Ch. 06: Who I Am?

Awalnya Ryan cuma nebak-nebak doang, kalau user sempakbatman itu Jiva, adiknya Bian. Bermula dari isi DM si sempakbatman yang memanggilnya “Kak Ian” alih-alih “Kak Ryan”. Hanya ada sedikit orang menyebutnya “Kak Ian” di medsos, lebih banyak orang panggil “Kak Ryan” atau “Ryan” saja. Sedikit dari orang yang memanggil “Kak Ian”, Ryan tahu akun mereka karena saling follow. Sementara, dia cuma iseng menambahkan nama Jiva dibalasan DM-nya.

Tak disangka-sangka justru si user sempakbatman sendiri yang membenarkan tebakannya itu.

• knock knock your heart •

Srikandi (3)

Zia: gue lihat-lihat lo makin gak waras jiv

Ruri: iya
Ruri: gue sampai bosen dengerinnya
Ruri: bayangin aja dua bulan dia cuma promosi lagu itu-itu mulu
Ruri: entah itu di kelas, sosmed, group, sampai bawa-bawa base lagi

Zia: itu sih mendingan
Zia: daripada waktu dia sabotase ruang ekskul radio sama mading cuma buat muterin lagunya The Bastard biar satu sekolahan denger

Ruri: tau nih
Ruri: emang sih, bandnya bang tata tapi jgn kasih makanan sama tiap hari selama dua bulan ini, dong! bosen tau

Jiva: little blue flower
Sing a little louder
Get me a little higher
So I can just dance with you

Zia: si goblok malah nyanyi -_-
__________

Pokoknya Jiva belum puas kalau anak-anak di sekolahnya belum terzombie-zombie sama lagu debut pertama band The Bastard. Sama juga orang-orang sosmed. Dia pengen semua orang tahu kalau ada band lokal yang baru merintis di dunia musik ini punya satu lagu andalan yang enggak kalah bagus dari band-band besar.

Jiva juga enggak ada bosan-bosannya promosi lagu The Bastard di manapun sesuka hatinya. Selain di sekolah, promosinya secara online pun sering bermunculan di base platform dengan icon burung. Dalam sehari itu dia bisa kirim menfess serupa, ada mungkin 2 atau 3 kali di bulan pertama waktu lagu baru dirilis. Saking seringnya dulu, banyak pengikut base mulai menotice kirimannya, lalu menanggap dia annoying dan menyuruh admin base supaya segera memblokir profilenya.

Sekalipun akun kena blok, Jiva masih bisa kirim menfess ke base sebelah. Tapi kali ini dia kasih jeda sekali dalam satu minggu. Walau sudah dapat peringatan, Jiva tetap kirim menfess sama tanpa ada takut-takutnya kena makian netijen dan diblok base lagi.

Jiva tidak akan menyerah sampai semua orang mendengarkan lagu dari The Bastard. Semua orang harus terzombie-zombie seperti dirinya.

“Tumben selesai duluan?” kata Bian saat keluar dari kamar dan menemukan saudaranya, Jiva, sudah rapi dalam balutan rok panjang motif kotak-kotak dan kaus lengan pendek putih. “Ngapain juga segala bawa kamera recorder?”

“Buat dokumentarlah. Ya kali, buat getok kepala Bang Tata yang kadang-kadang suka eror.”

“Gak kebalik?”

Dengan polos dia menggelengkan kepala. Bian menghela napas sebelum menyuruh Jiva untuk segera pamitan ke ibu. Rencananya Jiva mau ikut Bian ke kampus buat nonton The Bastard tampil sore nanti sebagai pembuka dies natalis ulang tahun kampus.

“Ingat baik-baik. Jangan heboh. Jangan berulah juga. Jangan malu-maluin abang di sana.”

Mata polos itu menatap Bian dengan tatapan aneh. “Emang pernah aku bikin malu Bang Tata?”

“Hehehe.” Bian terpaksa nyengir membalas ucapannya. Mau enggak percaya sama apa yang barusan dia dengar, tapi ini Jiva, orang yang kalau ngomong suka pede banget. Entah dia lagi pura-pura enggak tahu diri atau memang lupa dengan sekian banyak peristiwa memalukannya itu. Kalau dihitung pakai jari nih, seberapa sering Jiva bikin Bian malu kayaknya enggak bakalan cukup jika hanya dihitung pakai 20 jari; 10 untuk jari-jari tangan dan 10 lagi untuk jari-jari kakinya.

