Arum | Jalan Sore
"Kamu yakin nggak mau pulang?"
Dulu, saat baru pertama kali mendengar pertanyaan itu lewat telepon, mataku langsung terasa panas. Diikuti dengan gejala dramatis berupa pandangan mendadak buram dan kesulitan tersenyum. Namun, kali ini aku mulai terbiasa. Refleks untuk menahan tangis memang masih ada, tapi sekarang kepalaku sudah lebih kuat dibandingkan hati.
"Nggak, Ma," kujawab pertanyaan yang sama untuk yang kesekian kalinya. "Arum mau di sini aja. Kan, waktu itu Arum bilang ini udah keburu bayar buat setahun lagi. Sayang kalau Arum pulang sekarang. Lagian, nih, asal Mama tahu; angin Bandung itu lebih enak daripada angin Bekasi. Kos Bunda Sarah juga enak, kok. Suasananya bikin nyaman."
"Uangnya cukup?"
Sebenarnya nggak. "Cukup."
"Ya udah. Tapi kalau uangnya mulai habis, langsung pulang aja, lho, ya. Jangan dipaksa."
"Siap, Ma. Tenang aja pokoknya. Yang penting si Bara disuruh belajar aja, cari beasiswa sekalian." Kupaksakan diri untuk terkikik sementara tanganku sibuk meraba-raba kasur, lalu aku mengernyit.
Dan terjadi lagi—di mana pensil gambarku? Masa baru ditaruh di atas kasur sebentar langsung hilang lagi, sih?
"... Arum."
"Ya, Ma?"
"Semangat, ya, Sayang."
Aku terdiam. Berhenti mencari pensil.
"Pasti kaget, 'kan, harus ambil cuti kayak gini? Maafin Mama, ya, ternyata belum bisa bayar kuliah kamu sampai akhir. Ambil sisi positifnya aja, ya, Rum."
"Oke, Ma."
"Cutinya juga yang santai aja, jangan banyak stres biar nggak sakit."
"Mm-hm."
"Mama nggak minta kamu buru-buru lulus kuliah, kok. Yang penting kamu merasa nyaman dan nggak terbebani." Sekali lagi terdengar jeda di ujung telepon. Tak lama, suara Mama kembali terdengar. "Aduh, jadi aneh gini pembahasannya. Ya udah, deh, Mama mau masak aja. Kamu juga jangan kebanyakan sedih, ya, Rum. Sehat-sehat di sana. Dadah, Sayang."
"Dadah, Mama."
Kujauhkan ponsel dari telinga setelah yakin sambungan telepon diputus sepihak. Kemudian kuhela napas panjang, susah payah menelan ludah sambil mengusap mata yang mulai basah.
Tolong jangan begini lagi.
Agak keras aku menarik napas dalam-dalam sambil berusaha mengenyahkan sisa-sisa air mata sampai kering. Aku tidak pernah berniat sedikit pun untuk keluar dari kamar dengan mata bengkak parah. Cukup sekali saja waktu pertama kali pindah ke kosan. Meskipun penghuni kos jarang berpapasan satu sama lain, masih ada Bunda Sarah—sang pemilik kos—yang hobi mondar-mandir di depan kos jam tiga sore begini. Gawat kalau aku ketahuan habis menangis.
"Udah, heh," gumamku, berusaha galak dengan diri sendiri. "Udah, Rum. Udahan dulu nangisnya. Nanti air matamu habis. Yuk, bisa, yuk."
Ini yang terakhir: kutarik napas panjang, mengembuskannya pelan-pelan, lalu mengulangi tahapnya dari awal. Tanpa sadar aku diam menatap langit biru yang mulai berubah warna di luar jendela.
Nah, masa bodoh pensil gambar. Sekarang ayo jalan sore.
Dulu kupikir kehidupan kos-kosan akan terasa hampa, sepi, dan menyedihkan karena tidak ada satu pun teman maupun perabotan yang biasa kutemui di rumah. Aku hampir tidak tidur selama dua hari saking resahnya.
Sampai seorang wanita paruh baya pemilik kosan mengetuk pintu kamar dan memberikan sepiring donat, barulah aku bisa tidur nyenyak. Namanya Bunda Sarah, dan beliau adalah pahlawan nomor satuku.
