Ch. 03: Si Tukang Kuping
Srikandi (3)
Zia: bang tata keren bangeeeeet!
Zia: jd cenat cenut ngeliatnya
Zia: jiv, butuh kakak ipar gk?
Jiva: butuhnya babu
Zia: jd kakak ipar sama babu sekaligus gapapa gue mah, sanggup2 aja asal bisa tinggal serumah sama bang tata
Jiva: lo yg sanggup, gue gak sih
Ruri: group bandnya bang tata?
Ruri: tampil di mana, tuh?
Ruri: udah punya lagu sendiri blm?
Ruri: suara vokalisnya bagus
Ruri: bang tata keren jg ya, bisa punya band
Ruri: yg drummer namanya siapa, jiv?
Zia: borongan ya, sis?
Ruri: iya nih, kepo
Ruri: btw bandnya keren
Zia: sama bang tata juga keren!
Jiva: blm kata bang tata
Jiva: RT RT RT RT RT buat vokalis ❤
Jiva: hehehe
Jiva: lupa namanya, ntar deh gue tanyain bang tata lagi
Zia: amit-amit
Zia: giliran vokalis aja langsung ingat namanya
_________
“Jivaaa ....”
Jiva menoleh ke arah pintu kamar. “Iya, Ibu. Adik di kamar. Kenapa?” sahutnya berteriak membalas panggilan Kahiyang, ibu Jiva dan Bian.
Tak lama kemudian Kahiyang muncul di balik pintu kamar yang baru dibuka itu. “Gak sibuk kan, Nak? Ibu mau minta tolong buat beliin telur sekilo, terigu, gula, sama kecap botol merk CBA, terus ... shampoo merk biasa yang sering dipakai, sama terakhir royco sebungkus yang gede di warungnya Pak Teguh, ya!”
Selama tadi ibu menyebutkan daftar belanjaan, Jiva sibuk menghitung pakai jari sambil merapalkan ulang semua nama-nama tersebut. Keningnya mengerut agak heran karena tiba-tiba ibu minta dia buat belanja ke warungnya Pak Teguh. “Perasaan baru kemarin Ibu belanja ke Supraindo bareng Bang Tata. Kok sekarang udah mau belanja lagi ke warungnya Pak Teguh?”
“Telor, terigu, sama gula mau dipakai buat adonan. Shampo sama royco ternyata habis, ibu lupa nyetok kemarin. Terus kecap di rumah tinggal dikit. Mumpung ayah kamu belum balik kerja, kamu beli kecap sekalian di warung Pak Teguh,” kata ibu menyuruh Jiva agar segera bangkit untuk berbelanja. “Ini uangnya. Kalau ada sisa kembalian buat kamu aja.”
Karena Jiva masih belum juga beranjak dari kasur, ibu mulai berkacak pinggang memelototi sang putri. “Buruan, Adik! Keburu ayahmu balik kerja. Kalau ayahmu nyadar kecap rumah mau habis, nanti bisa-bisa mogok makan. Terus ibu juga yang dicemberutin.”
Bapak Chandra Kumara Dewara kelakuannya memang suka rada-rada rak genah— dalam bahasa Jawa; bahasa Indonesia-nya ‘enggak jelas’. Beliau tiap hari makan nasi harus selalu dicampur pakai kecap. Tanpa kecap pasti enggak bakalan mau makan. Ujung-ujungnya mutung, mogok makan, alias ngambek dalam bahasa Indonesia. Kebiasaan makan pakai kecap itu sudah jadi kebiasaan sejak umur ayah 4 tahun, hingga sekarang beliau punya dua anak. Makanya di meja makan rumah itu wajib harus ada botol kecap dengan merk CBA. Kalau beda merk ayah enggak mau menyentuh botol kecap tersebut. Kata beliau rasanya beda, enggak ada sentuhan masa kecilnya.
Bener banget! Pak Chandra itu orangnya selalu suka bernostalgia. Anak-anaknya sampai hapal semua cerita masa kecil beliau karena sering didongengin. Dan saking cintanya beliau sama botol kecap, di dalam tas kerja dan mobil Pak Chandra pasti ada botol kecapnya. Ke mana pun beliau pergi, botol kecap selalu ikut bersama.
Untung Jiva atau Bian enggak ikut-ikutan sekte ayahnya itu. Sekte perkecapan.
