Bab 8: Rawamangun
"Indonesia ... akan segera hancur kalau dibiarkan seperti ini terus."
Seorang lelaki berusia separuh baya, mengenakan kemeja off-white lengan pendek dan celana panjang safari coklat, duduk di sofa kulit beige sambil memegang gelas wine di tangan kanannya. Di hadapannya, Wishnu mendengarkan dengan saksama.
"Kita perlu gerakan ekstremis, suatu revolusi yang akan menumbangkan pemerintahan sekarang dan menggantinya dengan yang lebih baik. Seperti yang kamu tahu, kondisi Indonesia sudah berada di tahap darurat. Keributan, kemiskinan, kekacauan merajalela. Rakyat lebih peduli pada hal-hal sepele daripada ilmu pengetahuan yang menjadikan suatu bangsa menjadi bangsa yang besar. Lihat negara-negara tetangga. Tanpa revolusi, tidak akan ada kemajuan. Perancis, dengan revolusinya, tak segan menumpahkan darah para ningrat dan aristokrat. Tiongkok, di bawah tangan besi Mao Zedong, bangkit dari bangsa terjajah hingga menjadi kekuatan ekonomi seperti ini. Dan jangan lupakan, berapa banyak perang yang telah dilalui Amerika Serikat?
"Ayah ingin kamu melanjutkan visi dan misi kita. Ayah sudah menghitung dana dan pasukan yang kita miliki. Memang kejadian di Jakarta beberapa bulan lalu adalah suatu halangan untuk rencana kita. Namun kita masih punya banyak rencana cadangan dan pasukan yang tersebar di seluruh penjuru Indonesia. Oleh sebab itu ..." ia menarik napas, "... lakukanlah apa yang harus kamu lakukan, Wishnu."
Wishnu mengangguk. "Saya mengerti, Ayah."
"Selama ini, kamu memang lebih banyak tinggal di luar negeri. Membangun koneksi dengan orang-orang penting di dunia. Apa yang dapat kamu laporkan?"
"Dari penyelidikan saya, saya menangkap bahwa pihak internasional lebih senang Indonesia kacau terus daripada menjadi negara adidaya. Namun saya sudah berbicara dengan beberapa petinggi organisasi rahasia yang merangkap menjadi direktur badan intelijen seperti CIA dan MI6. Mereka bilang akan membiarkan revolusi berlangsung apabila kami bermain dengan cara mereka. Untuk sementara ini, dengan kekuatan kita yang belum mumpuni, saya pikir kita harus mengevaluasi lagi sebelum menjalankan rencana kita," jelas Wishnu.
"Pemilu berlangsung dua tahun lagi. Melihat hasil lima tahun lalu, Ayah yakin rakyat akan kembali mudah dihasut. Dalam rentang waktu tersebut, Ayah ingin kamu mengumpulkan senjata-senjata paling mutakhir untuk persiapan kita."
"Sebagian sudah saya simpan di markas bawah laut. Sisanya masih dalam tahap negosiasi dengan para penjual senjata."
"Bagus. Selain itu, uji coba sihir yang dilakukan Arifin boleh dibilang cukup berhasil -- sayangnya cincinnya hilang diambil pihak kepolisian. Meskipun bukan hanya satu, namun cincin milik Arifin termasuk kuat. Ayah ingin kamu menemukannya.
"Satu lagi, Ayah mendengar rumor tentang Operasi J-31 yang dilakukan pihak Penumbra. Kemungkinan besar mereka menyembunyikan senjata rahasia di perairan Sulawesi. Tepatnya berupa apa, kita masih belum tahu. Ayah ingin kamu menyelidikinya."
"Selain itu, ada lagi yang ingin Ayah sampaikan?" tanya Wishnu.
"Ayah percaya padamu, Wishnu. Ayah tidak akan ikut campur dalam gaya kepemimpinanmu. Ayah tahu, kamu memiliki visi dan misi yang sejalan dengan Ayah."
"Terima kasih atas kepercayaan Ayah kepadaku. Aku tidak akan mengecewakan Ayah."
