Tim | Perpindahan dan Perjumpaan

Kepergianku dari rumah menyisakan banyak perasaan mengambang yang aneh. Bukan sekedar meninggalkan sebuah tempat yang sebelumnya kupanggil rumah selama lebih dari 20 tahun hidupku, orang-orang yang kupanggil keluarga, tapi juga…diriku sendiri. Belum terlalu lama sejak aku pindah, tapi aku sudah merindukan diriku yang dulu–pemuda penuh semangat yang melihat semua hal sebagai petualangan seru.

Ketukan di pintu yang terbuka membuatku menoleh. Bunda Sarah, pemilik rumah kost tempatku tinggal. Menurut beberapa tetangga yang masih belum kuingat nama-namanya, beliau sering menengok anak-anak kostnya sambil bawa makanan. Yah, mungkin dia hanya mau mengecek apakah penghuni KBS masih taat aturan.

“Gimana, Tim, betah?” Ia bertanya, ramah.

“Betah…” jawabku sambil mengangguk. Dan sedikit tersenyum. Beberapa waktu terakhir, aku butuh mengingatkan diri untuk tersenyum saat berbicara dengan orang lain.

“Kamu mau ke mana lagi, nih? Kirain tadi baru pulang…” Bunda Sarah berkomentar, sepertinya menyadari kalau aku sudah menyampirkan tas dan memakai sepatu, siap pergi.

“Oh, saya ada kerjaan lagi…”

“Kamu bukannya mahasiswa? Kemarin kamu kasih fotokopi KTM…” wanita setengah baya di depanku sepertinya tipe ibu-ibu penasaran yang sebaiknya diberi jawaban detail dan lengkap.

“Iya Bu, saya lagi skripsi. Sambil tunggu sidang, saya kerja part time di beberapa tempat. Saya kerja di kafe, minimarket depan situ, bantu penelitian dosen, di tempat nge-print, sama kadang bantu foto-foto untuk prewedding dan nikahan kalau hari Sabtu Minggu…”

Ekspresi Bunda Sarah berubah seketika. Mungkin dia berpikir aku anak rantau menderita yang betul-betul membutuhkan uang untuk bertahan hidup ya. Seketika aku menyesali jawabanku barusan.

“Tapi saya emang hobi aja sih, Bu,” aku menambahkan buru-buru, “Daripada nganggur.”

“Lucu juga ada mahasiswa hobinya kerja part time…” Ia berkomentar, sepertinya ditujukan pada dirinya sendiri.

Aku mengangguk menyepakati. Walaupun tak sepenuhnya tepat. Kerja part time-ku bukan hobi, bukan pula didorong kebutuhan materi. Aku butuh menghabiskan waktu dengan produktif, untuk mengalihkan perasaan dan pikiranku dari rumah. Aku juga butuh lebih mandiri.

“Saya pamit dulu,” aku memutuskan untuk pergi sebelum pertanyaan lebih lanjut diajukannya nanti. Beliau mengingatkan untuk berhati-hati. Ada ketulusan yang mengagetkan di nada suaranya, dan membuatku melangkah keluar rumah dengan sisa senyum di bibirku.

***

Salah satu hal yang membuatku memilih tinggal di KBS, meskipun ada banyak tempat kost yang lebih privat, lebih nyaman dan bahkan punya fasilitas lebih banyak dari rumahku, adalah karena lokasinya yang dekat dengan semua hal yang kusuka dan kubutuhkan.

Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari kampus, kafe, minimarket, dan toko buku bekas favoritku, Boekhandel. Rumah kecil dengan halamannya penuh pohon rindang, yang bagian dalamnya penuh tumpukan buku-buku. Ada kekacauan yang indah dan terasa syahdu setiap kali aku ke sana. Terlalu sering aku mampir untuk sekedar lihat-lihat, sejak tingkat 1 hingga hari ini. Sepertinya mereka sudah menganggapku kucing lewat tiap aku datang.

Sore ini, aku memutuskan untuk mampir sebelum memulai shift pukul 5 nanti. Cuaca sedang cerah, suasana hatiku membaik karena Bunda Sarah, dan aku baru saja menghabiskan Kafka on The Shore, siap untuk memulai petualangan membaca buku baru. Siapa tahu ada pilihan menarik.

Aku membuka pintu dan menyadari ada dentingan lonceng kecil terdengar. Tunggu. Sebentar. Ada yang berbeda. Sebelumnya, bel di atas pintu itu tidak ada! Aku mengedarkan pandang ke sekeliling toko. Ada yang berubah. Oke… Buku bertumpuk dan berdebu, masih bertumpuk tapi tidak lagi berdebu. Sarang laba-laba rahasia di pojok atas rak buku, sudah menghilang. Lantai terlihat lebih luas…bukan, sepertinya ada tumpukan buku lain yang sudah dipindahkan. Rak-rak tampak teratur, dan hidungku mencium aroma lavender di balik bau kertas lama.