Maka Bian memilih untuk bungkam. Enggan memperlebar obrolan mereka lagi. Bisa panjang urusannya dan enggak bakalan kelar hanya dengan memutarbalikkan fakta. Jiva bakal terus ngotot kalau omongannya benar; omongan Bian yang harus disalahkan. Penganut perempuan selalu benar.

Sesampainya mereka di tempat acara, Jiva selalu mengekor di belakang Bian tanpa harus diingatkan lagi untuk jangan pernah coba-coba kabur ke tempat yang menarik perhatiannya. Seperti diam-diam kabur ke stand makanan. Jiva paling tak bisa diam hanya melihat berbagai macam stand makanan yang ditemuinya. Bawaannya gadis kecil ini pasti ingin menghampiri satu-satu stand makanan itu untuk dibeli jualan mereka, walau nanti semua makanan yang dibeli itu hanya akan dilimpahkan ke Bian.

Maka lagi sebelum hal itu kesampaian, Bian segera mengandeng tangan Jiva saat mereka melewati stand makanan ala-ala Jepang.

“Bang Tata, itu kayaknya enak!” serunya sambil menunjuk ke barisan orang jualan makanan.

Bian sedikit was-was lihatin Jiva yang memandang penuh minat ke arah stand makanan di belakang mereka. Dia bisa bayangkan setetes air liur mulai keluar dari sudut bibir gadis ini. “Belinya ntaran aja, Dek.”

“Gak boleh sekarang, ya?” Kalau beli sekarang yang ada waktu Bian kumpul bareng bandnya jadi terulur-ulur cuma demi mengawasi si kecil ini.

“Antriannya panjang. Bang Tata harus cepat-cepat kumpul, nih.”

Jiva sedikit kecewa. “Ya udah.”

“Nanti minta temenin si Enzi aja.”

Mendengar satu nama cewek keluar dari mulut kakaknya ini, seketika mengingatkan Jiva pada satu perempuan tempo hari yang pernah dikenalkan padanya. Tingkat keingintahuan Jiva mendadak melesat naik ke puncak, sehingga dia tak bisa menolak untuk tidak bertanya soal ini pada Bian.

“Kak Enzi ceweknya Bang Tata, ya?”

“Atas dasar apa nuduhnya begitu?” tanya Bian sempat tersentak mendengarnya.

Sudut bibir Jiva terangkat sebelah dengan raut jahil. Iseng-iseng dia menggoda si kakak yang seingatnya jarang pernah bawa teman cewek main ke rumah. “Ceweknya juga gak papa kok. Kak Enzi cantik tahu, Bang. Orangnya juga baik.”

“Tahu dari mana dia orang baik?”

“Lah kan, kemarin sempat ngobrol-ngobrol dikit pas dikenalin. Terus insting sesama perempuan mengatakan kalau Kak Enzi itu orang baik. Kalau dia orang jahat, gak mungkin nerima permintaan Bang Tata buat jagain aku,” ujarnya percaya diri. “Aku restuin kok, kalau bener Kak Enzi ceweknya Bang Tata. Tapi kalau masih belum, mau aku bantuin pdkt gak? Gini-gini aku jadi makcomblang di sekolahan lho, Bang Tata.”

Bian menatap Jiva skeptis. Menganggap adiknya sudah hampir tak waras karena omongan melanturnya itu.

“Butuh review dari teman-teman sekolahku gak buat bukti? Semua bintang lima lho, gak ada yang bintang satu.”

“Udah, ya, Dek. Cukup omongan ngelanturnya.”

“Ih, aku serius! Bang Tata kalau mau bisa aku bantuin,” katanya semakin tertarik mencalonkan diri sebagai biro jodoh kakaknya. “Jangan takut gak direstuin ayah sama ibu. Kalau Jiva yang ngomong pasti mereka ngerestuin.”

“Iyalah. Lo anak kesayangan mereka,” gerutu Bian secara diam-diam tanpa maksud menyinggung perasaan adiknya itu.

“Kak Enzi beneran cantik kok, aku seriusan gak bohong buat nyenengin Bang Tata. Udah tubuhnya tinggi, badan ramping kayak model catwalk, rambut panjang, sehat, dan terawat. Bulu matanya juga panjang kayak bulu mata boneka. Terus kalau ngomong sopan banget kayak guru bahasa indonesiaku waktu SMP.”

“Enzi temannya Bang Tata. Oke?”

“Gebatan juga oke, apalagi pacar, oke banget malahan. Ya, gak?”