Sang ayah menghela napas. "Baiklah, jika kamu sudah paham, persiapkan dirimu untuk penobatan ketua dua hari lagi."
.
.
.
-- Rawamangun, 07:00 WIB
Wirada nongkrong di bangku kayu tipis di depan sebuah warteg yang belum buka sambil menghisap rokoknya. Semalam, ia menghabiskan waktu tidurnya di emperan depan salah satu bangunan di kawasan pertokoan di Rawamangun, beralaskan ransel dan berselimutkan sarung tipis. Tentu saja tidak nyaman dibandingkan dengan kasurnya di motel Jatinegara. Namun apa boleh buat, ia diusir oleh Duren dan tidak diizinkan kembali hingga alat pelacak di dalam tubuhnya hilang.
Trus kenapa gue ke Rawamangun, ya? Ngarep bisa ketemu Malika lagi? Ini hari Sabtu, Anjing. Mana mungkin dia ngampus, gerutunya dalam hati.
Entah, kakinya yang membawa dirinya ke daerah pertokoan tempat ia mencopet Malika beberapa hari yang lalu. Setidaknya, ia takkan diganggu oleh kehadiran Frans yang kabarnya disuruh beristirahat setelah insiden di Outback Steakhouse. Jangan tanya dari mana Wirada mengetahui informasi ini. Kelompok preman memiliki telinga yang panjang.
Setelah warteg buka, ia memesan nasi dan tempe untuk sarapan, tak lupa ditemani oleh segelas teh manis. Karena uangnya berlebih, ia memesan setengah telur dadar.
"Cabenya yang banyak, Mpok," pintanya.
"Cabe mahal, Dek. Kalau mau banyak, nambah seribu lagi."
"Nggak apa-apa, nambah aja," ujar Wirada cuek. Toh, kalau gue butuh duit, tinggal nyopet aja, kan gampang.
Sembari menyantap hidangannya, ia mengamati kegiatan warga di pagi hari yang masih sepi ini. Toko-toko mulai buka. Jalanan mulai dipenuhi kendaraan yang berlalu lalang. Meskipun tidak banyak, beberapa mahasiswa tetap datang ke kampus -- Wirada menebak pasti untuk mengerjakan tugas atau kegiatan lainnya.
Dan akhirnya.
Yang ditunggu-tunggu datang.
Malika, Nada, dan Laksa berjalan melaluinya beberapa meter dari tempat duduknya di warteg. Wirada membelalakkan matanya. Ia segera menelan makanan yang masih dikunyahnya, meneguk teh manisnya, dan berusaha menarik perhatian mereka.
Ia bersiul. "Hei, Mbak Cantik, Mbak Malika, uhui!"
Ketiga pasang mata memandang ke arahnya. Namun bukan sambutan ramah yang ia dapatkan, melainkan cengkeraman di kaosnya oleh Laksa.
"Lu berani ngomong apa sama temen gue? Minta maaf!" seru Laksa.
"Tapi -- tapi gue, kan, cuma mau nyapa Mbak Malika," rintih Wirada heran.
"Dari mana lu tahu nama gue?" cecar Malika sambil melipat tangannya dan menatap tajam pada Wirada. "Eh, lu si pencopet kecil, kan? Lu nge-stalk gue, ya? Mana Bang Frans, kok lu nggak dimasukin ke penjara?"
"Eh, Mas, Mbak, kalau mau berantem jangan di sini! Sana pergi!" usir ibu pemilik warteg kepada mereka berdua.
"Tapi makanan gue belum abis, Mpok!" protes Wirada.
"Udahlah, Sa, tinggalin aja. Dia nggak berharga buat diladenin," ujar Malika kepada Laksa. "Awas kalau lu ngikutin gue lagi, gue laporin polisi beneran. Satu lagi, nggak boleh manggil cewek dengan disiulin. Nggak sopan, tahu!" Ia mengacungkan jarinya kepada Wirada.
