Ch. 09: The Reason Why (3) ...


Hari yang ditunggu-tunggu tiba juga. Jiva yang tak sabar menyetel tv di ruang keluarga, segera menyerobot masuk ke rumah, mengucap salam asal-asalan membuat sang ibu jadi mengernyit bingung, kemudian melempar tas begitu saja di lantai. Gadis itu lalu duduk di sofa, mengambil remot tv tanpa melepas sepatu maupun ganti baju.

TV pun menyala. Jiva langsung menekan nomer channel tv yang ditunggu-tunggu tayangannya sejak sepekan lalu. Sekarang dia bisa bernapas lega karena acara tersebut masih menyorot para host saling bicara. Jiva menoleh kanan kiri mencari tas yang tadi dilemparkan ke lantai asal-asalan. Menarik benda itu mendekat untuk sekadar mengambil ponselnya di dalam.

Jarinya menggulir cepat layar ponselnya dengan mata sering berpindah pandangan dari layar ponsel ke tv. Lantas memotret tv yang sedang menayangkan sebuah acara musik dari channel tv nasional. Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tatkala ia mengirim gambar hasil jepretan kamera ponselnya. Sementara jari-jarinya aktif mengetik.

[Send a pict]
Hihihi udah stand by depan tv nih, kak 🤭
Semangat Kak Ian buat flive performance di tv nasional pertamanya!!!
🔥🔥🔥🔥
______________

Walau dulu sempat panik dan malu sewaktu Ryan tahu dialah pemilik akun sempakbatman, tapi Jiva tak pernah berhenti mengikuti akun Ryan. Dia masih sering iseng-iseng nge-DM atau ngereply postingan sempaksuperman. Leganya semua DM-nya selalu dapat respon dari Ryan. Padahal, isi chat Jiva itu random banget setelah dia kebanyakan mikir soal topik apa yang paling enak buat ngobrol bareng crush. Jiva suka pusing cari topik obrolan, tips-tips yang ditemukan di internet enggak banyak bantu juga, sampai akhirnya dia ngechat apa adanya.

“Habis balik sekolah itu lepas sepatunya, Dek. Ganti baju terus cuci tangan sama kaki.”

Jiva segera menyimpan ponselnya ke saku seragam sekolahnya setelah dapat omelan dari Bian. Lebih tepatnya, dia enggak mau sampai ketahuan saudaranya kalau selama ini dia sering DM-an sama temannya, si Ryan.

“Daripada Bang Tata kebanyakan komentar kayak orang tua, mending duduk sini samping Jiva, kita nonton live-nya The Bastard bareng-bareng. Hehehe,” balasnya sambil nyengir lebar.

Bian memutar bola mata. Namun, tetap duduk di tempat yang Jiva tepuk-tepuk barusan.

Sebetulnya Jiva masih agak kecewa atas pilihan Bian yang absen dari penampilan live bandnya di tv nasional. Sepekan lalu dia sempat ngomel-omel, menuding kakaknya bodoh karena tetap menolak ajakan buat tampil live di tv nasional bareng band mates-nya. Bian terus didesak supaya mau ikut, tapi pilihan pemuda itu tidak pernah berubah dari sepekan lalu maupun sekarang. Dia tetap menolak ikut.

“Kalau Bang Tata ikut pasti lebih keren!” Jiva seolah sengaja membawa-bawa keputusan Bian untuk menyinggungnya lagi. Absennya Bian dari The Bastard, membuat grou band itu hanya tersisa tiga orang saja: Evan, Danang, dan Ryan.

“Abang ngeband cuma buat have fun aja. Kalau mereka mau serius, ya udah, itu urusan mereka.”

“Pengkhianat.” Bian melotot agak tersinggung mendengarnya. Dari awal mereka membentuk band, Bian sudah mengingatkan ke rekan anggotanya kalau suatu saat nama band mereka naik, dia akan absen kegiatan band dalam bentuk apa pun. Awalnya mereka menganggap omongan Bian cuma bualan belaka karena mereka tak berpikir nama The Bastard akan naik, tapi begitu kejadian mereka langsung syok karena Bian sama sekali tak membual dengan omongannya dulu.

Danang sempat marah-marah, menuding Bian cuma main-main sama band mereka. Dua orang lainnya sama-sama kecewa, tapi tak sampai semarah Danang. Beruntungnya kemarahan itu tak sampai memicu retaknya band maupun pertemanan mereka. Semua berkat Evan yang langsung turun tangan, mendinginkan suasana dan meredamkan kekecewaan Danang, sebelum menyuruh Bian untuk membeberkan lagi alasannya kenapa dia memilih absen dalam kegiatan band setelah nama band mereka baru mulai naik.

