Bab 9: Rencana
"Gimana, gue nggak ngacau, kan?" tagih Wirada kepada Malika yang sedang membereskan kursi-kursi di ruko setelah anak-anak jalanan itu pulang.
Malika hanya melirik Wirada sesaat. "Terus gue harus bilang wow, gitu?"
Wirada mengangkat bahu.
"Daripada lu gangguin gue, mending bantu beresin kursi. Sayang tenaga nganggur," ujar Malika lagi sambil menyerahkan kursi plastik yang dipegangnya kepada Wirada.
Wirada memaki ketidakpekaannya. Hilang kesempatannya untuk mengesankan Malika jika ia sampai harus disuruh begini. Namun ia tetap mengambil kursi-kursi tersebut dan menumpuknya di sudut ruangan, seperti yang dilakukan para guru lainnya.
"Habis itu lu mau ke mana, Mbak Malika?"
Malika menghembuskan napasnya. "Pertama, jangan panggil gue 'Malika.' Kedua, nggak usah sebut 'Mbak.' Gue bukan mbakmu dan nggak berniat jadi mbakmu."
"Gara-gara kedelai hitam, ya?" cengir Wirada.
"Mulut lu itu emang minta ditabok banget, tahu nggak?" gerutu Malika sambil mendorong tumpukan kursinya ke dinding.
"Maaf, maaf," kata Wirada.
"Iya, gara-gara kedelai hitam," aku Malika. "Gue masih SMP waktu nama gue dijadiin nama kedelai hitam. Sejak itu teman-teman gue ngeledek gue sampai gue nggak mau lagi dipanggil 'Malika.' Padahal yang lahir gue duluan."
Wirada tertawa.
"Jadi lu jangan ikut-ikutan ungkit soal kedelai hitam!" tegas Malika sambil memelototi Wirada.
"Iye, iye, Mbak, eh, Mal," ujar Wirada sambil mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Tapi lu belum jawab pertanyaan gue. Habis ini mau ke mana?"
Malika memutar bola matanya. "Emang gue harus lapor?"
"Mal, si copet ini gangguin elu lagi?" tanya Laksa yang tiba-tiba sudah berada di dekat mereka.
"Situ satpamnya Mal, ya?" ledek Wirada.
"Heh, preman kampret, mau gue laporin polisi?" geram Laksa.
"Coba aja. Gue punya kekebalan terhadap polisi, loh," sesumbar Wirada. "Makanya kemarin si Bang Pret, eh, Frans, nggak jeblosin gue ke penjara. Soalnya gue bakal dilepasin lagi."
Malika dan Laksa mengernyitkan kening mereka sambil saling berpandangan heran. Ucapan Wirada mungkin ada benarnya.
"Kenapa?" tanya Malika.
"Nah, makanya, jawab dulu pertanyaan gue."
"Ya udah, bodo amat. Yuk, Laksa. Kita pulang." Malika membetulkan posisi ransel di punggungnya lalu membalikkan tubuhnya dari Wirada. "Awas kalau ngikutin gue. Gue lapor ke polisi yang lebih berwenang daripada Bang Frans yang nggak becus itu."
Wirada menghembuskan napasnya. Ya nggak gitu juga, kali, Mal. Gue ngikutin lu, lu juga nggak bakal tahu. Gue kan punya ilmu menghilang.
***
"Ssstt! Wira-wiri!" bisik suara seorang perempuan yang sangat dikenal Wirada dari arah warteg di depan ruko.
Wirada celingukan sesaat sebelum melihat wajah Aren. "Ngapain di sini, Ren?"
"Biasa, jadi mata-mata," Aren pura-pura menggerutu. "Bang Dur nyuruh gue ngawasin elu."
"Loh, gue kira dia nggak peduli ..." ujar Wirada.
Aren mengajak Wirada menjauh dari warteg agar pembicaraan mereka tidak didengar oleh sang pemilik warung. Mereka berjalan ke halte bus usang yang catnya telah pudar dan mengelupas. Halte itu tak lagi digunakan karena warga diharuskan beralih ke transportasi busway. Sambil bersandar ke tiang penyangga halte, Aren mengeluarkan rokok dari saku celananya.
