Ch. 12: Looking for Someone (2)

Antriannya panjang sekali, dari pintu masuk pendaftaran sampai pintu masuk ke tempat wawancara sudah full. Ada begitu banyak mahasiswa-mahasiswi yang tertarik mendaftar sebagai kru untuk acara dies natalis kampus bulan depan. Koridor lantai dasar Gedung UKM sesak oleh puluhan manusia. Setiap kelompok sudah menguasai di beberapa spot tempat tunggu. Bagi orang atau kelompok yang enggak kebagian tempat, mereka sampai rela jongkok di depan parkiran motor. Menunggu gilirannya dipanggil untuk diwawancarai.

Jiva dan dua teman kuliahnya merupakan tiga di antara puluhan orang yang mengantri siang hari itu. Mereka enggak kebagian tempat duduk, jadinya berdiri di dekat parkiran motor sambil mengobrol dan mengeluh—Jiva sukanya ngeluh sejak lihat jumlah antrian yang membludak tak karuan. Dia agak nyesel daftarin diri. Mau cabut, tapi sudah telanjur menyerahkan berkas ke bagian pendaftaran. Mau minta lagi berkas pendaftaran pun mustahil, terus dia enggak mungkin juga mengkhianati euforia Gita sama Laras yang excited sekali join kru dies natalis kampus.

Jiva urung dengan rencananya itu. Walau terpaksa ikut antri, tapi dia lumayan menikmati suasana antrian itu berkat salah satu pengawas yang sesekali keluar masuk dari ruang wawancara. Siapa lagi kalau bukan gara-gara Arifin Shaidankala. Meski agak kecewa kalau ternyata Arifin bukan bagian dari pewawancaranya, melainkan hanya pengawas belaka.

Btw, kalian udah lihat videonya belum?” tanya Gita di tengah-tengah berisiknya suara orang mengobrol dari berbagai arah.

Laras bertanya balik, “Video apaan?”

“Halah, yang semalam gue share di gc kita.”

Sejarah mereka temanan cukup lucu. Gita sama Laras mulai kenalan di hari pertama upacara penerimaan mahasiswa baru. Sama-sama anak rantau dan berasal dari kota yang sama, mereka memutuskan untuk saling berbagi kontak. Terus mulai dari situ mereka jadi sering barengan ke mana-mana, entah itu di kampus atau di luar kampus. Sampai di pertengahan semester satu Laras pindah kost yang sama kayak Gita.

Lalu di penghujung akhir semester satu waktu masa-masa UAS, mereka baru kemudian kenal  Jiva. Meski satu kelas, tapi dulu Jiva lebih sering main sama kelompoknya Winda. Gita sama Laras bisa kenal dia gara-gara dulu pernah bantuin Jiva ngelabrak mantan kelompok mainnya di depan koperasi fakultas gara-gara mereka ngecap Jiva di belakang sebagai anak ibukota yang sombong. Cuma gara-gara dia sering nyebut “lo-gue” karena belum terbiasa “aku-kamu”. Jiva yang enggak terima langsung melabrak mereka, terutama si Winda, sumber masalahnya, dengan cari backingan yang sekiranya orang itu sama-sama anak rantau seperti dia.

Agak konyol sebenarnya karena dulu Jiva asal mendekati Gita dan Laras, mengajak mereka untuk melabrak sekelompok yang sebetulnya enggak ada hubungannya sama sekali dengan mereka berdua.

“Oh ... yang viral di Twitter itu, ya? Udah kok,” jawab Laras. “Kayaknya baru awal tahun kemarin Ryan dikabarin deket sama jebolan The Idol. Lah, sekarang udah ada lagi aja.”

“Pfft! Since day one gue pernah ngingetin ke lo kalau dia itu buaya darat!” timpal Jiva sambil tersenyum mengejek. Bukan mengejek si teman, melainkan si artis yang lagi mereka omongin.

“Yang sama jebolan The Idol dibantah sama Ryan di live IG-nya kok. Dia bilang ke fansnya kalau mereka cuma teman kok,” kata Gita dengan nada sedikit kurang terima karena dia sendiri pengikut setia The Bastard.

“Hueeek ... mau aja lo dikibulin buaya.” Jiva pura-pura muntah di depan Gita yang sekarang melotot sebal. “Teman kok sering hangout bareng. Cih. Pembohongan publik.”

