Ch. 04: Si Tukang Kuping (2)

Gadis remaja itu seolah tak ada bosan-bosannya berkaca. Ada mungkin enam kali dia berhenti jalan untuk mengaca. Jalan dikit ketemu kaca di rumah langsung berhenti, berkaca, menilik dari muka ke rambut, lalu ke pakaian. Kalau merasa puas lihat penampilan diri sendiri di kaca, dia akan berdecak riang. “Kama Jiva Dewari anak Bapak Chandra. Lo emang keren hari ini!” Tapi kalau dia merasa ganjil pada penampilannya, dia pasti mengerutu lantas menunjuk diri sendiri di kaca dengan wajah kesal. “Ew, jelek amat lo.” Kemudian menjauh dari kaca, lari ke kamar buat dandan lagi sampai merasa sudah cantik.

Celana training SMP sudah diganti celana kain panjang warna putih. Atasan kaus oversize-nya juga diganti baju lengan pendek pas di badan warna pink. Bajunya masih baru belum lama ini dibeli yang rencananya mau dipakai besok buat hangout bareng teman ke mall sepulang dari sekolah. Lalu barusan juga dia belajar make-up kilat. Sewaktu tiba di rumah pulang dari warung Pak Teguh, Jiva buru-buru lari kamar, ganti baju baru, mencuci wajah, terus buka-buka Youtube cari tutorial video make-up kilat.

Tiap main ke rumah Zia sama Ruri, dia bersama kedua sahabatnya sejak SMP itu sering banget belajar make-up  dari Youtube. Sudah langganan juga channel beauty vlogger, semua videonya sudah mereka tonton bareng. Makanya Jiva enggak tolol-tolol banget buat urusan make-up. Bisa dibilang dia cukup jago walau belum sejago Zia atau Ruri, si introvert yang diam-diam jadi beauty blogger.

Setelah percaya diri dan merasa sudah cantik, barulah Jiva keluar kamar. Mencari keberadaan Bian bersama tiga kawannya itu—dia sempat syok setelah tahu teman kampus saudaranya main ke rumah. Penyebab mengapa dia cepat kabur ke kamar cuma demi mengubah penampilannya.

Bian dan ketiga temannya itu ada ruang tamu di lantai atas, teritori pribadi untuk anak-anak Pak Chandra. Ruangan tamu di lantai dua memang khusus dibuat Pak Chandra untuk Bian dan Jiva kalau bawa teman mereka ke rumah. Biar teman dari anak-anaknya itu tidak merasa canggung atau terganggu oleh keberadaan orang tua Bian dan Jiva yang suka seliweran di dalam rumah, khususnya lantai dasar. Awalnya Jiva berpikir Bian membawa ketiga temannya itu di kamar, tipikal kakaknya itu. Makanya dia langsung diam-diam lari menuju kamar Bian untuk mengecek dengan cara menempelkan daun telinga di dekat pintu. Tapi ternyata mereka ada di ruang tamu lantai atas. Cukup aneh karena jarang sekali kakaknya itu bawa teman ke sana.

Jiva sudah sempat mengecek sendiri. Diam-diam sembunyi di balik tembok, memasang telinga baik-baik untuk mencuri dengar obrolan ketiga laki-laki tersebut. Mereka lagi seru-serunya ngobrolin sesuatu yang sama sekali tidak Jiva pahami. Walau begitu dia tetap mendengarkan sebelum turun ke bawah, sekali lagi berlari menuju dapur menemui sang ibu.

“Ibu. Ibu. Ibu,” panggilnya berteriak-teriak menahan langkah sang ibu yang baru mau jalan keluar dari area dapur. “Biar adik aja yang nganterin.”

“Tumben,” sahut Ibu.

“Gak tumben-tumbenan juga, Bu,” balasnya sambil mengambil alih nampan berisikan minunan dan cemilan buat Bian dan temannya.

Iya, tumben. Biasanya Bian yang mengambil sendiri minum dan cemilan buat teman-temannya, melainkan bukan Jiva. Tadi Ibu mau mengantarkan ke atas karena Bian kelamaan turun. Kahiyang mengira Bian lupa, sehingga beliau khawatir anak laki-lakinya itu melantarkan temannya tanpa diberi minum ataupun cemilan.