Refleks Bian memutar bola mata. Mulai jadi malas jika obrolan terus menyinggung soal Enzi, teman sekampus dan rekan seukm-nya itu. Daripada omongan Jiva semakin melantur ke mana-mana, dengan terpaksa Bian mengalihkan isi kepala gadis ini dengan pura-pura memanggil nama Ryan.

“Eh? Kak Ian? Mana? Mana?” serunya, langsung menoleh cepat mencari-cari keberadaan Ryan yang sebenarnya tidak ada. Jiva yang sadar telah ditipu segera meninju perut Bian dan marah-marah saat itu juga.

“Ya ampun ...! Punya dosa besar apa gue di masa lalu sampai diberi saudara macam gorila,” gumam Bian meratapi nasib punya saudara dengan kelakuan rada-rada ini.

• knock knock your heart •

Jiva menikmati setiap pertunjukkan band untuk konser dies natalis di kampus Bian. Giliran The Bastard tampil masih nanti, masih ada satu jam lagi menunggu sampai band kakaknya bersama tiga temannya itu naik ke atas panggung.

Kamera recorder yang dia bawa dari rumah sengaja belum dikeluarin dari dalam tas karena benda ini fungsinya cuma untuk merekam penampilan The Bastard. Sebetulnya Jiva dalam misi rahasia. Alasan dia mau merekam penampilan live The Bastard menyanyikan lagu pertama mereka nanti itu untuk promosi. Rencananya dia mau bikin iklan secara online di berbagai medsos. Dia sampai bikin akun secara khusus untuk mempromosikan iklan tersebut secara massal besok. Selain iklan online, dia juga berniat menyebarkan hasil rekamannya ke segala medsos, salah satunya ke base di platform burung terus ke teman-teman sekolah.

“Jiva, gue mau ngurus sesuatu dulu di gedung sebelah. Lo gue tinggal di sini sementara gak apa-apa?” tanya Enzi, yang sejak tadi sudah menemani Jiva—tentu sesekali dia pernah meninggalkan adik Bian itu kalau ada panggilan kerjaan sebagai bagian dari panitia dies natalis kampus.

“Kak Enzi mau nugas lagi?”

“Iya, nih.”

Jiva mengangguk paham. “Gak papa, Kak. Gue di sini sendirian gak bakalan kenapa-napa juga kok.”

“Tetap aja gak enak sama Bian. Dia udah nitipin lo ke gue soalnya.”

Gadis itu sempat tertawa mendengar kekhawatirnya. “Gak usah pikirin Bang Tata, Kak. Kak Enzi lanjutin aja tugasnya.”

“Bentar, bentar ...,” Enzy menoleh-noleh, mencari seseorang, “Bella. Lo masih di sini kan, gak mau ke mana-mana?”

Gadis berambut merah itu menoleh sebelum menganggukkan kepala tanpa bicara.

“Gue nitip adik Bian ke lo sebentar, ya. Temenin aja. Nanti gue balik lagi ke sini setelah ngurus kerjaan.”

Bella dan Jiva hanya saling bertukar pandang. Tak ada sapaan apalagi senyuman. Tidak ada tanda-tanda keakraban di antara dua orang itu. Mereka hanya saling menyadari keberadaan satu sama lain. Beda jauh dari reaksi Enzy saat pertama kali diminta Bian menemani Jiva. First imperssion mereka berbeda: Enzy sopan dan Bella cuek.

“Sementara lo sama Bella dulu ya, Jiv. Gue gak bakalan lama kok perginya.”

“Iya, Kak Enzi. Gue beneran gak papa ditinggal sendirian.”

Enzy tersenyum pahit sebelum mengangguk dan pamit pergi bersama teman yang tadi datang cuma buat mengajaknya pergi itu. Tak lama seperginya Enzy, tiba-tiba Ryan muncul dan terlihat celingukan ke sana kemari sebelum menemukan keberadaan Jiva. Laki-laki itu lantas mendekatinya. Bukan maksud membuat gadis ini terkejut saat dia tiba di samping dan menoel pundaknya itu.

“Ampun, dah! Kirain siapa, taunya Kak Ian. Hehehe.” Jiva nyengir lebar di hadapan Ryan yang kemudian tertular ikut senyum oleh cengirannya itu.

“Kok sendirian? Si Enzy ke mana?” tanyanya.

“Kak Enzy ada ngurus sesuatu gitu sama temannya. Gak tahu ke mana.”

Kemudian Ryan berhenti mencari setelah mendengar jawabannya. “Dia pergi bawa tas gak?”

Jiva berpikir mencoba mengingat lagi kepergian Enzy, sebelum gelengin kepala tanda tak tahu.

“Lama gak ya, kira-kira dia pergi?”