Akhirnya Jiva keluar dari rumah cuma pakai sendal jepit, celana training bekas SMP dulu, sama kaus oversize punya Bang Tata—kaus hasil pinjaman yang kini jadi hak miliknya karena Jiva enggak mau balikin. Telanjur naksir dan nyaman dipakai di badan. Padahal, itu kaus hasil Bian thrift online dengan harga lumayan agak mahal. Belinya pakai duit tabungan sendiri lagi. Bian agak nyesel dulu pernah pinjemin kaus itu ke Jiva yang sekarang jadi hak miliknya.
Selama jalan kaki menuju warung Pak Teguh dekat lapangan bola tennis, mulut dan jari-jari Jiva aktif bekerja. Mulutnya komat-kamit merapalkan satu per satu nama dalam daftar belanjaan bersama jari aktif menghitung untuk membantu ingatannya.
“Tadi telurnya sekilo atau setengah kilo, ya?” tanyanya mulai mau lupa sama daftar belanjaan ibu. “Terus kecapnya beli satu atau dua? Royco yang besar atau kecil? Eh, tadi sabun atau shampoo atau dua-duanya?”
Keanehan ini sering menimpa bukan hanya ke Jiva seorang, melainkan nyaris semua orang di muka mengalami situasi ini. Lupa sendiri sama daftar belanjaan saat lagi asyik-asyiknya jalan ke warung. Walau sudah berupaya keras untuk mengingat-ingat, dia seolah diperdaya oleh satu faktor penyebab jadi gampangnya melupakan daftar belanjaan ibu.
Jiva berhenti untuk berpikir. Menimbang rencana pulang ke rumah guna bertanya ke ibu lagi daftar belanjaan atau tetap mengandalkan ingatan payahnya ini. Dia menggeleng, menolak ide itu. Kakinya sudah telanjur membawanya sampai sejauh ini. Balik ke rumah sekarang tanpa bawa belanjaan hanya akan buang-buang energi. Dan Jiva paling males kalau disuruh bolak-balik pergi.
Jiva mempercayai ingatannya. Membuang rencana pulang ke rumah, dia mulai lanjut berjalan lagi sambil tetap mengingat-ingat daftar belanjaan yang sebagian isinya mulai ngawur. Ketika dia berjalan lagi, di belakang ada mobil yang diam-diam mulai mengikutinya. Kendaraan roda empat itu berjalan sangat pelan sekali, seolah si pengemudi tidak menginjak gas mobilnya.
“Dek, kok sendirian di jalan? Orang tuanya ke mana?”
Jiva jelas mendengar omongan barusan dari orang di mobil itu, tapi pura-pura tidak dengar. Cuek sendiri lantaran sangat mengenali suara dari laki-laki yang bicara barusan.
“Mau ikut abang gak? Nanti abang kasih permen.”
Bibir gadis itu mencebik konyol saat mendengar bualan si laki-laki bermobil. “Halah, paling juga permen harga 500 rupiah yang dapat 2 itu. Gak modal banget,” ejeknya demikian.
“Permen abang gak murahan, Dek. Isinya banyak, bentuknya bulet, warna-warni, terus di dalam isian cokelat.”
“Ew, pemern. Gak level!” serunya kemudian belok kanan menuju warung Pak Teguh. Sementara mobil itu juga ikut berhenti bersama orang-orang di dalam kendaraan yang mulai tertawa.
“Lo sama adik lo bener-bener ya, Ta!” ujar Evan tersenyum-senyum geli berkat kelakuan dua bersaudara ini.
“Coba adik gue kayak adik lo, Ta. Pasti kehidupan gue di rumah penuh canda tawa.”
Ryan yang menyetir mobil lantas menoleh ke arah Danang yang barusan mengeluh. “Emang si Isa kenapa, Nang?” tanyanya.
“Adik gue gak ada seru-serunya, Bray. Gue ajak bercanda dikit-dikit langsung nangis, ngadu sama nyokap mulu. Gak kayak adiknya si Tata yang seru gitu diajak bercanda.”
“Yeu, Goblok! Adik lo masih bayi, umur lima tahun. Ya jelaslah, nangis lo ajak bercanda!” Evan yang dongkol mendengar alasannya refleks jorokin Danang yang kebetulan duduk di jok tengah bareng dia. “Bercandaan lo nyebelin sih, sama bocil.”
Ryan terbahak-bahak tak berkesudahan. “Gws deh, Nang. Mending lo segera berobat ke psikiater.”
“Aminn,” lanjut Evan segera mengamini.
Bian yang duduk di bangku depan sebelah Ryan geleng-geleng saja, menyimak. “Adik lo masih bayi dan lo samaian adik gue yang segede Jiva? Ckck. Aneh lo, Nang.”
Danang terkesiap. “Lho! Yang penting gue ada adek, kan? Daripada Ryan anak tunggal atau si Evan anak bungsu.”
