Prolog

Review buku "Klub Orang Mati" by YouTube Channel Klub Orang Mati; rate 4,5/5 stars (based on my opinion)

Look how cute the cover is! Tapi percaya sama aku, kalian enggak bakal menyangka kalau buku secerah ini isinya sangat menghanyutkan.

Awalnya kukira ini novel tentang suatu klub di sanatorium kayak 'Extraordinary Means'-nya Robin Schneider atau 'Nine Perfect Strangers'-nya Liane Moriarty, but turns out it's not. Aku kegocek gara-gara sampulnya lucu dan ditaruh di jajaran rak fiksi. Ternyata ini non fiksi, seratus persen based on real experiences para penulisnya. Mungkin karyawan toko bukunya juga bingung, atau ada yang enggak mengembalikan pada tempatnya. Who knows? Tapi aku bersyukur karena dari kesalahan itu aku bisa mengenal mereka, para konten kreator YouTube Channel 'Klub Orang Mati'.

Sebelumnya ada yang sudah tahu akun YouTube ini? Jujur aku baru tahu. Menurutku namanya unik banget. Iya, enggak?

Buku ini berisi 272 halaman yang dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama tentang sejarah terbentuknya klub mereka dan bagian kedua berisi 'curhatan' para member selama menjalani hidup sebagai orang yang 'mau mati'—begitulah mereka menyebut diri mereka sendiri. Ada empat point of view yang muncul, yaitu Evan, Jake, Jay, dan Steve.

Personally aku suka semua cerita dari masing-masing anggota ini. Gaya tulisannya memang bukan yang wah kayak jebolan author dengan track record yang sudah tinggi, tapi pendekatannya terasa natural, jadi berasa diajak bicara face to face dan seolah-olah aku menjadi pendengar di sini. Halaman demi halaman bikin aku makin tahu sudut pandang lain—yang normalnya enggak diketahui orang awam—atas apa yang mereka alami. Misalnya, tentang stereotip penderita kanker yang melekat pada Evan, ketidaktahuan masyarakat atas tugas service dog milik Jake, concern bahwa anoreksia bisa menimpa laki-laki juga seperti Steve, dan bagaimana society melihat pola hidup Jay sebagai penderita diabetes.

Kisah-kisah mereka bikin trenyuh dan menamparku untuk lebih menghargai hidup yang Tuhan kasih.

Dari keempat cerita di bagian dua, buatku cerita Evan yang paling berkesan. Dia merupakan penggagas klub ini dan penyampaiannya paling luwes di antara teman-temannya. Part favoritku saat dia sharing salah satu wawancaranya dengan seorang anonim. Kata Evan, dia enggak sengaja ketemu di taman rumah sakit pas lagi jalan-jalan. Kelihatannya si anonim ini baru saja keluar dari ruang dokter—entah baru saja mendengar sesuatu yang tak ingin dia dengar atau apa, Evan enggak tahu. Yang jelas, setelah beberapa menit mereka mengobrol, Evan mendapat pertanyaan yang menurutnya susah-susah gampang untuk dijawab.

"Kenapa Tuhan memberimu kanker? Kenapa Tuhan membiarkanmu menerima semua rasa sakit ini? Dan kenapa juga kamu terlihat biasa-biasa saja?"

I've no idea what's going on in his head, but he said ....

"Itu mah cuma Tuhan yang tahu, Bang. Aku kan tinggal nerima aja. Kalau dikasih ya berarti aku yang dipilih. Udah gitu doang simpelnya mikir. Aku bersyukur kok aku yang kena, bukan Ibu, Ayah, apalagi Vena, adikku. Aku udah tahu rasanya gimana, jadi aku enggak bisa bayangin kalau mereka harus ngerasain ini semua dan enggak bakal biarin itu terjadi juga kalau bisa."

See? Pas baca ini rasanya aku pengen hug dia, terus bilang kalau dia tuh super keren karena bisa sampai di titik sekarang dengan banyak pencapaian. Good job banget deh pokoknya!

Oiya, jangan dikira percakapan di atas termasuk major spoiler ya, karena ini cuma sebagian kecil quote yang kubagikan agar kalian ikut jatuh cinta dengan pemikiran-pemikiran di buku ini. Masih banyak pembahasan lain kok, yang kujamin bikin insight kalian bertambah, plus bonusnya dapat ketenangan yang di luar dugaan.

Jadi, buat kalian yang merasa kurang 'dekat' dengan hidup kalian sendiri, aku rekomendasikan buku ini buat kalian baca. Highly highly recommended.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top