LIMA: Tawaran yang Ketiga

Ini bukan pertama kali Bapak menawari Ega untuk menjadi asisten dosen, tetapi biasanya selalu Ega tolak. Pertama, mereka berasal dari dunia yang sama sekali berbeda. Bapaknya dosen Sastra Inggris, sedangkan Ega anak teknik. Tak peduli jika tugasnya nanti hanya sekadar membagikan handout atau berurusan dengan penanggung jawab mata kuliah kalau ada perubahan jadwal mengajar, tetap saja Ega tentu akan merasa terasing jika dia harus menunggu selama berjam-jam selama bapaknya membicarakan tentang makna kata. Cuma dua bulan saja, bujuk Bapak. Sampai Ega berangkat ke Amerika, Bapak ingin lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, kata beliau waktu itu.

Sebelum almarhumah Ibu meninggal karena komplikasi penyakit dalam, Ega sudah merancang hidupnya untuk ke MIT segera setelah menyelesaikan pendidikan sarjananya. Tetapi, nasib ternyata berkata lain karena sang Ibu harus menghadap Allah SWT sebelum Ega sempat menyelesaikan pendidikannya. Sehingga, rencana Ega ke MIT terancam batal karena ia harus meninggalkan Bapak seorang diri di Indonesia. Ega sempat terpikir untuk menunda rencana tersebut sampai salah satu kakaknya kembali ke Indonesia. Mas Wibi rencananya akan kembali ke Indonesia dalam 3 tahun ke depan. Ega masih muda, MIT bisa menunggunya selama itu. Namun, Bapak mengatakan jika Ega bisa pergi tahun ini juga. Beliau akan baik-baik saja meski tanpa ditemani ibu, kata Bapak waktu itu. Tetapi Ega menyadari jika Bapak lebih banyak berdiam diri di ruangan kerjanya yang dipenuhi buku dari dinding ke dinding, atau lebih sedikit bicara. Mendengar permintaan sederhana Bapak satu itu, Ega tak lagi punya kuasa untuk menolak tawaran Bapak.

Pagi ini Ega sudah duduk di meja makan menghadap sepiring gado-gado yang dibelinya dari penjual makanan kaki lima, sambil menggulirkan layar ponsel dengan satu jari. Bapak belum terlihat keluar kamar, tetapi Ega tahu jika pagi ini beliau ada jadwal mengajar di kampus. Ega menyesap kopinya yang masih mengepul panas sambil memeriksa grup-grup obrolan tempat dia bergabung. Satu grup yang hanya terdiri dari empat orang menampakkan lebih dari 50 obrolan terjadi sejak semalam. Di dalam grup tersebut terdapat dirinya, Abiya, Gian dan Meidiawan yang biasa dipanggil Memedi. Ega sudah mengenal mereka dengan akrab sejak semester pertama perkuliahan. Dengan Gian bahkan Ega sudah berteman sejak masih sama-sama di bangku SMA. Rasa penasaran membuat Ega membuka grup tersebut dan membaca satu-satu.

Abiya cerita jika kemarin malam ia berpapasan dengan Kamira saat sedang berkencan dengan kekasihnya. Ia juga mengatakan jika Kamira tidak sendirian, dia bersama dengan laki-laki lain. Abiya tak lupa menambahkan detail kecil seperti secara sekilas teman pria Kamira tampak seperti laki-laki dari militer, dari postur tubuh dan potongan rambut cepaknya. Lalu Gian dan Memedi menyahut dalam hitungan detik. Gian mengatakan jika Kamira akan menyesal nanti karena sudah menolak Ega. Ega mungkin bukan laki-laki dari profesi tersebut, tetapi secara keahlian, Ega jauh lebih hebat. Memedi mengetik dengan agak kasar, ia mengatakan Kamira terlalu cepat move on, atau dari dulu dia memang tidak pernah menyukai Ega dan hanya memanfaatkannya untuk tukang antar jemput. Ega menyiuk membaca pembicaraan teman-temannya. Ia sudah berusaha keras untuk melupakan Kamira, tetapi mereka dengan entengnya mengungkit-ungkit lagi tentang topik ini.

Setelah menimbang-nimbang beberapa pilihan, Ega memutuskan untuk membalas di grup tersebut. Ia mengatakan jika ia tak peduli dan tidak lagi ingin mendengar kabar Kamira dan ia harap teman-temannya berkenan untuk menghindari topik itu lagi. Jika keinginan untuk menghujat Kamira bersama-sama tidak lagi bisa tertahankan, Ega tak keberatan jika mereka membentuk grup tersendiri tanpa dirinya. Bapak selalu mengajarkan anak-anaknya untuk menjadi orang yang tegas, dan inilah sikap yang Ega ambil atas penolakan Kamira padanya.

