SATU: Kedai Kopi Hari Pertama

"Iya, kan! Ngeselin banget itu si dosen kambing emang!" Yari mendengkus kesal. Di kedua telinganya terpasang perangkat jemala nirkabel warna putih, satu-satunya pertanda bahwa ia tidak mengomel sendirian seperti orang gila. "Orang jahat! Kudoain anaknya nggak lolos beasiswa di Amrik, biar tahu rasa! Dia sendiri sukanya mempersulit mahasiswa, karma pasti nggak pergi jauh-jauh."

Kedua belah tangan berjemari lentik dengan polesan kuteks warna-warni tersebut sibuk menghujam papan ketik laptop seolah-olah samsak mini bagi sepuluh jarinya. Dosen pembimbing skripsinya ini, selain sedang tidak bisa ditemui secara langsung untuk bimbingan, beliau juga suka mengirim pesan di waktu-waktu yang tidak manusiawi seperti sekarang. Penunjuk waktu digital yang melingkari pergelangan tangannya kini menampilkan angka kembar 11:11. Artinya, Yari hanya punya waktu kurang dari satu jam lagi sebelum batas akhir pengumpulan revisi tepat jam dua belas malam, dan ia baru menerima pemberitahuannya kurang dari setengah jam lalu. Perbedaan zona waktu antara Indonesia dan Boston adalah penyebab utama dari semua permasalahan yang menimpa Yari. Saat di sini mendekati tengah malam, di sana masih terang benderang, selisih dua belas jam lebih lambat dari waktu Indonesia bagian barat.

Lawan bicara Yari di balik telepon terkekeh geli mendengar umpatan yang tak putus-putus darinya seperti aliran Bengawan Solo saat musim hujan. Panggilan telepon menjelang tengah malam tersebut bisa saja ia abaikan jika bukan sahabatnya yang merengek minta ditemani mengobrol supaya tidak mengantuk.

"Udah, kerjain aja revisinya biar cepat kelar. Jangan lupa bayar WiFi kosan besok, biar nggak perlu nebeng internet kafe dekat kampus. Malu sama tuh laptop merk buah."

Yari semakin dongkol mendengar ledekan tersebut. "Aku cuma telat sehari aja, Pak Bachrul nggak mau tahu. Dia tuh dosen apa bapak kos sih, galaknya sama. Benci banget aku tuh sama orang-orang yang nggak berperasaan kayak mereka. Udah kubilang invoice-ku baru cair besok, aku bakal bayar kok. Seumur-umur aku indekos di situ, aku cuma telat sekali ini aja, tapi aku diperlakukan kayak penjahat."

"Sudah, sudah, sabar. Kalau nggak hati-hati nanti saltik lho. Tahu sendiri gimana alerginya Pak Djatmiko sama tulisan salah ketik."

Yari semakin geram mengingat revisinya kali ini didominasi oleh salah ketik yang jumlahnya bikin pusing kepala. Yari bolak-balik membuka dokumen kiriman dari Pak Djatmiko yang bertabur tanda track changes warna-warni yang bikin mata sakit, lalu dibandingkan dengan salinannya sendiri untuk perbaikan. Ia memang tidak langsung mengubah isi dokumen yang terlampir di surel Pak Djatmiko karena ia ingin menangkap basah ketidakkonsistenan Pak Djatmiko dalam merevisi. Yari berani sumpah dia sudah merevisi bagian yang sama dari bab 2 sebanyak tiga kali sesuai keinginan Pak Djatmiko, tetapi pria berdarah dingin tersebut tidak kunjung puas. Jika dia sudah menemukan bukti konkret, mungkin dia akan melaporkan pada pembimbing dua-nya tentang Pak Djatmiko, dan jika dia mujur, mungkin dia boleh mengajukan untuk ganti dosen pembimbing.

"Kalau skripsi ini tamat dan aku sampai bisa ikut wisuda bareng angkatan kita, aku mau pergi liburan yang jauh buat kasih hadiah ke diri sendiri. Erika nggak aku ajak!"

Sanggahan keras terdengar dari telepon. "Lah kok kamu gitu sama aku? Kan udah aku temenin nih, kurang baik apa aku? Nggak usah ngadi-ngadi, deh."

Yari mengembuskan napas dengan jengkel, "Habisnya dosen pembimbingmu bukan Pak Djatmiko, makanya bisa cepat selesai. Sedangkan aku masih nyangkut di Bab 2, nggak beres-beres. Gini nih susahnya kalau dapat dosen profesor. Sibuk seminar terus di sana-sini, tapi mahasiswa bimbingannya diabaikan."