“Sebahagia lo aja deh, Nang,” kata Evan capek meladeni si Danang. Mengakhiri obrolan itu bersamaan dengan kemunculan Jiva yang berlari kecil mendekat ke mobil mereka.
“Bang Tata!” panggil gadis itu agak terkesan heboh dan darurat.
Bian yang mendengar panggilan itu, lantas menyandarkan dagu di atas pembatas jendela untuk menyimak omongan Jiva.
Jiva mulai komat-kamit bicara dimulai dari dia asyik chattingan sama teman di group sampai ibu muncul di kamar dan menyuruh dia belanja. Alur ceritanya sangat detail, tipikal Jiva sekali. Bian menyimak baik-baik tanpa menyela. Sudah terbiasa mendengarkan dan memaklumi kebiasaan bercerita adiknya ini, yang paling tidak suka to the point. Pasti langsung dimulai dari awal sebelum, sampai kejadian. Ada sebab dan akibat. Bagi tiga teman Bian yang baru tahu hanya bisa melongo heran. Malah ada juga yang gregetan karena merasa Jiva lagi ngomong ngalur ngidul.
Selama bicara itu Jiva tak sampai memperhatikan isi dalam mobil. Situasi dia sekarang lagi terdesak, butuh banget bantuan seseorang yang berasal dari rumah gerbang putih nomer 067. Alias orang yang juga tinggal serumah dengannya. Jiva benar-benar lupa waktu ada di warung Pak Teguh dan ditanyain sama istri beliau mau belanja apa saja.
Jiva menggaruk-garuk kepalanya. “Iya itu. Aku lupa daftarnya apa saja. Cuma ingat telur, terigu, sama kecap. Terus Ibu biasanya beli telur di warung Pak Teguh itu sekilo atau setengah kilo?”
“Sekilo,” jawab Bian tanpa ragu sedikit pun.
“Kecap beli satu atau dua? Atau sekerdos?”
“Satu aja. Kalau sekerdos mah, belinya di tempat lain, Dek.”
Jiva terangguk-angguk lalu kembali menghitung lagi dengan jari-jarinya. “Apalagi yaa,” gumamnya beneran lupa sama daftar belanjaan selepas dia sampai di warung Pak Teguh.
“Gula, royco yang bungkus gede, sama shampoo jangan lupa.”
Mata coklat beningnya menatap lurus Bian, seiring raut terkejut dan terharunya. “Kok Bang Tata tahu?”
“Soalnya ibu tadi juga chat mau nitip belanjaan, terus gak jadi soalnya kamu di rumah.”
“Oh ... pantesan tugas belanjaanya diserahin ke aku!” gerutu Jiva kali ini menatap sebal Bian. Menuduhnya sebagai tersangka karena gara-gara Bian pergi, tugas belanja jadi dialihkan ke Jiva yang lagi asyik-asyikan rebahan di kamar. “Ya udah deh, aku lanjut belanja lagi.”
Bian menatap aneh Jiva yang sempat berbalik pergi ke warung Pak Teguh lagi, tapi mendadak gadis remaja itu herhenti, lalu menoleh padanya. “PERMENNYA. AWAS AJA GAK DIKASIH!” Jiva berteriak hanya untuk menagih permen yang sempat Bian tawarkan tadi.
Bian terkesiap, geleng-geleng, terus berdecak tak karuan.
“Adik lo bener-bener ajaib,” komentar Ryan takjub sendiri lihatin kelakuan adik Bian.
“Ta, butuh adik ipar gak? Gue siap daftar nih,” kata Danang tiba-tiba. “Gue siap nunggu adik lo sampai legal buat gue halalin.”
“Gws, Nang. Gws!” teriak Evan menilik wajah kesemsem temannya satu ini. Seketika dia merinding.
Bian menepuk pundak Ryan.”RSJ jam segini masih buka gak, ya? Otw ke sana aja, yuk, nganterin pasiennya yang kemarin kabur.”
“Gue gas, nih?” tanya Ryan.
Evan menyetujui. “Gas pol. Jijik gue lihat mukanya.”
“Sialan kalian!” Danang cemberut, tapi lalu tertawa walau masih diancem Bian buat keluar dari mobil. Gara-gara omongan tadi dia jadi dilarang buat ikut main ke rumahnya.
Emang ini agak slow, gais, gak bisa dibuat cepat-cepat huhu nanti ancur plotnya 🫂 Kesempatan Ryan muncul banyak masih belum, Awan juga munculnya bakal lama kok. Sabar, sabar 🫂
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top