Ch. 14: Lawana Mahasura
Kirain jadi kru dies natalis enggak bakalan dapat jatah danusan, tahunya sama saja kayak event organisasi lain. Jiva menenteng sekardus cemilan kering yang harus dia dagangkan hari ini, sambil hati-hati menuruni anak tangga dari lantai tiga ke lantai dasar. Harusnya dia punya teman jualan namanya Mbak Ratih, cuma mendadak orangnya harus bantu urus bagian sponsorship. Gita sama Laras sudah dapat jatah sendiri. Mereka mulai jualan keliling kampus dari jam 11-an siang. Makanya Jiva sekarang mau nyusulin dua orang itu biar bisa jualan bareng.
Enggak seru jualan sendiri. Danusan sendirian malah bikin Jiva bingung kalau ada yang beli terus mereka bayar pakai uang lebih. Dia mana pernah punya uang kembalian. Kalau pun ada uang pecahan entah 1000, 2000, atau 5000 di dompet pasti sudah kepakai duluan buat beli cinlok depan gerbang kampus atau sate bakso di kopima. Sedang uang recehan telanjur masuk ke celengan babi di kamar kos-kosan.
“Cemilan kayak gini mestinya dibuat PO aja. Lebih praktis dan efektif daripada dijual keliling begini. Emang ada yang beli apa!?” gerutu Jiva masih heran kenapa Mbak Ratna menyuruhnya jualan cemilan kering alih-alih cemilan basah seperti risol dan kawanannya itu.
Baginya danusan jualan cemilan kering kurang efektif kalau caranya berkeliling dari orang ke orang. Cemilan begini enakan dijual online pakai sistem PO. Danusan keliling di kampus gini paling enak memang jual cemilan basah seperti risol, tahu bakso, atau minuman seperti susu kedelai.
“Tau gini mending tadi ikut Gita aja.” Salahnya juga kenapa lebih pengen tinggal lama-lama di ruangan. Gara-gara ada Arif sih, dia jadi sengaja menolak ajakan Gita jualan risol. Demi upaya Jiva untuk flirting ke Arif, pengen kenalan sama biar bisa lebih dekat sama crush, yang berujung gagal sebab selalu ada cewek nempel-nempel Arif kayak lem kertas.
Di mana ada Arif, di situ pasti ada ceweknya. Nyebelin. Lihat mereka mesra-mesraan secara halus di dalam ruangan itu justru bikin darah Jiva mendidih. Dia gregetan! Pokoknya jengkel banget lihatin si cewek yang selalu mencari spotlight agar terus diperhatikan Arif. Singkatnya dia iri.
Maunya sih mendukung hubungan mereka, tapi setiap kali lihat si cewek entah mengapa darah Jiva ikut mendidih dan merasa bahwa dirinya lebih unggul dibanding cewek itu. Perasaan yang dirasakannya ini agak berbeda dari perasaannya saat mendukung hubungan Kak Enzy dan Ryan. Barangkali karena dia belum kenal si cewek, makanya dia suka iri.
Jiva yang masih memendam perasaan irinya, mulai lagi membual omong kosong. “Ugh ...! Mas Arif lo itu masih bisa dapat ce—WOI!?” teriaknya refleks ketika seseorang dari arah berlawanan menyenggol lengangnya hingga kardus yang ditenteng oleng dan isinya jatuh berserakan di lantai. “Anjir!”
Mata kecokelatannya mendelik kesal pada dua orang yang barusan menyenggol lengannya. “JALAN YANG BENER, DONG?! KALIAN GAK LIHAT GUE LEWAT DEPAN MATA LO APA?!”
“Sorry, sorry, Mbak,” respon salah satu di antara dua orang itu tanpa mau repot-repot turun dari tangga untuk bantuin. Seolah isi kardus yang berserakan di lantai itu bukanah tanggung jawab mereka. Padahal, mereka yang telah menyebabkan insiden ini.
