Ch. 08: The Reason Why (2) ....

"Masih lama keluarnya, ya?"

"Sabar, Nang."

Danang mendesah bosan. "Gue udah lapar, Van. Lo tahu sendiri gue gak sempat makan siang di kampus."

"Salah lo sendirilah diajak makan siang gak mau. Sok-sokan nolak bilang udah kenyang lagi!" cerca Evan, teramat bosan mendengar alasan klise Danang yang enggak hanya sekali terucapkan itu.

"Emang udah kenyang kok. Laparnya baru sekarang."

Ryan menoleh ke bangku tengah. Geleng-geleng kepala kemudian menanggapi ocehan Danang barusan. Bilang saja kalau pengen makan besar lagi karena waktu di kampus, Danang nolak ajakan makan siang Evan, tapi mulutnya itu terus nyemil mulai dari snack punya teman se-ukm sampai nyemil cilok sama telur gulung yang Bian beli dari luar kampus. Dan semua makanan itu Danang sendiri yang habisin. Sampai Bian enggak kebagian jajanan yang dia beli sendiri.

"Jaman sekarang anak sekolah pramuka selama ini, ya?" tanya Danang sekali lagi. Sudah berapa kali coba dia terus menanyakan hal sama ke setiap orang di dalam mobil ini. Orang yang denger sampai jadi bosen, geregetan, dan bawaannya pengen ngusir Danang keluar.

"Tergantung."

Sebagai mantan kakak pembina pramuka waktu kelas 3 SMA, Evan cukup paham soal kegiatan anak-anak pramuka di sekolah. Waktu kuliah semester 1 dulu, dia masih sering dipanggil ke sekolah buat membina adik-adiknya itu, terus mulai semester 2 sudah jarang lagi karena Evan mau fokus kuliah. Ditambah lagi dia mulai terjun ke beberapa ukm di kampus, salah satunya ukm musik.

"Ketahuan lo gak pernah ikut pramuka," ujar Ryan mengejek Danang.

"Emang lo pernah ikut?"

"Pernahlah. Gak kayak lo, tukang absen." Walau enggak serajin Evan sampai jadi kakak pembina pramuka, Ryan termasuk murid sekolah yang cukup rutin ikut pramuka dari SD sampai SMA. Kegiatan pramuka sendiri bagian dari rutinitas wajib di sekolahnya dulu-atau mungkin wajib di semua sekolah mana pun. Waktu SMP bahkan dia pernah ikut kegiatan camping sekali, sedang SMA Ryan sengaja bolos dengan pura-pura sakit.

Danang hanya mencibir. Waktu sekolah dulu dia termasuk bandel, sering bolos sekolah dan lebih sering kena hukuman karena selalu absen pramuka. Kepala laki-laki itu kontan menjulur ke luar melewati jendela mobil yang terbuka lebar-lebar. Sedang di luar masih ada Bian yang berdiri menunggu dengan punggung bersandar di badan mobil.

"Ta."

"Apalagi?" sahut Bian, bosan setiap saat terus dipanggil Danang cuma buat nanya kapan adiknya itu pulang pramuka. Kalau Danang saja bosan nungguin, Bian justru diam-diam dalam hati sedang merutuki Jiva karena dianggap telah menipunya. Beberapa waktu lalu Jiva bilang di chat kalau 10 menit lagi dia selesai pramuka, makanya Bian buru-buru ke sekolahnya. Lah ternyata, lebih dari 10 menit dan hingga detik ini anak itu belum juga pulang-pulang.

"Jiva masih lama, ya?"

"Bentar lagi."

"Bentar lagi mulu." Danang mencibir. Bosan sekali selalu dapat jawaban sama dari orang yang sama pula. "Gak ada balasan lainnya apa?"

Hampir setengah jam mereka menunggu di depan gerbang sekolah Jiva, tapi remaja itu tak kunjung pula terlihat. Hidung batangnya tak muncul setibanya mereka kemari. Membuat Danang jadi hilang kesabaran. Harusnya ini tugas pribadi Bian menjemput saudara perempuannya itu pulang sekolah, tapi entah bagaimana mereka bertiga terseret dalam tugas pribadi Bian.

Hari ini ayah Bian lembur, jadi enggak bisa jemput Jiva seperti biasa di hari Jum'at. Ibu belum bisa naik motor atau mobil, makanya enggak bisa jemput Jiva. Maka tugas itu dilimpahkan ke Bian sebagai anak pertama. Berhubung motornya lagi dibengkel dan belum diambil, dia kemudian nebeng Ryan. Niatnya mau ambil motor dulu sebelum jemput Jiva ke sekolah, tapi Ryan nawarin buat sekalian mereka ke sekolah Jiva, menjemputnya, baru setelah itu ambil motor Bian di bengkel-kebetulan jalan ke sekolah sama bengkel motor searah.