Laksa melepaskan tangannya dari kerah Wirada dan mendorongnya ke arah dinding. "Ya udah, Nad, Mal, kita jalan lagi. Keburu telat."
"Mau ke mana?" tanya Wirada.
"Bukan urusan lu!" gerutu Malika.
Wirada berpikir ulang. Menghabiskan makanan atau mengikuti Malika? Makanan bisa dipesan lain kali, namun ia belum tentu dapat bertemu lagi dengan Malika. Lagipula, jika ia ingin mendekati gadis ini, ia harus bersikap baik-baik dengannya.
"Tunggu!" ujar Wirada sambil bangkit berdiri dari tempat duduknya dan menyusul ketiga mahasiswa tersebut.
"Lah, siapa yang ngijinin lu ikut?" Laksa memelototi preman muda ini.
Wirada memutar otaknya dengan cepat. "Gue -- gue belum minta maaf sama Mbak Mal."
Malika memicingkan matanya curiga. "Nggak usah, mending lu jauh-jauh aja dari gue, Copet."
"Tapi gue harus minta maaf!" Wirada bersikeras.
"Ya udah, cepetan. Nada, lu duluan aja, kasih tahu panitianya kita bakal telat dikit," kata Malika. "Gue sama Laksa bakal baik-baik aja."
"Gimana kalau dia manggil komplotannya buat celakain kalian?" bisik Nada.
"Makanya itu lu bisa lapor polisi," balas Malika.
Setengah berlari, Nada menjauh dan menghubungi seseorang melalui ponselnya. Matanya masih mengamati teman-temannya dengan cemas. Sementara itu, Malika dan Laksa saling berpandangan, setengah heran, setengah tak tertarik, saat Wirada mulai merangkai kata-kata permohonan maafnya.
"Mbak Malika, gue minta maaf buat tingkah laku gue yang nggak mengenakan. Pertama, gue nyopet dompet lu, trus gue manggil lu dengan cara bersiul meskipun gue nggak tahu apa salahnya itu. Tapi gue suer nggak ngikutin lu, Mbak. Kebetulan aja kita ketemu di sini. Kalau bukan jodoh atau takdir, namanya apa, dong?"
Malika mengernyitkan dahinya dengan jijik. Ia dan Laksa saling berpandangan. Tatapan mereka mengungkapkan, permintaan maaf macam apa itu?
"Dimaafkan, tapi gue nggak mau lihat muka lu lagi. Oke?" ujar Malika. "Sekali lagi kita ngelihat lu, gue laporin polisi beneran. Yuk, Sa."
Malika menggenggam lengan Laksa dan menarik temannya menjauh dari Wirada. Namun preman muda itu tak menyerah.
"Mbak Mal, gue tahu lu orang baik dan gue orang jahat. Tapi gue nggak tahu caranya jadi orang baik. Gue dibesarin sama kelompok preman dan gue sekarang dibuang, nggak tahu harus ke mana. Gue benar-benar nyesel ... dan gue butuh bantuan kalian buat nolongin gue jadi orang baik," pinta Wirada dengan suara memelas.
Ucapan itu menghentikan langkah Malika. Ia memalingkan wajahnya ke belakang, melihat Wirada yang berjarak beberapa meter darinya.
"Mal, ada apa?" tanya Laksa.
"Omongannya ada benernya," gumam Malika.
"Bisa aja dia nipu."
"Tapi, Sa, apa bedanya dia dengan anak-anak jalanan itu? Mending kita suruh dia gabung sambil kita ajarin. Begitu lebih baik karena kita dinaungi yayasan yang bisa ngurusin segala macam kalau ternyata dia aneh-aneh," tutur Malika.
Laksa berpikir sejenak. "Bener juga, sih. Tapi artinya lu bakal ngelihat mukanya lagi, dong."
Malika mengangkat bahunya. "Menolong orang lebih baik, Sa."
Mereka kembali mendatangi Wirada yang masih memandangi punggung mereka. Wajah Wirada yang tadinya memelas berubah cerah.
"Kalian berubah pikiran?" tanyanya.