Laras menahan senyum, was-was memandangi  kedua temannya ini. Fans vs anti-fans. Tapi dalam kasus Jiva, dia lebih anti-fans ke vokalis bandnya saja. Untuk dua anggota band The Bastard dia tidak pernah sekalipun menjelek-jelekkan nama mereka.

“Beneran temannya, ya! Si Vanya aja udah punya cowok. Cowoknya itu youtuber. Media aja yang lebih-lebihin berita.”

“Gita, cintaku, sayangku. Buka mata lo sekarang. Lo lihatin baik-baik video yang lagi viral. Ini jelas banget mereka mesra-mesraan di balkon.” Jiva sampai harus buka ponsel, me-replay video kiriman Gita semalaman di group chat, lalu menghentikan rekaman di pertengahan. Jari telunjuknya menunjuk-nunjuk gambar. “Perhatiin, ya. Mereka di sini lagi ciuman. Ini nempel banget lho, sedekat itu.”

“Videonya burem. Gak jelas. Banyak yang bilang itu cuma ngobrol biasa. Lagian yang gue bicarin tadi si Vanya bukan Lydia yang lagi viral.” Gita masih tetap bersikukuh dengan pendapatnya; Jiva memelototinya kemudian menyerah. “Mau dia ciuman di publik, peluk-pelukan terserah juga mereka. Ryan Balakosa bukan anak kecil. Jadi, ya, terserah dia.”

“Ya, ya, whatever. Mending gue lihatin Mas Arif daripada ngomongin si sempak superman, udah buang-buang waktu, bikin enek pula.”

“Dasar haters!” ucap Gita.

“Udah, udah, jangan gara-gara vokalis The Bastard kalian jadi berantem,” kata Laras melerai keduanya agar berhenti bertengkar karena urusan orang terkenal.

Tapi omong-omong, Laras dan Gita sama sekali tidak pernah menanyakan kenapa Jiva selalu mengolok-olok Ryan dengan panggilan sempak superman. Di antara mereka bertiga, hanya Jiva yang tahu kalau Ryan punya akun IG private bernama sempaksuperman, selain akun publik bernama Ryanbalakosa.

“Udah nomer 60-an aja. Bentar lagi nomer gue dipanggil kayaknya,” ujar Jiva lalu minta bantuan Gita buat pegang ponselnya yang sudah disetel dalam mode kamera depan.

Habis adu pendapat begini, mereka enggak pernah sampai bermusuhan. Gita memang sering dongkol dengar ucapan Jiva, tapi dia enggak pernah sampai dendam ke temannya cuma buat belain artis kesukaannya itu. Dirinya masih waras untuk membatasi kehidupan fangirl-nya. Terlalu mencemaskan kehidupan orang terkenal sebenarnya sangat buang-buang waktu.

“Pokoknya gue harus tampil cakep!” ujarnya sambil menambahkan pewarna bibir di bibir ranum itu. Menyisir rambut dengan tangan dan terakhir menambahkan sedikit sentuhan blush on di pipi. Alasan Jiva touch up make-up lagi bukan untuk wawancara, melainkan demi pemuda yang beberapa menit lalu berdiri di samping pintu ruang interview itu. Mengawasi proses penerimaan kru dies natalis kampus.

Jiva nyengir sendiri di depan kamera ponselnya. “Doain, ya, gue sukses jadi selingkuhan Mas Arif.”

Laras yang tersentak langsung lihat kanan-kiri. Takut sama orang di samping mereka dengar sama omongan sembrono Jiva yang enggak pernah difilter itu. Khawatir juga anak BEM dengar. Takutnya orang itu akan mengadu ke ceweknya Arif. Bisa-bisa Jiva habis di kampus dilabrak anggota BEM. Temannya satu ini kalau ngomong emang suka enggak kontrol. Main ceplas ceplos gitu saja.

“Stress lo, Jiv!” ujar Gita.

Jiva lalu tertawa terbahak-bahak. Omongannya tadi cuma bercanda doang. Lagian apa enaknya jadi selingkuhan orang. Kemarin waktu tahu ternyata dia dijadiin selingkuhan si Shaga, Jiva ngamuk dan mengacak-acak wajah laki-laki itu tanpa ampun di tempat umum.

