SEPULUH: Berlari-lari Untuk yang Ke-lima Kalinya Hari Ini
"Sori, sori, aku telat. Tadi harus jemput Tammy dulu, nungguin dia dandan sampai kelar."
Ega, Memedi dan Gian yang sudah tiba di tempat yang ditentukan, mengangkat kepala mereka dan mendapati Abiya baru tiba dengan agak ngos-ngosan. Namun, tak jauh di belakang mereka, ada gadis yang cukup mereka bertiga kenali duduk di meja lain. Ketiganya saling melempar pandangan satu sama lain. Sudah bukan rahasia umum lagi tentang betapa posesifnya kekasih Abiya, Tamara. Ega tak tahu bagaimana mereka bisa bertahan sampai lebih dari lima tahun di hubungan yang tidak sehat ini. Bahkan yang ia dengar, Abiya berencana melamar kekasihnya tahun depan.
"Udah biasa," sindir Memedi, namun Gian buru-buru menyikut lengannya. Sudah lebih dari dua minggu sejak mereka berempat bisa berkumpul dalam formasi lengkap. Dalam waktu enam minggu lagi dari sekarang, Ega akan segera bertolak ke Amerika untuk melanjutkan studi S2, itu sebabnya Abiya menyempatkan diri untuk bertemu teman-teman zaman kuliahnya. Ia yang memaksa keempatnya untuk bertemu, ia juga yang datang terlambat. Mereka berempat berkumpul di salah satu kedai kopi kekinian di dalam mall sesuai permintaan Tammy. Bahkan mereka tak lagi bisa berkumpul di tempat nongkrong favorit mereka lagi karena Tammy tak suka lingkungannya yang kurang estetik.
Gian membungkukkan punggungnya agar mereka berempat yang berada di meja tersebut bisa mendengar meski dia sedang berbisik lirih. "Emangnya ke mana-mana lu harus selalu dikawal, ya?"
Abiya mengangkat bahu, "Daripada berantem. Tolong ngalah ya, buat sekali ini aja."
Dengan rahang dikatupkan, Gian bergumam. "Kita udah bolak-balik ngalah kali, Nyet. Masalahnya, sampai kapan lu mau kayak gini terus? Lu coba deh pikirin baik-baik soal kehidupan lu ke depannya"
"Udah, udah. Jadi makan sushi nggak, nih? Buruan, keburu nanti nggak dapat tempat." ucap Ega menengahi. Di antara mereka berempat, hanya Gian yang tampak keberatan dengan hubungan Abiya. Bagi mereka kebanyakan laki-laki yang terjebak dalam hubungan yang kurang sehat, biasanya tak pernah terlalu mengganggu pikiran mereka karena mungkin kurangnya sosialisasi dan pemahaman tentang konsep kesetaraan gender. Atau bisa jadi rasa gengsi yang terlalu besar untuk mengakui kekurangan tersebut, sehingga mereka menutupinya dengan berpura-pura bahagia. Untung saja di kelompok mereka ada feminis cowok yang selalu waras dalam segala kondisi seperti Gian, dan seseorang yang cuek seperti Ega. Bagi Ega, ia tak akan menolong seseorang yang tak berkenan menerima bantuan. Jadi, jika Abiya belum membuka sendiri pikiran dan hatinya untuk melepaskan diri dari jerat hubungan tak sehat ini, ia tak akan mengulurkan bantuan.
Sayangnya, konsep itu tak berlaku untuk Manyari. Sejak kemarin, pikiran Ega terus-menerus tertuju pada cewek tengil itu. Bagaimana kondisi kakinya saat ini? Bagaimana dia bisa tetap terus mondar-mandir ke lingkungan kampus, padahal buat jalan saja susah. Seberapa parah kerusakan laptop Manyari? Sebagai seorang insinyur permesinan, jiwa Ega sangat tergelitik untuk memperbaiki setiap kali mendengar komponen elektronik yang rusak.
"Woy, masih mikirin Ami?" sebuah tepukan dari Memedi mendarat di pundak Ega, menyadarkannya dari rentetan pikiran tentang Manyari. Ega menggelengkan kepala dengan cepat. Sejak kapan pikirannya tak pernah tertuju pada Kamira? Sebelum berangkat ke Amerika, ia sudah punya firasat jika Kamira akan jadi patah hati terbesarnya. Oleh karena itu ia bertekad untuk melupakan Kamira dengan menyibukkan diri di Boston. Namun kini, hanya dua bulan saja sebelum ke Amerika, pikiran Ega tak lagi tertuju pada Kamira.
"Enggak, kok."