Malika mengangguk. "Gue sama Nada dan Laksa sebenarnya sukarelawan yang ngajarin anak-anak jalanan setiap Sabtu. Kalau lu bener-bener mau mengubah hidup lu, ikut aja. Pendidikan lu terakhir apa?"
"SMP," jawab Wirada.
Malika dan Laksa saling berpandangan lagi. "Selama ini tingkatannya SD semua, sih. Tapi nanti gue bilangin ke yayasan. Cuma kalau lu ketahuan gangguin anak-anak lain, lu harus pergi. Ngerti?"
Wirada mengangguk. "Makasih, Mbak Mal!"
"Oya, nama lu siapa?" tanya Malika.
"Wirada."
.
.
.
2005
"Nak, kami udah siap, nih. Tunjukin rumah lu," ujar Awi, meletakkan kedua tangannya di atas bahu Cahyo. "Lu yakin lu mau kami ngelakuin ini?"
Cahyo mengangguk sembari mengusap air mata yang mengalir di pipinya. "Aku udah nggak tahan lagi, Bang. Abah harus dikasih pelajaran."
"Ya udah, adikmu nggak di rumah, kan?" tanya Awi.
"Enggak, Bang, dia di rumah Om Kusno," jawab Cahyo.
"Kalau gitu, ayo kita jalan."
Awi dan tiga orang bawahannya mengikuti Cahyo masuk ke sebuah gang remang-remang yang hanya diterangi lampu di ujung gang. Penerangan lainnya berasal dari lampu redup yang dipasang di setiap rumah di sisi kiri dan kanan gang. Dari salah satu rumah, terdengar suara benturan dan benda pecah.
Cahyo memutar pegangan pintu. Terkunci.
"Sini biar gue aja," ujar Awi.
Lelaki gemuk itu menghantam pintu dengan tubuhnya. Sekali dorong dan pintu pun terbuka, engselnya hancur. Pemandangan mengenaskan terlihat di ruang tengah yang sangat berantakan. Ibu Cahyo terkapar di lantai. Tubuhnya penuh lebam dan luka. Sementara itu, ayah Cahyo membungkuk di atas istrinya, tampaknya sedang menyuluti perempuan malang itu dengan puntung rokoknya.
"Siapa kalian? Bangsat! Masuk ke rumah orang sembarangan!" maki lelaki bedebah itu melihat Awi dan anak buahnya.
"Abah, ingat Cahyo bilang apa? Cahyo akan balas dendam pada Abah. Ini saatnya," ujar bocah berusia duabelas tahun tersebut dengan mata memicing.
"Kampret! Anak kurang ajar! Gini kamu memperlakukan abahmu?" teriak ayahnya.
"Lu nggak waras, Nyet? Lu sendiri nyiksa bini sampe kaya gitu," sahut Awi enteng. "Rasain sekarang balasannya. Iga, Sud, seret bajingan ini ke dalam kamar dan kasih dia pelajaran. Uci, bawa emaknya si Cahyo ke rumah sakit."
"Biar saya saja." Tiba-tiba muncul seorang lelaki di depan rumah, menggandeng adik Cahyo, masuk ke dalam ruang tengah.
"Lu siape?" tanya Awi.
"Itu Om Kusno," jawab Cahyo lirih.
"Nggak bisa. Nanti lu lapor polisi kalau kita ... oh ..." Awi terdiam ketika Kusno menarik lengan bajunya dan mengungkapkan tato familiar di bisepnya.
"Om, Emak kenapa? Emak diapain?" Adik Cahyo memandangi ibunya yang berlumuran darah, lalu mulai menangis.
Cahyo menarik adiknya ke dalam pelukannya. "Udah, Dek, Emak bakal ditolongin sama Om Kusno dan Bang Awi. Semua akan baik-baik aja."
Sementara Kusno dan Uci mengurusi ibu Cahyo, Awi membawa Cahyo dan adiknya menjauh dari rumah tersebut. Samar-samar, sebelum keluar, Cahyo dapat mendengar suara pukulan dan teriakan tertahan dari arah kamar orangtuanya. Semakin lama, suara itu mengecil dan lama-lama menghilang.