“YANG BENER AJA BILANG SORRY TAPI GAK MAU BANTUIN?!” Jiva protes tak terima. Mencak-mencak menantang dua orang yang berdiri di anak tangga itu. Dia mulai ambil ancang-ancang siap mengoyak dua laki-laki tersebut kalau tetap nekat pergi tanpa bantuin dirinya. “Turun lo berdua. Jangan pikir gue—”
“Sepurane, Mbak. Kami lagi buru-buru,” sela si cowok rambut gondrong yang diikat jadi satu itu sembari menyeret tangan kawannya, memaksa agar dia terus melangkah naik ke anak tangga.
Melihat itikad jelek mereka berdua, Jiva seketika berang. Makin lagi dibuat marah saat mereka berdua terlihat buru-buru kabur. “Jangan kabur kalian!”
“Cepet. Cepet. Cepet.”
Mereka kabur menaiki tangga; Jiva menyusul tanpa kenal takut sambil mengumpat-umpat. Tangannya merogoh ke dalam tas, secara acak mengambil satu buah buku kuliah super tebal, lalu refleks melempar buku itu ke arah mereka berdua. Benda itu lantas melayang ke udara mengincar kepala para pelaku—tabrak—senggol lari. Jiva menyeringai puas berkat lemparannya yang terlihat ciamik itu.
Namun, naasnya lemparannya justru mengenai kepala orang lain yang tengah menuruni tangga dari arah berlawanan dengan para pelaku. Membuat langkah korban salah sasaran oleng dan nyaris mau jatuh dari tangga apabila tidak bergegas meraih railing.
Ugh, sial!
Jiva menahan napas. Langkahnya refleks berhenti di anak tangga terakhir. Mata kecokletannya membulat besar tatkala menyadari tindakan cerobohnya yang telah melukai orang lain.
“Ma—maaf, Mas, maaf!” teriaknya panik berdiri di tempat. Kakinya ragu-ragu mendekat. Jiva bergeming hanya memandang laki-laki di tangga bagian atas dengan tatapan cemas.
Sang korban salah sasaran memegangi kepala bekas timpukan buku tebal milik Jiva. Sakitnya jadi dua kali lipat soalnya pas banget kena bagian ujung bukunya. Rasanya nyut-nyutan bikin matanya jadi berkunang-kunang. Tangan bebasnya mengibas ke udara. “Iya, gak apa-apa,” ucapnya seolah insiden salah lempar bukanlah perkara penting walau kepalanya sendiri yang jadi korban
Jiva masih bergeming, menatap penuh bersalah laki-laki tersebut. Sambil mengigit bibirnya diam-diam dia melangkah naik tangga hanya untuk mengambil buku, lalu cepat-cepat melangkah mundur lagi. “Maaf, ya, Mas. Tanggung jawabnya lain kali kalau ketemu lagi. Maaf bangetttt ...!” ucapnya cepat-cepat berlari menuruni tangga untuk kabur dari tanggung jawabnya.
Jiva telanjur malu. Itikad tidak bertanggung jawabnya itu sama saja seperti dua orang yang menyenggolnya, yang bikin jualannya jatuh. Dagangan cemilan keringnya masih berserekan di lantai. Ditinggal pergi demi mengejar pelaku senggol lari pun, tetap saja tak ada orang yang mau ikut bantu. Mahasiwa yang berlalu lalang di koridor Gedung UKM cuma lewat, melirik ke arahnya tanpa berminat menolong. Selama memasukkan cemilan ke kardus lagi, sesekali dia menoleh ke arah tangga. Mau pastiin kalau korban salah lemparnya belum turun ke bawah, sehingga mereka tak perlu berjumpa lagi. Rasa malu Jiva sudah enggak ketolong lagi. Dia mau kabur saja daripada merasa bodoh karena kecerobohannya sendiri.