"Jadi gini, Bang Dur mau gue ngasih tahu lu supaya lu nggak ke markasnye kite-kite," jelas Aren. "Jangan ke sarang geng preman yang kerja sama dengan Macan Hitam juga. Pokoknya ke tempat-tempat netral kaya warung, pasar, atau tempat umum lainnya."
"Waduh, padahal gue mau nonton balapan geng motor nanti malam," ujar Wirada.
"Balapan motornya geng Komando?" tanya Aren.
"Ho-oh. Minggu lalu Mas Aryo bilang bakal tampil, pasti seru."
Aren menggeleng. "Jangan, Wir, ntar lu malah ngebongkar jejak mereka. Geng Komando kan salah satu pemasok kita."
"Kalau gini, sih, sama aja gue nggak bisa ketemu siapa-siapa. Lah, temen-temen gue kan semuanya kalangan preman."
Aren terdiam. Sambil menghisap rokoknya dan mengepulkan asap melalui mulutnya, ia berpikir sejenak. "Iye juga, sih."
Wirada mengangkat kepalanya. Ia melihat Malika dan Laksa di seberang jalan. Lelaki itu menurunkan Malika dari boncengannya. Malika menyerahkan helmnya kepada Laksa. Mereka mengobrol sejenak, lalu Malika melambaikan tangannya dan berjalan ke halte busway.
"Apaan, Wir?" tanya Aren, ikut memandang ke seberang jalan, namun tidak tahu apa yang diperhatikan Wirada.
"Gue tahu gue mau ke mana. Tenang, gue nggak bakal ke sarang preman seperti yang Bang Dur peringatkan." Kemudian Wirada menyeberang jalan seenaknya, sehingga beberapa mobil terpaksa mengerem mendadak.
"Eh, jangan beraksi juga, loh! Lu harus adem ayem kali ini! Jangan menarik perhatian!" seru Aren. "Mau ke mana lu? Hei!"
Namun teriakan Aren tenggelam dengan suara klakson mobil-mobil yang mengamuk akibat tingkah seenaknya sang preman muda.
"Dasar Wira-wiri," gerutu Aren sambil membuang puntung rokoknya dan mematikan asapnya dengan tumit sepatunya.
.
.
.
-- Jatinegara, 13:00 WIB
Duren berjalan mondar-mandir di lobby motel markasnya. Matanya mengarah ke lantai, dan tangannya sesekali mengusap dahinya yang kering. Beberapa kali terdengar suara hembusan napas dari hidungnya. Ia baru saja mendapat kabar bahwa ketua utama Macan Hitam memanggil semua anak buahnya untuk acara pelantikan ketua baru. Mereka akan dikumpulkan di sebuah restoran di Kota Tua Jakarta. Tentu saja mereka tidak boleh berangkat bersama-sama agar tidak mencurigakan. Walaupun pelantikannya baru akan diadakan hari Minggu malam, gelombang pertama telah disuruh berangkat pagi ini.
Terasa sangat mendadak. Pihak ketua utama memang sengaja memberikan perintah tepat sehari sebelumnya supaya desas-desusnya tidak terdengar oleh polisi. Meskipun tampaknya kacau dan seenaknya, anggota Macan Hitam sebenarnya sangat terlatih. Mereka dipersiapkan untuk selalu sigap menjalankan perintah kapanpun atasan mereka mengeluarkan perintah. Namun Duren sangat tak menyukai hal ini. Ia telah berjuang keras untuk mencapai posisi pemimpin -- begitu atasannya muncul dan mengatur mereka, posisinya seakan-akan ditiadakan.
Duren tidak berbohong ketika ia memberitahu Wirada bahwa ketua utama sangat misterius. Bahkan ia sendiri pun belum pernah bertemu dengannya. Dari duapuluh empat tahun hidupnya, ia baru menghabiskan duabelas tahun bersama Macan Hitam. Ketua utama Macan Hitam yang terdahulu sudah menjabat sebelum ia bergabung dengan kelompok ini. Seingatnya, pejabat level tertinggi yang pernah ia temui secara langsung hanyalah Ruslan Widayanto. Anggota level empat.
