Prolog
-- Blok M, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan, siang hari
Di tepi suatu ruas jalan yang penuh sesak, dua orang pemuda melambaikan tangan mereka ke arah sebuah metromini yang bergerak pelan di lajur kiri. Mendadak metromini tersebut mengerem. Spontan mobil di belakangnya membunyikan klakson selama beberapa detik, namun supir metromini tak peduli. Pintu kendaraan berwarna oranye terang itu terbuka, membiarkan kedua pemuda naik ke atasnya. Mereka bertegur sapa dengan sang kondektur lalu berdiri di tengah kendaraan, bersesakan dengan para penumpang lainnya.
Kedua pemuda itu mengobrol santai. Salah satunya, yang berkaos hitam dan bercelana longgar, terlihat masih sangat muda, mungkin usianya sekitar tujuh belas tahun. Yang lainnya, berkaos coklat, lebih tua beberapa tahun darinya. Mereka bercanda sambil sesekali tertawa-tawa bersama sang kondektur.
Tiba-tiba metromini kembali mengerem. Seorang lelaki tua bertubuh gemuk yang baru saja bangkit berdiri di sebelah si pemuda berbaju coklat kehilangan keseimbangannya. Ia menyenggol pemuda tersebut.
"Heh! Lihat-lihat, dong, kalau jalan! Dasar tua gendut!" gerutu si pemuda berbaju coklat.
"Bajingan! Lu berani ngatain gua apa!" balas lelaki bertubuh gemuk tersebut, mencengkeram bagian leher kaos sang pemuda.
"Woy, brenti! Atau gua usir kalian berdua dari atas bus!" seru si konduktor.
Penumpang lainnya, terutama wanita, menjauh dari keributan tersebut. Beberapa memilih turun, malas terkena getah perkelahian kedua lelaki tersebut. Selama lima menit, kedua lelaki itu masih saling berteriak hingga akhirnya sang kondektur berhasil melerai mereka. Lelaki gemuk itu turun dan pemuda berbaju coklat tetap bertahan di metromini.
Sementara itu, tanpa sepengetahuan para penumpang yang perhatiannya tertuju kepada keributan, pemuda berbaju hitam menyelipkan ujung jarinya ke dompet yang menyembul di saku celana para penumpang lelaki, atau memasukkan tangannya ke tas belanja para penumpang wanita. Ia menyimpan hasil curiannya di kantong celananya yang sangat longgar.
Mereka turun beberapa kali, berpindah kendaraan, dan melakukan modus pencurian yang serupa. Jika kendaraan yang mereka tumpangi penuh sesak, lebih mudah bagi mereka untuk mencopet karena para penumpang saling bersenggolan dan tak sadar jika ada tangan yang mengambil dompet mereka dari saku celana. Sore menjelang malam, barulah mereka turun dari angkutan umum.
Tanah Abang, tempat yang mereka pijak, merupakan pusat grosir pakaian yang semrawut dan sangat ramai. Di luar salah satu daerah pertokoan, mereka bertemu dengan lelaki bertubuh gemuk yang tadi berkelahi di atas metromini. Ia terkekeh ketika melihat mereka.
"Dapet berapa, Wir?" tanyanya.
Pemuda berkaos hitam itu menyengir. "Sekitar beberapa puluh, lah, Bang."
"Mantap, emang. Makin hari makin jago aja, lu," ujar pemuda berkaos coklat sambil menepuk pundak rekannya.
"Yok, kita itung dulu berapaan, nih. Kalau udah cukup buat hari ini, lu nggak usah kerja lagi sore ini," sahut sang lelaki gemuk.
Ketiga lelaki tersebut masuk ke sebuah warung makan yang dijaga oleh seorang perempuan separuh baya. Perempuan itu mengenakan daster lusuh berwarna merah. Rambutnya disanggul berantakan, dan beberapa helaian yang jatuh ke wajahnya berwarna abu-abu.