Sambutan meriah diberikan teman-teman Ega dalam sekejap mata segera setelah pesan tersebut dikirimkan ke grup. Stiker-stiker mulai dari yang sopan hingga yang binal dikirimkan secara beruntun ke dalam grup. Semua orang tampak mendukung sikap Ega atas Kamira, dan berjanji untuk menghindari topik ini ke depannya. Ega tampak puas membaca balasan tersebut, lalu melanjutkan makan. Pada saat itu, Bapak keluar dari kamar dengan berpakaian rapi dan menjinjing tas kerja yang tampak berat. Beliau terlihat agak terkejut melihat sepagi ini Ega sudah mandi dan berpakaian rapi, karena biasanya Ega bangun satu atau dua jam lebih terlambat dari ini karena semalam bermain gim.

"Sarapan dulu Pak, tadi aku beli nasi kuning kesukaan Bapak." Ega menunjuk bungkusan makanan dalam wadah stirofoam di meja makan ditemani segelas teh melati hangat, sambil melanjutkan kunyahan kerupuknya.

Sejak Ibu meninggal beberapa bulan silam, praktis mereka berdua jarang masak. Meski Ega dan Bapak memiliki kemampuan memasak yang cukup lumayan dibanding kebanyakan orang, biasanya mereka tak punya cukup tenaga untuk berbelanja di pasar atau supermarket, serta mencuci panci-panci kotor setelah memasak. Almarhumah Ibu Ega mendidik anak-anak dan suaminya dengan baik sejak masih sangat muda, seolah telah memiliki firasat jika beliau akan meninggalkan mereka terlebih dahulu. Menurut Ibu, bersih-bersih rumah, memasak dan mengasuh anak adalah tugas domestik yang harus dibagi antara laki-laki dan perempuan, bukan membebankan semuanya pada salah satu pihak saja. Maka tak mengherankan jika beliau masih bisa berkarier di luar rumah, dengan keadaan anak-anak serta rumah masih terjaga dengan baik.

Pak Djatmiko makan dengan lahap. Bukan karena masakan nasi kuning hari itu terasa lebih lezat dari biasanya, tetapi karena beliau menghabiskannya dengan anak laki-laki bungsu di keluarga ini. Momen ini mungkin tak akan terjadi lagi selama dua bulan ke depan setelah Ega bertolak ke Massachusetts, jadi beliau hanya ingin mengenang momen ini dengan baik.

"Aku belum pernah jadi asdos," ucap Ega membuka obrolan setelah cukup lama mereka terfokus pada makanan masing-masing. "Tapi yang aku tahu dari temanku yang pernah jadi ketua kelas, kayaknya nggak banyak juga tugasnya, 'kan? Cuma bagi handout perkuliahan, bikin materi presentasi untuk kelas, sama ngatur jadwal kuliah sama ketua kelas aja."

"Jadwal bimbingan skripsi juga, jangan lupa." Pak Djatmiko menyelesaikan kunyahan makanannya, sebelum menarik keluar secarik kertas dari dalam map biru bergambar Twitsy. Ega mengenali map tersebut sebagai map milik si burung Manyar, mahasiswi bimbingan Bapak yang agak barbar dan kurang sopan, tetapi ia tak mengatakan apa-apa pada bapaknya tentang ucapan Manyari yang tak sengaja ia curi dengar pada minggu lalu. "Ini nama anak-anak Bapak, nanti biar mereka menghubungi lewat kamu kalau mau bimbingan skripsi."

Ega memindai daftar tersebut dengan teliti. Ia mendapati nama Manyari di barisan paling atas, tetapi ia mengabaikannya. Tiba-tiba saja sebuah ide cemerlang terlintas dalam kepala Ega. Ia mungkin akan memberi sedikit pelajaran pada Manyari melalui ini. Senyum Ega terkembang, membayangkan potensi yang akan terjadi jika dia ikut turun tangan dalam proses 'pendidikan' Manyari. Lagipula, bukankah itu juga salah satu tugas asisten dosen? Membantu menertibkan mahasiswa yang membangkang.

"Kalau udah nggak ada lagi yang bisa kukerjakan, ayo kita berangkat sekarang, Pak. Takut kejebak macet di jalan." Ega menyingkirkan piring bekas makannya ke wastafel lalu mencuci tangan di air mengalir. Ia akan mencuci piringnya nanti sepulang dari kampus karena saat ini Ega sangat tidak sabar untuk bisa menjalankan rencananya. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top