The Boy She Know from YouTube
YouTube Video "A Day in My Life as a Teen with Cancer #EvanVlog" by Klub Orang Mati
On Cam
Intro text: "Question of the Day, what's a cancer patient's day-to-day like?"
Evan tersenyum lalu menutup kamera menggunakan selimutnya. Kemudian layar menunjukkan footage saat dia mempersiapkan diri untuk kemoterapi dan terdapat tulisan 'pain kinda makes you realize God's blessings' di pojok kanan bawah. Kini cowok itu duduk di bed-nya sambil memakan plain yogurt yang dicampur kacang almon. Dia juga mengeluarkan iPod putih yang dipenuhi stiker band, khususnya Chase Atlantic.
"Ini iPod Classic Gen 6 yang dulunya punya Ibu. Beliau kasih ke aku pas akhirnya aku mau dikemo, katanya sebagai hadiah. Sebelumnya aku selalu muter lagu dari sini dan pasti ikut kubawa ke mana-mana. Emang awalnya cuma buat dengerin musik, tapi lama-lama ... lebih dari itu," ucapnya dengan tersenyum tipis.
It's like a lucky charm that makes my day better, tertulis di bagian bawah layar seperti subtitle. Di sampingnya juga terdapat note kecil yang berisi funfact 'kurang penting' tentang iPod tersebut, dua di antaranya adalah enggak tahu kenapa dia seperti bisa menangkal efek kemo dan sebenarnya dia sudah enggak bisa digunakan tapi tetap saja disimpan.
Evan membuka ponsel lalu menunjukkan salah satu playlist Spotify-nya yang berjudul 'jangan mati dulu lagunya lagi enak' ke kamera. Dia kemudian memutar lagu "Cinnamon Girl" milik Lana Del Rey. Setelahnya layar menunjukkan beberapa foto yang dijadikan kolase, di antaranya foto selfie bersama infus, foto mukanya sendiri dengan ekspresi konyol, dan foto dirinya bertelanjang dada untuk menunjukkan chemoport-nya.
Sekarang tidak hanya tanpa baju, Evan juga melepas beanie hat yang sedari tadi dipakainya. Dia kemudian meraih handycam-nya dan berbicara dari jarak dekat. Kepalanya yang terdapat spot kosong di mana-mana pun terlihat jelas.
"Jangan salfok sama rambut. Ini gaya minimalis," ucapnya santai lalu mengarahkan kamera ke dadanya. "Let me introduce my friend, his name is chemoport. He's cool, isn't he? Aku udah kayak Iron Man, belum?" Evan menertawakan jokes garingnya sendiri. "Jadi ini alat buat bantu masukin cairan kemoku. Dokter atau ners bakal masukin jarum ke port ini. Nah, jarum ini bakal terhubung sama kateter yang udah terhubung juga sama pembuluh darah besar. Jadi obatku nggak dimasukin lewat infus di tangan gitu, tapi lewat ini."
Layar kemudian menunjukkan ilustrasi bergerak yang memperjelas penjelasan Evan. Di bawahnya terdapat tambahan catatan berisi perbedaan kemoterapi biasa dan kemoterapi menggunakan chemoport.
"Aku mulai pakai ini beberapa bulan lalu atas saran dokter karena udah susah nyari pembuluh darah yang pas buat infus dan nggak tahan juga sama sakitnya," ucap Evan sambil memamerkan kedua lengannya yang dipenuhi bekas suntikan.
Evan kembali menaruh handycam-nya pada tripod lalu sedikit mundur hingga bisa memperlihatkan lebam-lebam di perut dan sekitar ketiaknya. "Ini bukan karena KDRT ya, jangan salah paham. Pasien leukemia udah biasa begini, apalagi kalau trombosit lagi jelek and it's fine, nggak sakit kok. Tapi karena dari kemarin-kemarin ada yang nanya, mungkin gara-gara nggak sengaja lihat pas bajuku keangkat, jadi ku-mention sekalian di sini."
Detik berikutnya video berisi timelapse saat Evan sedang kemoterapi. Sebagian besar dia habiskan dengan berbaring miring dan mengetik sesuatu pada laptop yang ditaruh pada meja lipat samping nakas. Sesekali dia juga duduk atau turun dari bed untuk jalan-jalan mendorong tiang infus.
Kemudian tulisan 'how today goes really depends on how we look at it' muncul di tengah video yang perlahan-lahan berubah blur.
Evan kembali lagi, kini dengan kaus putih dan beanie hat merahnya. Dia duduk di taman, berteduh di bawah pohon yang cukup rindang sambil memangku laptop.