Duren tahu, ia hanya satu dari sekian banyak pemimpin preman level terendah di Macan Hitam. Ketua utama tidak akan memberikan perhatian khusus pada dirinya. Namun itulah yang membuatnya khawatir. Dengan terpilihnya ketua baru, pasti akan ada perubahan. Apalagi Ruslan memberitahunya bahwa Jatinegara sudah tidak aman, mungkin akan dihancurkan.
"Sial!" gerutunya sambil membanting botol sampanye yang telah kosong.
***
"Emak!" ujar Cahyo -- Wisakti -- sambil memeluk perempuan kurus berkulit sawo matang yang mengenakan daster bunga-bunga ungu.
Ibunya tersenyum sambil mengusap kepala putra sulungnya. Satu matanya diperban dan sisi mulutnya dijahit. Belum lagi tiga tulang rusuknya retak dan tangan kirinya patah. Namun ia sudah diperbolehkan pulang asal beristirahat dan tetap kontrol ke dokter.
"Cahyo, kesayangan Emak. Mana adikmu, Sayang?"
"Dedek lagi main di sana," ujar Wisakti sambil menunjuk adiknya yang sibuk menyusun rumah-rumahan dengan lego. "Tapi nama Cahyo udah bukan Cahyo, Mak. Sekarang namaku Wisakti. Keren, kan?"
"Kenapa diganti? Tempat apa ini?" tanya ibu Wisakti sambil memandangi lobby motel Jatinegara yang asing baginya.
"Ini tempat tinggal baru kita, Mak. Abang-abang temenku yang nolongin Emak waktu dipukulin Abah. Sekarang Emak nggak perlu khawatir lagi, aku bakal jagain Emak."
Sang ibu mengusap air matanya penuh haru. "Makasih, anakku sayang. Oh, ya, Abah ke mana?"
Wisakti menggeleng. "Kata Bang Awi, kita nggak perlu khawatirin Abah lagi. Dia udah pergi jauh, nggak bakal gangguin Emak dan kita semua. Oya, Mak, Om Kusno juga ada di sini, loh!"
Ibu Wisakti melebarkan matanya. Ia berjalan tertatih-tatih ke arah putra keduanya yang sedang bermain lego ditemani seorang lelaki tampan seusianya.
"Yoyo!" panggil ibu Wisakti kepada Wirada.
Begitu mendengar suara tersebut, Wirada dan lelaki dewasa tersebut spontan mengangkat wajah mereka dan menatap wajah ibu Wisakti. Wirada langsung melompat girang dan memeluk ibunya.
"Hati-hati, Nak. Ibumu masih belum sembuh," ujar Kusno sambil mengusap kepala Wirada.
Yang membuat sang ibu terkejut, wajah Wirada dan Kusno ternyata sangat mirip.
***
Sementara itu, di sebuah sel gelap dan pengap, seorang lelaki diikat dalam posisi berdiri. Kedua tangannya dirantai ke atas. Darah menetes dari sekujur tubuhnya. Wajahnya sangat penuh dengan luka sehingga bentuk mukanya tak lagi terlihat jelas.
"Kalian mau apa denganku, hah?" Ia berusaha berteriak meskipun suaranya lebih mirip rintihan akibat tenaganya habis dan tubuhnya sakit semua.
"Nyawa ganti nyawa, Brengsek. Apa yang lu lakuin terhadap istri lu, kami akan lakuin terhadap lu dengan berkali lipat," ujar sebuah suara di kegelapan.
CTAR! Suara cambuk disusul teriakan bergema di seluruh ruangan. Namun tidak ada yang mendengarnya selain mereka, karena ruangan itu kedap suara.
.
.
.
-- Bogor, 15:00 WIB
Ponsel Aren bergetar di dalam saku celana panjangnya. Gadis itu meraihnya lalu melihat nama peneleponnya.
