
Hari itu pun tiba. Penjemputan sang artis, bintang tamu untuk konser dies natalis kampus. Jiva masih kesal, Laras tak memberitahu tujuan mereka sebelum berangkat menaiki mini bus pribadi milik kampus ini ke bandara. Andaikan dia tahu lebih cepat, barangkali tadi dia lebih memilih ikut Gita jualan tiket daripada ikut Laras yang ternyata tugasnya menjemput para bintang tamu utama.
Penyesalan selalu tiba di akhir. Jiva setuju sama kalimat satu ini. Dia menyesal dan jadi bingung sendiri mau bagaimana nanti menghadapi rombongan para artis itu. Dikit-dikit dia mengigit bibir. Menatap was-was rombongan 10 orang yang keluar dari terminal 1B itu bersama rombongan penumpang pesawat lain.
Dalam hati berdoa semoga mereka, 3 dari 10 orang itu, tidak mengenalinya. Tapi sepertinya mustahil kalau Jiva sangat mudah dikenali, apalagi suaranya ini. Abangnya bilang suaranya itu cempreng kalau ngomong dan mudah ditebak, beda lagi sama ayah yang selalu bilang suara Jiva unik. Walau ada dua tahunan mereka tidak pernah bertemu lagi bertatap muka, Jiva ragu mereka tidak akan mengenalinya.
Edo sama Farrel melangkah duluan menyapa rombongan tersebut. Pria bertubuh besar yang terlihat sangar itu membalas sapaan Edo dan Farrel. Mereka bertiga lalu berjabat tangan, berbincang-bincang akrab terus saling mengenalkan anggota rombongannya. Jiva bisa dengar dan lihat sendiri wajah-wajah tidak asing itu walau sedang sembunyi di balik punggung Laras.
“Mas Evan beneran ganteng banget, ya!” cicit salah satu kakak tingkatnya. Namanya Caca.
“Ho-oh, Mbak,” balas Laras. Tak bisa dipungkiri bahwa temannya itu tak dapat memalingkan pandangan dari drummernya The Bastard.
Evan Matalino Yurcel. Drummer ganteng yang kalau manggung paling suka pakai kaus tanpa lengan. Awal-awal The Bastard terkenal memang Evan yang paling banyak dapat sorotan dari kaum-kaum hawa. Follower-nya sampai melesat tinggi gara-gara ada pengguna Toktok iseng bikin video jedag jedug komplikasi potongan foto-foto Evan. Jelas user itu bukan Jiva. Namun, semenjak orang tahu Evan punya pacar, orang-orang lalu berpaling ke anggota The Bastard lainnya terutama ke vokalisnya.
Kalau Danang Prayoga selain terkenal jago gitar, dia memang paling terkenal akan lawakannya itu. Sebenarnya Danang enggak kalah keren dari Evan atau Ryan, malahan dia paling terlihat mencolok dengan style anti ketinggalan jamannya itu. Terus orangnya juga pinterest-able. Alias aesthetic boy.
“Yah, sayang ya, doi udah tunangan,” gumam Caca tampak serius seperti orang lagi patah hati.
Ya, benar. Evan sudah bertunangan dengan pacarnya itu. Belum lama ini ada berita mereka tunangan. Dibandingkan dua rekan segroupnya yang masih suka main-main sama perempuan, Evan justru setia sama satu wanita.
“Danang real-nya ternyata lebih keren. Ryan ... ya ampun, ternyata cakep juga kirain cuma di foto doang.” Lagi-lagi Caca masih mengeluarkan pujian-pujianya itu untuk anggota The Bastard.
Jiva yang menyimak sesekali memutar bola mata. Rasanya dia ingin segera menyadarkan kakak tingkatnya ini biar berhenti membual soal orang-orang itu. Sama hal yang terjadi pada Laras. Gagal fokus gara-gara kesemsem lihatan anggota band The Bastard.
“Cih. Apa bagusnya, sih?” Sementara Jiva tetap setia dengan cemoohannya.
“Maklum aja Mbak Caca. Jiva ini hater vokalisnya The Bastard,” ujar Laras setelah sadar.
“Serius?” tanya Caca kaget. “Kok kamu bisa gak suka Ryan? Suaranya bagus lho, Jiv. Orangnya cakep kok, jago main bass juga. Terus—eh, ya?” Caca buru-buru melangkah setelah Edo memanggilnya. Tapi bukan cuma Caca doang yang dipanggil, Jiva sama Laras juga iya.