"So yah, gini aja keseharianku kalau lagi kemo. Buat sekarang masih oke, nggak tahu nanti gimana. Efek buat setiap pasien beda-beda, buat aku sendiri pun bisa macam-macam. Kadang seminggu nggak kenapa-kenapa, kadang seminggu panas dan mual-muntah nggak karuan. Anything's possible."
Layar menunjukkan dokumen yang sedang Evan tulis, yang berjudul 'upcoming project'. Kemudian scene terpotong saat Evan menutup laptopnya dan berganti pada langit sore yang Evan rekam. Detik-detik terakhir pun diisi dengan voice over dan teks yang sama.
We're like birds on a wire, waiting for next big move to happen. Looking forward to tomorrow, hope it's better than today. See you!
Karina mengunci ponselnya lalu memeluk Lola—boneka teddy bear kesayangannya—erat-erat. See you, gumamnya sambil tersenyum. Seumur-umur baru kali ini dia tertarik menonton YouTube vlog berisi keseharian seseorang, bahkan mampu menyelesaikannya dari awal sampai akhir tanpa skip.
"Ini baru konten berfaedah!" serunya lalu menendang-nendang angin, gemas.
Usai membaca buku "Klub Orang Mati", Karina langsung mencari akun YouTube dengan 238 ribu subscribers tersebut dan memencet tombol subscribe secepat kilat. Dia juga berlangganan bulanan agar bisa menikmati konten mingguan khusus. Tak hanya YouTube, dia juga mengikuti seluruh akun member-nya di media sosial.
Sebagai permulaan, Karina merasa tidak salah pilih video. Konten yang diunggah lima minggu lalu itu telah mencapai satu juta penonton dan lebih dari empat ribu komentar. Isi dan penyampaian Evan sangat menyenangkan dan mudah dimengerti, terlebih editing dan color grading-nya juga enak dipandang sehingga Karina bisa betah menonton seharian.
"Sayang, ada Giselle nih di teras!"
Lah iya!
Cewek yang memakai overall pink itu sontak bangun saat mendengar panggilan mamanya. Dia lantas menepuk jidat lalu bergegas mengambil buku "Love Letters to the Dead" karya Ava Dellaira dari rak dan segera berlari kecil ke bawah. Dia lupa kalau hari ini ada janji mau buddy read dengan teman sekelas sekaligus sahabatnya itu.
Karina pun melewati mamanya yang sepertinya tengah menyiapkan snack dan minuman. Setelah menemui Giselle, mereka segera masuk dan membaca di reading corner buatan papa Karina—dulunya kamar tamu, tapi diikhlaskan untuk Karina saat dia berulang tahun kesebelas.
"Lo udah nyampek halaman berapa, Rin?" tanya Giselle.
"Baru mau baca part 'Dear Amelia Earhart', halaman 30."
"Hah? Tumben. Biasanya lo lebih cepet bacanya daripada gue."
Karina meringis dan menggaruk tengkuk. "Soalnya tadi kutinggal nonton YouTube dulu."
"Nonton apaan? Rekomendasi buku? Atau review baru?"
"Vlog."
"Vlog?" Giselle mengulangi kata itu tak percaya. "Lo nonton vlog?"
"Iya, Sel." Karina pun mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan video yang baru saja dia tonton. "Entar pas di rumah coba nonton juga, deh. Aku kirimin link-nya ke WhatsApp, ya."
"Nggak, makasih. Gue nggak minat, Rin."
"Diminat-minatin please. Aku jamin nggak bikin nyesel, kok."
Giselle mendengkus. Dia memutar bola matanya malas lalu menyeret kursinya hingga dekat dengan Karina. "Oke, daripada gue harus nonton, gue kasih lo waktu lima menit buat cerita tentang vlog itu."
Seketika raut muka Karina berseri-seri. Dengan senang hati dia menceritakan pertemuan tak terduganya dengan Klub Orang Mati dan Evan dari A-Z—sejauh yang dia tahu saja, terutama dari satu video tipe a day in my life tadi.
"Terus kan aku iseng nyari nama playlist itu di Spotify, beneran ada dong, Sel! Namanya bener-bener 'jangan mati dulu lagunya lagi enak', lucu banget nggak, sih? Mana ternyata ada lagunya Greyson Chance yang 'Waiting Outside the Lines'. Di era ini coba. Jarang banget kan ada yang masih tahu dia? Oh God, finally I found someone that match my freak!"
