Ch. 10: Who is He?
Bian balik lagi duduk di kursi gim depan pc setelah memastikan pintu kamarnya terkunci benar. Jaga-jaga biar Jiva enggak menyelinap masuk cuma buat ngomel-ngomel sesuatu yang bukan kesalahannya. Lama-lama telinganya pengah sendiri mendengar omelannya. Bian pakai lagi earphone dan obrolan dari dua orang langsung menyambut indra pendengarnya.
Dia hanya menyimak sementara mata menilik hati-hati layar pc. Memastikan karakter gimnya belum kena d words karena sempat ditinggal sementara hanya untuk mendengarkan ocehan adiknya beberapa waktu lalu.
“Ck,” dia berdecak begitu salah satu orang yang bicara membawa-bawa adiknya ke obrolannya itu, “adik gue cuma mengemukakan pendapatnya. Tapi kali ini lo serius, Yan, putus dari si Enzy?”
Dua orang itu tentu Ryan dan Danang.
“Kurang tahu,” jawab Ryan.
“Halah, ntar juga balikan lagi. Hobinya mereka kan putus nyambung,” timpal Danang.
“Terus si Adeline?”
Walau sekarang nama teman-temannya lagi naik ke industri musik, kadang-kadang mereka masih menyempatkan waktu luang untuk main gim bareng Bian. Bian sih, enggak pernah maksa buat ditemenin, mau main sendiri dia enggak pernah masalah. Cuma main gim bareng seolah jadi ritual tak tertulis dalam pertemanannya karena awal dari mereka berempat bisa sedekat ini bermula dari gim, selain dari ukm musik dan ngeband.
“Lo lebih percaya gue atau akun gosip, Ta?”
Danang tiba-tiba ketawa kenceng. “Lagian lo aneh-aneh, sih, Yan. Baru juga naik namanya udah dapat gosip aja sama artis cakep. Ketahuan keluar bareng lagi. Hahaha. Kasihan.”
“Gue kenal Adeline gara-gara setelah tahu dia alumni dari sekolah gue. Akun gosip aja yang melebih-lebihkan berita.”
“Masa???” goda Danang seakan sengaja mau bikin Ryan terpancing emosinya. “Tapi emang bener kan, lo kemarin habis hang out bareng si Adeline?”
Ryan hanya bergumam membenarkan foto-foto hasil jepretan seseorang yang senter ramai di media sosial.
“Gimana rasanya bergaul bareng artis ibukota? Seru gak? Udah dapat apa aja, Broh? Hahaha. Gue denger-denger ceesnya si Adeline terkenal bandel. Yang anak malam pasti udah gak kaget lagi ketemu mereka.”
Bian geleng-geleng saja mendengarkan Danang yang masih berusaha untuk memancing Ryan.
“Eh, hati-hati juga kalau ketemu si Liam.”
“Liam siapa?” tanya Bian.
“Halah, itu lho Liam anak selebritis yang terkenal karena muka ganteng bak pangeran, yang suka bikin rahim anget cewek-cewek online. Dia ceesnya si Adeline.”
“Emang kenapa?”
“Doi nyerong, Broh. Suka bungkus cowok, gak jelas dia itu. Gampang naksir cowok-cowok ganteng. Hahaha. Makanya gue bilang hati-hati.”
“Lah, bukannya dia punya cewek?” tanya Ryan.
“Cewek pajangan doang. Si cewek aslinya pacaran sama si gitaris yang tomboy itu, yang fansnya sebut bff gitu. Padahal, mah ... hahaha. Terus si Liam pernah pacaran juga sama aktor om-om yang kemarin main film setan.”
Bian terngangga. Hal beginian dia sudah sering dengar dari beberapa orang, dunia gelap di balik kehidupan para selebritis. Cuma dia tak menyangka Danang akan serandom ini mengajak mereka untuk bergosip.
“Buset, dah. Gue baru pakai earphone langsung disuguhin teh anget.” Evan yang baru muncul berdecak. “Pengetahuan ‘aa Danang tentang dunia selebritis emang gak perlu diragukan lagi. Spectacular pokoknya!”