Sejak merantau ke Bandung, Kos Bunda Sarah—atau yang biasa disebut KBS—adalah salah satu tempat singgah favoritku. Selain karena keadaannya yang nyaman dan damai, sifat penyayang dan super baik milik Bunda Sarah adalah alasan nomor satu kenapa aku bisa betah di sini. Konon katanya, Bunda Sarah kini hidup sendiri. Beliau bercerai dengan suaminya sementara anak laki-laki satu-satunya sedang merantau ke luar kota.
Mungkin itulah kenapa beliau memperlakukan penghuni kosannya bagaikan anak sendiri.
Termasuk aku, yang dilarang jalan kaki kalau hendak jalan sore.
Harus mau naik sepeda kos, katanya, biar nggak capek.
Dan aku tidak bisa menolak karena, yah, selama diizinkan maka ayo saja.
Dengan sling bag berisi ponsel dan dompet, aku mulai mengayuh sepeda pelan-pelan. Semilir angin sore bermain-main dengan rambutku yang kini tersisa sampai leher setelah insiden Sok-sokan Potong Rambut Sendiri. Entah sudah berapa kali aku hampir menabrak anak kecil. Kupikir aku bakal dimarahi, tapi ternyata malah mereka yang diguyur ceramah oleh orang-orang sekitar.
Manusia itu unik. Karakter mereka beragam, seru untuk diamati, bagus sebagai pengalih pikiran. Jadi aku tidak ingin berhenti mengayuh sepeda untuk menemukan lebih banyak manusia-manusia aneh di sekitar daerah sini.
Tadinya begitu.
Sampai akhirnya sebuah kafe kecil yang terlihat sepi membuatku tergoda untuk menepikan sepeda.
Mampir nggak, ya? Eh, tapi, 'kan, tujuanku pergi ke luar, kan, emang buat menghibur diri? Bergegas kuperiksa isi dompet, berusaha yakin bahwa dengan membeli satu minuman saja tidak akan membuatku jadi miskin melarat.
Setelah memeriksa uang saku, aku masuk ke dalam kafe dan langsung terhenyak melihat betapa ramainya kafe itu. Padahal dari luar kelihatannya kafe ini tidak begitu ramai. Aku ingin buru-buru berbalik, tapi nahas, seorang pemuda bercelemek di balik konter sudah melihat dan menyambut kedatanganku. Sudah jelas dia salah satu pegawainya.
Pasrah, akhirnya aku berdiri berhadapan dengan orang itu. Dia berkacamata, tampak berusaha ramah walaupun berwajah suntuk. Mungkin hari ini dia bekerja keras dari pagi, atau menggantikan temannya yang dengan kurang ajar membolos.
Yah, urusan dia, sih. Tak ingin ambil pusing, aku segera fokus melihat-lihat daftar menu.
Kopi.
Isinya kopi.
Oh, ada yang non-kopi!
Kalau boleh jujur, sebenarnya aku tidak begitu menyukai kopi. Aromanya memang nikmat, sungguh, tapi sayangnya lidahku tidak cukup kuat untuk bertoleransi dengan rasa pahit. Jadi dengan muka tebal aku memesan, "Iced cookies and cream-nya satu, ya. Ukuran normal aja."
Si pemuda berkacamata mengulum bibir, tapi segera tersenyum lebar secerah mentari begitu aku memicingkan mata. "Baik, Kak. Ada lagi?"
"Itu aja."
"Minum di sini atau take away?"
"Tempatnya penuh."
Pemuda itu mengerjap kaget, lalu tertawa. "Oke, berarti take away, ya, Kak. Silakan ditunggu."
Karena tidak ada pemandangan lain, akhirnya aku menunggu sambil menatap setiap gerakan pemuda itu. Ambil gelas, geser teko, apalah itu. "Aneh, ya, lihat orang pesan cookies and cream di toko kopi?"
"Oh, nggak, kok. Saya justru menghargai pelanggan yang berani pesan minuman pakai muka tembok." Dia berseloroh dengan ringan seolah-olah yakin aku tidak akan mengecapnya sebagai manusia menyebalkan. "Kakak orang baru, ya? Saya nggak pernah lihat Kakak lewat sini."
Karena arah kampus bukan lewat sini. Kuulur waktu dengan cara membetulkan posisi tali sling bag di atas bahu. "Saya juga nggak pernah lihat ada orang yang hafal sama semua orang di daerah ini," balasku sambil memperhatikan pesanan yang hampir jadi. "Apa karena ini termasuk daerah kecil dan orangnya itu-itu aja?"
