TUJUH: Orang Menyebalkan Keempat
Manyari paling jengkel setiap kali ia buru-buru ke kampus, tetapi kamar mandi umum di lantainya dikuasai oleh mbak-mbak yang kamarnya berjarak dua petak dari kamar Manyari. Ia tak terlalu mengenal tetangga-tetangganya di tempat indekos ini karena tak semuanya mahasiswa di universitas yang sama dnegan dia. Beberapa ada yang masih SMA atau sudah bekerja, jika dilihat dari seragam yang mereka kenakan. Tetapi ia tak pernah cukup akrab dengan teman kosnya sampai bisa mencari tahu profesi mereka. Namun, ada satu orang di lantainya ini yang benar-benar menyebalkan, sehingga tak hanya dia, melainkan beberapa orang lain di tempat indekos ini sampai mengeluhkan kelakuannya juga.
"Mbak kamar nomor 203 itu tiap kali habis masak nggak pernah cuci piring."
Manyari dengar keluhan tetangganya yang kebetulan berada di dapur juga bersama dia pagi ini. Karena letak kamar mandi yang berseberangan dengan dapur umum, akan lebih cepat bagi Manyari untuk menunggu giliran pakai kamar mandi jika dia berada di sini. Manyari mengenali gadis sebagai seseorang yang seangkatan dengannya di universitas yang sama, dari jurusan berbeda, meski tak tahu namanya.
Di tempat indekos ini, setiap lantai dilengkapi dengan dapur umum dan kamar mandi umum yang terdiri dari lima kubikel di dalamnya. Manyari agak menyesal mengapa ia tidak menambah biaya bulanan sebesar 350 ribu agar bisa mendapatkan kamar dengan kamar mandi di dalam sehingga ia tak perlu berebut kamar mandi setiap pagi. Namun, saat dipikir-pikir lagi, dengan uang 350 ribu ia bisa membeli seporsi mie ayam kekinian lengkap dengan pangsit udangnya yang sangat terkenal selama kurang lebih empat belas kali. Bukan berarti Manyari akan makan di sana sesering itu juga, karena ia sering masak sendiri untuk bawa bekal ke kampus ketimbang jajan di kantin.
Sepagi ini gadis itu masih memakai kaus longgar dan celana training warna biru gerau, menandakan jika dia tidak ada kelas pagi atau memang kuliahnya sudah selesai dan tinggal menunggu yudisium. Tidak biasanya dia berbasa-basi, tetapi kali ini entah dorongan dari mana yang membuat Manyari menawarkan bantuan pada gadis itu.
"Mau dibantu cuci piring, Mbak?" tanya Manyari ketika dilihatnya dia mulai menyalakan keran air dan membilas peralatan masak yang kotor.
"Nggak usah," tepisnya ringan. "Mbaknya kayaknya buru-buru. Lagian, harusnya Mbak itu yang tanggung jawab bersihin bukannya kita." Setelah terdiam beberapa saat, gadis itu bicara lagi pada Manyari. "Kamu anak FIB bukan, sih? Soalnya pernah nggak sengaja papasan pas aku mau salat zuhur ke masjid belakang, 'kan ngelewatin gedung FIB. Tapi karena kita belum kenal jadi aku nggak sapa duluan."
"Iya, Mbak." Menyadari jika mereka sudah mengobrol beberapa patah kata tetapi belum secara resmi berkenalan, Manyari menghampiri gadis jangkung tersebut seraya meyodorkan tangan. "Namaku Yari, kamar 205. Kita udah jadi tetangga cukup lama, tapi baru sekarang sempat ngobrol. Lain kali kalau kita papasan di UGM jangan sungkan buat nyapa aku, ya."
Lawan bicara Manyari terkekeh geli, namun ia menyambut jabat tangan Manyari dengan tak kalah ramah. "Namaku Jyoti, panggil aja Joy. Anak Pertanian 2015. Kayaknya kita seangkatan, ya? Tapi aku baru pindah ke tempat ini dua tahunan ini."
Manyari mengangguk, ia masih ingat ketika Joy baru pindah ke kamar nomor 210 dua tahun lalu. Sebagai seseorang yang telah tinggal di sini sejak tahun pertamanya sebagai mahasiswa, Manyari telah melihat banyak sekali orang yang keluar masuk tempat indekos ini. Beberapa di antaranya ia tak lagi ingat karena tak cukup berkesan. Tetapi khusus Joy ia masih ingat dengan jelas karena waktu itu beberapa orang keluarganya ikut mengantar kepindahan Joy sambil membawakan banyak sekali makanan khas daerahnya. Bahkan Manyari pun ikut kebagian karena Joy menggantungkan makanan tersebut dalam kantong-kantong plastik di depan masing-masing pintu. Dendeng buatan ibu Joy waktu itu rasanya sangat lezat hingga Manyari sampai susah move on.