Mereka turun dari eskalator di lantai 3, melewati toko buku dan toko pernak-pernik kebutuhan cewek yang letaknya bersebelahan. Ega, Memedi, dan Gian berjalan agak lambat dari biasanya karena mereka ingin memberikan privasi bagi Abiya dan Tammy di depan. Rasanya lebih cocok dianggap bodyguard ketimbang teman dekat karena jarak di antara mereka yang terlalu kentara.
"Sayang, mampir ke sini sebentar ya," rajuk Tammy yang bergelayut manja di lengan Abiya seraya menunjuk MONASO. "Aku mau beli beberapa barang di sana."
Ega, Gian, dan Memedi refleks memutar bola matanya. Tak dibutuhkan pendengaran super bagi tiga orang pria yang berada di belakang, tak peduli betapa kencang musik yang diputar di mall ini. Terutama ketika Abiya memutar kepala ke arah belakang dan sorot matanya mengisyaratkan jika ia butuh bantuan ketiganya.
"Ya udah, sana pergi," ucap Gian seraya membuang muka. Abiya langsung menyusul Tammy yang sudah masuk lebih dulu ke dalam. Ega, Gian, dan Memedi menghela napas panjang sebelum mengikuti langkah sahabatnya ke dalam.
"Ngapain kita ikut masuk?" tanya Memedi.
"Ikut aja, daripada bengong di luar," balas Ega singkat.
"Cari sheetmask, gih," tambah Gian seraya terkekeh. "Sheetmask di sini bagus dan nggak terlalu mahal, kata cewek-cewek di Twittery. Biar glowing, lu. Meski kerja di lapangan harus tetap merawat kulit karena kalau nggak good looking, nggak akan ada yang ngebelain elu." Ega mungkin tak terlalu paham konteks sindiran Gian, tetapi rasanya dia sedang tak membicarakan tentang suatu topik secara spesifik. "Kalau butuh mug lucu, penyuara jemala bentuk kuping kucing kayak yang dipake gamers cewek-cewek, dompet, atau boneka juga bisa. Banyak di sini, apa lu mau mereka ada."
Mereka bertiga berpisah jalan. Ega berjalan ke arah aksesoris untuk ponsel, Memedi melangkah lurus ke perabot rumah lain seperti cangkir atau kebutuhan kamar mandi sedangkan Gian berbelok di area parfum. Ega mengamati beberapa barang-barang yang dipajang di sana tampak seperti tiruan dari produk yang pernah diproduksi oleh perusahaan serupa di Jepang. Ia mengenali sebagian kecil di antaranya karena ia pernah berlibur ke Jepang beberapa kali untuk mengunjungi Mas Wibi dengan Bapak. Ega berbelok ke lorong di belakangnya, dan ia menemukan seseorang yang selama beberapa hari belakangan selalu berlari-lari dalam pikirannya.
"Cari apa, Manyari?" tegur Ega. Cewek tersebut berjengit keras mendengar sapaan Ega hingga hampir oleng. Ia sedang menjulurkan sebelah tangan untuk meraih sekotak penyuara jemala dengan dekorasi kepala kucing di bandonya. Gian benar, barang seperti ini memang dijual di MONASO. Ega berinisiatif untuk mengambilkan barang tersebut karena ia jauh lebih tinggi dari Manyari dan bisa menjangkaunya dengan mudah.
"Warna apa?" tanya Ega dingin. Ada tiga pilihan warna, pink, hijau, dan biru. Ega hampir jarang menemukan warna pink dari pakaian yang Manyari kenakan selama bertemu dengannya beberapa kali ini, jadi ia menduga antara biru atau hijau.
"Nggak usah, Pak—"
"Yang mana?" hardik Ega dingin. Pada saat seperti ini ucapan bapaknya kembali terngiang di telinga Ega. Ia harus mencoba untuk sedikit lebih sabar pada mahasiswanya jika ingin menjadi pengajar yang baik.
"Biru, Pak," jawab Manyari lirih. Ega mengambil penyuara jemala tersebut, memeriksa dulu keadaannya dari luar untuk memastikan jika barang tersebut dalam kondisi baik, lalu menyerahkan pada Manyari. Namun, belum sempat Manyari memasukkan barang itu dalam keranjang belanjanya, Ega berubah pikiran dan merebutnya kembali.
"Sini saya bayar."
Manyari membelalakkan mata mendengar tawaran tersebut. "Eh, nggak usah Pak. Saya punya duit sendiri kok buat bayar."
"Saya nggak nanyain duit kamu, Manyari."
Manyari memicingkan mata seraya menatap Ega lekat. Ega tahu jika seseorang yang semula tidak menganggapnya ada tiba-tiba menawarkan kebaikan, tentu siapa saja pasti akan curiga. Ega bersedekap seraya menyiuk.