Cahyo menyeringai.
***
"Sekarang, nama lu diganti jadi Wisakti. Udah bukan Cahyo lagi. Ngerti?" ujar Awi.
Cahyo mengangguk bangga. Di lobby motel Jatinegara, para anggota Macan Hitam berkumpul membentuk lingkaran. Cahyo dan Awi berdiri di tengah lingkaran.
"Selamat, lu resmi jadi anggota Macan Hitam yang paling muda. Buat buktiinnya, lu bakalan ditato. Mau dipasang di mana tatonya, Wisakti?" tanya Awi.
Cahyo menepuk bagian belakang lehernya. "Di sini."
"Pilihan bagus," ujar Awi. "Oya, adik lu dijadiin anggota kehormatan buat sementara, tapi nanti dia juga harus ngikutin ujian buat jadi anggota Macan Hitam resmi."
"Makasih, Bang Awi! Kamu dengar itu, Dek? Kamu akan jadi anggota Macan Hitam!" seru Cahyo sambil mengangkat adiknya ke atas dan mengayunkannya.
Adiknya tertawa. "Macan ... rarrr," ujarnya.
Spontan seluruh anggota Macan Hitam yang menyaksikan pelantikan Cahyo tertawa.
"Nama Adek diganti jadi apa?" tanya Cahyo.
"Wirada," jawab Awi.
.
.
.
-- Rawamangun, 09:00 WIB
"Ren, di mana dia?" Terdengar suara Duren dari seberang telepon yang ditempelkan Aren ke telinganya.
"Di Rawamangun, sama sekelompok mahasiswa, lagi belajar bareng kayanya," sahut Aren.
Perempuan muda itu duduk di kursi warteg di seberang sebuah ruko. Di dalamnya, anak-anak berbagai usia, mulai dari enam tahun hingga limabelas tahun, duduk di atas tikar yang digelar di lantai. Mereka termasuk tertib meskipun beberapa anak menggerak-gerakkan tubuhnya dalam posisi duduk karena tidak terbiasa diam.
Malika yang mengenakan kardigan hijau zaitun, kaos krem, dan celana jins berdiri di hadapan mereka. Ia menyampaikan pelajaran Bahasa Indonesia dengan artikulasi yang jelas, sesekali memberikan contoh di papan tulis kapur. Nada, Laksa, dan beberapa anak muda seusia mereka duduk di sudut ruangan.
Wirada duduk paling belakang. Aren mengira ia akan cepat bosan -- ternyata tidak. Mata pemuda itu terpaku pada Malika yang terlihat sangat alamiah dengan perannya sebagai guru. Rambut ikalnya yang digerai sepunggung berayun mengikuti gerakannya. Sesekali ia tertawa apabila murid memberikan jawaban yang lucu. Ia tak pernah marah walaupun ada yang salah menjawab, atau bahkan mengolok-oloknya.
"Nah, Wirada, katanya kamu udah lulus SMP, kan? Coba jelaskan bedanya 'di' kata depan dengan 'di' imbuhan. Mana yang nulisnya disambung dan dipisah?" tanya Malika.
Wirada tersentak. "Ah, eh, gue ... coba jelasin ulang, Mbak Mal."
Malika memutar bola matanya. "Kalau 'di' yang merupakan imbuhan harus disambung. Misalnya 'dicuci', 'diajar', 'dimakan'. Sedangkan 'di' yang merupakan kata depan menunjukkan tempat. Misalnya 'di sekolah', 'di rumah', 'di dapur.' Jelas, kan, bedanya?"
Wirada mengangguk.
"Gimana dengan 'dicuri'? Itu harus disambung atau dipisah?" tanya Malika sambil tersenyum iseng.
Sial, dia ngeledek gue, pikir Wirada.
"Disambung, karena gue nggak mau berpisah dengan lu," balasnya sambil menyengir.
Spontan seisi ruangan berseru, "Cieeeee!"