Jiva menarik kaus Laras. Melarangnya pergi apalagi kalau sampai mendekat ke rombongan itu.
“Lepasin, Jiv. Udah dipelototin sama Mas Farrel, tuh.”
“Please, please ... gak usah ke sana.”
“Emang kenapa?”
“Gak apa-apa. Pokoknya jangan ke sana.”
“Laras. Jiva!” panggil Farrel dengan mata melotot karena dua gadis itu tak kunjung mendekat.
Laras terpaksa melepas cengkraman Jiva. Ketimbang nanti di kampus dapat teguran dari Farrel, mendingan dia cepat-cepat mendekat. Farrel kalau ngamuk itu serem. Kemarin ada anggota yang bikin kesalahan terus dapat omelan dari Farrel. Sementara Jiva yang ditinggal Laras sendirian langsung berdiri tegang.
Sial!
Maunya berbalik kabur ke bus sebelum dikenali, tapi seruan namanya itu seketika saja menahan langkahnya.
“Jiva, Bro. Si Jiva.” Jiva jelas kenal sama suara orang yang terdengar heboh itu saat melihatnya. Danang terkekeh sambil memukul lengan Evan dan Ryan bergantian dan menunjuk-nunjuk Jiva di depan. “Jiva.”
“Aduh, bisa gak sih, manggilnya biasa aja?!” gerutunya sendiri.
Dengan terpaksa Jiva berbalik menghadapi wajah-wajah bingung campur penasaran itu. Laras dan tiga orang lainnya jelas bingung kenapa Danang, gitaris The Bastard, bisa kenal Jiva dan terlihat begitu senang saat melihatnya. Sementara rombongan band The Bastard yang belum kenal Jiva langsung dikasih tahu sama Evan kalau Jiva itu adiknya Bian.
“Buset, dah. Lu makin cakep aja.” Danang berseru memujinya. Sambil tertawa dia melangkah duluan menyusul Jiva yang tak bergerak sekalipun sudah dikenali. “Kalau tau ini kampus lu dari dulu mending kita terima aja tawarannya,” ucapnya sambil merangkul Jiva dengan akrab.
Jiva cuma meringis. Sebenarnya malu karena tanpa sadar kini dia jadi perhatian. Untungnya Farrel sama Edo langsung cepat tanggap dengan mengajak rombongan The Bastard untuk berpindah ke bus, untuk melanjutkan perjalanan ke penginapan mereka. Karena barang bawaan dari tim The Bastard lumayan banyak, semua orang ikut bantu. Kecuali Jiva yang dipaksa jalan duluan bersama Danang yang kini sibuk bernostalgia.
Ryan yang menonton punggung kepergiaan mereka hanya menggulum senyum. Adik Bian itu terlihat sangat berbeda dari sosoknya yang dulu masih memakai seragam putih abu-abu. Memang dari dulu Jiva sangat cantik, bedanya sekarang cantiknya tampak lebih dewasa. Aura yang dia pancarkan bukan lagi anak-anak, melainkan seorang wanita yang sudah memasuki usia dewasa awal.
Melihatnya untuk pertama kali setelah dua tahun ini, Ryan jadi teringat obrolan mereka. Mengenang itu membuat Ryan jadi tersenyum geli.
HOW ....??????
AND WHY DID I EVER LIKE THIS PERSON??
Haha
Don’t laugh!
HAHAHA
Hahaha funny 😒
Hahaha
Dih apa apaan gak lucu
Awas lo ya, kalo kebalik gue ketawain seumur hidup!
Ralat
Gue ketawain sampai tujuh turunan biar keturunan lo gue gentayangin sama suara ketawa gue
Syukurin lo gue kasih kutukan tujuh turunan
🤬🤬🤬🤬
____________
Gimana coba Ryan enggak mau ketawa kalau balasan Jiva itu suka bikin dia jadi terhibur.
Tanggal 3 knock knock your heart gak update, ya. Mau ngonser dulu. Update lagi tgl 4/5. Misal part 16 udah selesai aku ketik malam ini, mungkin aku update besok. Tapi kalau gak selesai berarti tetap di tgl 4/5 🥸 wkwk
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top