"Kenapa dulu pindah dari tempat kos yang lama?" tanya Manyari berbasa-basi. Murni karena iseng saja daripada mereka tidak ada topik pembicaraan.
Joy tertawa kecil. Ia mematikan keran karena sudah selesai mencuci piring lalu duduk di samping Manyari. "Karena di-bully temen kosan lama."
Manyari membelalakkan mata mendengarnya. Joy bicara tentang perundungan dengan sangat santai sambil diselingi tertawa, seolah hal tersebut bukanlah sesuatu yang besar. Melihat ekspresi muram di wajah Manyari, Joy buru-buru mengalihkan perhatian dengan hal lain.
"Eh kamar mandinya ada yang udah kosong tuh. Kamu lagi buru-buru, 'kan?"
Mereka berdua melihat perempuan dari kamar 218 keluar dari sana dengan rambut berbalut handuk. Manyari buru-buru membawa keranjang kecilnya yang berisi peralatan mandi lalu masuk ke dalam kubikel yang baru saja dia tinggalkan. Ia tidak ada waktu lebih untuk bersantai-santai. Kemarin sebelum berpisah, Melinda menyarankan agar dia mendatangi kantor Pak Djatmiko pagi-pagi sekali sebelum jam 8:30 agar bisa bertemu beliau dan menanyakan nasib skripsinya.
Setelah berpakaian rapi dan tak lupa menenteng tas jinjing yang berisi barang-barang berharga, Manyari memanggil ojek daring dengan tujuan kampus. Biasanya dia tak akan bersusah payah keluar uang ekstra demi cepat sampai, tetapi ia tak bisa begitu saja menyerah pada keadaan. Manyari tidak sanggup jika mengulang semester depan. Ia tak yakin jika beasiswanya masih berlaku jika ia tidak segera lulus tahun ini.
Manyari berlari di sepanjang area depan gedung FIB menuju kantor Pak Djatmiko karena ia berpapasan dengan mobil keluaran Eropa berwarna hitam yang ia ketahui sebagai mobil milik Pak Djatmiko di depan pintu masuk tadi. Manyari tiba di depan kantor Pak Djatmiko dengan napas tersengal dan sedikit sesak. Mungkin karena ia jarang berolahraga, jadi setiap kali tubuhnya dipaksa bergerak cepat, kondisi fisiknya langsung lemah. Perut Manyari bergolak, ia bahkan tidak sempat sarapan demi mengejar Pak Djatmiko.
Manyari memberanikan diri untuk mengetuk daun pintu berkayu jati tersebut, tetapi belum sempat buku-buku jarinya menyentuh sana, pintu tersebut terbuka dengan sendirinya dan seorang pria jangkung berdiri di baliknya. Untung saja Manyari bisa menahan diri di detik-detik terakhir agar tidak mengetuk batok kepala pria itu. Jika tidak, ia mungkin bisa mendapatkan masalah lebih besar lagi dari ini.
"P-perm—"
"Ada perlu apa sama Pak Djatmiko?' tanyanya dingin. uara bariton yang semestinya terdengar meneduhkan tersebut terasa seperti sedang menguliti Manyari karena ia berada di sana tanpa membuat janji terlebih dahulu sebelumnya.
"Ada siapa, Mas?" terdengar suara Pak Djatmiko dari dalam.
Manyari menggenggam tas jinjingnya erat, rasa cemas yang semua tiada perlahan terbit dalam dirinya. Apakah ia sudah membawa salinan skripsi yang telah di revisi? Apakah ia sudah membawa buku referensi yang diminta oleh Pak Djatmiko.
"Mahasiswa, Pak." Terdengar kerisik suara kertas dari dalam lalu diiringi oleh langkah kaki. Sosok yang Manyari duga sebagai asisten Pak Djatmiko sekaligus anaknya itu masih menatap Manyari lekat dengan sorot menghakimi. Dari balik punggungnya, muncul seraut wajah Pak Djatmiko yang langsung mengenali Manyari sebagai anak bimbingan skripsinya yang paling bandel.
"Oh, si Burung Manyar. Kamu mau bimbingan pagi-pagi?" tanya Pak Djatmiko ramah. "Kok udah lama nggak pernah muncul padahal saya udah seminggu lebih balik ke Indonesia lagi. Sibuk main, ya?"