Kecuali Nada dan Laksa. Mereka melipat tangan di depan dada dan melotot kesal pada Wirada.
"Jadi dibiarin aja, Bang?" tanya Aren yang masih duduk di tempatnya sejak tadi.
"Biar aja. Yang penting dia aman."
.
.
.
-- Grogol, 11:00 WIB
"Jalan-jalan, yuk, Va?" ajak Frans, menyingkirkan stik PlayStation-nya dari atas pangkuannya.
Milva mengangkat kepalanya dari hadapan laptopnya. "Bentar, Sayang. Laporanku belum selesai. Lagian mama kamu kan nggak bolehin kamu jalan-jalan."
"Tapi aku nggak enak sama kamu, kan aku nggak pernah ngajak kamu kencan lagi, Vava Sayang," sahut Frans. "Aku cuma luka ringan, Mama aja lebay."
"Hus, ngatain orangtua," tegur Milva. Matanya melirik ke jam di sudut kanan bawah layar laptop. "Aku udah senang, kok, berduaan gini doang sama kamu, Frans. Sejam lagi, ya?"
Frans meraih tangan kanan Milva dan menciumnya. "Oke, Sayangku."
Sementara Milva kembali berkutat dengan laporannya, Frans meraih ponselnya dan memeriksa akun media sosialnya. Ternyata ada percakapan di grup Operasi Singa Putih yang belum dilihatnya. Ia membaca obrolan mereka dari terakhir kali ia melihatnya -- mereka sedang membicarakan persiapan untuk menggerebek motel di Jatinegara. Bukti-bukti yang dikumpulkan para polisi, mulai dari zaman kepemimpinan AKP Rizki Budiman, pendahulu Bagus, sudah cukup bagi atasan mereka untuk mengeluarkan surat perintah.
Ia membuka lapak percakapan pribadi dengan Bagus dan bertanya pada atasannya itu.
Frans: Mas, saya perlu ikut penggerebekan hari Senin?
Ia menunggu beberapa saat, namun tak ada balasan. Ia memutar bola matanya. Tidak heran, pasti atasannya sedang pergi kencan.
Tak lama kemudian, Milva pun selesai mengerjakan laporannya. Frans meminta izin pada ibunya untuk mengajak Milva jalan-jalan. Awalnya sang ibu melarang, namun Frans merengek dan mengatakan bahwa ia sudah bosan di rumah.
"Lagian ada Milva, kok. Dia kan dokter, eh, calon dokter."
"Dokter gigi, woy," tawa Milva.
Ibu Frans menggeleng akibat ulah anaknya yang seenaknya. "Ya udah, sana pergi, tapi jangan capek-capek. Kalau merasa nggak enak badan langsung pulang, ya. Milva, titip jagain Frans."
"Pasti, Tante. Nanti kujewer kalau nakal," ujar Milva.
"Mama lupa aku udah umur duapuluh dua tahun," gerutu Frans sambil membuka pintu mobil Milva dan duduk di kursi penumpang.
"Umur limapuluh dua pun tetap bakal dikhawatirin, Frans," balas Milva, memasang sabuk pengaman.
Setengah jam kemudian, mereka tiba di salah satu mal di Jakarta Pusat. Karena menjelang waktu makan siang, mereka mampir di food court dan bergantian memesan makanan -- seseorang harus menunggui mejanya. Ketika giliran Milva memesan makanan, Frans mengecek ponselnya lagi. Atasannya sudah menjawab pesannya.
Bagus: Boleh aja kalau udah sembuh
Frans: Wirada di mana?
Bagus: Cie, khawatir juga rupanya
Frans: Kamvret Mas. Saya cuma mau tahu nasib bocah sialan itu karena dia tanggung jawab saya
Bagus: Kata tim IT dia nggak pulang ke motel semalaman
Frans: Oh ok. Eh Milva udah dateng, saya off dulu
Mungkin biasa bagi para preman nggak pulang semalaman ke rumah mereka, pikir Frans. Namun firasatnya mengatakan bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
.
.
.
Bersambung.
(8 Mei 2017)
2600+ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top