"Sabar, Nang. Sabar." Evan pun sama bosannya seperti Danang. Cuma dia enggak pernah mengeluh seperti yang dilakukan Danang ini. Toh, dia juga ingin merasakan posisi sebagai seorang kakak menunggu adiknya pulang sekolah. Mengingat dulu dia lebih sering dijemput kakak perempuannya alih-alih menjemput karena kalau di rumah Evan adalah anak bungsu.

"Tuh, si Jiva udah keluar," ujar Ryan, menunjuk ke remaja putri dengan seragam sekolah pramuka yang terlihat sedang berlari melewati gerbang sekolah.

Danang terlihat semringah. Tanpa sadar kini dia menyoraki kemunculan Jiva dengan yel-yel ala kadar yang muncul di kepala. Napas Jiva terdengar ngos-ngosan begitu berhenti di depan Bian yang kini memelototinya.

"Kok lama sih, Dek? Bilangnya 10 menit taunya 30 menit."

"Bukan salah Jiva, Bang Tata. Gara-gara satu anak pulangnya jadi lama!" Jiva masih terlihat kesal. Hanya karena kesalahan satu orang, mereka semua kena imbas. Kena omelan terus dapat hukuman dari kakak pembina pramuka. Pulang yang harusnya tepat waktu seperti biasa, jadi ditunda sampai hampir 30 menit sendiri.

"Ya udah. Ayo, pulang!" kata Bian.

Awalnya Bian sudah buka pintu lebar-lebar di bagian bangku tengah. Namun, ketika melihat wajah menyebalkan kedua temannya di bangku tengah, dia lantas menutup pintu dan tanpa bicara beralih membuka pintu bagian depan.

"Duduk depan, deh. Belakang banyak orang gila."

"Danang doang kali yang gila!" teriak Evan tak terima harga dirinya sebagai orang waras disamakan dengan Danang yang rada-rada ini.

Wajah Jiva merona sesaat, begitu sadar akan duduk bersebelahan sama Ryan. Dia sungguh berterimakasih pada Bian yang secara tak langsung telah memberinya akses untuk bisa dekat-dekat sama mas crush. Dalam hati kini dia sedang cekikikan gembira.

"Hai, Kak Ian."

"Hai, Jiv."

Mak nyes banget. Asli! Hati terasa plong begitu dapat balasan serta senyuman lembut dari doi. Pasukan kampanyenya bersorak ria menyambut balasan Ryan. Merekam moment singkat itu dan menyimpannya dalam file pribadi yang akan tersimpan di bagian Long Term Memories-nya. Hanya cukup diberi beginian saja Jiva langsung dibuat cenat-cenut tak karuan. Apa kabar kalau sampai diberi hati Ryan, dia pasti sudah kayang di jalanan.

Namun, kebahagiaan itu tak berangsur-angsur. Langsung berakhir singkat. Bian bertindak cepat dengan memaksa kepala Jiva agar menghadap lurus ke depan, bukan ke arah Ryan, dan memaksa agar mulutnya berhenti menyeringai bodoh seperti orang idiot.

"Bang Tata apa-apaan, sih!?"

"Haram, Dek. Haram," ucap Bian membuat Jiva menggerutu kesal karena merasa telah dipermalukan di depan Ryan. Upaya untuk menjauhkan kedua tangan Bian dari wajahnya pun gagal. Bian masih sanggup menahan kepalanya supaya tetap tegak lurus ke depan.

"Yang halal cuma 'Aa Danang, Jiv. Sini, sini, mending lihatin 'Aa biar dapat berkah di hari Jum'at."

"Amit-amit," gumam Evan langsung pura-pura muntah di dekatnya.

Bian yang kesal segera menginjak kaki Danang, terus meminta Ryan agar mampir sebentar ke rumah sakit jiwa terdekat untuk mengembalikkan Danang ke tempat asalnya.

"Hahaha."

Tawa Evan pecah; Danang merenggut bete; Bian masa bodoh. Jiva melipatkan kedua tangan di dada, bibirnya manyun sepanjang kendaraan itu melaju di jalan raya. Sedang Ryan tetap fokus menyetir. Hanya sesekali dia melirik ke orang-orang melalui spion kecil di dalam mobil. Ketika atensinya berpaling ke arah Jiva, dia kontan tersenyum geli. Menilik seraut remaja di sebelahnya yang terlihat begitu lucu ketika sedang kesal.

