Bab 6: Ricuh

Catatan penulis:  Pasang media-nya buat menemani ceritanya. Lucu deh. Judulnya Spirit in the Sky karya Norman Greenbaum. XD

.

.

.

Suasana berubah mencekam. Meskipun matanya tak menangkap apapun selain Wirada dan Awi yang duduk di meja mereka, Frans merasakan aura penuh ancaman melingkupinya. Ia yakin, Awi berani sesumbar karena pastilah ada beking Macan Hitam di sekitar mereka. Namun ia tetap berusaha tenang dan santai. Ia duduk di sebelah Wirada di bangkunya yang berbentuk sofa dan melingkarkan lengannya ke bahu pemuda itu. 

"Hahaha, candaan lu lucu banget, deh, Wir," cengirnya. "Selow, Bang. Ini si Wirada cuma kesel sama gue gara-gara gue pinjem duit belum dibalikin. Makanya dia ngomong gitu ke Abang. Nih, duit lu gue balikin." Frans menyodorkan tiga lembar uang seratus ribuan kepada Wirada.

Cih! Emangnya gue bisa disogok pake duit tiga ratus ribu? Biasa aja gue nyuri sepuluh juta sehari, cibir Wirada dalam hati. Tapi, ya sudahlah. Duit tetap aja duit.

Ia mengambil uang dari atas meja dan memasukkannya ke dalam saku celananya.

"Makasih. Tapi jangan ganggu acara makan gue. Dan lepasin tangan lu," sahut Wirada sambil memandangi lengan Frans tajam.

"Kappa-lima-delapan, back up sudah berkumpul di pintu masuk." Suara Briptu Burhan, rekan Frans yang lebih senior, terdengar di telinga Frans, namun Frans hanya diam. Ini bukan saat yang tepat untuk menjawab panggilan Burhan.

Sementara itu, Awi menatap Wirada heran, bimbang memutuskan siapa yang mengatakan hal sebenarnya. Akhirnya, tentu saja, ia memutuskan untuk memercayai Wirada.

"Gue nggak tahu apa urusan lu di sini. Tapi sekali lagi gue tegasin, menjauh dari kami," ulang Awi.

"Kalau gue nggak mau?" tantang Frans.

Awi bangkit berdiri dan mencengkeram kerah Frans, lalu mendorongnya ke meja makan pengunjung lain. Piring yang tadinya berada di atas meja pun hancur berkeping-keping di lantai. Perempuan yang duduk di meja tersebut berteriak ketakutan. Saus steik yang masih agak panas membasahi rambut ikal Frans.

Frans bangkit berdiri dan menjilat saus yang mengalir ke bibirnya. Ia mengelap wajahnya dengan taplak meja.

"Bang, lu gila! Lu nyari gara-gara di sini?" bisik Wirada.

Awi menarik bahu Wirada dan menyeretnya berdiri. "Udah, kita pergi. Makan di tempat lain aja."

"Mau ke mana? Urusan kita belum selesai. Lu dorong gue trus mau pergi gitu aja?" cegat Frans. Kesempatan baik buat nangkap para preman, pikirnya.

"Yakin? Lu udah gue dorong nggak kapok? Mau dilempar?" gertak Awi.

Ia mencekik leher Frans dan mengangkatnya ke atas. Namun, sebelum pria gemuk itu berhasil melempar sang polisi, Frans menekuk kedua kakinya dan menendang perut Awi. Awi terjatuh. Frans menimpa dadanya yang empuk. Buru-buru ia bangun, setengah merinding. Belum sempat ia menyeimbangkan posisi berdirinya, Awi kembali menarik kaki Frans hingga polisi itu tersungkur lagi.

Sebagian besar pengunjung berhamburan keluar restoran, menyisakan satu meja yang dipenuhi sekelompok lelaki berpakaian kemeja lengan panjang dan celana kain. Seorang pelayan berusaha menelepon polisi, namun dicegah oleh salah satu lelaki dari meja tersebut. Beberapa lelaki lain yang juga berasal dari kelompok tersebut menggulung lengan kemeja mereka dan maju ke arena pertarungan untuk mengeroyok Frans. Samar-samar Wirada melihat tato macan hitam kecil di lengan salah satu lelaki. Ia menyengir, namun tetap tak mau terlibat dalam pertempuran. Ketika tak ada yang melihat, Wirada merapatkan dirinya ke dinding dan menyelinap ke arah pintu keluar.