"Mpok Imah!" sapa lelaki gemuk itu.
"Eehh, Bang Juned. Mau makan, Bang?" sahut perempuan itu.
"Biasa, Mpok! Nasi tempe sama kuah santan," ujar lelaki tersebut.
"Iye, Mpok siapin. Kalian bocah-bocah langsung aja ke dapur," ujar Mpok Imah sambil mengedipkan sebelah matanya. "Abis itu, Mpok siapin makanan buat kalian juga."
"Oke, Mpok," sahut kedua pemuda tersebut.
Mereka masuk ke dapur dan duduk di pojok. Pemuda berkaos hitam mengeluarkan dompet-dompet curiannya dari kantong celananya. Membukanya satu persatu dan mengambil uang kertas dari dalamnya. Kemudian mereka mulai menghitung.
"Lu aja, lah, Wir, gue males," ujar pemuda berkaos coklat.
"Yeh, Bang Aci, kok, gitu? Gue lama kalau ngitung sendirian," protes pemuda berkaos hitam itu. "Lagian gue yang kerja, masa gue ngitung juga."
"Kata siapa gue nggak kerja? Gue kan akting," cengir Aci.
"Ya udah," gerutu pemuda berkaos hitam. "Mentang-mentang gue masih muda, jadi seenaknya aja diaturin. Tunggu sampe gue udah senior."
Aci mengeluarkan batang rokok dari saku celananya dan menyalakannya dengan korek api. Asap rokok perlahan-lahan memenuhi dapur. Tiba-tiba ia merasakan seseorang menjewer telinganya.
"Aduh! Mpok!" teriak Aci.
"Udah Mpok bilang, nggak boleh ngerokok di dapur! Mau masakan Mpok bau rokok semua? Hah?" omel perempuan tersebut. "Sana ke warung aja. Lagian kamu juga nggak ngitung, kan?"
Pemuda berkaos hitam itu tersenyum mengejek ke arah pemuda berbaju coklat yang diseret oleh Mpok Imah ke luar dapur, kembali ke warung. Aci menggerutu namun tak dapat membantah. Ia memosisikan dirinya di sebelah lelaki bertubuh gemuk, yang sedang melahap makanannya.
"Makan, Aci," ujarnya.
"Ntar aja, Bang Awi. Nunggu Wira-wiri selesai ngitung," sahut Aci.
Pemuda berkaos hitam mengelompokkan uang dengan nominal yang sama. Seratus ribuan dengan seratus ribuan, limapuluh ribuan dengan limapuluh ribuan, dan seterusnya. Ia mengeluarkan kalkulator usang dan menghitung total pendapatannya hari itu. Lima menit kemudian, ia mendapatkan jawabannya.
"Berape, Nak?" tanya Mpok Imah.
Lelaki berkaos hitam itu menggeleng. "Kurang dua juta lagi, Mpok. Berarti malem ini gue harus kerja lagi."
"Udah, makan dulu aja, Wir," ujar Mpok Imah sambil merangkul lelaki itu. "Buat kamu, Mpok kasih suwiran daging, deh. Kan buat tenaga ntar malam, ya?"
Pemuda itu menyengir. "Makasih, Mpok. Dua juta, sih, kecil, kok. Tapi kalau target buat besok juga kesampaian, lumayan gue nggak perlu kerja lagi besok."
"Ada tujuan mau ke mana?"
"Pasar malam, Mpok. Hari ini pasti rame," sahut pemuda tersebut.
Mpok Imah dan pemuda berkaos hitam itu keluar dari dapur dan kembali ke warung. Pemuda itu bergabung dengan Awi dan Aci yang masih melahap masakan Mpok Imah.
Di sudut warung, terdapat seorang lelaki berusia sekitar pertengahan duapuluh tahun, berkaos merah hati, sedang sibuk memainkan ponselnya. Di hadapannya, piring makanannya telah kosong. Ia beranjak dari tempat duduknya dan melirik ke arah Awi, Aci, dan pemuda berkaos hitam dengan ujung matanya. Kemudian ia berjalan menuju tempat duduk Mpok Imah.