“Ibu lanjut aja bikin adonan kuenya. Ini biar adik yang nganteri.” Cengiran gadis muda itu amat lebar. Ibu tak mencurigai tindak-tanduk sang putri yang mendadak baik dalam tanda kutip. Beliau hanya merasa ganjil karena tumben-tumbenan si bungsu ini mau repot-repot mengantarkan minum dan cemilan buat teman kakaknya. Biasanya kalau disuruh suka protes kalau teman Bian bukan temannya, jadi bukan urusannya.

Lantas hari ini dengan senang hati dia membawa nampan berisi minuman dan cemilan itu ke lantas atas. Tidak ada protes dan gerutuan. Seolah Jiva melakukannya dengan ikhlas.

Sesampainya di sana, Jiva sengaja berdehem mencari perhatian dari keempat laki-laki itu yang sempat tidak menyadari keberadaannya.

“Ngap—tumben?” Bian pun sama herannya seperti ibu lihatin Jiva muncul-muncul bawa nampan.

Jiva mengabaikan Bian. Atensinya sekarang hanya terpusatkan pada sosok Ryan yang duduk di sofa samping dia berdiri, tempat juga di sebelah kakaknya. Gadis itu senyam-senyum malu. Sebenarnya sebelum mendekat kemari dia sudah berupaya menahan senyuman biar tetap terlihat keren di mata Ryan—ibaratnya dia mau terlihat sok jual mahal gitu—tapi tetap saja ujung-ujungnya nyengir enggak jelas, telanjur kesemsem sama pesona Ryan Balakosa. Dan bagi siapa pun sekarang yang lihat, sudah dapat dipastikan mereka memahami maksud dari sikap malu-malu si gadis muda itu.

“Minumnya Kak Ian.”

Pundak Bian berjengit ketika mendengar suara Jiva yang sehari-harinya terdengar cempreng, menyebalkan, dan terkesan galak, mendadak jadi lemah lembut kayak sinden. Spontan dia mendongak, menatap tak percaya pada sikap mengelikan saudara perempuannya ini.

“Ngomong-ngomong, itu aku sendiri yang buat, Kak. Hehe.”

“Wah, makasih ya, Jiva.” Cengiran gadis itu makin menjadi-jadi, terlebih saat Ryan memberinya senyuman.

Bian yang ketakutan bibir Jiva jadi robek karena senyumannya kelewat lebar, refleks menginjak kaki Jiva dengan sengaja. Jiva hampir sekali mengumpat dan melempar nampan kosong di tangan ini ke kepala Bian. Tapi untung enggak jadi soalnya pesona Ryan mengalihkan segala universe-nya. Sehingga dia tetap menjaga image di depan laki-laki tersebut.

“Sorry nih, kalau kesannya gue ngelunjak,” sela Danang, menatapi pasangan saudara itu walau Jiva melirik pun enggan. Matanya benar-benar hanya fokus ke Ryan.

“Kenapa, Nang?” tanya Bian.

Senyum Danang tersekan agak canggung. Dengan hati-hati dia melirik Jiva tanpa maksud menyinggung pihak mana pun. “Ini bener minumnya cuma buat si Ryan doang? Gue sama Evan gak dapat, nih?”

Bian tersentak baru sadar. Evan sudah sadar dari awal cuma diam saja, memantau situasi dengan ekspresi tenang. Kebalikan dari Danang yang merasa ganjil karena tidak disuguhi apa-apa.

“Dek, kok cuma satu? Punya Kak Danang sama Evan mana?”

“Belum jadi,” jawabnya terkesan tak mau ambil pusing. Tentu dengan mata masih fokus ke Ryan.

“Terus kalau dua yang lain belum jadi, kenapa kamu cuma bawa satu kemari? Harusnya kamu bawa ketiga-tiganya sekalian doang, biar gak bolak-balik nganterinya.”

“Justru karena ....” Mulutnya dengan cepat mengerem ucapannya. Hampir saja dia kelepasan bicara. Jiva pun jadi jengkel. Gara-gara kakaknya dia hampir membeberkan rahasianya sendiri, di balik alasan cuma satu minuman yang dibawa.

Jiva menoleh dan mendelik kesal pada Bian. “Bang Bian bener-benar, ya ...!” gerutunya, lanngsung balik badan dan menghentakkan kaki kesal selama pergi menjauh.

Sebenarnya dia sengaja cuma bawa satu gelas minu punya Ryan, punya dua orang lainnya dia simpan dulu supaya nanti bisa dua kali balik ke sana dengan alasan mengantarkan minuman sama cemilan. Alasan sesungguhnya biar dia bisa ketemu Ryan.