Bian senang nama bandnya naik. Dia bersyukur jika band yang telah dibangun bersama ketiga temannya itu perlahan-lahan mulai dikenal banyak orang. Bian cuma kurang suka menjadi orang terkenal. Ditambah, dia mau fokus kuliah semenjak semester kemarin proposalnya tak terurus gara-gara terlalu fokus urus ukm dan band. Bian tidak enakan kalau terus-terusan melalaikan kuliah sementara orang tuanya tiap hari harus banting tulang demi membiayai kuliah dan sekolah adiknya.

“Mending fokus nonton aja acaranya,” ujar Bian sambil memaksa agar kepala Jiva fokus ke tv bukan ke dia. Lama-lama bosan dengerin keluhan saudaranya hanya karena dia tak suka jadi terkenal.

“AAAAA ... KAK IAN ...!” Jeritannya pun menjadi begitu kamera menyorot wajah para personil The Bastard. Jiva yang kelewat heboh lihat Ryan di tv sampai menarik baju Bian dan berteriak-teriak, “Sumpah!? Kak Ian ganteng bangeeet ...! Bang Tata, lihat itu, Kak Ian ganteng bangeeeet ...!”

Bian menghela napas pasrah. Kali ini kepalanya pusing gara-gara kelakuan heboh adiknya sendiri yang terus-terusan memuji Ryan dan kelakuannya menjadi-jadi saat kamera menyorot wajah sang vokalis. Sebenarnya yang dia tunggu-tunggu itu penampilan live The Bastard di tv nasional atau Ryan di tv nasional, sih? Aneh banget.

“Kak Ian ganteng banget, sih!” Jiva senyam-senyum sendiri sambil menunjuk Ryan di tv. “Lebih ganteng lagi kalau Kak Ian jadi pacarku ya, kan, Bang Tata?”

You wish.”

“Emang I wish kok, apa salahnya?” jawabnya masih dengan senyuman konyolnya itu.

Kalau dipikir-pikir agak aneh juga. Di band mereka yang paling terkenal ganteng itu bukan Ryan, justru si Evan. Malah dulu Bian ngiranya Jiva bakalan naksir Evan kalau mereka ketemu. Makanya pas pertama teman-temannya main ke rumah, Bian sempat minta tolong ke Evan buat tetap pakai tudung hoodie-nya, terus posisi duduk di kursi sebisa mungkin memunggungi arah pintu maupun kaca biar Jiva tidak bisa melihat wajahnya. Realita justru adiknya naksir Ryan alih-alih Evan.

Mungkin kalau Jiva lebih naksir Evan, Bian bisa pertimbangkan baik-baik. Kelakuan Evan kadang bisa gila-gilaan kalau lagi kumat, tapi disamping itu dia ini orang pinter dan dapat diandalkan.

“Bang Tata ...!”

“Apa sih, Dek?!” balasnya tersentak kaget karena cengkraman kuat tangan Jiva.

Jiva menunjuk-nunjuk lagi tv—atau ke Ryan yang tengah bicara di depan kamera tv yang sedang menyorot wajahnya. “Jodohin Jiva sama Kak Ian.”

“Huh?”

Please ....”

“Huh ....”

Please ...!”

Bian kemudian bangkit berdiri. Seluruh tubuhnya meremang takut, seolah baru melihat hantu berdiri menakut-nakuti di balik punggungnya. Bian mengusap-usap kedua lengangnya sebelum kabur ke kamar. Meninggalkan Jiva yang kini bengong karena tiba-tiba ditinggal kabur oleh saudaranya itu.

• knock knock your heart •

“Ayah. Bang Tata ke mana?”

“Cari abang kamu itu paling gampang daripada nyari kamu,” kata ayah tanpa berpaling dari laptopnya. “Cari di kamarnya pasti dia di situ.”

“Jiva udah ke kamarnya. Gak ada Bang Tata di sana, Yah.”

“Ada. Pasti ada. Coba kamu cari lagi.”

Jiva bergeming. Tetap berdiri menunggu di depan meja tempat kerja ayah di rumah. Pak Chandra mendongak, memandangi wajah putrinya yang masih berdiri seolah sedang menunggu tambahan jawaban darinya.

“Abang kamu di kamar.”

“Tapi tadi—”

“Sekarang dia udah gak sembunyi. Kamu cari lagi aja ke kamar.”

“Beneran ada?”

“Iya, Sayang.”

Mata cokelat itu berbinar-binar kemudian. Sepasang kaki itu lantas membawa Jiva melesat lagi ke kamar Bian. Dia menerobos masuk tepat setelah Bian hendak mengunci pintu kamarnya. Bian sontak kaget atas kemunculan lagi Jiva kemari.

“Apalagi, Dek?” tanya Bian berusaha untuk tetap sabar meladeni adiknya yang lagi-lagi sedang berulah dengan tingkah laku luar biasanya itu.

“Bang Tata.”

“Apa?”

“Emang beritanya bener, ya?”

“Berita apaan?” Jiva tak segera menjawab. Hanya menatap lurus ke Bian dengan ekspresi meratap. “Cepet, Dek, mau nanya apa. Bang Tata sibuk.”

