Arum | Paket Tetangga

"Oh, hari ini dia titip paket."

"Tetanggamu?"

"Yep."

"Idih, najis. Lucu banget."

Itu kata Ola—teman dekatku sejak awal kuliah—yang sedang menatap selembar post it baru di rak sepatu. Mulutnya memang agak jahat, tapi maksudnya baik.

Ola adalah seorang pengarang, juga mahasiswi Sastra Indonesia yang sekampus denganku. Di matanya sebagai seorang pengarang, sudah jelas keadaanku saat ini amat menarik untuk dijadikan bahan cerita.

"Kenapa? Iri, ya?" Kubuka pintu kamar sambil mencibir. "Iri, dong, ya. Masa nggak?"

Ola mengangkat kaki, hendak melayangkan tendangan maut, tapi aku bergegas masuk lebih dulu sementara dia menyusul sambil cemberut.

"Parah banget, ya, kamu. Nggak setia kawan, nggak kabar-kabar kalau lagi PDKT sama anak orang.” Ola menyapu pandangan, kemudian melihat selembar foto di atas nakas. "Wow, sampai dikasih foto polaroid juga, lho. Apa, nih? Ala-ala night street? Manis juga. Ini yang kapan? Semalam?"

"Iya, baru semalam."

"Sial. Jiwa jombloku meronta-ronta."

Hoho. Iya. Teruslah iri, wahai kawanku.

"Kalian udah pernah ketemuan, belum?"

"Belum." Aku menggeleng, mulai kembali berkutat dengan drawing tablet. Setelah ilustrasi buku anak waktu itu, Ola adalah klienku saat ini. Katanya dia butuh ilustrasi untuk sampul novelnya yang akan datang. "Aku sibuk, dia sibuk. Aku ke luar jam segini, dia ke luar jam segitu. Waktunya nggak pernah pas."

"Lho, kan, bisa janjian dulu?"

"Nggak seru."

"Kalian nggak saling tukar nomor kontak, gitu?"

"Nggak."

"Dih?"

Akhirnya decak lidah yang sejak tadi kutahan lepas juga. "Please, deh, La. Hubungan kayak begini aja udah seru, kok. Lagian nggak semua hal harus via digital, tahu."

"Iya tahu. Tapi gimana kalau ternyata kamu berjuang buat orang yang salah? Gimana kalau dia—tetanggamu yang sekarang lagi kamu perjuangkan ini—ternyata udah punya pacar atau semacamnya? Emangnya kamu nggak pernah kepikiran sampai sana?"

Yah, bukannya nggak kepikiran, ya. "Tapi kayaknya dia emang punya pacar, deh."

"HAH—UHUK! UHUK! Wah, Arum. Gila jug—UHUK!"

Iya, emang gila. Sambil meringis, kutepuk punggung Ola pelan-pelan.

"Padahal ini kesempatan besar buat masuk ke genre romantis," Ola berkomentar parau. Sekali lagi dia tatap post it biru sebelum diletakkan sembarangan di kasur.

Ini sudah kertas post it yang kesekian. Saking tidak relanya membuang banyak percakapan remeh yang lucu ini, aku sampai membongkar lemari dan mencari stoples kecil bekas untuk menyimpan semua kertasnya. Awalnya hanya karena teh jahe, sekarang kami bahkan bertukar pesan ringan bak kawan dekat.

Misalnya pesan hari ini:

Titip paket, ya. Udah dibayar, kok. Tolong diterima aja. Thanks.

—Tetangga Sebelah—

Kebetulan, hari ini aku malas ke mana-mana. Boekhandel tutup karena Bu Lastri pulang kampung. Aku disuruh liburan, dilarang keras datang ke toko karena katanya, "Kapan lagi kamu dikasih jatah liburan gratis?"

Padahal aku sudah siap menjaga toko sepanjang hari. Apa mungkin Bu Lastri berpikir aku ini sesibuk Tim, ya?

"Harusnya kalian kenalan aja."

"Siapa? Aku sama tetanggaku yang suaranya ganteng ini?"

"Ya, iya, dong. Emangnya siapa lagi?" Ola mengernyit. "Kebayang nggak, sih, kalau misalnya kalian kenalan, banyak ngobrol lebih dari ini, habis itu berujung main rasa? Aduh, pasti lucu banget, deh. Kamu belum pernah pacaran, 'kan, Rum?"