Selesai memunggut semua, Jiva langsung kabur dari Gedung UKM menyusul ke tempat teman-temannya berada setelah mengambil sepeda listrik sewa untuk mahasiswa yang tersedia gratis di setiap spot di kampus. Jarak antara gedung di kampusnya itu jauh-jauh, ada yang berjarak cuma beberapa 100-an meter; ada pula yang sampai kilometer. Terutama kalau mau pergi dari gedung ujung ke gedung ujung satunya lagi.
“Napa lo kayak orang kesetanan gitu?” tanya Gita saat Jiva muncul dengan wajah panik dan napas tersenggal-senggal. Aneh ngelihatnya. Dia kan naik sepeda listrik, kenapa napasnya kayak orang habis lari kiloanmeter.
“Hari ini gue tolol banget.”
“Bukannya setiap hari lo selalu tolo?” sanggah Gita.
Jiva mengibaskan tangan ke udara masa bodoh. Kali ini dia menolak berdebat bareng Gita. “Ada dua cowok nyenggol gue di jalan, terus bikin jualan gue jatuh.”
“Lalu?” tanya Laras ikut bergabung ke percakapan setelah meladeni pembeli terakhirnya.
“Mereka malah kabur, gak mau tanggung jawab dengan bantuin gue pindahin cemilan ke kardus. Jadi gue kerja—”
“As expected!” Gita menyeringai puas berhasil menyela omongan Jiva yang kini mendengus sebal.
Jiva membuang napas kasar. “Gue ambil buku paket di dalam tas, terus lempar buku ke arah mereka. Eh, bukunya malah kena mas-mas yang kebetulan lewat tangga. Terus gue asal kabur gitu tanpa bantuin mas-mas korban buku gue.” Jiva melanjutkan cepat, “Sebenarnya gue udah minta maaf, tapi gue malu banget jadi langsung kabur.”
“HAHAHAHA.”
“Ya ampun, Jiv. Bisa-bisanya lo malah kabur! Hahaha.”
Suara tawa terlontar dari kedua temannya ini sebagai respon dari ceritanya.
Jiva mengigit bibirnya cemas. “Habis mau gimana lagi, Git. Gue malu banget! Lo bayangin aja di posisi gue. Niatnya mau bikin dua orang jera, eh, malah salah sasaran. Lo juga pasti bakalan kabur!”
“HAHAHA.” Gita tertawa terpingkal-pingkal. Tak sanggup bayangin ekspresi malu Jiva saat kejadian di gangga Gedung UKM.
“Gimana nih, kalau gue ketemu orangnya lagi? Masa kabur lagi?”
“Yakali, kabur lagi. Hahaha kacau lo, Jiv!” seru Gita tertawa lagi. Suara kelakarnya itu kini jadi terdengar menyebalkan bagi Jiva.
Lara menyahut, “Jangan kabur lagilah. Minimal lo minta maaf ke orangnya.”
“Terus?”
“Ya minta maaflah, Goblok. Atau lo beliin aja orangnya makanan atau minuman sebagai permintaan maaf lo,” ucap Gita.
Bibir Jiva mencibir saat Gita memanggilnya goblok. “Semoga aja gue gak ketemu lagi orangnya. Lagian UP tuh, gede! Persentase buat ketemu orang sama secara tak sengaja itu cuma 0,05%!”
“Anjay. Teori ngawurnya udah kayak ibu-ibu Facebook!”
“Biarin. Suka-suka gue,” balasnya sudah mulai baikan lagi, sudah enggak panik gara-gara insiden di tangga gedung ukm.
“Btw Jiv, gue udah tau siapa yang ngirim foto lo di upcantik,” ujar Laras di tengah-tengah obrolan mereka.
“Siapa?”
“Mas Awan.”
“Cih!” Gita mencibir masih menolak percaya omongan Laras soal identitas pengirim foto Jiva di IG upcantik.
“Awan lagi!” Jiva memutar bola mata. “Eh, tapi kalau ketemu orangnya gue mau minta fotonya. Hehehe. Lumayan dapat foto gue sendiri versi cakep.”
“Awas lo naksir orangnya,” ucap Gita menyindir.