Yari iri sekali pada Erika dan dia tak bisa menyembunyikan rasa dengki tersebut setiap kali mereka membahas skripsi. Yari muak dengan sosok bernama Pak Djatmiko, dan beliau beruntung karena saat ini sedang berada di Boston. Jika mereka sampai bertatap muka dalam kondisi seperti ini, mungkin Yari tidak bisa menahan diri untuk tidak menyelesaikan ini dengan kekerasan.

"Iya, iya, maafin ya karena pembimbingku Bu Astri, jadi aku udah tinggal sidang aja minggu depan. Harusnya aku aja yang dapat dosbing Pak Djatmiko biar kamu nggak nyalahin aku terus soal ini."

Yari mematung mendengar ucapan Erika. Apakah kali ini omongannya sudah keterlaluan? Biasanya Erika membalas dengan sindiran yang tak kalah pedas dan tidak ada yang tersinggung dengan omongan masing-masing setelahnya. Biasanya mereka saling memahami, apa yang dikatakan saat salah satu dari mereka sedang marah, tidak benar-benar dari hati dan hanya luapan emosi saja.

Tetapi mungkin Yari terlalu sering menyinggung topik ini. Benarkah? Mungkin kali ini dia agak keterlaluan. Akumulasi dari seluruh rasa lelah, tragedi WiFi kosan, proyek Podcast yang belum beres padahal sudah deadline, seolah menumpuk jadi satu.

"Eri ... maaf ya kalau omonganku sudah keterlaluan," cicit Yari dengan penuh penyesalan. "Kamu tahu sendiri kadang filterku jebol kalau lagi ngamuk."

"Nggak apa-apa kok Yar," suara Erika terdengar datar dan seperti ada yang ditahan. "Udah, buruan kelarin. Kurang 17 menit lagi. Nanti kalau makin telat, makin diomelin tuh."

"Erikaaa," rengek Yari. Ia tak peduli saat ini sedang berada di tempat umum dan terlihat kekanak-kanakan. Ia mungkin sedikit melewati batas. Atau agak banyak melewati batas. Atau bahkan sebenarnya selama ini ia telah mencongkel satu persatu dinding kesabaran Erika tanpa disadari dan kini telah sepenuhnya jebol, tidak terbendung lagi. Yari amat takut jika persahabatannya dengan Erika sejak mereka masih sama-sama maba harus rusak karena kesalahannya sendiri.

"Iyaaaa Yari, buruan aku udah ngantuk. Besok ada wawancara kerja juga sama perusahaan start-up yang itu."

Yari menutup laptopnya dalam satu sentakan kuat, tidak peduli ia belum menyimpan dokumen tersebut dengan baik dan buru-buru mengemasi barang-barangnya yang berserakan di meja. Bodo amat dengan Pak Djatmiko. Kalau beliau bisa menyuruh Yari dengan sesuka hati, Yari akan melawan dengan sekuat tenaga.

Yari bahkan tidak peduli lagi apakah dia bisa wisuda tahun ini bersama Erika dan yang lain atau tidak, yang jelas dia harus minta maaf sekarang.

"Erika, aku ke rumahmu sekarang. Bukain pintu ya, aku takut berdiri lama-lama di depan. Rumah kosong di seberang rumahmu serem banget, sih."

Yari buru-buru memanggil ojek daring dan meluncur menuju rumah Erika. Beberapa saat setelah Yari naik ke boncengan ojek yang menjemputnya, pemuda yang duduk di meja sebelah Yari dan sejak tadi tidak sengaja mendengar semua umpatan Yari, menemukan benda berkilat yang tertinggal di meja. USB Drive berbahan logam dengan kapasitas 128GB yang digantungi identitas pemiliknya.

Mayari Rukmasara

Sastra Inggris '15

Universitas Gadjah Mada

+62813-0000-0000

Tolong kembalikan kalau menemukan ini.

Ada imbalan.

Pemuda tersebut mematung membaca identitas yang tertera. Nama, jurusan dan universitas tempat gadis berisik ini menimba ilmu cocok dengan universitas tempat bapaknya mengajar. Setidaknya dia tidak cukup teledor untuk tidak lupa memberi identitas pada barang berharga miliknya. 

***
Halo teman-teman! Saya repost cerita ini buat ngabarin kalau season 1 dan season 2 Knock, Knock! sudah diunggah semua di NBJ. Karena NBJ juga akan mengakhiri servis mereka di bulan ini, kalau kalian ingin membeli ebook dari tulisan-tulisan saya bisa menghubungi lewat DM di media sosial, ya. Terima kasih atas dukungannya untuk tulisan saya  sampai bertemu pada judul-judul yang lain.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top