"Kamu juga belum."

"Hei, jangan serang balik, dong.” Ola menatapku dari kacamata bundarnya, sejahat yang dia bisa. “Kebayang nggak, sih, kalau misalnya kalian ketemuan langsung, habis itu ternyata kalian langsung klop? Gimana cara dia tatap kamu, atau cara dia ngobrol sama kamu?"

Aku cemberut. Mulai terpancing.

Bohong kalau aku tidak pernah berkhayal kami berjumpa tatap muka. Rasanya bahkan berdebar sampai ke realita. Namun, sayangnya aku tidak akan lupa kalau si tetangga ini sudah punya pacar.

Memangnya kalau kami berpapasan sungguhan, apa yang bakal terjadi? Akhirnya makin akrab atau malah canggung? Kalau aku bercerita tentang cuti kuliah dan keadaan ekonomi keluarga yang terjepit, kira-kira bagaimana dia akan memandangku?

Apa dia akan melihatku seperti saat Tim melihatku atau malah iba dan risi? Mustahil tidak, ya, kalau tetanggaku ini punya perangai setenang Tim? Sejauh ini, kan, dia hidup tanpa suara.

Yah, apa pun itu, semoga suatu hari nanti—saat kami bertemu—dia tidak memandangku sebagai makhluk menyebalkan. Semoga tatapannya mirip dengan tatapan Tim: berkilauan, ramah, lembut ....

Eh.

Hah ... HAH! LEMBUT?

"AAAHHH!" PANTAS AJA JANTUNGKU NGGAK BERES SETIAP ADA DIA!

"WOW, WOW, WOW! SANTAI, RUM." Ola menyingkir dari kasur karena aku mendadak beringas memeluk bantal dan berguling tak kenal tempat. "KENAPA? ADA APA?"

Dengan wajah tenggelam di bantal, aku berusaha menekan detak jantung yang dug-dag-dug-dag-dug di balik rongga.

"Gawat."

"Apa? Apa yang gawat?" Ola mendorong bahuku. Tanpa hati berusaha memisahkan aku dari bantal yang sudah berjasa meredam jeritanku. "Jangan dipendam sendiri! Ayo spill the tea! Bestie-mu ada di sini!"

"Nggak mau!"

"Hah?!"

Nggak! Aku nggak mau spill the tea sekarang! Melawan tekanan darah rendah, aku berdiri mendadak menuju pintu. "A-aku mau cari angin—"

"JANGAN COBA-COBA KABUR!"

“NGGAK! AKU CUMA MAU CEK—"

"Permisi! Paket!"

Kesempatan!

Secepat kilat kubuka pintu kamar dan berlari menuruni tangga. Bertemulah aku dengan si kurir paket yang terlompat kaget. Entah karena aku yang menggebu-gebu, rambut pendekku yang mekar bak rambut singa, atau karena hal lain.

"Mbak Utara, ya?"

Hah? 'Mbak'?

"Eng ... nama penerimanya bukan cowok, Pak?"

"Bukan." Si kurir diam sebentar. Tatapannya turun ke paket, kemudian mendongak ke sana kemari seolah mencari sesuatu. "Saya nggak salah alamat, 'kan, ya?"

"Coba saya lihat, Pak."

Meskipun ragu, si kurir mendekat saat aku melongok dengan kedua tangan bersembunyi di belakang punggung. Alamatnya benar, persis alamat KBS, tapi nama penerimanya yang menggangguku.

Utara Ulyani. Tadi aku sempat curiga karena namanya netral, sekarang malah lebih curiga karena "Ulyani"-nya. Itu jelas-jelas nama perempuan, 'kan?

"Kayaknya betul ini punya tetangga kamar saya," kataku. "Hari ini dia titip pesan ke saya buat terima paketnya."

"Oh, oke, oke." Akhirnya paket itu berpindah tangan. "Ini, Mbak. Silakan. Udah dibayar, ya."

"Siap, Pak. Nuhun, ya."

Kuterima paket itu dengan senyum manis walaupun kepalaku masih kebingungan.

Tetanggaku laki-laki, 'kan? Ini betul paketnya, 'kan? Kenapa nama penerimanya perempuan?

***

Keesokan harinya, Bu Lastri memintaku datang ke Boekhandel lebih awal dari jadwal biasanya, jadi aku sudah bersiap untuk berangkat satu jam sebelumnya.