Di tengah keseruan obrolan ketiga gadis itu. Tanpa sadar bahwa Jiva dan kedua temannya sejak tadi terekam dalam lensa kamera seseorang. Pemuda itu sudah mengambil banyak foto hari ini dari wajah-wajah para mahasiswa yang mendaftar sebagai kru dies natalis kampus. Mengabdikan setiap momen tanpa terkecuali. Bibir itu melengkung ke atas, tersenyum kecil tatkala lensa kameranya mulai tertarik memotret si gadis yang sedang memakai pewarna buatan bernama lipstik di bibir. 

Diam-diam memotret Jiva layaknya seorang paparazzi yang sedang membuntuti selebritas papan atasnya. Bibirnya ikut tersenyum setiap kali melihat perangai gadis itu bersama dua temannya. Dia terlihat tidak adil sekarang karena sebelumnya hanya mengambil potret orang sekali atau dua kali belaka, sementara ketika menemukan eksistensi Jiva dia memotret gadis itu berulangkali tanpa bosan.

“Awan.”

“Hm,” sahutnya tanpa menoleh ke samping. Ke teman yang baru tiba setelah mencari-cari keberadaannya.

“Wan, bantuin si Ambar. Anaknya kerepotan dari tadi mau jalan ora iso-iso.” (enggak bisa-bisa)

“Lagi motret nih, Do. Suruh yang lain aja bantuin si Ambar.”

Edo menggeleng-geleng. “Koen tok, sing iso bantu. Liyane rak bakalan mudeng.” (Kamu doang yang bisa bantu. Lainnya gak bakalan paham)

Awan menurunkan lensa kamera dari pandangannya. Menoleh ke Edo setelah dia menghela napas kesal telah diganggu. “Ya udah, nih. Gantiin jobku. Si Ambar di mana?”

“Parkiran bagian Barat deket mesin ATM NBI.”

Sebelum menyerahkan kameranya ke Edo, dia masih sempat-sempatnya memotret gadis yang sama untuk terakhir sebelum pergi menyusul ke tempat Ambar.

“Coy! Kalau bisa sekalian si Ambar pinjemin mobil, ya. Udah mepet jamnya. Doi mau ketemuan sama pihak sponsor,” teriak Edo.

“Aku aja boncengan sama si Arifin.” Awan membalas demikian lalu geleng-geleng, berjalan cepat menyusul ke tempat Ambar yang lagi repot karena masalah mobil yang tiba-tiba mogok.

Sesampainya dia di sana, Ambar langsung melepas tangan ke udara. Lega seketika lihat Awan datang. Di antara anak-anak BEM yang paling bisa dipercaya buat benerin motor atau mobil cuma Awan doang. Awan bukan anak teknik mesin, cuma karena keluarganya punya bengkel gede dan dia sering ikut bantu-bantu kerja para pegawai bengkel tiap Minggu, makanya dia jadi paham soal mesin-mesin kendaraan.

“Ambar. Tangkep, nih.”

Ambar dengan sigap menangkap benda yang barusan di lempar Awan padanya.

“Pakai aja mobil kampus. Itu tadi siang aku yang pinjem, ntar aku izinin lagi.”

“Gapapa, nih?” tanya Ambar jadi sungkan karena keseringan repotin Awan gara-gara mobilnya yang sering mogok tiba-tiba.

“Iya.”

“Thanks, Wan!” seru gadis itu sebelum pamit pergi bersama dua orang dalam rombongannya itu. Sedang Awan kali ini disibukkan sama mobil Ambar yang lagi-lagi bermasalah.

• knock knock your heart •

Ryan mengetuk-etuk dagunya dengan jari telunjuk. Mata hitam itu sedang fokus menatapi layar ponsel di genggaman tangan kanannya. Isi kepala pun tengah berpikir-pikir serius. Hampir setengah jam dia bersikap begini. Sama sekali tak terusik oleh orang-orang yang bergantian masuk ke dalam studio.

“Napa lo bengong mulu kayak orang bloon,” tegur Danang yang mulai bosan lihatinnya. “Kepikiran yang lagi viral? Hahaha. Makanya, Yan, jangan keseringan bergaul sama cewek.”

“Lo kali yang sering bergaul sama cewek,” timpal Evan di atas kursi drummernya.