Jiva turun dengan perasaan dongkol. Mulutnya tak berhenti mengoceh. Sekali lagi menyalahkan kakaknya itu yang sudah bikin dia terlihat tidak anggun di depan Ryan.

“Pantesan Bang Tata jomblo.” Enggak ada hubungannya sih, dia cuma menghubung-hubungkan saja biar perasaan dongkolnya hilang.

“Jivaaaa ... putri ayah. Ayah pulang bawa—” Pak Chandra melongok bingung saat tak diacuhkan kepulangannya oleh sang putri kesayangan. Heran. Tidak seperti biasa Jiva mengabaikan panggilannya. Biasanya gadis kecilnya itu akan balas berteriak lebih heboh darinya barusan. Sekarang tiba-tiba dia diabaikan, gadis kecilnya melangkah pergi tanpa bilang apa-apa, lalu tatapan barusan seperti ketidaksukaan yang memberi kesan cukup menyedihkan bagi Pak Chandra.

Ayah yang bingung segera memanggil sang istri, mencari keberadaannya di dapur. “Ibu.”

“Lho, Ayah kapan pulang? Bukannya tadi bilang telat karena lampu merah macet, ya?” Ibu yang menyelesaikan urusan di dapur segera menoleh. Dahinya mengernyit saat lihat wajah lesu sang suami. Aneh. Pak Chandra ini tipikal suami yang pulang kerja pasti selalu terlihat semringah walau kerjaan di kantor sering bikin sakit kepala, tapi rumah bagi beliau adalah segalanya.

“Kenapa?” tanya Ibu.

Ayah yang murung lalu bertanya-tanya, “Wajah suamimu ini masih kelihatan ganteng kan, Bu, walau habis pulang dari kantor? Terus senyum suamimu ini nggak aneh kan, Bu, masih terlihat menawan?”

“Pak Chandra udah paling perfect. Pokoknya ggak ada yang bisa menandingi pesona Pak Chandra, kecuali si Bian.”

Walau sudah dipuji-puji, suaminya itu tetap terlihat murung. “Terus kenapa anak ayah tadi cuekin saya, Bu? Kayaknya ada sesuatu di wajah suamimu ini yang bikin anak ayah ngambek.”

Anak ayah sama berarti si bontot. Ibu yang memahami situasinya langsung tersenyum. “Bukan Ayah yang bikin Jiva ngambek. Paling kakaknya. Ayah ngertilah mereka kalau disandingi kadang suka akur, kadang suka eker-ekeran.”

“Pantesan,” gumam beliau. “Makasih, Bu, udah nenangin suaminya. Kalau gitu suamimu ini pamit dulu.”

“Nah, lho, mau ke mana?”

“Cari Bian.”

“Bian lagi sama temannya!” teriak Kahiyang memberitahu yang hanya dapat acungan jempol sang suami, Chandra.

Sementara di lantai dua, sebelum Jiva balik lagi mengantarkan minuman untuk Danang dan Evan.

“Omongan gue serius nih, Ta. Adik lo kayaknya naksir sama Ryan deh,” ujar Danang.

Evan kemudian menimpali, “Bukan kayaknya lagi. Tapi emang udah naksir.”

Bian nyadar itu sih, cuma pengen denial aja.

“Gak usah panik gitu, Ta. Gak akan gue pacari adik lo,” kata Ryan serius.

“Kalau lo pacari. Lo orang gila!” sahut Evan membuat Danang terbahak-bahak seiring anggukan kepala setujunya.

Bian mendesah. “Adik gue masih bocil. Gak boleh pacaran.” Lalu dia memberi peringatan ke ketiga temannya itu. “Ingat ya, lo semua. Jangan deket-deketin adik gue. Ingat sama umur. Kalian para orang tua, adik gue bocil.”

“Adik lo aja naksir Ryan.”

Matanya langsung mendelik sebal ke arah Danang yang terus mengingatkan soal itu. “Gak. Gak. Sekalipun udah gede nanti, adik gue gak bakal gue izinin pacaran sama kalian.”

“Adik lo masih SMA. Perasaan kayak gitu paling cuma bertahan sementara. Gak usah dibawa serius, Ta. Lagian gue udah bilang, gak bakal gue pacarin adik lo.” Sekali lagi, Ryan mengatakan hal sama.

“Iya. Gue tau lo orang waras yang gak mungkin pacarin anak minor. Yang gue khawatirin cuma si Danang.”

