EMPAT: Siaran yang Kedua
"Selamat malam teman-teman pendengar semua, kembali lagi dengan saya Sara, pada Podcast Yours Truly episode ke-39. Sebelumnya, saya mau banyak-banyak berterima kasih atas antusiasme teman-teman pendengar yang telah mengikuti dan berlangganan di saluran saya. Sebuah kebanggaan bisa menyapa kalian semua lewat audio setiap minggunya seperti sekarang. Tanpa dukungan dari teman-teman semua, tentu saya tidak akan bisa bertahan hingga menjelang episode ke-40."
Ega membenahi letak perangkat jemala di telinganya sebelum melanjutkan membaca buku. Meski suasana di dalam mobilnya tidak cukup pencahayaan, tetapi Ega lebih memilih menunggu kedatangan bapaknya di dalam mobil saja ketimbang harus masuk bandara. Toh, ia sudah memberitahu letak mobilnya terparkir, sehingga Bapak bisa langsung menemukannya tanpa kesulitan.
Sudah setengah tahun belakangan ia menemukan ketenangan dari mendengarkan siaran Podcast sambil belajar atau menjelang tidur untuk relaksasi. Ia telah mendengarkan cukup banyak program; mulai dari kisah horor, kisah kriminal, cerita mitologi, audiobook, hingga deep talk. Namun, dari sekian banyak Podcaster yang ia dengarkan, hanya Yours Truly saja yang paling berkesan baginya. Mungkin karena Yours Truly satu-satunya penyiar perempuan di antara penyiar lain favoritnya, dia juga memiliki suara selembut beledu yang menenangkan. Topik-topik yang diangkat oleh Yours Truly juga cukup lekat dengan kehidupan masyarakat pada umumnya, sehingga lebih mudah bagi Ega untuk memahami persepsi baru dari sudut pandang Yours Truly.
"Sebelum memulai topik pembahasan, hari ini saya berkesempatan untuk mencoba produk minuman terbaru dari PT Hargo Food yang bernama Tea U Soon. Terbuat dari daun teh hitam berkualitas dengan rasa manis alami dari gula batu beraroma lavender, dan ada sedikit sensasi asam menyegarkan dari buah-buahan beri. Minuman ini paling cocok diminum saat dingin, atau sambil ditambah es batu." Terdengar suara tegukan yang samar yang terekam mikrofon seolah Sara sedang minum, lalu suara Yours Truly kembali terdengar. "Seger banget teman-teman, saya sudah coba. Giliran kalian, ya! Tea U Soon, bikin kita berasa lagi minum embun! Kalian semua bisa mendapatkan Tea U Soon di minimarket-minimarket dekat rumah, ya."
Suara musik latar pembuka yang cukup rancak saat Yours Truly sedang mengiklankan produk minuman ini, perlahan berganti musik instrumen lambat, khas musik latar yang biasa diperdengarkan saat Yours Truly hendak memulai obrolan.
"Topik malam ini dikirim oleh pendengar saya melalui DM di akun media sosial. Agak berat nih, terutama bagi saya yang belum pernah menjadi orang tua. Tetapi, saya harap podcast ini bisa memberikan persepsi baru buat teman-teman pendengar dari sudut pandang Yours Truly. Apa satu atau dua pertama yang terlintas dalam pikiran kalian saat mendengar kata 'anak' untuk pertama kali?" terdengar helaan napas lirih sebelum Yours Truly melanjutkan bicara. "Lucu? Menggemaskan? Tanggung jawab? Atau mungkin beban?"
Ega menghela napas saat mendengar kata terakhir. Pikirannya menerawang pada era beberapa tahun lalu saat dia masih kanak-kanak. Sebagai bungsu dari tiga bersaudara, Ega justru diperlakukan dengan penuh kasih sayang oleh kakak-kakaknya. Tidak seperti kebanyakan postingan anonim yang ditemuinya di media sosial tentang penderitaan anak bungsu, Ega justru sangat dimanjakan di rumah. Kakak sulungnya, Winandita, yang sekarang tinggal di Boston dengan anak dan suami, serta kakak kedua, Wibisana, yang sedang menempuh pendidikan doktor di Jepang. Sedangkan dia sendiri pada musim gugur tahun ini akan bertolak ke MIT untuk melanjutkan pendidikan pascasarjana di sana. Alasan Ega memilih Massachusetts sebagai tempat kuliah, disamping pilihan universitas yang sesuai dengan bidangnya, dia juga bisa sering-sering bertemu dengan Mbak Nana yang ia rindukan.
Terlahir dari keluarga akademisi di mana bapaknya bekerja sebagai dosen sastra sedangkan almarhumah ibu dulunya menjabat sebagai kepala sekolah sebelum pensiun, membuat keluarga ini sangat mengutamakan pendidikan sebagai poin penting dalam hidup. Hal tersebut terlihat dari Bapak Ega, Pak Djatmiko, yang sering mengisi hari tuanya sepeninggal Ibu dengan mengikuti banyak seminar di dalam dan luar negeri untuk menambah wawasan. Ega tak tahu apakah dia harus bersyukur atau menyesal telah terlahir di keluarga ini, karena kebanyakan teman-teman lain seusianya sudah disibukkan dengan bekerja, merencanakan hubungan yang lebih serius dengan pasangan, atau bahkan menunggu kelahiran buah hati mereka.