Danang kontan terbahak-bahak. Ibunya sendiri dulu merupakan seorang artis senior. Waktu masih muda wajahnya sering seliweran di tv, entah main film, sinetron, atau iklan. Semenjak menikah sama ayahnya, ibunya baru berhenti dari dunia selebritis. Makanya Danang cukup banyak tahu hal-hal beginian. Pergaulannya juga tak jauh dari orang-orang terkenal, selain bareng teman yang dia kenal semenjak kuliah.
“Btw, barusan si Enzy juga nanya ke gue. Lo beneran deket sama si Adeline atau cuma gosip doang.”
“Asyik! Ditanyain mantan terindah, besok pasti balikan lagi,” sahut Danang terdengar girang sendiri.
“Gue rasa kayaknya enggak,” kata Evan. “Lo pasti minder duluan sama keluarganya dia, kan?”
“Emang ada masalah apa keluarganya Enzy? Bukannya Ryan baik-baik aja, ya?” tanya Danang. “Jawab oi, Yan, jangan diem-diem mulu.”
Ryan tetap diam lantaran malas membicarakan masalah hubungannya. Bian cuma menyimak lantaran bingung, ini sebenarnya mereka mau main gim online bareng atau gosip online?
“Bokapnya Enzy tuh, dokter. Nyokapnya pejabat. Saudaranya juga dokter. Terus si Enzy habis lulus kuliah mau lanjut ke Jerman. Ya jelaslah, Ryan bakalan minder kalau tetap lanjutin hubungannya. Dia sendiri aja mau fokus ngeband, kuliah kagak diurus-urus lagi.”
“Ohh ... jadi gitu,” seloroh Danang. “Payah lo, Yan! Perjuangan lo cetek. Percuma lo pacarin si Enzy dari jaman sekolah. Cuma gara-gara gitu doang aja lo minder. Dahlah, emang paling bener si Enzy pacaran sama si Bian.”
“Anjing. Gue diam aja daritadi. Ngapain bawa-bawa gue?” teriak Bian kesal sendiri mendengar pernyataan Danang.
“Mata gue tuh, gak pernah salah nilai, Ta. Daripada sama si Ryan, Enzy cocokan sama lo. Lo tanya aja sama anak-anak di kampus pasti rata-rata ngiranya begitu, lo pacarnya si Enzy daripada Ryan.”
“Bangsat.” Bian mengumpat. Omongan Danang kadang-kadang suka enggak ngotak. Main asal bilang ini-itu tanpa memikirkan perasaan orang sekitarnya.
“Mulut lo babi, Nang.”
Tanpa merasa berdosa, Danang terbahak-bahak lagi terlebih setelah Ryan mengumpatinya. “Pantesan Jiva langsung unlike. Hahaha.”
“Lo jangan bawa-bawa adik gue juga. Anjing.”
“Ampun, Boss. Ampun. Gue cuma bilang doang.”
“Sialan. Diam lo. Kesel gue denger omongan lo!” ujar Bian langsung mematikan microphone Danang supaya dia berhenti ngomong.
“Ckck. Omongan lo makin kacau, Nang. Lagian remaja kayak Jiva itu wajar perasaannya suka berubah-ubah,” kata Evan sebelum semua sepakat untuk mengakhiri obrolan malam itu dengan bermain gim saja.
Dan sebagai pembalasan untuk Danang, mereka bertiga kompakan mengorbankan karakter gim Danang supaya jadi samsak tembakan para musuh. Danang yang selalu dijadikan korban kroyokan di gim, terus ngomel-ngomel sepanjang permainan itu.
• knock knock your heart •
“Sorry, gue telat,” kata Bian setibanya di ruang tunggu band The Bastards. Sepulang dari kampus ngurus bimbingan skripsi, dia langsung meluncur kemari buat nonton live performance bandnya ini. Bian tetap menolak tawaran buat ikut manggung dalam bentuk rayuan apa pun.
Walau Bian sudah bilang keluar dari band, The Bastards masih menganggap dia sebagai bagian dari group. Tepatnya, Bian hanya akan ikut campur selama itu ada di balik layar. Dia benar-benar menolak jika suruh untuk ikut tampil di depan layar. Keputusannya tetap bulat, tak terbantahkan.
“Tumben sendiri. Jiva kagak ikut?” tanya Evan sedikit heran karena tak biasanya Bian datang sendirian menonton tanpa saudaranya ikut.
Gelengan kepalanya langsung menjawab rasa penasaran Evan.