“Kurang tahu, Kak,” balasnya sambil mengawasi wajah rupawan laki-laki dihadapannya ini. “Emang ada perlu apa Kak Ian sama Kak Enzy. Kenapa gak ditelpon aja orangnya?”

“Masalahnya hape gue dibawa dia. Hape si Danang juga. Gue ke sini mau ambil hape doang. Kalau orangnya gak ada ya gak apa-apa, sih.” Ryan hanya tersenyum mengakhiri ucapannya itu, seraya membalas tatapan terkagum-kagum Jiva untuknya itu. “Gue boleh nitip pesan gak?”

“Boleh, boleh. Buat Kak Enzy, kan?”

Ryan mengiyakan. “Tolong bilangin ke Enzy buat ngecek hapenya si Danang. Kalau ada chat dari Raya suruh dia balas kalau si Danang belum selesai ngebandnya.”

Jiva belum merespon apa-apa karena mengira pesannya masih ada tambahan lagi, ternyata cukup demikian. Di tengah kesenjangan itu, Jiva hanya berdiri menatap Ryan tanpa berkedip. Benar-benar dibuat terpesona olehnya. Ketika sadar dengan tingkahnya itu, barulah dia melempar senyum malu-malu.

Melihat perubahan tiba-tibanya itu membuat Ryan jadi terkekeh geli. Menganggap sikap Jiva barusan sebatas kelucuan belaka. Cara Jiva memandanginya memang agak menggelikan, kekanak-kanakkan, dan cukup bikin dia salting karena terus dipandangi begitu. Seolah ada sesuatu yang menempel di wajahnya. Ryan pun menahan dorongan untuk bertanya alasan Jiva terus melihatnya, setelah terbayang-bayang wajah sebal Bian jika sekarang orang itu melihat dia bicara sama adiknya. Bian bisa ngamuk dan berpikir Ryan sedang menggoda adiknya ini.

Ada-ada saja pikiran saudara laki-laki Jiva itu.

Ryan menahan senyum seraya berdecak begitu terbayang lagi wajah Bian. “Ya udah, kalau gitu gue balik ke tempat abang lo.”

“Yah ... harus banget sekarang perginya, Kak?”

Ryan tersentak atas keterusterangan gadis muda ini atas keengganannya untuk dia tinggalkan. “Abang lo bisa ngamuk kalau gue gak balik cepat.”

“Ck! Budak satu ini memang, ya ....!” Dan sekarang Jiva sedang mengutuk Bian jadi batu seperti kisah Malin Kundang.

Ryan lantas tertawa mendengar kutukan Jiva yang terdengar cukup lucu, persis kayak anak SD waktu lagi musuhan sama teman sepermainannya.

“Oke, Jiv. Gue balik dulu, ya!” ucap Ryan segera pamit setelah selesai mendengar kutukan Jiva untuk Bian.

“Iya, Kak Ian. Hati-hati di jalan.” Tak sampai di situ saja, Jiva tiba-tiba berteriak kencang kepada Ryan. “Kak Ian. Tolong, nitip satu kali tabokan di kepala buat Bang Tata, ya!”

“Hahaha. Siap-siap!” balas Ryan semakin dibuat terpingkal-pingkal oleh permintaannya itu.

Cuma ngobrol sebentar saja sudah bikin Jiva bahagia sampai senyam-senyum aneh, apalagi nanti kalau mereka ngobrol berjam-jam. Mungkin dia sudah dibawa ke rumah sakit jiwa karena dianggap gila gara-gara cengiran aneh di bibirnya itu.

Dan semenjak pertemuan singkat mereka itu, Jiva jadi semakin tak sabar nonton penampilan Ryan sebagai vokalis utama dari band The Bastard. Band itu tampil tak lama lagi. Dia lalu menyiapkan kamera recordernya. Melakukan uji coba lebih dulu sebelum The Bastard resmi naik ke atas panggung.

“The Bastarddd ...!” Begitulah jeritannya seorang diri di antara kerumunan saat nama band milik Bian dan Ryan terpanggil. Kehebohan Jiva sudah seperti seorang fans pada umumnya. Jiva juga cuek dipandangi orang-orang karena menjadi satu-satunya orang yang heboh saat nama The Bastard disebutkan oleh MC acara.

Selama apa yang dilakukannya tidak merugikan orang sekitar, dia tak peduli apa pun.

“YAAAAY ... THE BASTARDDDD ...!”

• knock knock your heart •

“Udah cepet, sana turun. Gak usah cemberut mulu!” tegur Bian setibanya mereka di depan gerbang rumah.