Salah satu alasan mengapa ia dan Kamira tidak bisa melanjutkan kedekatan mereka yang telah terjalin selama tiga tahun, adalah karena Kamira tidak bisa menunggunya lebih lama lagi. Ia menginginkan pernikahan dan keluarga kecil di penghujung tiga puluhan, sedangkan Ega mendamba gelar master dan pekerjaan di perusahaan besar pada usia ini. Perbedaan visi tersebut membuat mereka memutuskan untuk berpisah secara baik-baik. Yang Ega dengar dari beberapa orang temannya, Kamira kini telah memiliki pasangan baru dan mereka akan menikah dalam beberapa bulan. Baguslah jika dia menemukan kebahagiaannya sendiri, pikir Ega. Tak ada rasa getir dalam dada atau keinginan untuk memperjuangkan Kamira kembali.
"Mari bicara tentang masa-masa kecil kita terlebih dahulu." Suara lembut Yours Truly menyadarkan Ega dari rangkaian pikirannya. "Apa hal paling berkesan yang pernah kalian alami saat kecil? Kalau saya, waktu almarhum Bapak pulang dari bekerja di luar kota lalu mengajak saya dan adik-adik untuk bertamasya ke kebun binatang. Waktu itu—eh, ngomong-ngomong saya lahir tahun 1993 jadi silakan hitung sendiri usia saya dibandingkan dengan kalian, ya—kebun binatang seolah menjadi destinasi wisata favorit anak-anak sebaya saya. Setiap hari Senin ketika masuk sekolah, teman-teman saya yang menghabiskan akhir pekan mereka di kebun binatang akan bercerita dengan sangat antusias tentang kunjungan mereka ke sana." Terdengar jeda sejenak dan suara helaan napas lirih di sela-sela musik latar sendu. Ega hampir bisa merasakan pergolakan emosi dari suara Yours Truly yang sedikit bergetar di bagian akhir cerita. "Saya jadi teringat betapa sederhananya kehidupan sebagai anak-anak. Kini setelah bertambah besar dan dewasa, saya hampir melupakan hal-hal kecil yang dulu sempat menjadi pusat kebahagiaan saya."
Ega tertegun mendengar kalimat tersebut. Seseorang semuda Sara—tadi dia menyebutkan tahun kelahirannya 1993, yang berarti lebih muda lima tahun dari Ega—tampaknya telah mengalami hal berat melampaui usianya. Ega harus mengakui jika ia memiliki privilese jika dibandingkan dengan kebanyakan teman sebayanya, maka dari itu ia akan memanfaatkan privilese tersebut demi kebaikan. Tetapi, terkadang ia memang perlu pengingat bahwa tak semua orang hidup serba kecukupan sepertinya.
"Sebagai seseorang yang mungkin belum memiliki anak, tetapi telah membesarkan beberapa orang adik seperti anak sendiri, saya mungkin tak tahu bagaimana cara menjadi orang tua yang baik. Saya yakin bahwa setiap anak adalah individu masing-masing yang memiliki pemikiran tersendiri, jadi pola asuh orang tua pada anak mereka bisa saja berbeda. Tetapi, yang ingin saya tekankan di sini, semestinya kita memiliki anak karena merasa siap. Baik secara finansial maupun mental. Ada satu pepatah yang saya sukai, it takes a village to raise a child. Saya setuju jika mendidik anak merupakan tanggung jawab orang tua, tetapi lingkungan juga berperan besar dalam proses membesarkan anak.
"Jadi, cintailah mereka, jangan biarkan trauma yang kita alami dari kesalahan proses pengasuhan orang tua di masa lalu yang diwariskan secara turun-temurun menghantui anak-anak kita. Anak adalah pilihan kita, dan saya setuju. Mereka tidak bisa memilih akan dilahirkan oleh siapa, tetapi kita bisa memilih untuk memberikan yang terbaik bagi mereka, karena mereka berharga. Bukan untuk aset di masa depan tempat orang tua bisa menyandarkan hari tua, tetapi karena mereka terlahir dengan segenap potensi dan kemampuan untuk menjadi seseorang yang sukses dengan caranya sendiri. Menjadi orang tua memang nggak mudah karena ada banyak sekali ego yang harus kita kesampingkan demi anak. Tetapi ingatlah jika anak-anak pun mengesampingkan banyak ego mereka demi bisa sejalan dengan orang tua mereka.
"Mari kita menjadi orang tua dan anak yang tidak saling menyakiti satu sama lain. Saya Sara dari Yours Truly, terima kasih telah menemani saya mengobrol selama tiga puluh menit ini dan sampai bertemu di episode berikutnya."
Ega tersentak ketika pintu samping pengemudi terbuka dan bapaknya masuk ke dalam mobil dengan wajah lelah. Ia menoleh ke belakang, mendapati koper bapaknya telah tersimpan rapi di sana. Tampaknya Ega tak mendengar saat Bapak membuka bagasi belakang dan menaruh koper. Ia buru-buru melepas perangkat jemala di telinganya lalu mencium tangan Bapak. Buku yang sedang dibacanya berhenti pada halaman 133. Ia terlalu terpana pada pesona Yours Truly sampai melupakan bacaannya.
"Bapak sudah makan?" tanya Ega sambil melajukan kendaraan. Pak Djatmiko menurunkan sandaran kursinya agak landai sehingga beliau bisa duduk dengan nyaman. "Mau ditemani ke rumah makan kesukaan Bapak?"
"Kita langsung pulang aja, Le," gumam Pak Djatmiko. Hening mengisi bagian dalam mobil Ega hanya diisi oleh lagu dari daftar putar Ega yang dimainkan lewat pengeras suara. Sesekali rintik kecil gerimis di luar menghalangi pandangan Ega, meski segera terhapus oleh wiper dengan cepat.
"Capek ya Pak?" tanya Ega. Pak Djatmiko tak menjawab. Hubungan Ega dan Bapak memang agak canggung setelah sepeninggal Ibu karena mereka berdua memang jarang mengobrol dengan akrab.
"Le," panggil Pak Djatmiko lirih. "Jadi asdos Bapak ya, selama kamu belum berangkat ke MIT?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top