Ryan membuang muka segera setelah Bian memergoki dan sekarang tengah menatapnya tajam. Mata itu jelas menyiratkan sebuah ancaman tak tertulis. Tegas dan tak terbantahkan. Sebagai seorang kakak laki-laki, Bian termasuk kakak yang cukup posesif pada adiknya. Melarang teman-temannya mendekati adiknya dalam bentuk apa pun. Disamping karena Jiva masih di bawah umur bagi laki-laki seumuran Bian, dia juga tak suka adiknya dekat sama laki-laki yang luar dan dalam kelakuan busuk mereka sudah Bian ketahui.

Danang itu ceroboh dan terlalu gila; Evan sebenarnya orang yang cukup kalem, pintar, dan dapat dipercaya, tapi suatu waktu bisa juga menggila seperti Danang; Ryan sendiri terlewat bagus dalam beberapa aspek, tapi sebenarnya dia orang yang cukup tajam saat bicara. Omongannya tidak pandang bulu, mau itu laki-laki atau perempuan. Orang awam pasti jarang menyadarinya karena tertutup sama tampang rupawannya, Bian sendiri baru notice setelah sering bergaul bersama Ryan di kampus. Tiga laki-laki ini termasuk Bian sendiri, mereka sama-sama orang gila. Itulah sebab mereka berempat berteman. Dan, itu sebabnya pula Bian kurang setuju mereka dekat-dekat sama adiknya.

Jiva terlalu kecil dan polos untuk orang-orang dewasa dengan pikiran rada-rada itu.

"Bro, Bro, Bro!" seru Danang dadakan sambil meremas pundak Ryan. "Mampir mekdi dulu sebrang jalan itu. Gue udah gak tahan lagi. Laper banget. Serius!"

"Iya, Nang, sabar. Masih puluhan meter lagi."

"Gak bisa lagi sabar. Gue udah kelewat laper!"

Ryan cukup dengan mengangguk mendengar ocehan Danang di bangku tengah. Mobil kemudian mengambil jalur kiri, menyebrangi jalan menuju restauran fast food yang sudah ditunjuk-tunjuk Danang sejak tadi. Ryan sempat menawarkan drive thru supaya mereka bisa cepat nganterin Jiva pulang rumah, yang segera ditolak keras oleh Danang. Kemudian mobil parkir. Danang yang sudah tak sabar lagi, mendorong Bian dan Evan supaya keluar dari mobil biar dia bisa lewat.

"Buset deh. Sabar napa, sih!" gerutu Evan mendengus sebal ke Danang yang acuh tak acuh selama mendorong punggungnya keluar mobil.

Tanpa bicara apa-apa, Danang langsung cabut duluan ke restauran, meninggalkan orang-orang di belakangnya.

"Tinggalin aja tasnya di dalam," kata Bian menyuruh Jiva melepaskan tas yang tak kunjung lepas dari punggungnya itu. "Ayo."

Jiva tak menolak saat tangan digandeng Bian. Dia hanya ingin menolak saat Bian memaksanya berada di sisi kiri, padahal maunya di sebelah kanan biar bisa sebelahan lagi sama Ryan. Tapi kakaknya ini tak bisa diajak kompromi. Kalau dia ngotot buat pindah ke sebelah kanan, Bian bisa-bisa ngereog dan ujung-ujung mereka saling debat di jalan. Lalu ujung-ujungnya nanti dia akan membongkar sendiri ketidakanggunannya menjadi seorang perempuan di mata Ryan.

Ingat bahwa dia harus tetap stay cool dan jaga image di depan mas crush.

Jiva cekikikan sendiri teringat-ingat itu lagi. Tak lama juga dia mengutuk diri sendiri karena sempat-sempatnya lupa lagi kalau Ryan sudah punya pacar, dan pacarnya itu Kak Enzy.

Jangan bodoh. Jangan bodoh.

"Woi. Gue di sini!" teriak Danang lalu melambai-lambaikan tangan ke arah teman-temannya yang baru muncul itu. Laki-laki setengah gondrong itu menyeringai dengan mulut penuh dada ayam mekdi.

Evan menyikut lengan orang di sebelahnya. "Lo kenal dia?"

Ryan menggeleng, lalu menoleh ke Bian. "Lo kenal dia?"

"Orang gila itu," jawab Bian membuat Danang mendelik saat mendengar omongan mereka. Ketiga laki-laki itu hanya tertawa menanggapi cuek delikan mata Danang di bangku tengah samping tiang penyangga bangunan.

"Udah. Udah. Kasihan ntar anaknya nangis," kata Evan sudah melangkah mendekat ke meja Danang. Ryan menyusul di belakang; Bian mendorong punggung Jiva ke depan setelah melepas gandengannya.

"Duduk yang bener. Jangan bengong."

Jiva berbalik cepat dengan mata melotot. Sembari menahan dorongan meninju perut kakaknya ini.

"Terus Bang Tata ke mana?"