Mulut itu tak kunjung bicara walau Bian mulai geregetan dengan sikap bungkamnya ini. Pandangannya justru teralihkan pada layar pc saudaranya yang menyala. Jiva mendengkus bete. Sibuknya Bian itu cuma sibuk ngegame.

“Jiva.”

“Masa Bang Tata gak tahu berita nowdays.”

“Dek, berita hari ini itu ada banyak. Nah, kamu mau nyuruh abang buat nebak-nebak berita mana yang kamu maksud?”

“Gak ah, kelamaan!” jawabnya setengah dingin, lalu memaparkan ponselnya ke depan wajah Bian. “Berita ini. Beneran?”

Bukan berita dari surat kabar, bukan juga berita dari stasiun tv, melainkan hanya cuitan dari akun-akun gosip selebritis yang belakangan akunnya sedang naik daun. Akun yang sering membuat dunia maya heboh dengan segala jenis gosip yang mereka punya. Bian membaca kata demi kata tanpa melewatkan satu kata pun.

Nama bandnya dulu sekarang memang sedang naik daun di industri musik nasional, terutama setelah Evan dan Ryan mendebutkan lagu kedua mereka sebelum tandatangan kontrak dengan manajemen musik. The Bastard mulai dikenal banyak orang. Lagu-lagu mereka mulai bermunculan di radio. Ketiga temannya itu juga sudah sering tampil di beberapa program musik di tv nasional, dari program musik pagi sampai baru-baru ini acara musik besar. Ryan, Evan, dan Danang namanya sekarang sudah dikenal orang sebagai personil The Bastard. Ketiga orang itu sudah bisa dianggap sebagai selebritis baru di dunia hiburan.

Menjadi orang terkenal pasti akan ada banyak berita-berita yang mengikuti. Entah itu berita baik maupun buruk. Inilah mengapa Bian tak suka jadi orang terkenal.

“Beneran Kak Ian pacaran sama artis ini?”

Bian mengangkat bahu. Antara tak tahu atau tak peduli.

“Bang Tata ....” Jiva merenggut terlihat sedih. Bian hampir mengira adiknya itu mau nangis karena munculnya berita Ryan digosipin pacaran sama artis blesteran bernama Adeline. Sebaliknya justru dia terlihat marah-marah. “Jelek banget. Jelek banget. Jelek banget pokoknya. Sumpah, ya, jelek bangeeeet ...!”

“Adeline yang jelek?” tanya Bian sedikit ragu.

“IYAAA! SIAPA LAGI YANG JELEK?!”

“Serius lo bilang si Adeline jelek?” Bagi Bian cewek seperti Adeline itu cantik. Apalagi dia punya darah bleseteran.

Jiva mengusap wajahnya. “Si Adeline pokoknya jelek. Cantikan juga Kak Enzy. Teman Abang juga jelek. Dih, gak banget. Jelek, jelek, jelek.”

“Lah?” Bian mengerjap heran.

“Pokoknya Bang Tata gak boleh ngedukung walau dia temannya Bang Tata.”

Lipatan di dahinya semakin tumbuh. Matanya mengernyit. Bian bener-benar bingung sekarang.

“Masa Kak Enzy yang udah nemenin dari nol, tiba-tiba ditinggalin cuma demi artis jelek modal wajah blesteran doang?! Ih, gak banget, sumpah! Teman Bang Tata gak tahu diri. Kayak kacang lupa kulitnya, tau gak?!”

“Enzy sama Ryan udah putus dua bulan lalu.”

“Mau dua bulan lalu, kek, mau kemarin kek. Teman Bang Tata tetap aja gak tahu diri. Udah bener-bener punya cewek secakep Kak Enzy, udah ditemenin dari nol, giliran sukses kecantol betina blesteran. Gak banget. Dih. Cowok gila!”

“Cowok yang kamu sebut gila, cowok yang kamu taksir, lho.”

“Huweeek ...!” Jiva spontan pura-pura muntah di depan Bian yang cengo melihat reaksi tak terduganya ini. “Bang Tata jangan ngefitnah Jiva yang enggak-enggak dong. Mual jadinya.”

“Lah?”

“Tau, ah. Pokoknya teman Bang Tata jelek, gak tahu diri, berengsek!” ujarnya lantas berbalik keluar dari kamarnya seiring seruan yel-yelnya yang terdenger seperti, “Hidup Kak Enzy. Jiva stand Kak Enzy for better choice!”

Membuat Bian jadi berdiri dengan wajah cengo. Jiva dan kelakuan ajaibnya itu tak ada habis-habisnya bikin Bian kena mental breakdown. Lagian urusan Enzy, Ryan, dan Adeline enggak ada hubungannya sama Jiva. Lalu kenapa adiknya itu mendadak seperti jadi pendukung Enzy? Bian bingung sumpah. Sampai lupa ngingetin Jiva buat enggak kemakan sama cuitan akun-akun gosip.

Visual buat Aa Danang The Bastard aka DPR Live



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top