"Kamu pikir kamu bisa kabur begitu aja, Dek?" cegat seorang lelaki yang berjaga di pintu keluar. Burhan. Polisi yang telah lama bergabung dalam Operasi Singa Putih itu melipat tangannya dan menatap Wirada tajam.

Lawan, Wir, lawan! batin sang preman muda.

Sementara beberapa rekan Burhan menolong Frans yang bersusah payah menangkis serangan para preman yang ingin membuatnya babak belur, Wirada mengepalkan tinjunya dan mengarahkannya ke rahang Burhan, yang ditangkap oleh sang Briptu dengan mudah. Tak menyerah, ia mengangkat lutut kanannya untuk menghantam perut Burhan.

Kena! pikirnya.

Namun kesuksesannya terlalu singkat. Burhan yang bertubuh lebih besar daripada Wirada segera membekuknya dan menjatuhkannya ke lantai, mengunci kedua tangan Wirada di punggung dan menahan tubuhnya dengan lututnya agar tak mampu bangkit berdiri. Tangan kirinya yang bebas mencari borgol untuk dipasangkan ke pergelangan tangan Wirada. 

Wirada tak mau menyerah. Sekuat tenaga ia melawan tekanan dari Burhan, berusaha memutar balikkan tubuhnya. Alih-alih mengangkat kepalanya, ia membiarkan dirinya tengkurap di lantai sambil mengerahkan kekuatannya ke punggungnya. Kakinya yang masih terbebas ia gunakan untuk mengecoh Burhan, menendang bokong sang polisi yang membungkuk di atas tubuhnya. Taktiknya berhasil. Pegangan Burhan mengendur. Wirada segera memutar badannya menjadi telentang dan menghantam dagu Burhan dengan sikunya. Sang polisi terjengkang. Wirada berguling dan merangkak menjauh sebelum Burhan berhasil menangkapnya lagi. Ia mendorong pintu Outback Steakhouse dan keluar dari restoran tersebut. Di tempat parkir arena Ratu Plaza, Wirada berhenti untuk mengatur napasnya yang terengah-engah.

"Heh! Jangan kabur!" Terdengar suara Frans yang ternyata telah lolos dari kepungan anggota Macan Hitam. Matanya bonyok sebelah dan bibirnya berdarah, namun ia tak berhenti mengejar Wirada.

Wirada berlari semakin cepat. Frans mengeluarkan senjata andalannya, pistol bius, dan menembak kaki Wirada. Kali ini tak mempan. Pemuda itu masih terus menjauh. Frans terkesiap. Ia menembak sekali lagi. Tetap tak mempan. Wirada merasakan sedikit sakit di betisnya, namun hanya seperti gigitan semut. Ia menoleh ke belakang dan menjulurkan lidahnya.

Asal tau aje, Bang Dur udah ngasih gue penangkal buat obat bius lu. Mana mempan, cibirnya dalam hati.

BUK! Wirada menabrak sesuatu. Atau lebih tepatnya seseorang. Matanya memandang kumis di wajah kecoklatan seorang Satpol PP. Mulutnya membentuk huruf O, dan kakinya siap berlari lagi, namun Satpol PP itu mencengkeram belakang kerah Wirada.

"Ini, nih, salah satu yang bikin ribut di Outback Steakhouse. Ya, kan?" geram Satpol PP itu dengan suara beratnya.

"Ampun, Bang! Bukan gue! Tapi orang itu!" ujar Wirada sambil menunjuk Frans yang berhenti beberapa meter di hadapannya.

Satpol PP itu tak hanya sendirian. Beberapa rekannya berdiri di belakangnya. Salah satu dari mereka maju dan menangkap Frans.

"Tunggu ..." ujar Frans dengan sisa-sisa napasnya, "... saya polisi." Ia meraba saku celananya untuk mencari lencananya, namun tak berhasil menemukannya.

"Kalian ikut dengan kami," tegas Satpol PP yang menangkap Wirada, tanpa ampun.

.

.

.

-- Polda Metro Jaya, Sudirman, 13:00 WIB

Dengan susah payah Frans membujuk para Satpol PP itu untuk membawanya ke kantor Polda Metro Jaya alih-alih kantor Satpol PP Jaksel di Kebayoran Baru. Untunglah mereka bersedia. Selain karena jaraknya lebih dekat dengan Outback Steak, para Satpol PP itu juga berpikir bahwa mereka tetap saja tak dapat melarikan diri jika dibawa ke kantor Polda. Apalagi Polda memiliki wewenang yang lebih tinggi. Mereka menggiring Wirada dan Frans ke kantor Reskrimum dan menyerahkan mereka kepada polisi yang sedang bertugas. Kemudian mereka pun berlalu.