“Tim,” suara seseorang memanggil namaku, nyaris membuatku melompat. Aku menoleh dan melihat salah satu pemilik toko buku, Ibu Lastri, berdiri di balik meja… Hah? Itu meja kasir? Boekhandel akhirnya punya meja untuk membayar?

“Kok rapi banget, Bu?” Aku mengabaikan fakta kalau ternyata Ibu Lastri mengetahui namaku, dan bertanya.

“Oh iya, kita punya part timer baru nih. Kayaknya sekampus kamu, baru beberapa hari sudah rapi ya!” Antusias dan kebanggaan tersirat di nada suaranya.

Aku gak suka. Siapapun dia, dia telah mengubah kekacauan yang sudah kukenali bertahun-tahun dan menjadikannya…normal. Kutebak, dia gak bakalan tahu soal buku-buku di sini seperti aku, hanya ingin merapikan segalanya.

“Tuh dia. Arum! Sini, sini. Kenalan dulu sama Tim, pelanggan kita yang paling setia!” Ibu Lastri berseru.

Sebuah kepala berambut pendek muncul dari balik rak, membuatku lagi-lagi kaget. Pemiliknya bertubuh mungil, dengan mata bulat jernih dan bibir tipis yang menyunggingkan senyum lebar. Ia melangkah ke arah kami. Aku nyaris mundur, tapi Ibu Lastri sudah di samping, menahan gerakanku.

“Eh, kamu kan…” Perempuan muda di hadapanku menunjukku dan mengerutkan kening. Walau begitu, senyum tak menghilang dari wajahnya. Membuatku berdebar. Aku punya kecenderungan untuk mendadak salah tingkah kalau ada orang tersenyum manis padaku.

Tunggu. Aku bilang manis?

“Kita pernah ketemu di sini,” ia melanjutkan. Suaranya sejernih bel yang dipasang di atas pintu depan.

Aku mengingat-ingat. Dengan debaran jantung berlipat. Rasanya seperti ujian lisan. Menggali memori, mengingat di mana aku pernah menemui sosok ini sebelumnya…
“Iced cookies and cream?”

Ia menjentikkan jarinya. “Kamu bilang jangan bawa minuman ke toko buku.”

“Maksudnya baik. Di sini banyak buku bertebaran, kalau kesandung kamu bisa numpahin semuanya ke mana-mana,” kilahku cepat.

“Sekarang sudah rapi,” ia menjawab, lalu menunjuk sebuah papan di dinding yang sebelumnya juga gak ada. Tulisannya: Dilarang Makan & Minum di Toko. “Dan aku sepakat sama kamu, lebih baik gak ada yang makan dan minum di toko.”

Aku mengangguk-angguk, lebih karena nervous dibanding setuju. Siapa kira perempuan mungil ini bisa membuatku, yang sepertinya 25 cm lebih tinggi, merasa kecil?

“Nah, bagus, kenalan. Arum sudah beresin buku-buku sesuai genre, sesuai penulis, sekarang kamu gak lagi mesti berlama-lama nyari-nyari dan gak ketemu.” Ibu Lastri sepertinya sangat bangga pada karyawan barunya, menepuk pundak Arum dan pergi.

“Butuh dicarikan buku apa?”

“Mmmm…” aku berpikir-pikir, “Aku gak tahu. Tapi bukuku barusan selesai…”

“Apa judulnya? Buku yang terakhir dibaca?”

“Kafka on The Shore.”

“Ah. Sudah baca Dune?”

“Di sini ada Dune?” Aku takjub mendadak.

“Lengkap! Sini ikuti aku…”

Dan, seperti kerbau dicocok hidung, mendadak aku melangkah mengikuti Arum melewati rak-rak yang kini terasa asing. Ia berhenti dan tangannya menunjuk ke salah satu bagian, menampakkan deretan buku lama yang kutahu adalah salah satu cerita fantasi paling epik soal petualangan antar planet.

Ternyata menyenangkan juga melihatnya di Boekhandel, dalam kondisi rapi.

“Ada trilogi pertamanya: Dune, Dune Messiah, Children of Dune…” Arum menjelaskan dengan ceria. Keceriaan yang membuatku tersenyum.

“Oke. Aku ambil semuanya.”

“Serius?”

Aku mengangguk, dan Arum tersenyum lebih lebar, membuat mata bulatnya menyipit dan senyum lebarnya menampilkan gigi yang berderet rapi. “Aku bungkus ya?” ia mengambil buku-buku tebal itu.

“Sekarang Boekhandel bukunya dibungkus?”

“Yep. Ayo ikut aku ke kasir. Aku gak mau kamu PHP dan pergi gak jadi beli.”

Oh. Tentu saja.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top