"Bisa jadi. Nah, silakan pesanannya, Kak. Totalnya segini, ya. Jangan lupa bayar." Si pemuda berkacamata menyerahkan pesanan Arum sambil tersenyum lebar. "Kalau butuh tempat buat menghabiskan waktu sore, saya kasih saran buat ke Boekhandel. Tempatnya nggak jauh dari sini, dan kayaknya tempat itu cocok buat Kakak, deh."
Satu alisku terangkat tinggi. "Buk—apa?"
***
Boekhandel dalam bahasa Belanda ternyata memiliki arti "toko buku". Yang dimaksud orang tadi pun rupanya adalah sebuah toko buku bekas. Dari luar, toko kecil itu tidak terlihat indah seperti interior kafe yang tadi. Jarak toko buku bekas ini rupanya tidak jauh dari KBS. Aku bahkan baru sadar bahwa toko ini selalu kulewati dalam perjalanan ke kampus.
Dulu. Sebelum aku mengambil cuti beberapa bulan lalu.
Sekarang, alih-alih masuk, aku malah duduk termangu di atas sadel sepeda. Pelan-pelan kunikmati segelas iced cookies and cream sambil terus melakukan observasi. Aku ingin berbalik dan kembali merebah di kamar kosan, tapi entah kenapa toko yang penuh dengan tumpukan buku itu terasa memancing.
Kelihatannya memang tua dan pengap, tapi tak bisa dipungkiri bahwa toko itu juga memberi kesan kuat tentang ... nostalgia.
Ada dua sepeda motor yang terparkir di depan. Seorang pemuda sibuk mondar-mandir memeriksa buku. Di atas dua bangku teras, ada seorang pria tua menyeruput gelas kopinya dan seorang wanita muda tengah menikmati bukunya. Mereka memperhatikan gelagatku, lalu kemudian si wanita menyapa.
"Mampir dulu, Neng? Mau pinjam buku?"
"Eh." Bergegas kutampilkan senyumku yang paling sopan dan manis. "Nuhun, Teh. Mau lihat-lihat dulu."
"Oh, hayuk atuh. Silakan, silakan." Wanita itu tersenyum lebar, menjeda kegiatan membacanya. "Sepedanya parkir di samping motor itu aja, Neng."
Menurut, aku turun dari sepeda dan mengikuti instruksinya.
Masih sambil membawa gelas minuman dan sling bag tersampir di bahu, aku mulai melihat-lihat toko itu lebih dekat lagi. Isinya benar-benar penuh dengan buku. Beberapa tumpukan buku bahkan tampak berantakan dan menghalangi jalan. Sungguh, kakiku sudah gatal ingin menendang buku-buku itu untuk menyingkir. Bahaya sekali kalau sampai ada yang tersandung dan malah menabrak semuanya hingga berantakan.
Sastra lama, politik, biografi. Kuletakkan jariku pada permukaan buku, merasakan debunya yang memberikan kesan lapuk. Mereka bukan jenis buku favoritku, tapi bagus juga kalau dibuat jadi objek menggambar.
Beberapa saat kemudian, aku mengulum bibir. Kebingungan harus bergerak ke mana saking padatnya isi toko. Ketika aku mundur selangkah, tiba-tiba punggungku menghantam sesuatu. Antara spontan dan panik, aku segera berbalik dan bersiap untuk memeriksa benda apa yang kutabrak.
Oh, ternyata bukan benda.
Itu si pemuda yang sejak awal khusyuk melihat-lihat buku.
"Sori," kataku, buru-buru menjaga jarak.
Kupikir aku bakal diceramahi atau—minimal—diabaikan bagai angin lalu, tapi ternyata pandangannya terpaku pada gelas minuman yang sejak tadi masih kupegang.
Sejenak aku mengira kalau dia bertanya-tanya di mana aku membeli minuman ini. Bodohnya lagi, aku sudah tersenyum ramah, hendak menjelaskan di mana aku membeli iced cookies and cream yang lezat dan manis ini, tapi kemudian orang itu berkata, "Kalau ke toko buku, jangan bawa minuman."
Senyumku berubah kaku.
Sekarang rasanya aku ingin menumpahkan minuman ini dengan sengaja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top