Frans menarik napas lega. "Mbak Binar, tolong awasi dia, dong. Saya mau ke klinik," pintanya kepada polisi yang menjemput mereka, sambil menunjukkan wajahnya yang lebam dan memar.

"Eh, kamu siapa? Mana lencanamu?" ledek Binar.

Frans mendengus. "Nggak lucu tahu," gerutunya.

Binar tertawa. "Udah, sana pergi. Saya awasi dia. Eh, kalau nggak salah, dia informannya Mas Bagus, kan? Saya bawa ke dalam saja."

"Jangan!" seru Wirada. "Gue nggak mau ketemu sama Mas Jelek lagi. Plis." Ia memasang wajah memelas dan mengatupkan kedua tangannya di atas dadanya.

Tawa Frans dan Binar pun menyembur.

"Udah, saya nggak mau tahu, pokoknya saya bawa kamu ke penanggung jawabmu," ujar Binar kepada Wirada. "Angga, anterin si Frans, nih, ke klinik. Kasihan dia sampe bonyok gitu."

"Baik, Mbak," ujar polisi muda yang bernama Angga.

Sementara itu Binar mengantar Wirada ke meja Bagus. Dalam perjalanan, Wirada melirik ke arah polwan yang lebih tua daripada Frans, namun kelihatannya lebih muda daripada Bagus. Seperti biasa, ia menggoda setiap perempuan asal terlihat cantik sedikit.

"Mbak, jangan galak-galak, Mbak. Ntar cantiknya ilang," rayu Wirada.

"Kamu jangan ngomong sembarangan, ya. Nanti saya sumpal mulutnya pake botol," tegur Binar.

"Kalau galak-galak ntar cowok pada kabur semua, loh." Wirada masih tak jera.

"Cowok preman macam kamu, saya juga nggak mau," ujar Binar tenang sambil mengibaskan tangannya di hadapan Wirada. Sebuah cincin melingkar di jari manisnya.

"Ada apa ini?" Bagus beranjak dari tempat duduknya. Ia mendengar sedikit percakapan antara Wirada dan Binar. Ia mengernyitkan alisnya melihat Wirada. "Kok, kamu ada di sini lagi?"

"Dibawa sama Mbak Galak ini. Padahal gue udah bilang nggak usah," sahut Wirada.

Bagus menghembuskan napasnya. Ia telah mendengar dari bawahannya mengenai kericuhan yang terjadi di Outback Steakhouse. Sambil merapatkan bibirnya, ia memandangi Wirada yang terluka dan memutuskan untuk mengirimnya ke klinik.

"Makasih, ya, Binar. Maaf kamu harus mendengar ejekan-ejekan seperti itu," ujar Bagus sebelum membubarkan bawahannya.

Binar hanya mengangkat bahunya, lalu pergi.

Dalam perjalanan menuju klinik, Bagus menegur Wirada, "Kamu nggak boleh ngatain orang begitu, apalagi perempuan. Kalau saya dengar sekali lagi, saya ..."

"Mau diapain?"

"Entah, belum kepikiran. Mungkin saya suruh dia ngatain kamu balik," jawab Bagus sambil menyengir.

Di depan klinik, mereka berpapasan dengan Frans dengan beberapa plester dan perban di wajahnya. Bagus mengisyaratkan agar Frans jangan beranjak dulu, namun berbicara sebentar dengannya. Wirada masuk ke dalam klinik sehingga tak dapat mendengar percakapan mereka.

"Gimana lukamu?" tanya Bagus.

Frans menggeleng. "Ini, sih, nggak seberapa, Mas. Tapi makan atinya itu!" Kemudian ia menyadari ucapannya dan menambahkan, "Saya masih sanggup bertahan, kok. Ini belum seminggu. Beri saya sedikit waktu lagi."

"Baiklah. Kamu juga jangan terlalu pesimis, Frans. Saya sudah mengumpulkan data dari anak-anak IT yang merekam pergerakan Wirada. Selama beberapa hari ini, dia nggak keluar dari motel itu."

"Dan saya dan teman-teman melihat beberapa personel baru yang berdatangan ke sana."