Karena model KBS adalah rumah bersama, posisi tangga untuk kosannya ada di luar rumah. Langsung menyapa teras, garasi, dan gerbang. Pagi ini, baru setengah jalan menuju ke bawah, Bunda Sarah tiba-tiba lewat sambil menarik selang. Dia berhenti melangkah untuk melihat siapa yang turun. Matanya menyipit tajam selama beberapa detik, lalu tawanya meledak saat aku melambaikan tangan.

Setelah itu aku berangkat ke Boekhandel dan dimulailah hariku yang biasa. Tim mampir menjelang siang, dan entah kenapa aku mendadak girang.

"Hai!"

"Halo," dia menyapa balik, membuat senyumku mekar dari ujung ke ujung.

Aku keluar dari meja kasir, kemudian agak membungkuk guna merapikan gulungan celana jumpsuit hijauku yang kusut. "Mau cari buku apa hari ini? Sini aku bantu."

"Eh, nggak usah."

"Ya?"

Tim mundur selangkah saat aku mendongak tepat ke wajahnya. Agak kalap dia merogoh saku jaket, lalu mengeluarkan selembar kertas persegi panjang.

"Voucher," katanya sambil menyodorkan kertas itu. "Beli dua minuman, bonus satu dessert."

Aku ternganga. "Serius?"

"Kata Popo masa berlakunya sampai lusa."

"Syarat menunya?"

"Cookies and cream pun boleh."

Nikmat Tuhan mana lagi yang kau dustakan?!

Mengabaikan pengunjung, kugenggam tangan Tim erat-erat sambil melompat-lompat kegirangan. Alih-alih menghindar, Tim malah terkekeh dan menyentuh kepalaku sekilas. Mungkin itu gestur supaya aku berhenti melompat, tapi entah kenapa jantungku jadi jumpalitan.

"Jadi," katanya, "sampai nanti di kafe?"

Aku nyengir, mengangguk semangat. "Sampai nanti di kafe!"

Nahas, 'sampai nanti di kafe' ternyata tidak bisa ditepati dengan cepat.

Sebelum menutup Boekhandel, aku ditampar fakta pedih saat melihat saldo non-tunaiku sekarat. Begitu tidak menemukan dompet di tote bag, senyumku mendadak hampa.

Akhirnya terpaksa aku balik kanan ke KBS alih-alih langsung mampir ke kafe. Padahal Tim hanya punya waktu sebentar. Aku ingat dia punya banyak kerjaan part time, jadi kutebak dia sudah pergi lebih dulu mengakhiri shift-nya di kafe.

Kalau sampai dia pergi duluan, satu minuman lagi buat siapa?  Itu pikiran terberatku saat ini.

Begitu sampai, aku turun dari sepeda, buru-buru menapaki tangga KBS sambil berdoa semoga dompetku betulan ada di kam—

BRUK!

"ADUH!"

"Eh! Maaf, Mbak!"

"H-hah?" Aku mengerjap, agak panik sekaligus bingung melihat orang yang kutabrak justru meminta maaf duluan. "N-nggak, nggak, Mbak! Justru saya yang minta maaf, soalnya tadi saya yang lari-lari. Maaf, ya, Mbak."

Orang ini, orang yang kutabrak, malah tersenyum manis bak dewi dan tertawa kecil dengan super manis. Silau! Cantiknya bikin silau!

"Nggak apa-apa, Mbak. Saya juga salah," katanya. "Hm, Mbak ngekos di sini?"

Aku mengangguk. "Iya, Mbak. Ada apa, ya?"

"Mbak kenal sama orang yang tinggal di kamar ini, nggak?" Dia menunjuk pintu kamar si tetangga kanan. "Dari tadi saya ketuk pintunya, tapi nggak ada jawaban."

"Wah, maaf, Mbak. Kalau itu saya juga kurang tahu."

"Oh, ya udah. Makasih banyak, ya."

Setelah dia menjawab dan pergi berlalu, aku terdiam di tempat. Pelan-pelan baru menyadari hal kecil yang sejak tadi luput dari perhatian.

Orang yang berkunjung ke KBS ini adalah seorang perempuan. Tampangnya dewasa, cantik, dan jelas-jelas bukan wajah jomblo. Sudah begitu, sekarang dia menanyakan keberadaan si Tetangga Sebelah.

Apa mungkin ... dia ini pacarnya?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top