Jiva hanya menjulurkan lidah, sekali lagi mencoba untuk bodoh amat sama candaan Gita.
• knock knock your heart •
Edo tersentak lihat Awan masuk-masuk ke ruangan dengan jidat lebam kemerah-merahan kayak habis kena sengatan ekor labah.
“Kenapa lagi tuh, jidat?” tanyanya penasaran sambil menarik kursi, menyuruh teman seorganisasinya itu duduk di sebelahnya.
Tangan Awan tanpa sadar menyentuh lagi luka bekas kesialannya waktu turun tangga tadi. “Oh, ini? Habis ketiban duren di siang bolong.”
“Yang bener, ah!”
“Ketiban sial dia,” timpal Arif yang muncul tak lama setelah Awan mendaratkan pantatnya di kursi sebelah Edo. “Ada orang ngelempar buku di tangga terus kena jidatnya.“
“Coeggg ... serius?” Edo menatap Awan memintanya penjelasan lebih. Sayangnya, dia cuma dapat balasan anggukan kepala saja. “Terus orang yang lempar tanggung jawab gak?”
“Orangnya kabur,” timpal Arif lagi.
“Kamu lihat, Rif?”
Arif menggeleng. “Gak. Yang sempat lihat si Caca.”
Edo bertanya lagi, masih kelewat penasaran. “Terus yang lempar buku ke Awan siapa? Musuh kamu, Wan? Atau jangan-jangan si Bimo lagi. Semester kemarin kalian kan gelut gara-gara beda suara organisasi.”
“Emang Bimo berani? Itu orang cuma gede omong doang, nyalinya sih ciut.”
Awan yang menyimak obrolan diam-diam mengangguk setuju mendengar ucapan Arif. Bimo, si ketua ukm fotografi yang baru semenjak Awan memutuskan untuk keluar dari organisasi tersebut. Terjadinya perbedaan pendapat di antara mereka, menyebabkan hubungan mantan ketua dan wakil ukm fotografi itu jadi kurang baik. Sebenarnya Awan tidak lagi terlalu ambil hati kejadian itu, tapi Bimo beranggapan lain dan masih memusuhi dia setiap kali mereka tak sengaja bertemu di Gedung UKM. Gara-gara masih banyak anggota yang mendukung Awan untuk balik dan tetap jadi ketua organisasi pecinta fotografi.
“Terus siapa yang lempar Awan buku kalau bukan Bimo?”
“Jiva kalau gak salah namanya.”
“Hah?” Edo menoleh ke Awan yang barusan bicara. “Jiva? Cewek? Mantan?”
“Bukan,” jawab Awan. “Si Jiva tuh anak bisnis angkatan di bawah kita ya, Rif?”
Giliran Arif yang menganggukan kepalanya. “Iya. Kata Caca gitu.”
“Kok koe reti?” (kok kamu tau?)
Garis bibirnya tertarik ke atas membentuk seutas senyuman. Alih-alih menjawab pertanyaan Edo. Dia sengaja mengabaikan keingintahuan rekan seorganisasinya itu. Berdiri dari kursi tempat duduknya, berpaling mendekati meja untuk mengambil laptop beserta tas kameranya.
“Kameranya aku bawa, ya!” serunya sudah bersiap-siap menenteng kedua tas barang-barang berharganya yang dia simpan di dalam ruangan BEM. “Mau ambil job foto. Lumayan bayarannya bisa dipakai buat tambal dana acara.”
“Bawa aja. Yang punya kamera juga kamu, Wan,” balas Arif.
Sementara Edo hanya geleng-geleng kepala, heran dan takjub sama Awan yang selalu jadi garda terdepan mencari dana tambahan untuk menambal dana event yang suatu waktu kadang ada saja kurangnya pemasukan. Kalau ada event gini dia selalu ambil job foto terus bayarannya dipakai buat tambal dana. Sementara Edo dan sebagian banyak orang di organisasi kadang masih sebal kalau disuruh ikut iuran duit.
“Balik dulu, ya!” ucapnya berpamitan ke teman-temannya.