Bang Dur may laf <3.
Ia mengangkatnya lalu menutup mulutnya dengan tangan satunya. "Ada ape, Bang?"
"Lu di mane, Ren?" Terdengar suara kekasihnya.
"Gue di Bogor."
"Hah?"
"Nggak tahu, nih, si Wira-wiri naik busway trus KRL ke Bogor, ngikutin siapa gue juga nggak tahu."
Aren mendengar hembusan napas Duren.
"Lu kenape, Bang?"
"Gue ... gue punya firasat nggak enak, Ren. Lu tahu kan gelombang pertama udah berangkat ke Kota Tua?"
"Tenang, Bang, lu terlalu panikan. Nggak akan ada apa-apa, kok. Lu tetap akan jadi bos di Jatinegara. Kita semua diundang karena kita pegawai, ya, harus datang ke acara pengangkatan bos besar, dong." Aren sengaja menggunakan kata-kata 'pegawai' untuk menyamarkan percakapan di depan umum.
"Jadi si Wira-wiri ke Bogor, ya? Bogor, sih, udah bukan daerahnya kita. Lu nggak usah ikutin dia lagi. Pulanglah, temenin gue, gue butuh lu."
"Iye, Bang, gue pulang. Nanti gue turun di stasiun terdekat terus cari kereta balik."
"Makasih, cinta gue."
Sambungan telepon pun dimatikan. Aren melihat ke sekitarnya. Wirada sudah tidak tampak di radius pandangannya.
Ya udahlah, gue juga udah nggak harus ngikutin dia lagi.
Lalu ia menggelengkan kepalanya mengingat percakapannya dengan Duren tadi.
Begitulah cowok, kalau lagi ngatur seenaknya, tapi kalau lagi lemah minta ditemenin. Dasar!
***
Di stasiun Bogor, Malika pun turun dari kereta rel listrik (KRL) menuju pintu keluar stasiun. Wirada masih mengikutinya dari jarak tiga meter di belakangnya -- hebatnya, Malika sama sekali tidak menyadari ia diikuti. Ia tampak membalas percakapan dengan seseorang di ponselnya dan berjalan ke tempat parkir mobil. Ia sempat celingukan beberapa saat sebelum berlari kecil ke mobil Toyota Avanza perak, di mana seorang perempuan berhijab stylish menunggunya. Perempuan itu melepas kacamata hitamnya dan memeluk Malika.
"Teh Bila!" seru Malika.
"Lika! Teteh kangen," sahut perempuan itu sambil mempererat pelukannya.
Malika tertawa. "Setiap hari masih video call dan Snapchat-an, masih kangen, Teh?"
"Masih, dong. Kan kamu satu-satunya adik Teteh."
"Kang Dimas nggak ikut?"
"Enggak, dia di rumah Bunda, sama Zachry," ujar Nabila. "Masuk, masuk. Kita lanjutin ngobrolnya di mobil aja."
Begitu Malika menutup pintu sisi penumpang di sebelah kiri, Wirada menghembuskan napasnya melalui mulut, kecewa. Malika pulang ke rumah orangtuanya. Sepertinya terlalu ekstrem jika mengikutinya sampai ke rumah. Ia, kan, bukan penguntit sungguhan. Setelah tahu rumahnya, lalu mau apa? Mana mungkin memperkenalkan diri ke orangtuanya. Bisa-bisa ia digebuki oleh mereka lalu diarak di kompleks layaknya tahanan perang.
Anjing sial! makinya dalam hati.
Wirada memutuskan pergi ke Kebun Raya Bogor. Hitung-hitung, sudah terlanjur tiba di Bogor, sekalian saja mengunjungi tempat wisata di sini.
.
.
.
-- Mal Central Park, Jakarta Pusat, 16:00 WIB
"Va ... udah belum?" ujar Frans terengah-engah sambil membawakan enam tas belanjaan Milva, tiga di tangan kiri, tiga di tangan kanan.