"Abang order makanan, Dek. Mau apa? Laper kan? Udah mending gak usah request. Banyak maunya pasti. Duduk aja di sana. Bangku yang pinggir ya, yang tengah tempat Bang Tata. Awas aja lu duduk di bangku itu!"

Bangku tengah maksudnya bangku di samping Ryan persis, depannya Danang.

"Ck. Bawel!" Jiva melenggang pergi, mengabaikan ancaman Bian di belakang. Tapi setibanya di meja itu, dia duduk di kursi paling pinggir alih-alih kursi tengah sebelah kiri Ryan. Capek juga berdebat sama kakaknya setelah pulang pramuka. Energinya sudah terkuras habis setelah kena hukuman kakak pembina, belum lagi waktu pramuka dia sama regunya dipandu buat latihan PBB.

"Lo tanya aja sama anaknya sendiri kalau gak percaya omongan gue," kata Danang sambil melirik ke arah Jiva yang pas-pasan lagi main hape buat balesin chat dari sang ibu.

"Kadang-kadang omongan lo kurang dipercaya sih, Nang. Makanya gue ragu." Evan lalu memanggil Jiva yang langsung mendongak ke arahnya. "Emang bener ini video lo yang rekam?" tanyanya sambil menunjukkan potongan video live band The Bastard di story milik akun dengan centang biru.

Jiva memandangi video itu dengan kening berkerut. "Iya. Tapi itu bukan akun gue sih, Kak."

"Emang bukan, Jiv. Video lo direpost sama akun centang biru," jelas Danang.

"Serius?"

"Iya. Gara-gara ini banyak yang nanyain band kita," jawab Evan.

Mata Jiva berbinar-binar. Terdengar semangat untuk mendengarkan seluruh kejadian yang entah bagaimana tahu-tahu video rekaman Jiva beberapa bulan lalu direpost oleh salah satu akun centang biru.

"Berarti The Bastard sekarang udah terkenal dong?"

"Belum. Jangan besar kepala dulu. Paling cuma sesaat orang-orang nanyain," ucap Ryan.

"Kak Ian jangan cuma bilang sesaat dong!" tegur Jiva kemudian. Entah mengapa dia kurang setuju dengan ucapannya. "Mungkin sekarang masih belum, tapi gue yakin suatu saat bandnya Kak Ian pasti terkenal."

"Jangan lupa ada Aa Danang, Evan, sama abang lu di situ," koreksi Danang sedikit cemburu karena cuma Ryan yang dianggap dalam band mereka.

Jiva mengibaskan tangan, masa bodoh. Lalu meminta Evan untuk memberitahunya akun centang biru mana yang merepost videonya. Begitu tahu artis di balik dalang repostan videonya, Jiva bersorak dan memberi satu per satu laki-laki itu ucapan selamat.

"Kak Ian, Kak Danang, sama Kak Evan kalau udah terkenal jangan lupa sama Jiva, ya! Hihihi. Pasti keren lihat kalian sering tampil nyanyi di depan TV."

"Kata gue sih, mending Jiva kita angkat aja jadi tim marketing The Bastard. Hahaha," ujar Danang lalu tertawa bareng Jiva yang terus mengangguk kepala. Kali ini seide sama ucapan Danang.

"Lo mau digorok Bian?" Ryan menoleh ke tempat Bian sedang mengantri di depan kasir.

"Yaelah, cuma jadi tim marketing doang. Gue gak nyuruh lo pacarin si Jiva, ya!"

"Hahahaha."

Jiva sempat tersenyak mendengar kata-kata Danang, melirik canggung ke Ryan, sebelum tertawa hambar.

"Daripada nyuruh lo mending gue sendiri aja yang macarin Jiva."

"Tingkat kewarasan lo makin minus. Gws deh, Nang!" balas Evan semakin heran sama kelakuan temannya ini.

Danang mengabaikan Evan. Berpaling ke Jiva yang sedang menahan tawanya itu. "Mata gue tuh gak salah bilang, ya. Adik Bian tuh, cakep!"

"Mata lo jangan jelalatan!" Tanpa tanggung-tanggung lagi Bian yang mendengar ucapannya langsung menabok kepala Danang keras-keras. Dia melotot galak, mengancam Danang selama mengisi bangku kosong miliknya itu tepat di depannya. "Sekali lagi gue denger lo ngomong gitu. Gue lempar beneran lo ke RSJ!"

"Bangsat. Gue cuma muji adik lo doang, anjir!"

"Hahaha. Sabar, Nang, sabar," kata Evan menepuk-nepuk punggungnya yang selalu menderita karena kelakuannya sendiri.

Aku upload sekarang deh, takutnya mati lampu lagi kayak kemarin 🫂

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top