Ch. 02: Tutorial Menjadi Patung

“Whoaaa, anjir!” Bian refleks teriak, loncat, dan mendelik kesal sewaktu keluar dari dalam kamar mandi langsung disuguhi kelakuan aneh bin ajaib Jiva, ngeroll dari depan ke belakang bolak-balik tepat di depan kamar mandi. “Sialan, Adik! Ini masih pagi, ah, lo jangan kesurupan dulu!” tegurnya sambil elus-elus dada.

Kelakuan ajaib bocah satu ini emang paling pantas dimuseumkan. Ada-ada saja idenya.

“Maunya ... keserupan .... sekarang.” Jawabannya terpotong-potong oleh aksi ngeroll depan ke belakang itu. “Kalau nanti gak bisa...,” remaja itu mulai berhenti, duduk di lantai dengan napas ngos-ngosan, “hah ... hah ... hah ... aku capek, Bang Tata. Bantuin berdiri dong, please?”

Bian langsung menerima uluran kedua tangan itu, membantunya berdiri pelan-pelan. “Habis masuk sekte mana? Ada-ada aja ngeroll depan kamar mandi sepagi ini.”

Jiva mengibaskan tangan di depan wajahnya. “Sempaksuperman. Roll barusan bukan buat kamar mandi, tapi buat Bang Tata. Kebetulan aja Bang Tata ada di kamar mandi,” katanya menimbulkan tatapan skeptis dari Bian, yang lagi-lagi dibuat heran sama kelakuan dan jawaban adiknya itu.

“Ya udah deh, aku mau balik bobok lagi. Selamat pagi, Bang Tata.” Jiva berbalik melangkah ringan menuju arah kamarnya. Seolah lupa sama kelakuan anehnya sendiri tadi. Meninggalkan Bian di belakang sana yang kemudian cengo, dan lantas mendoakan Jiva supaya segera mendapatkan kewarasannya di hari Minggu ini.

Bayangkan kalau yang di kamar mandi itu ibu mereka. Beliau pasti kena serangan jantung. Syok lihat kelakuan putrinya. Atau ayah mereka, beliau pasti langsung membawa Jiva ke psikiater. Yah, ke psikiater mending masih terdengar normal, tapi gimana kalau dirujuk ke orang pinter? Beneran sama-sama gila.

Bian geleng-geleng. “Perasaan gue gak segila itu. Kenapa adik gue jadi gila,” gumamnya terheran-heran.

‼️ knock knock your heart ‼️

Sebenarnya Jiva baru tahu saudara laki-lakinya, Bian, punya group band musik berkat hasil stalking akun sempaksuperman semalaman. Selama ini dia hanya mengira si kakak cowok kuper, temannya itu-itu saja orang sama, hobi ngegame di dalam kamar, dan fast food adalah makanan favoritenya, terutama burger sama kentang goreng. Alias di mata Jiva, Bian itu tipe cowok yang enggak ada menarik-nariknya sama sekali. Kalau senyum konyol, potongan rambut kuno, dan mata cekung efek keseringan depan pc. Bian punya aset di wajah bernilai A, tapi sering disia-siakan dengan mendekam di balik pintu kamarnya itu. Dari dia masih sekolah sampai kuliah, hobinya enggak pernah berubah jadi apa-apa. Terus kalau teman sekolah datang ke rumah pasti diborong ke dalam kamar, diajak ngegame, kadang mainnya sampai larut malam atau kadangpula temannya sampai menginap di rumah.

Begitu tahu si kakak diam-diam ternyata punya group band musik, Jiva langsung heboh tak berkesudahan. Memberitahukan seisi rumah kalau Bian punya hobi baru sebagai anak band. Hobi baru yang lebih keren daripada main gim di kamar. Saking antusiasnya mengumumkan berita itu, dia sampai pamer ke anak tetangga yang sering ngejek kakaknya madesu ‘masa depan suram’, gara-gara jarang bergaul sama anak-anak kompleks dan keseringan ngegim di kamar.

“Ayolah, Bang Tata, dibolehin ikut nonton. Mau banget lihat Bang Tata nyanyi. Yah, semoga gak malu-maluin juga soalnya aku udah telanjur koar-koar ke Mada kalau Bang Tata itu anak band, yang lebih keren daripada abangnya itu.”

Asoka Mada Gumilar, bocah tengil anak tetangga, yang nyebelin minta ampun dan suka bikin tengsi Jiva naik turun. Enggak di sekolah maupun rumah, si Mada itu paling demen ngejek Jiva, segala pakai banding-bandingin abang mereka. Terus terang Jiva selalu merasa kalah kalau diajakin banding-bandingin kekeranan abang-abang mereka. Dibandingkan sama Bang Tata, jujur abangnya Mada, Bang Arjuna, jauh lebih keren.