"Belum, aku masih mau ke Sephora, Sayang. Kamu tunggu aja di luar, aku bakal lama nyobain kosmetik," sahut Milva. "Lagian kamu, kan, polisi, masa segini aja capek, sih, Yang?"
"Enggak, kok, nggak capek," senyum Frans. "Apapun demi kamu, Sayang."
Frans tak berbohong. Ia memang tidak lelah, namun bosan. Sepertinya perempuan dan lelaki memang memiliki kelebihan masing-masing. Nyatanya, Milva tahan berkeliling mal selama hampir empat jam dengan high heels. Sedangkan dirinya mana sanggup berjalan sepuluh menit dengan heels tersebut. Apalagi sambil berputar-putar mencari barang belanjaan. Maklum, besok Milva menyanyi solo di gereja. Ia tentu ingin tampil secantik-cantiknya -- walaupun menurut Frans, Milva baru bangun tidur saja sudah cantik.
Sambil menunggu pacarnya mencoba kosmetik di Sephora -- toko besar yang berisi perlengkapan kecantikan mulai dari lipstik, bedak, dan segala macam peralatan aneh yang digunakan wanita untuk menggambar wajahnya seperti pensil dan kuas -- Frans duduk di bangku panjang di depan toko yang memang diperuntukkan pengunjung untuk beristirahat. Seperti manusia milenial pada umumnya, ia membuka ponselnya dan melihat percakapan grup Operasi Singa Putih masih aktif.
Ternyata Ipda Fariz dan Briptu Burhan yang mengamati markas Macan Hitam di Jatinegara sejak tadi pagi melaporkan pergerakan di sana. Para preman meninggalkan markas secara bertahap, namun belum ada yang kembali. Sedangkan Ipda Binar -- polwan di bidang IT yang mengawasi pergerakan Wirada -- melaporkan bahwa si pencopet sedang berada di Bogor. Sementara itu, laporan dari Kota Tua menyebutkan bahwa preman-preman terduga Macan Hitam memasuki sebuah restoran kuno, secara bertahap pula.
Bagus: Oke, tingkatkan pengawasan di Kota Tua. Saya akan turun lapangan malam ini, dengan back up dari AKP Rizki.
Bagus: Buat penggerebekan di Jatinegara, majukan sehari. Besok kalau sudah kosong, masuk ke markas mereka dan cari barang bukti supaya kita bisa tetapkan tempat itu di bawah pengawasan polisi. Mulai dari jam tujuh pagi, saya minta personel siap di tempat.
Frans membaca ulang pesan dari atasannya. Tidak mungkin dia akan melewatkan misi yang sudah diikutinya sejak awal. Ia mencari nama Bagus di sejarah pesannya dan menghubunginya secara pribadi.
Frans: Mas Bagus, saya nggak ikut penggerebekan dong kalau besok?
Bagus: Iya gpp. Kamu istirahat saja dulu
Frans: Tapi ini misi saya, masa saya dilewatin?
Bagus: Sudah saya bilang gpp, Frans. Kami punya cukup banyak personel kok. Lagian misimu belum selesai, kita masih belum dapat informasi dari target-29
Ini tidak bagus, pikir Frans.
Apa boleh buat, ia tidak mungkin juga melewatkan penampilan Milva besok. Lagipula Bagus sudah mengatakan tidak apa-apa, berarti ia tidak perlu datang. Namun hatinya masih merasa tak rela. Seakan-akan ia menjadi panitia suatu acara tetapi tidak dapat menyaksikan acaranya. Setidaknya masih ada lain kali, demikian ia menghibur diri.
.
.
.
-- Kebun Raya Bogor, 16:00 WIB
Wirada duduk di bangku panjang di bawah pohon rindang sambil mengamati pengunjung yang berlalu lalang di depan matanya. Sasaran empuk untuk dicopet -- hanya saja ia teringat kepada ucapan Aren untuk tidak melakukan aksi apapun. Lagipula uangnya masih cukup untuk bertahan seminggu lagi.