“Gara-gara si Ryan, nih. The Bastard jadi kehilangan marketing loyalnya, kan!?”
Ryan hanya memelototi Danang tanpa berkomentar apa-apa. Telanjur malas mendengarnya bicara asal-asalan ini.
Danang lalu menyikut lengan Bian. Sepasang alis itu tampak sedang dimain-mainkan naik turun. “Adik lo udah kelas dua tuh, gue pacarin boleh kagak?”
“Lo kalau ngomong omong kosong lagi. Gue depak juga dari band!” ujar Ryan terdengar serius mengancamnya.
“Lempar aja langsung ke rumah sakit jiwa. Orang gak waras kalau dibiarin makin lama makin menjadi-jadi,” balas Bian segera menyingkirkan Danang dari sampingnya. “Beruntung adik gue gak ikut.”
“Salah gue apa, Nyet? Gue ngomong serius barusan.”
“Danang kayaknya beneran naksir adik lo, Ta,” timpal Evan dengan santai.
Laki-laki di sebrang langsung mengangguk setuju. “Makanya, Ta, sebagai calon kakak ipar, kasih gue restu. Biar adik lo sama gue aja. Gue jamin kehidupannya bakalan indah sampai tujuh turunan.”
Ryan memutar bola mata; Bian pura-pura muntah di depan Danang; lalu Evan menahan senyumnya.
“Indah tujuh turunan? Preet! Yang ada makan hati lo selingkuhin dia sama cewek-cewek koleksian lo itu.”
“Daripada lo perjuangan cetek. Mending gue,” Danang buru-buru meralat saat Bian memelototinya, “maksudnya gue bakalan setia sampai mampus kalau sama adik lo, Ta. Gue siap dah, nunggu dia sampai siap buat dihalalin.”
“Lo tau gak, Nang, apa yang gue syukurin sekarang?” tanya Bian tiba-tiba.
“Apa?”
“Beruntung adik gue gak naksir orang kayak lo.” Refleks tangan Bian meninju lengan Danang keras-keras. “Awas aja lo deket-deket adik gue. Bakalan gue bunuh lo!”
“Serem amat—arghhh ... iya, iya, gak bakalan gue deketin!” teriak Danang membuat beberapa kepala di dalam ruang itu spontan menoleh ke arahnya. Sampai Evan terpaksa angkat bicara, menjelaskan kalau mereka cuma sekadar bercanda.
Mulai sejak hari itu, Jiva sudah tak pernah lagi ikut Bian nonton berbagai konser The Bastard. Alasannya selalu sama setiap kali Bian iseng-iseng mengajaknya pergi nonton bareng. Jiva malas ketemu teman Bian. Dan teman yang dimaksud itu selalu si Ryan Balakosa. Kali ini tidak ada lagi sebutan istemewa “Kak Ian” hanya ada “teman Bang Tata”.
Persis seperti ucapan Evan beberapa waktu, wajar bila perasaaan suka seorang remaja seperti Jiva suka berubah-ubah. Kemarin mungkin dia bilang suka, besok pernyataan itu bisa berubah jadi tak suka. Bian tak pernah mempermasalahkan itu, cuma dia agak bingung karena rasa tak suka Jiva justru terlihat seperti orang yang suka mengajak orang yang tidak disukai itu untuk bermusuhan.
Hanya karena sepasang kekasih sudah putus, dia jadi kecewa, marah, dan kesal sendiri. Sementara dia tidak pernah terlibat dalam hubungan itu. Alasan aneh hanya untuk tidak menyukai seseorang. Anehnya lagi yang mengalami masalah itu adiknya sendiri. Dan lebih lucu lagi ketika ketidaksukaan itu menyebabkan adiknya bertingkah sendiri seperti orang yang sebelumnya tidak pernah saling kenal dengan orang yang sudah tidak disukai lagi.
Tepat ketika hari kelulusan Bian beberapa bulan kemudian, semua temannya hadir pada acara wisuda khususnya saat wisuda fakultas. Danang, Evan, dan Ryan baru bisa hadir di hari wisuda fakultas Bian setelah kemarin wisuda kampus pada absen karena kebetulan jadwalnya saling tabrakan sama jam manggung band.
Saat mereka datang, Jiva tanpa sadar sudah ngomel-ngomel di samping Bian.