Yang dimaksud Pak Djatmiko dengan bermain adalah membuat Podcast. Pak Djatmiko pernah memergoki mikrofon dalam tas Manyari yang kabelnya tak sengaja tercerabut saat ia mengeluarkan salinan naskah skripsi untuk bimbingan. Beliau sempat bertanya tentang benda itu sehingga mau tidak mau Manyari jadi menjelaskan jika dia baru saja memperbaiki kabel mikrofonnya. Manyari memang tidak bercerita secara detail Podcast seperti apa yang ia buat pada Pak Djatmiko, tetapi tampaknya beliau salah sangka dan mengira itu mikrofon untuk menyanyi seperti yang biasa dipakai para konten kreator yang membuat cover lagu di internet. Lalu pada akhir bimbingan, Pak Djatmiko berpesan padanya agar mengurangi frekuensi bermain dan fokus agar segera lulus. Ia tidak menyangka jika kesalahpahaman itu akan terus-menerus diungkit Pak Djatmiko setiap kali mereka bertemu hingga membuatnya muak.
"Saya udah bi—" Manyari tak melanjutkan protesnya saat menyadari sosok asisten Pak Djatmiko yang tampaknya sebentar lagi akan meledak karena ia bicara dengan intonasi yang kurang sopan pada bapaknya. "Saya sudah berusaha kontak Bapak beberapa kali untuk bimbingan, tetapi Bapak tidak kunjung membalas pesan saya." Manyari memutar bola matanya dengan geram. Ia hampir saja menggunakan kata ganti Yang Mulia dengan Bapak saking jengkelnya karena selama seminggu ini di-ghosting oleh dosen pembimbing.
"Wah, masa?" Pak Djatmiko mengeluarkan ponselnya dari dalam kantong celana lalu membuka aplikasi perpesanan. Beliau menggulir dengan lambat, mencoba mencari nama Manyari dengan cermat dari daftar pengirim pesannya. "Nggak ada tuh, Nduk. Yakin udah dikirim?"
"Bapak mau bukti?" Merasa geram, Manyari mengeluarkan ponselnya sendiri dan menunjukkan pesan-pesan yang ia kirimkan selama seminggu belakangan pada beliau. Selesai membiarkan Pak Djatmiko membaca pesan-pesan tersebut, Manyari ganti membuka surat-el. Ada lebih dari tujuh riwayat surat elektronik yang ia kirimkan pada Pak Djatmiko, namun tak satupun yang ditanggapi.
Pak Djatmiko mengerutkan alis mengetahui kenyataan tersebut. Mungkin beliau telah menyadari sesuatu, namun Pak Djatmiko memilih untuk tidak mengatakan apa-apa.
"Ya udah kalau gitu nanti sore kamu balik ke sini lagi." Pak Djatmiko melirik jam tangan otomatis yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Saya mau ngajar bentar lagi. Sore nanti bisa, kayaknya."
"Nggak bisa Pak," potong asistennya cepat. "Sore ini sudah ada 2 anak bimbingan lain. Kalau dia mau bimbingan harusnya bikin janji dulu, nggak bisa dadakan."
Manyari mengepalkan kedua tangannya di samping tubuh dengan geram. Benar 'kan firasatnya tak pernah salah dalam menilai orang. Anak Pak Djatmiko ini sangat menyebalkan sekali. Bahkan Mas Aji, asdos jurusan tetangga yang terkenal sadis, jadi terlihat jauh lebih baik di matanya.
"Oh, iya, ya?" Pak Djatmiko mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu, lalu beliau menjentikkan jari saat mendapatkan ide bagus. "Kalau gitu kamu bimbingannya di rumah saya aja."
"Urusan kampus sebaiknya diselesaikan di lingkungan kampus, Pak," protes asisten Pak Djatmiko.
"Nggak apa-apa, kasihan Manyari udah susah-susah kirim pesan tapi pesannya nggak masuk ke saya." Pak Djatmiko mengibaskan tangannya, seolah mengusir Manyari dengan halus. "Udah, udah, nggak apa-apa 'kan, kalau nanti ke rumah? Kita duduk di teras aja, kebetulan pohon mangga di depan rumah saya udah banyak yang masak."
Merasa memenangkan sesuatu dari asisten baru Pak Djatmiko, Manyari langsung menyetujui rencana tersebut. Bahkan meski dia sendiri tak suka dengan solusi yang ditawarkan Pak Djatmiko.
Anak Pak Djatmiko yang Manyari dengar dari orang lain bernama Ega, tentu akan masuk dalam daftar orang-orang yang tidak disukainya dengan nomor urut empat. Nomor tiganya ditempati oleh mbak-mbak kosan kamar 203, dan nomor satunya adalah Pak Djatmiko sendiri, tentu saja.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top