Danang mengabaikan ujaran Evan. Malahan sekarang dia sedang membicarakan headline news berita yang lagi heboh di media dengan keras-keras. “Ryan Balakosa dan Lydia Asnamira pacaran? HAHAHAHA MAMPUS!”

“Yang ngerekam keren juga, ya. Padahal, mereka ada di balkon rumahnya si Lydia. Ckck, jaman sekarang kamera orang suka ngeri, Bro!” lanjutnya lagi. “Kali ini lo mau bilang apa lagi, Yan? Udah banyak opini di sosmed. Fans lo pada keluarin tagar ‘hari patah hati nasional’ hahaha. Keren, keren. Ryan Balakosa dan Lydia Asnamira pacaran. Hahaha. Lo gak mau terima panggilan infotaiment berita gitu?”

“Diem. Bangsat. Gue gak lagi mikirin soal itu!” tegur Ryan, lama-lama gatel telinganya dengerin ocehan Danang.

Danang mencibir. Menolak percaya sama omongannya.

“Perlu bantuan gak, Yan?” tanya Evan, seperti biasa dia siap bantu kalau temannya itu butuh bantuannya untuk menyangkal berita yang lagi ramai dibicarakan oleh infotaiment.

Waktu kejadian video yang lagi viral ini, sebetulnya Evan ada di sana juga. Di rumah Lyda Asnamira, salah satu artis muda terkenal di ibukota yang sering main film layar lebar dan sekarang lagi beralih menjadi seorang DJ. Bukan cuma Evan yang ada di sana, bahkan Bian pun ada. Cuma Danang yang kehalang hadir saat acara itu.

“Parah lo, Yan. Masa nikung ceweknya teman lo sendiri.” Lagi-lagi Danang dengan banyolan menyebalkannya itu membuat Ryan kesal sampai terpaksa melempar majalah ke wajahnya. Danang yang berhasil menepis langsung tertawa-tawa girang. “Udah tau Lydia ceweknya Bian. Lo embat juga. Tai. Eitsss—gak kena! Hahaha,” serunya sekali lagi berhasil lolos dari lemparan buku.

“Pusing gue denger omongan lo.” Ryan berdiri, melangkah keluar dari studio. Membiarkan Danang yang masih tetap ingin mengajaknya bercanda.

Orang yang ada di video rekaman yang lagi viral itu memang benar Ryan sama Lydia. Yang salah cuma opini publik soal apa yang terjadi di video tersebut. Mereka cuma ngobrol santai di balkon rumah Lydia. Tidak ada yang mesra-mesraan. Di mana publik mengira mereka lagi “berciuman” justru sebenarnya Lydia sedang membisiki Ryan soal rencana gadis itu yang ingin membuat private party untuk ulang tahun Bian.

Bian sama Lydia sudah pacaran selama empat bulan ini. Mereka merahasiakan hubungan itu dari media. Atas kemauan Lydia sendiri karena ingin menghargai privasi Bian yang tidak suka jadi orang terkenal—meski sebenarnya dia orang terkenal di kalangan pencinta gim berkat kanal Youtube-nya topeng monyet. Dan mereka saling mengenal berkat Ryan juga Evan.

Lalu kini publik sedang ramai membicarakan dia bersama Lydia sebagai pasangan kekasih. Ryan sempat pusing, merasa tak enak sama Bian karena gara-gara dia ceweknya jadi kena skandal pacaran. Untung saja Bian menganggap itu sebagai lelucon dan menyuruh Ryan supaya tidak terlalu memikirkan gosip. Ryan tidak terlalu memusingkan cuma sedikit kepikiran dan bawaannya pengen langsung membantah berita miring tentang mereka. Tapi kalau dia terburu-buru membantah, para pemburu berita pasti akan semakin membesar-besarkan beritanya. Makanya dia memilih bungkam, mengabaikan panggilan infotaiment, dan ratusan ribu pertanyaan sama dari para pengguna internet.

Cuma ada satu hal yang bikin dia pusing hari ini. Ryan menyugar surai ke belakang kemudian mengusap kasar wajah frustasinya.

“Berengsek. Gue malah diblok,” gerutunya tak habis pikir tiba-tiba akunnya kena blok dari user sempakbatman.

Visual untuk Evan alias Sean Kaufman (yang jadi Steve kakaknya Belly di That Summer I Turned Pretty)

Yang paling cocok visual Evan cuma dia 😮‍💨

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top