Giselle mengerutkan kening dan menatap Karina yang masih cengar-cengir sambil memeluk buku. "Sesuka lo aja lah, Rin Match ya match, dah. Udah selesai belum ceritanya? Jadi lanjut baca nggak, nih?"
Karina pun tertawa kecil. "Hehe, jadi kok jadi."
Namun, bukannya membaca seperti yang dia bilang, Karina justru membuka aplikasi X-nya dan membuat thread yang diberi tagar #KlubOrangMati dan #EvanVlog. Isinya kurang lebih tentang kesan setelah menonton video tadi dan ungkapan bahwa dia penasaran dengan proyek mendatang milik Evan.
"Jadi sekarang lo mau nambah profesi jadi reviewer konten video juga?" tanya Giselle usai mengintip apa yang Karina tulis.
"Nggak, lah. Iseng aja ini."
"Iseng kok di akun utama? Kan biasanya akun itu cuma lo pakai buat review buku."
Karina tak lagi menjawab. Memang sudah tiga tahun ini dia menggeluti dunia booksfluencer. Semula hanya berupa foto estetik dengan caption minimalis, tapi lama-lama makin berkembang hingga ke konten reels dan TikTok. Tidak jarang juga dia mengunggah ulasan kilat di X. Bisa dikatakan hampir semua platform telah Karina jajaki dan dia lebih dikenal dengan nama Sea, diambil dari username tetapnya, yaitu @iseayou.
Kalau diingat-ingat, memang baru kali ini Karina memanfaatkan media sosial X-nya untuk membahas hal di luar literasi. Biasanya kalaupun bukan review, cuitan Karina masih seputar isu author, penerbit, ataupun toko buku yang tengah hangat diperbincangkan karena suatu masalah. Namun, kali ini dia tidak terlalu peduli dengan branding-nya sebagai booksfluencer. Sekali saja, dia ingin membagi Evan pada pengikutnya.
"Ayo baca, Rin! Bentar lagi gue nyampek halaman 100 lho."
"Iya, iya."
Kali ini Karina benar-benar membuka bukunya. Dia dan Giselle memilih buku ini karena sedang melakukan misi untuk membabat to be read. Novel yang diterjemahkan dan dicetak pertama kali di tahun 2018 itu sudah lama menghuni rak, tapi tidak disentuh-sentuh juga gara-gara tergoda buku baru. Makanya momen seperti inilah yang mereka gunakan untuk mengingat buku-buku yang telah terdampar mengenaskan.
Seperti judulnya, buku ini berisi surat-surat yang ditulis Laurel untuk orang-orang yang sudah meninggal. Karina tidak merasa kesulitan saat membacanya karena diksi yang dipakai cukup mudah dinikmati—tidak banyak buku terjemahan yang seperti ini, so that's a good point. Sejauh ini, Karina bisa merasakan pergulatan hati cewek SMA—seumurannya—itu, ketika baru kehilangan sosok kakak yang tahu siapa dirinya dan harus beradaptasi dengan segala hal.
"Kukira novel ini bakal gelap banget," ucap Karina. Dia lantas menutup bukunya, tak lupa menandai halaman terakhir yang dia baca menggunakan bookmark.
Giselle yang sudah lebih dulu istirahat pun mengangguk. "Nggak se-gloomy itu, tapi tetap related sama remaja kayak kita. Ada masalah pertemanan, keluarga, dan cinta-cintaannya."
"He'eh bener. Lanjut entar lagi deh, selesai makan. Kita ke dapur dulu yuk! Mama pasti udah nunggu."
"Oke!"
Karina menaruh bukunya dan berjalan mendahului Giselle. Iseng, dia mengeluarkan ponsel dan mengecek notifikasi media sosialnya, barangkali ada followers yang merespons. Namun, apa yang dia temukan justru lebih dari dugaan hingga membuatnya berteriak.
"Giselle!"
Si pemilik nama sontak terperanjat dan hampir menabrak punggung cewek di depannya itu. Jengkel, dia memukul pelan lengan Karina dan memarahinya. "Kenapa, sih?"
Karina mengentak-entak lantai sambil menutup wajah yang memerah. Dia segera memberikan ponselnya pada Giselle, yang menunjukkan sebuah tweet balasan dari akun @buttersky berupa:
"Haha. My pleasure to be your match (?) then, thanks anyway."
Giselle pun menatap Karina yang juga menatapnya dengan berbinar-binar. Cewek itu kembali melompat-lompat kecil dan berseru.
"He notices me, Sel! He notices me!"
Tidak ada tanggapan lain dari Giselle. Dia hanya geleng-geleng dan menepuk jidat. "Emang agak laen temen gue hari ini."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top