Bian mendesah pasrah. Heran sendiri dari mana anak satu ini bisa tahu kalau dia punya band musik. Group yang terbentuk dari ukm musik. Padahal, orang rumah yang tahu soal ini cuma ayah mereka. Ayah waktu masih muda dulu juga anak band, dan hobinya itu turun ke Bian yang lebih suka merahasiakan hobinya itu, kecuali ke ayah. Bagi Bian hobi bermusiknya itu cuma buat senang-senang mengisi waktu luang di sekolah atau kampus. Makanya ayah senang banget waktu dengar anak laki-lakinya itu punya band di sekolah sama kampus.

“Abang bukan vokalisnya, Dek.”

“Bukan vokalis? Terus apa?” tanyan penasaran. “Eh, tapi baguslah kalau gitu. Bukan maksud Jiva hina Bang Tata, ya. Ini pendapat pribadi kalau suara Bang Tata emang rada-rada fals—Arghhh, Bang Tata, Bang Tata, lepasin, ih! Sakitttt!”

Jiva memukul-mukul tangan Bian yang tengah memiting lehernya. Teriakan si bungsu lantas menggema kencang sepenjuru rumah. Ibu mungkin mendengar karena samar-samar Bian mendengar seruan beliau dari dalam kamarnya. Bian urung membebaskan Jiva. Rintihannya dia abaikan semena-mena biar bocah satu ini kapok. Dan baru melepaskan pitingan setelah Jiva menyerah dan meminta maaf karena sudah mengejeknya.

Bian itu paling anti kritik; Jiva paling suka mengkritik.

“Jadi, gimana Bang Tata? Masih tetap boleh ikut gak?” tanyanya lagi.

“Nggak.”

“Yah, yah, kenapa??? Kan aku juga mau pamer Bang Tata nyanyi di panggung ke teman sekolah.”

Bian menatapnya galak. “Abang bukan vokalis! Barusan banget dikasih tahu, lho!” omelnya, ingin sekali memiting leher Jiva lagi. Tapi sepertinya gadis kecil itu tahu, makanya dia menjaga jarak dari Bian secepatnya. “Lagian buat apa kamu nonton? Ini cuma band buat senang-senang, buat ikut ukm musik. Bukan band yang bakalan diseriusan. Terus gak ada istimewanya dari band ini.”

“Ada kok. Sempak Superman. Hehe.” Buru-buru dia menambahi sebelum dicurigai, “Mau cuma main-main atau serius, aku tetap mau nonton. Bang Tata perlu ingat-ingat ini. Orang pelit kuburannya sempit. Jadi, supaya kuburan Bang Tata enggak sempit, jangan jadi pelit. Oke?”

“Sialan, Jiva.” Bian mengumpat tak habis pikir dengan kepintaran Jiva. Gadis muda ini selalu pandai menemukan kata untuk memojokkan seseorang. Sebagai seseorang yang selalu dibuat kenyang oleh kata-katanya, Bian kemudian menyerah. Mengizinkan Jiva ikut menonton bandnya yang akan tampil di acara kecil-kecilan di kampus besok sore. Tapi dengan satu syarat Jiva tidak boleh dekat-dekat sama teman kuliahnya.

“Aku gak pernah gigit orang, kecuali sama Bang Tata doang. Apa salahnya coba dekat sama temannya?”

“Lo masih piyik. Baru juga kelas 1 SMA. Jangan dekat-dekat sama orang yang gak seumuran.”

Kepala Jiva miring ke kanan. Mata bulat gemasnya menatap lurus ke Bian yang masih berbicara menasehati. “Kenalan juga gak boleh?”

“Masih boleh.”

Bibir berbentuk hati itu lantas menggulum ke dalam. “Oke deh, kalau gitu!” ucapnya demikian.

Alasan dia pengen lihat Bian tampil bareng bandnya cuma 50%, karena 50% lainnya dia pengen ketemu lagi sama user di balik profile sempaksuperman. Alias teman Bian yang berbama Ryan Balakosa. Dengan jumlah presentase yang seimbang, Jiva merasa sudah cukup adil membagikan tujuannya. Melihat Ryan adalah tujuannya, bisa berkenalan anggap saja sebagai bonus.  Bisa jadi dia beruntung dikenalin ke orangnya; bisa juga dia tidak beruntung, tidak dikenalkan ke sempaksuperman. Makanya Jsa menganggap berkenalan sebagai bagus dari tujuannya itu.

‼️ knock knock your heart ‼️

Gara-gara Jiva kelamaan pilih baju mereka telat hampir 15 menit sendiri buat sampai ke tempat acara. Bian sempat mau digantikan posisinya sama salah satu teman se-ukmnya. Untung dia tiba tepat sebelum bandnya lagi mau gantian tampil.

“Enzy. Tolong, jagain adik gue,” teriak Bian ke temannya cewek yang kebetulan ada di situ. “Kalau anaknya bertingkah, lo jambak aja rambutnya nanti biar gue yang tanggungjawab.”

“Gue pukul juga lo, Bang Tata!” balas Jiva kesal sambil mengangkat tangan kanan yang sudah mengepal itu. Bian cuma menjulurkan lidah, meremehkan, sebelum menyusul anggotanya naik ke atas panggung.