Awan setengah berlari keluar dari ruang bem. Terlihat seperti lagi buru-buru. Padahal, masih punya banyak waktu santai buat ambil job foto di Gedung Kopri nanti. Sementara dia mau mampir ke Gedung Rektor untuk ambil berkas proposalnya di bagian administrasi. Setiap kali dosen pembimbingnya selesai mengecek berkas proposal maupun skripsi mahasiswa, hasilnya pasti diserahkan ke bagian adminstrasi bukan langsung mahasiswa. Kebetulan dosbing Awan juga menjabat sebagai rektor dua, jadi kalau mau bimbingan harus lewat bantuan Mas Teguh bagian administrasi di Gedung Rektor.
“Bu Dian pesan buat mahasiswa bimbingannya kalau minggu depan gak ada jadwal bimbingan. Hari ini beliau pergi keluar kota. Pulangnya Jumat minggu depan,” ucap Mas Teguh saat Awan mengambil berkas miliknya.
Mengetahui enggak akan ada bimbingan minggu depan gara-gara dosbing pergi keluar kota, Awan terlihat biasa-biasa. Tidak lagi terkejut karena sudah biasa mengalaminya. Resiko ambil dosbing yang menjabat rektor dua kampus. Selain sulit bimbingan tatap muka, beliau juga sulit ditemui.
“Makasih, Mas.”
Mas Teguh mengangkat ibu jari ke udara. Sedang Awan berjalan santai menuruni tangga alih-alih menggunakan lift gedung. Kelamaan nunggu, mending turun tangga, pikirnya. Selama jalan itu pandangannya fokus ke tulisan tangan Bu Dian di bagian cover berkas proposalnya. Ada banyak catatan berarti banyak hal yang mesti Awan revisi.
“Kalau gini terus kapan mau ambil skripsi coba?” Awan menghela napas. Lama-lama pusing mikirin proposal yang tak selesai-selesai ini. Selesai bimbingan pasti ada-ada saja tambahan revisi. Belum lagi dia kadang suka kurang paham sama tulisan tangan Bu Dian.
Mengabaikan urusan proposal, Awan berhenti berjalan untuk sekadar memasukkan filenya ke dalam tas. Dalam waktu singkat itu, saat dia lagi fokus menutup resleting tas, tampak seseorang mendekat ke arahnya dengan langkah setengah ragu.
“Hmm ... Mas... Mas Awan, ya?” tanyanya ragu-ragu.
Awan sontak mengangkat kepalanya. Atensinya langsung jatuh pada gadis bersurai panjang yang kini terlihat terus menoleh belakang sambil berbicara tak jelas. Awan yang tertarik lantas mengikuti arah pandangannya itu. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat dua orang gadis tengah berbicara dengan temannya yang ada di sini, di dekat Awan, dengan bahasa isyarat. Namun, ketika sadar Awan memperhatikannya, mereka berdua lalu berbalik pura-pura tak terjadi apa-apa.
Awan kemudian berpaling lagi ke gadis yang masih terlihat ragu-ragu mendekat ini. Bibirnya yang tak bisa ditahan lagi tersenyum gemas memandangi ekspresi si gadis yang terlihat lucu.
Sementara Jiva yang sudah kelewat malu cuma bisa mengoceh, “Sial. Sial. Sial. Kenapa orangnya harus sama, sih?!” Lalu meratap dengan wajah memelas, “Ini gue harus ngomong apa coba?” Tak sadar kalau apa yang dia ucapin itu didengarkan semua sama Awan.
“Gimana kalau kenalan?”
“Hah?” sahutnya refleks mendongak membalas tatapan mata Awan yang damai penuh senyuman itu.
Awan yang selalu percaya diri ini tetap tersenyum. Mengabaikan ekspresi terkejut Jiva yang tak menyangka akan dapat balasan berupa demikian.
WIFI GUE ERROR. UPDATENYA JADI TELAT DARI BIASANYA 😮💨
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top