Jiva terlihat masih enggan untuk turun dari mobil. Maunya tetap ikut Bian ke kampus, enggak mau pulang ke rumah. Padahal, janjinya ke ibu tadi tepat jam sembilan malam Jiva harus pulang. Besok dia masih harus sekolah pagi, makanya enggak dapat izin pulang malam lebih dari sembilan walau perginya bareng Bian.

“Dek ....”

“Iya. Iya. Sabar!” omelnya kemudian sambil mengambil semua bungkus makanan yang Bian beli dalam jumlah banyak itu buat Jiva supaya mau dianterin pulang ke rumah.

“Gerbang rumahnya jangan lupa ditutup.”

“Wleeeek ... gak mau!” balas gadis kecil itu sambil menjulurkan lidah dan main asal kabur sebelum pintu mobil dan gerbang ditutup.

“Jivaaaa ...!” teriak Bian kesal karena lagi-lagi harus dia sendiri yang turun tangan menutup kedua pintu itu.

Jiva sudah kabur duluan ke dalam rumah. Saat bertemu ayah dia hanya menyapa beliau, lalu melesat masuk ke dalam kamar tanpa embel-embel bersalaman.

“Ibu ....”

“Udah, Ayah. Ditegur besok pagi aja,” kata Ibu mengingatkan sang suami agar menegur kelakuan si bungsu besok pagi. Bisa repot kalau ditegurnya sekarang. Paling akhirnya Kahiyang sendiri yang menegur sikap Jiva besok pagi karena suaminya ini pasti akan lupa.

Jiva bete banget soalnya dipaksa pulang ke rumah bahkan sebelum bintang utama dari konser dies natalis itu tampil. Sama sekali tak diberi kesempatan Bian untuk melihat langsung bintang utama konser malam itu. Dia dipaksa pulang tepat jam sembilan malam.

Jiva yang sekarang lagi bad mood, melampiaskan perasaannya itu dengan meninju  papan wajah saudara laki-lakinya dalam bentuk gambar. Dia sendiri yang menggambar itu waktu kelas 1 SMP. Waktu marah ke Bian karena  dulu Jiva pernah dikunci di dalam kamarnya sendiri saat orang tua mereka pergi ke rumah sakit jengukin nenek. Katanya Jiva berisik dan ganggu Bian yang lagi main gim. Dan selama kejadian itu, Jiva pengen sekali nonjok wajah Bian sampai ke akar-akarnya hingga tercetuslah gambar ini sebagai pengganti Bian asli.

Sekarang dia kesal sama Bian dan pengen nonjok mukanya. Berakhirlah dia menonjok gambar Bian di papan sampai benar-benar merasa lega. Dia baru berhenti setelah satu jam ngomel-ngomel sama gambar Bian, kemudian jatuh tiduran di atas kasur. Memandangi langit-langit kamar sambil menghela napas panjang.

Jiva mencari ponsel di dalam tas kecil yang masih dibawa itu. Awalnya cuma pengen ngechat Bian doang, ngingetin kalau sogokan makanan itu belum cukup balikin mood Jiva sekarang. Tapi pas dapat pop up notifikasi user sempaksuperman update story baru, Jiva buru-buru buka aplikasi Instagram di ponselnya. Tak sabar memantau postingan terbaru dari Ryan, sosok di balik akun sempaksuperman.

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyuman tatkala menonton semua updatean terbaru Ryan dalam satu waktu. Tentu juga dia tak lupa untuk ambil sceenshoot.

“Cakep. Cakep. Cakep. Aaaaa ... cakep semuaa!” jeritnya mulai jadi gila lagi gara-gara sempaksuperman. Lupa kalau barusan dia lagi bad mood. Sekarang dia jadi cekikikan sendiri depan ponsel, sambil memuja laki-laki yang wajahnya terus dia screenshoot.

“Eh?” Jarinya menjeda story ke berikutnya. Bibir itu mulai merapalkan kalimat yang tertulis di foto baru updatean story sempaksuperman. “Happy Birthday to my girl ... friend?”

Cepat-cepat dia mengganti ke story selanjutnya. Pupil matanya melebar kemudian. “Kak Enzi?”

Jiva itu unik. Dia gak bakal cemburu. Dia ini girls support girls—aku spoiler, nih 🙉

AYO, DENGARKAN LAGU DEBUT DPR IAN DI SPOTIFY 🙆🏻‍♀️ bukan lagu debut juga sih, lebih tepatnya itu lagu test ombak Ian sebelum keluarin album debut Mito 🤟🏻

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top