"Berarti mereka nggak menurunkan dia ke jalanan lagi. Mungkin karena dia baru ditangkap, atau mereka sedang mempersiapkan misi baru untuknya. Untuk sementara ini, sebaiknya kamu nggak usah mendatanginya dulu. Mereka pasti marah karena kita baru saja menangkap anggota-anggotanya di Outback Steakhouse tadi. Lebih baik kamu ikuti dia dari jauh."

Frans mengangguk. "Apa yang membuat Mas Bagus yakin kalau Wirada masih bisa kita manfaatkan? Gimana kalau dia lebih buruk daripada yang kita kira? Kalau sampai akhir saya nggak bisa mengorek info apapun dari dia?"

"Sebelum saya menerjunkan kamu ke misi ini, saya sudah menganalisis rekam jejaknya. Ditambah dengan interogasi kemarin, saya cukup yakin bahwa dia belum 'serusak' itu. Tapi kalau saya ternyata salah, ya sudah kita pakai cara interogasi yang biasa."

"Serum kebenaran? Kenapa kita nggak pakai itu aja sekarang?"

Bagus tertawa. "Kamu mau mengorek info dari sumber yang kosong?"

Mulut Frans membentuk huruf O. "Saya ngerti sekarang, Mas. Biarkan Wirada menggali info dari gengnya. Kalau dia udah tahu cukup banyak, saya bisa pancing info itu dari dia atau kita pakai serum kebenaran."

"Tepat sekali."

Frans menghembuskan napas melalui mulutnya. "Jadi detektif susah juga, Mas. Saya belum sesabar itu."

"Jadi detektif memang ada seninya. Tapi seru, kan?"

"Kalau saya, sih, lebih suka labrak aja kaya buldozer daripada bermain cantik dan adu otak seperti ini."

Bagus hanya tersenyum. Sebelum ia menanggapi ucapan Frans, Wirada telah keluar dari klinik. Frans dan Bagus terpaksa diam.

"Gimana, Wir?" tanya Bagus.

"Lecet doang. Udah, nggak usah sok-sok perhatiin gue gitu, Mas Jel ... eh, Mas Bagus."

"Kalau gue dipanggil 'Bang Pret' enak aja. Giliran Mas Bagus, lu nggak berani. Payah," gerutu Frans. "Padahal Mas Bagus lebih sabar dari gue, dikatain juga nggak bakal marah."

"Ya, nggak gitu juga kali," protes Bagus. "Udah, kalian pulang dan istirahatlah. Frans, mau saya anterin atau pulang sendiri?"

"Saya pulang sendiri aja, Mas," jawab Frans.

"Gue nggak ditawarin?" ujar Wirada.

"Ketemu saya aja nggak mau, sekarang minta dianterin? Udah bagus kamu nggak saya tahan lagi. Kamu boleh pergi, terserah mau ke mana," sahut Bagus sambil mengibaskan tangannya.

"Gitu doang?" Wirada tak percaya.

"Iya, gitu doang," kata Bagus.

.

.

.

-- Jatinegara, Jakarta Timur, 14:30 WIB

Setelah menumpangi ojek, angkot, dan bus Transjakarta, Wirada kembali ke markasnya. Namun keadaan di sana tak lebih baik daripada di luar. Duren sedang marah besar. Dan kebiasaannya saat murka adalah membanting-banting barang. Lobby sudah seperti kapal pecah. Serpihan-serpihan benda berserakan di lantai.

"Kenapa, sih?" bisik Wirada kepada Aren yang bersandar ke dinding sambil melipat tangan, menonton amarah kekasihnya.

"Eh, Wira-wiri! Lu, kok, bisa balik?" Aren malah balik bertanya dengan tampang terkejut.

"Emang kenapa? Yang lain nggak balik?"

Aren menggeleng. "Bang Dur ngamuk gara-gara belasan anggota kita ditangkap polisi. Ya iyalah. Di Outback Steakhouse bikin ribut. Eh, lu kan pergi sama Bang Awi tadi? Kok lu lolos, dia enggak?"

Wirada melotot. "Bang Awi ditangkep?" 

.

.

Bersambung.

24 Maret 2018

Ga tau rank berapa, lagi uninstall app WP. 800-an gitu.

2000-- kata (soalnya ada catatan penulis hehe)

.

.

Mereka gak jadi makan steak, jadi aku kasih gambarnya aja ya.

Gambar diambil dari Google. Penulisnya belum pernah makan Outback Steakhouse soalnya. (Tapi makan steak sih udah pernah kok) XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top