Danang terhenyak. “Apaan? Kok gak jadi gue? Yang ditaksirkan si Ryan bukan gue.”

“Haha. Syukurin!” ujar Evan tertawa-tawa.

Tak lama obrolan mereka berhenti ketika Jiva muncul mengantarkan minuman untuk Evan dan Danang. Sikapnya masih sama seperti pertama kali saat datang membawa minuman untuk Ryan. Gadis ini hanya terus tersenyum memandangi Ryan saja, tiga orang lainnya termasuk Bian sendiri dianggap tidak ada.

“Kalau butuh minum lagi jangan sungkan-sungkan buat manggil ya, Kak Ian,” ujar Jiva berterus terang.

Bian melotot ingin mengomelinya, tapi disela oleh Jiva yang cepat-cepat minta pamit cuma ke Ryan buat balik pergi. Bian menatap punggung kepergian saudaranya itu dengan perasaan campur.

“Pelet lo ampuh, Yan. Langganan di mana? Sherlock dong,” celetuk Danang kemudian.

“Nah kan, orang gak waras mulai nanya aneh-aneh,” ujar Evan. Namun, sebelum Danang atau Ryan menimpali, Bian sudah bicara dengan menyuruh mereka melanjutkan topik obrolan mereka sebelumnya. Di mana mereka berempat berencana untuk melakukan rekaman lagu pertama band setelah Ryan dan Evan menyelesaikan ciptaan lagu mereka.

• knock knock your heart •

Ayah sudah sampai di anak tangga terakhir. Mencari-cari keberadaan putra mereka dengan niat ingin memberi anak laki-laki itu teguran supaya berhenti membuat adiknya kesal. Samar-samar beliau mendengar suara orang saling beradu bicara. Bersamaan itu pula dia menemukan punggung putrinya yang membelakanginya, diam-diam bersembunyi di belakang tembok sedang mengintip ke tempat Bian dan temannya berada.

Dengan hati-hati Chandra mendekat tanpa maksud menganggu aksi menguntit anak bungsunya itu.

“Adik,” panggilnya pelan sambil menoel pundaknya.

Jiva spontan terkejut menemukan ayahnya ada di sini dan sedang memergokinya menguping.

“Ayah ngapain ke sini?”

“Adik juga ngapain di sini?”

Pasangan bapak-anak itu saling bicara berbisik-bisik. Sesekali Jiva melirik belakang, berharap Bian yang punya pendengaran tajam itu tidak mendengar suara mereka.

“Ayah di bawah aja nemenin Ibu. Jangan ikut-ikutan adik di sini,” katanya berharap ayah mau segera balik ke dapur bersama istrinya.

Ayah bergeming. Malahan sekarang jadi ikut-ikutan Jiva sembunyi di balik tembok, lalu mencuri dengar obrolan keempat laki-laki di sana.

“Ayaaaah ...!”

“Jiva jangan berisik. Sini dengerin bareng sama ayah aja.”

Tentu Jiva tak menolak. Dia jongkok di bawah, sementara ayah setengah berdiri di belakangnya.

“Keren, ya. Bandnya Bang Tata mau rekaman lagu pertama mereka,” komentar ayah seketika bangga punya anak seperti Bian yang menyukai dunia musik. Mengingatkan beliau pada masa mudanya dulu.

Komentaran Jiva justru berbeda lagi. “Lebih kerenan lagi Kak Ian yang ciptain lagunya.”

“Kerenan abang kamu, Dek.”

“Enggak, Ayah! Lebih kerenan Kak Ian. Bang Tata gak ada apa-apanya.”

Ayah membalas lagi, “Bang Tata keren!”

“Kak Ian lebih keren!”

“Siapa bilang?”

“Jiva,” sahutnya ngotot.

Ayah pun tak mengalah. “Ayah barusan yang bilang kalau Bang Tata paling keren!”

“Gak setuju! Kak Ian lebiihhhh keren!”

“Bang Tata.”

“Kak Ian.”

“Bang Tata.

“Kak Ian!”

Mereka terus mendebatkan mana yang lebih keren di antara dua nama itu. Sedang Bian yang sudah mendengar samar-samar suara itu langsung memijat keningnya seiring helaan napasnya. Sekarang Bian mengerti dari mana kelakuan rada-rada Jiva.

Yah, dari mana lagi kalau bukan Bapak Chandra Yang Terhormat.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top