"Berapa, Mpok?" tanyanya.
"Tigabelas, Bang," sahut Mpok Imah sambil menatap kagum pada ketampanan lelaki berkaos merah tersebut.
Lelaki itu mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang limabelas ribu rupiah. "Kembaliannya nggak usah."
"Aahh, makasih, Bang Ganteng," goda Mpok Imah.
Lelaki itu hanya menyengir dan menatap perempuan tua itu sejenak. Tangannya diam-diam mencabut sesuatu dari balik meja Mpok Imah.
"Dateng lagi, ya!" seru Mpok Imah sebelum ia keluar dari warung.
Beberapa meter dari warung tersebut, lelaki itu berbicara ke earpiece-nya. "Target ditemukan. Aku juga berhasil mendapatkan bukti. Tujuan selanjutnya, pasar malam."
***
Di dalam sebuah ruangan di gedung Divisi Reserse Kriminal Umum (Reskrimum) Polda Metro Jaya, Sudirman, Jakarta Selatan, lima orang polisi -- empat laki-laki dan satu perempuan -- berseragam kemeja putih, celana hitam, dan dasi merah duduk mengelilingi meja kayu cokelat tua yang berukuran dua kali tiga meter tersebut. Di hadapan mereka masing-masing terdapat sebuah map kuning muda tipis. Mereka sedang menonton presentasi yang dibawakan seorang lelaki berseragam sama. Tumpukan berkas setebal sepuluh sentimeter di depan sang presenter menunjukkan bahwa kasus ini telah diinvestigasi secara mendalam selama bertahun-tahun. Ruangan tertutup yang dikunci dengan sistem biometrik menandakan bahwa misi ini bersifat rahasia dan tidak boleh diketahui sembarang orang.
"Selamat siang rekan-rekan saya yang terhormat," sang presenter membuka suaranya, "rapat ini akan membahas secara singkat misi investigasi dan infiltrasi organisasi mafia bawah tanah, Macan Hitam. Seperti yang kita ketahui, Macan Hitam merupakan pelaku sekaligus dalang berbagai kasus kriminal besar di Jakarta, termasuk penyelundupan narkoba, kekerasan dalam geng preman, hingga menjadi kaki tangan pejabat dan pengusaha untuk menyingkirkan musuh mereka."
Inspektur Satu (Iptu) Bagus Prawirasetya, demikianlah nama polisi tampan berkulit gelap tersebut, menekan tombol penunjuk laser untuk mengganti halaman presentasinya, menampilkan foto dan teks yang meringkas daftar kejahatan Macan Hitam.
"Berkas di hadapan kalian memuat informasi yang sama, hanya sedikit lebih detil." Ucapan Bagus membuat kelima penontonnya serempak memandangi map kuning muda di hadapan mereka. "Penyelidikan Macan Hitam sudah berlangsung selama satu tahun tujuh bulan. Akhir-akhir ini kemajuan kita meningkat pesat karena manuver ekstrem yang dilakukan oleh Operasi Singa Putih pimpinan Inspektur Satu Rizki Budiman." Ia menoleh ke arah polisi yang duduk di sisi tangan kirinya, seorang lelaki berusia tigapuluhan, yang hanya mengangguk tipis.
"Berkat aksi gilamu juga, Gus," timpalnya. "Oleh karena itu, Operasi Singa Putih jilid dua akan diketuai olehnya."
memperkenalkan tim khususnya, mulai dari polisi paling senior yang duduk di sisi tangan kirinya.
.
.
.
3 Februari 2018 (revisi 30 Maret 2020)
#196 Action
Catatan penulis: Prolog diubah dari versi lama. Prolog versi lama akan digabungkan ke bab 1 aja. Selain itu, gak jadi pake POV 1. XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top