“Gitu-gitu juga kamu pernah naksir orangnya,” kata Bian setengah berbisik pada Jiva yang segera menginjak kaki Bian dengan sepatu heelsnya.
Bian mengumpat. Lupa kalau hari ini adiknya lengkap pakai pakaian kebaya dan sepatu heels. Acara wisuda fakultas lebih terkesan formal, intim, dan tertutup hanya untuk dinikmati dari kalangan keluarga para mahasiswa, berbeda dari acara wisuda kampus. Makanya kebanyakan para tamu undangan memakai pakaian formal, tak terkecuali dari pihak keluarga Bian sendiri.
“Abang kalau fitnah Jiva lagi, gue pukul pakai high heels. Mau?!”
Bian meringis. Perlahan menyingkir dari adiknya yang sedang mengamuk itu.
“MY BROOO ...!” seru Danang merentangkan tangan lebar-lebar bermaksud ingin memberi pelukan selamat atas kelulusannya. Tapi Bian justru menyuruh Danang putar badan sambil mendorong-dorong punggungnya. “Lah, lah ... eh, btw, gue belum nyapa Ji—”
“Jangan dulu. Adik gue lagi mode gorila.”
Ketiga laki-laki spontan menoleh ke arah Jiva yang terlihat sedang ngomel-ngomel sendiri.
“Buset! Cakepan banget calon bini gue,” seloroh Danang tak tahu malu. Padahal, di sekitarnya saat itu ada orang tua Bian yang kapan pun bisa mendengar ucapannya.
“Sorry, sorry, kelepasan. Adik lo cakep, sih!” katanya membela diri. Membuat Bian segera menyuruh mereka agar tak coba-coba dekat sama adiknya.
Jiva sendiri masih saja mengomel. Entah itu menyebut Bian pengkhianat karena lebih suka bercengkrama sama temannya ketimbang keluarga atau mendengus sebal ketika matanya tak sengaja pas-pasan dengan Ryan. Jiva sempay balas melotot sebelum membuang muka terus marah-marah lagi.
“Ayah, pulang, yuk?” serunya sambil menarik-narik tangan ayahnya.
Ibu yang menyaksikan itu segera menegur putrinya. “Wajahnya jangan cemberut mulu, ah.
Gak boleh gitu. Hari wisuda abang kamu, lho, Dek, jangan ngambekan gitu.”
“Habis Bang Tata lebih milih temannya daripada adiknya.”
Ayah kemudian tersenyum lebar. “Biar ayah yang negur abang dulu.” Tahu-tahu ayah sudah melangkah menyusul Bian bersama temannya itu. Entah apa yang ayah bicarakan bersama anak laki-lakinya di sana tadi, lalu begitu kembali ayah tiba-tiba menarik Jiva. Menyuruh sang putri agar mau bergabung bersama kakak dan temannya.
“Bukan gini maksud adik, Ayaaah ...!”
“Gak usah malu-malu. Cuma foto bareng doang,” kata ayah menyalahpahami aksi merajuk putrinya hari ini.
Jiva mau protes, tapi Bian sudah merangkul pundaknya. Menahan dirinya agar tak kabur ke mana-mana sambil diam-diam bicara supaya Jiva menuruti saja kemauan ayah mereka. Pada akhirnya, Jiva menurut selama tidak ada “teman Bian” itu di sebelahnya selama proses foto.
Itu cuma kemauan Jiva yang disampaikan ke Bian selama saling berbisik-bisik. Kebalikan dari kemauan pihak satunya. Setelah berdebat bersama Danang merebutkan posisi berdiri foto, Ryan kemudian mengalah pindah tempat jadi berdiri di sebelah kiri persis di samping Jiva. Gadis itu awalnya tak sadar karena fokus bicara sama Bian. Dia baru sadar saat lengan mereka saling bersentuhan.
Jiva menoleh; Ryan pun menoleh. Dua orang itu saling bertukar pandang dengan ekspresi wajah yang berbeda. Si gadis yang terkejut dengan mata terbelalak dan si laki-laki yang tersenyum hangat. Reaksi dua orang tersebut tanpa sadar kemudian terpotret oleh kamera ponsel Pak Chandra.
Phase 1 udah selesai hoho next Phase 2. Upload sekarang, takutnya listrik mati, efek hujan deras 🫂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top