"Saya mau minta maaf karena saya sengaja nggak kasih kamu jadwal bimbingan sama Pak Djatmiko minggu lalu."
"Tuh, 'kan! Bener Bapak nih, pelakunya. Saya udah langsung curiga sama Bapak pas tahu pesan-pesan saya nggak ada di hapenya Pak Djatmiko," gerutu Manyari seraya mengentakkan kakinya yang sehat. Pandangan Ega otomatis tertuju pada pergelangan kaki kiri Manyari yang masih terbebat perban biocrepe, tetapi tampak jauh lebih mengempis dari kemarin. "Sini Pak, balikin aja. Bapak pikir saya bisa disogok dengan cara kayak gini buat memaafkan Bapak?"
"Udah sembuh kakinya?" tanya Ega. "Kamu bisa main-main ke mall begini, berarti udah sembuh dong, ya."
"Udah baikan kok, Pak." Manyari tampak bersungut-sungut karena Ega mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Ya udah, tunggu dulu. Saya mau bayar ini dulu. Dan enggak, saya nggak lagi nyogok kamu. Saya cuma ingin nggak lagi merasa bersalah, dan ini satu-satunya cara yang bisa saya pikirin sekarang." Ega melambaikan sekotak penyuara jemala tersebut di depan wajah Manyari, lalu berjalan ke arah kasir. Dari suara langkah kaki yang terdengar seperti diseret di belakangnya, Ega tahu jika Manyari mengikutinya.
"Saya juga mau bayar belanjaan, Pak," ucap Manyari defensif saat Ega membalikkan badan. Ega bahkan belum sempat mengatakan apa-apa, tetapi Manyari tampaknya selalu waspada setiap kali ia ada di dekatnya. Ega melirik isi keranjang Manyari. Ada keranjang anyaman kecil yang tampaknya hanya muat untuk diisi barang-barang kecil seperti alat tulis atau peralatan skincare, serta pewangi ruangan berbentuk diffuser.
"Kamu suka banget belanja di sini, ya?" gumam Ega sedikit takjub saat menyadari jika barang-barang tersebut memiliki pangsa pasarnya tersendiri.
"Emang harusnya saya belanja di mana, Pak?" tantang Manyari. Ega ingin sekali memijat pelipisnya yang selalu terasa pening setiap kali ia berhadapan dengan mahasiswi satu ini. Beginikah rasanya jika harus berhadapan dengan adik-adik Gen Z yang tak kenal takut? Ega tak menjawab dan langsung membayar belanjaannya dengan kartu debit warna keemasan. Bahkan Manyari yang mengantre di belakangnya sampai berseru takjub saat melihat benda tersebut dikeluarkan dari dalam dompet Ega.
"Whoa, orang kaya memang beda level," gumamnya lirih meski Ega bisa dengar. Setelah menyelesaikan transaksinya, Ega menyingkir ke samping untuk membiarkan Manyari membayar. Ketika pramuniaga menyebutkan nominal keseluruhan, Ega menyodorkan katunya kembali.
"Saya aja yang bayar, ini mahasiswa saya, kok."
Mengakui nama Manyari sebagai mahasiswanya semestinya membuat Ega merasa tenang karena terus-menerus kepikiran tentangnya. Namun, ia justru merasa gelisah karena tak semestinya seorang dosen—lebih tepatnya asisten dosen—memperlakukan anak didiknya dengan lebih istimewa dari yang lain.
Manyari tampaknya masih terkejut dengan perlakuan Ega hingga dia hanya bisa mematung melihat Ega menyelesaikan transaksinya dengan mudah. Sebelah tangannya yang berada di dalam tas, mungkin untuk mengeluarkan dompet, sampai membeku dalam posisi yang sama selama sekian detik. Ega mengisyaratkan Manyari untuk menyingkir dari depan kasir segera setelah pembayaran tersebut selesai dilakukan, lalu ia menyerahkan dua kantong plastik di tangannya pada Manyari.
"Bapak nggak boleh kayak gini ke saya," gumam Manyari lirih. Dari ekor matanya, Ega melihat Gian yang keluar tanpa membeli apa-apa, Memedi yang membeli selimut dan boneka beruang, mungkin untuk adik perempuannya, serta Abiya dan Tammy yang belanja cukup banyak.
"Mau makan sushi nggak?" tawar Ega. Kening Manyari berkerut mendengar kata sushi.
"Nggak, makasih Pak. Saya nggak suka ikan mentah."
"Ada menu yang nggak mentah," bujuk Ega. "Ada ramen juga. Halal, kok."
Ega pernah menjadi mahasiswa sarjana beberapa tahun lalu, dan ia tahu betul jika pada masa-masa itu mereka tak pernah menolak tawaran makan gratis.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top