Baru sehari, ia sudah bosan. Bukan masalah hidup sendiri. Ia terbiasa berkelana sendirian, kadang-kadang menjalankan aksi pencopetannya pun sendirian. Namun kali ini ruang geraknya dibatasi. Ia dilarang pergi ke tempat-tempat yang dikenalnya karena akan menjadi sasaran polisi. Rasa kesal dan kecewa karena gagal menonton balapan motor liar nanti malam masih membekas di hati.
Ia memerhatikan warga yang menghabiskan akhir pekan mereka di Kebun Raya Bogor dengan lebih saksama. Ada keluarga muda yang terdiri dari ayah, ibu, dan anak-anak kecil. Ada pasangan muda-mudi yang asyik berpacaran, kebanyakan masih dalam batas wajar seperti mengobrol dan bergandengan tangan. Ada juga sekumpulan sahabat remaja sepantaran dirinya yang bercanda dan tertawa bersama. Kehidupan masyarakat normal.
Wirada tidak mengingat keluarganya. Ia ingat memiliki ibu dan kakak lelaki, namun ia tak ingat ke mana perginya mereka. Entah mengapa ingatan itu hilang dari otaknya. Mungkinkah ia pernah mengalami kecelakaan atau trauma yang menghapus memori tersebut? Ia harus bertanya pada Duren atau Awi, yang paling mengenal dirinya.
Biasanya keberuntungan tidak datang dua kali. Namun lagi-lagi ia melihat gadis pujaannya bersama Nabila, seorang lelaki berkacamata, dan seorang bocah lelaki kecil. Malika dan Nabila duduk di atas tikar sambil mengobrol, sedangkan sang lelaki berkacamata berbaring di atas perutnya sambil bermain mobil-mobilan dengan anak kecil itu.
Kakak, kakak ipar, dan ponakan, tebak Wirada.
Malika beranjak dari posisi duduknya sambil mengalungkan kamera di lehernya. Ia berjalan-jalan ke sekitarnya, sambil mencari sudut yang bagus untuk difoto. Setelah puas, ia duduk di bangku kayu untuk menyeleksi fotonya. Yang terbaik ia pindahkan ke ponsel untuk diunggah ke media sosialnya. Kemudian ia mengeluarkan buku kecil dari saku celananya dan memilih puisi yang cocok dijadikan caption-nya.
"Hai," sapa Wirada.
"Aaaa!" Malika berteriak. "Lu! Lu nggak ngikutin gue, kan? Gue laporin ke polisi Bogor beneran, loh! Setahu gue, Polresta Bogor di bawah Polda Jabar, bukan Polda Metro Jaya. Pasti lu cuma kebal di Jakarta, kan?"
"Tenang, tenang, Mal. Plis jangan laporin polisi. Gue nggak ngikutin lu, kok. Cuma kebetulan sama-sama lagi ke Kebun Raya," ujar Wirada.
"Pokoknya ... gue serem, tahu!" Malika berusaha mengatur napasnya sambil meletakkan kedua telapak tangannya di dahinya. "Aduh, gue kurang apa, ya ampun? Gue udah baikin lu, lu malah ngelunjak dengan cara stalking gue. Gue takut seriusan, ngerasa nggak aman begini. Gue mohon, jangan ikutin gue lagi."
"Tapi gue nggak gangguin lu, kok. Dari tadi nyatanya gue cuma duduk di sini. Lu yang kebetulan milih tempat duduk di sebelah gue."
Malika hanya menggelengkan kepalanya dan beranjak dari bangku yang didudukinya. Lalu ia kembali ke keluarganya sambil menoleh ke belakang untuk memastikan Wirada tak lagi mengikutinya. Ia membisikkan sesuatu kepada kakaknya, yang ikut melirik ke arah Wirada. Nabila memberitahu suaminya dan anaknya, dan mereka pun meninggalkan area tersebut.
.
.
.
-- Kota Tua, Jakarta Barat, 18:30 WIB
"Enak. Soto Betawi di sini emang paling juara, ya," ujar Wishnu sambil menyendokkan kuah bersantan ke dalam mulutnya. "Meskipun makanan di luar negeri banyak yang enak, nggak ada yang bisa mengalahkan makanan Indonesia."