Event kecil-kecilan ini rutin diadakan tiap satu semester sekali oleh ukm musik di gedung kopri. Biasanya di gedung audit atau minimal gor kampus. Tapi kebetulan kedua tempat itu sudah dipakai event duluan sama ukm lain—mereka telat sewa. Untuk event kecil-kecilan begini mereka biasa menyewa tempat yang tergolong kecil; untuk event gede-gedean biasanya di gor atau mentok Taman Bahara, yang sering dipakai buat konser band-band lokal.

Jiva tolah-toleh ke samping. Memandangi puluhan orang yang hadir untuk ikut meramaikan event ukm musik. Jumlah penonton bisa dibilang cukup banyak walau masih terlihat space yang kosong. Untuk ukuran band kecil belum punya nama, punya penonton dengan jumlah sekian sudah lebih dari cukup untuk dibangga-banggakan. Jiva kemudian berbalik menghadap ke arah panggung. Pandangannya fokus mencari-cari keberadaan sang kakak. Walau awalnya dia skeptis sendiri dengan kemampuan bermain musik kakaknya, tapi begitu melihat sosok Bian berdiri di panggung dengan bass di tangan, sebuncah kegembiraan meletup-letup hingga spontan dia berteriak heboh memanggil-manggil nama sang kakak.

Aksi heboh Jiva di backstage terdengar sampai ke panggung. Bian menoleh, teman-temannya tak lama mengikuti. Arah pandang mereka jatuh ke satu orang yang sama. Ke gadis remaja anak sekolahan yang sekarang tengah meloncat-loncat girang, sampai bikin Enzy di samping melongok lalu tertawa geli menyaksikannya.

“Tumben lo bawa-bawa penggemar keevent, Ta,” ujar Evan, sang drummer di group.

Danang pun menyahut, “Itu, mah, si Jiva. Adiknya si Tata. Apal gue, mah, sama suara cemprengnya.”

Mendengar itu spontan Bian melempar tatapan galak ke Danang yang langsung nyengir lebar membalas tatapan protektif sosok abang ke adiknya.

Ryan yang turut mengamati dari posisinya berdiri segera berpaling ke Bian. “Adik lo lucu juga, Ta.”

“Suka lo, Yan?” ujar Evan bercanda.

“Gak. Cuma lucu aja lihatnya. Cocok buat jadi adik gue daripada adik lo, Ta.”

“Maksudnya?” tanya Bian sudah siap-siap mau ngomel.

“Lo apatis. Adik lo berisik,” kata Ryan.

“Jangan-jangan lo anak tetangga lagi, Ta? Gak ada mirip-miripnya sih,” sambung Danang baru mau mulai tertawa, tapi keduluan sama teguran ketua ukm musik.

Farraz menegur keempat cowok itu agar bersiap cepat-cepat dan berhenti bicara. Akhirnya mereka berempat saling mendelik satu sama lain, saling menyalahkan, sebelum fokus buat tampil.

Semenjak teguran cowok bertopi merah itu, Jiva jadi menoleh mencari sosok yang dipanggil-panggil Farraz. Dia hampir lupa kalau 50% alasannya kemari untuk melihat user sempaksuperman. Dalam hati Jiva menggerutu, menuduh Bian licik karena telah mengalihkan perhatiannya.

Sosok Ryan Balakosa terlihat berdiri di panggung sama seperti kakaknya. Cowok itu berada di barisan paling depan. Posisinya sebagai vokalis yang baru dia tahu itu, semakin membuat Jiva berapi-api oleh semangat. Tak terpikirkan olehnya kalau justru Ryan-lah sang vokalis dari band itu sendiri. Cepat-cepat gadis itu mengeluarkan ponsel. Merekam penampilan perdananya melihat sang kakak bermain bass, lalu Ryan yang mulai bernyanyi dengan suara berat khasnya itu.

Jiva terus saja dibuat heboh selama menonton. Tak pernah berhenti berseru walau kurang tahu sama lagu yang dinyanyikan. Seakan baru menyaksikan salah satu band jebolan internasional. Kemudian dia berteriak lagi, kali ini lebih kenceng suaranya dengan maksud ingin memberi semangat. Alih-alih meneriaki nama Bian lagi, dia justru meneriaki orang lain dengan cara salah.

“KAK SEMPAK SUPERMAN SEMANGATTT ...!”

Justru teriakan miliknya itulah yang mencuri perhatian semua orang. Jiva belum sadar, masih asyik berteriak. Enzi dan orang sekelilingnya sudah tertawa. Ketiga cowok di atas panggung yang samar-samar mendengar teriakannya di tengah alunan musik, kontan menahan senyum termasuk Ryan, geli seketika waktu mendengar nama sempaksuperman di tengah-tengah event berlangsung. Cuma Bian yang rasanya ingin menepuk jidat sekarang.

Andai Jiva sadar keteledorannya sore itu, mungkin dia segera berubah menjadi patung sekarang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top