Lelaki tampan itu sedang menyantap makan malamnya di lantai dua restoran bergaya kuno di daerah Kota Tua Jakarta, tempat para preman Macan Hitam dikumpulkan untuk menghadiri pelantikan dirinya di suatu tempat yang belum diungkapkan.
Ayahnya, Brahmantyo Adipramana, dan saudari kembarnya, Maharani Devi Adipramana, turut bergabung bersamanya. Keluarga Adipramana adalah salah satu keluarga paling berpengaruh di Indonesia. Brahmantyo yang tahun ini menginjak usia tujuhpuluh tahun adalah adik bungsu salah satu mantan presiden Indonesia. Namun mereka sengaja bersembunyi dari sorotan media massa, menjalani hidup tenang tanpa banyak ulah.
"Pelantikanmu besok malam dan kamu malah mengomentari makanan," tegur Rani. "Asal kamu tahu, Wishnu, seharusnya aku yang jadi ketua pengganti Ayahanda. Aku selalu ada di sisi Ayah sedangkan kamu bersenang-senang di luar negeri."
"Rani, saudariku tercinta, aku nggak bersenang-senang di luar negeri. Aku mempelajari berbagai ilmu. Tapi kalau kamu mau jadi ketua Macan Hitam, be my guest. Aku lebih senang akur dengan kembaranku daripada bertengkar demi memperebutkan kekuasaan," sahut Wishnu.
Brahmantyo menggeleng. "Ketua Macan Hitam harus laki-laki, Wishnu, Rani, kalian tahu itu."
"Konyol," desis Rani. "Kerajaan Inggris saja mengubah aturan, urutan kelahiran yang menentukan urutan pewaris takhta, bukan jenis kelamin."
"Kamu juga lahir lebih belakangan daripada Wishnu," ujar Brahmantyo.
Wishnu menggeleng. "Urutan kelahiran juga konyol. Seharusnya seseorang ditunjuk menjadi pemimpin berdasarkan kemampuannya. Meritokrasi."
"Jelaskan pada Ayah, Rani, bagaimana seorang perempuan dapat mengepalai ribuan lelaki yang otaknya hanya ada di selangkangan mereka?" Brahmantyo menantang putrinya.
Rani memutar bola matanya. "Lelaki macam binatang seperti itu harus diberi pelajaran supaya sadar bahwa perempuan juga manusia, bukan objek pemuas nafsu mereka."
"Di situ kamu salah, putriku," balas Brahmantyo. "Biarkan mereka tetap bodoh, tetap seperti binatang, supaya kita dapat menguasai mereka. Sayangnya, itu berarti Ayah harus melindungimu dari mereka. Putri Ayah hanya berhak memasuki lingkungan yang tertinggi, yang dipenuhi laki-laki dan perempuan beradab."
"Lalu manusia remeh-temeh seperti mereka diserahkan padaku," cengir Wishnu.
"Kamu bisa menguasai mereka, putraku."
Tiba-tiba ponsel Brahmantyo berdering. Istrinya menelepon. Sang ayah pun berpamitan dengan kedua anaknya.
"Ibu kalian memanggil. Ayah akan bertemu kalian besok di pelantikan," ujarnya sebelum berlalu.
"Aku tetap nggak setuju dengan pendapat Ayah," gerutu Rani.
"Sabar sedikit lagi, Rani. Besok seluruh Macan Hitam ada di bawah kekuasaanku. Aku berhak mengubahnya semauku. Termasuk mengubah aturan dan menyerahkan jabatanku padamu, Rani," sahut Wishnu sambil menyeka bibirnya dengan tisu. "Tapi aku punya rencana yang lebih besar. Rencana yang bahkan tidak Ayah ketahui."
"Apa itu?"
Wishnu tersenyum. "Kita lihat saja nanti."
.
.
.
Bersambung.
16 Mei 2018
3100++ kata
.
.
Uhui, gantian penjahat yang classy dan protagonisnya receh. XD
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top