Bab 5: Hierarki
-- Jatinegara, 10:30 WIB
"Wir! Gue punya pengumuman buat lu."
Duren mencabut rokok dari antara bibirnya dengan kedua jarinya dan melemparnya ke lantai, lalu menginjaknya dengan ujung sepatunya. Lengan kanannya merangkul Wirada, ia mengajak pemuda itu berjalan ke arah tangga. Sementara itu, salah satu pengikutnya mengambil puntung rokok dari lantai dan membuangnya ke tempat sampah.
"Pengumuman apa, Bang?" tanya Wirada.
"Gue mutusin, lu akan naik pangkat."
Wirada mengernyitkan alisnya. Naik pangkat? Otaknya mulai berputar. Seingatnya, beberapa rekannya yang lebih senior daripada dirinya memang menghilang dari markas. Dulu ia menduga, mereka dimutasi ke tempat lain. Namun mungkin saja mereka "naik pangkat".
Duren tertawa melihat keheranan anak buahnya. "Kemari, Njing," ucapnya kepada Wirada. Ia mengisyaratkan kepada dua pengikutnya agar berhenti mengiringi mereka.
Di belakang sang kepala preman, Wirada menapaki anak tangga satu persatu yang membawa mereka ke lantai dua motel itu. Jika lantai satu berisi aula tempat berkumpul, bar, serta ruangan penyimpanan berbagai perlengkapan, mulai dari pakaian hingga senjata, maka lantai dua ke atas berisi puluhan kamar tidur. Gedung ini hanya mencapai lantai enam. Di lantai tiga terdapat ruang duduk khusus Duren dan beberapa orang kepercayaannya. Wirada pernah menjelajahi seluruh gedung ini. Karena itu ia merasa heran ketika Duren membawanya ke dalam ruangan di ujung lorong lantai dua, yang diketahuinya sebagai gudang penyimpanan barang-barang elektronik yang telah rusak. Walupun demikian, ia ikut masuk ke dalam ruangan tersebut tanpa bertanya lebih jauh.
Duren mendorong lemari es abu-abu usang yang berdiri membelakangi dinding, menunjukkan pintu besi yang berukuran tiga perempat pintu gudang. Tangannya mengeluarkan sekumpulan kunci dari saku celananya dan mengambil salah satu anak kunci, lalu memasukkan kunci itu ke dalam lubangnya. Bukan hanya itu, Duren juga menekan kode rahasia di keypad dekat gagang pintu. Barulah ia memutar gagang pintu dan membukanya.
Pintu terbuka mengungkapkan tangga yang menuju ke ruangan bawah tanah. Mata Wirada terbelalak, dan rahangnya terbuka. Ia menarik napas dalam-dalam. Benar, ternyata ia belum tahu banyak hal mengenai Macam Hitam.
"Jangan melongo, ntar lalat masuk," ledek Duren sambil menyengir. "Biasa aja kali, Wir. Bukan sesuatu yang wow gitu."
"Bang Dur!" seru Wirada sok dramatis. "Gue udah di sini belasan tahun, tapi gue nggak pernah tahu tempat ini. Kenapa lu nggak ngasih tahu gue? Gue kira lu percaya sama gue." Ia mengerucutkan bibirnya.
Duren melingkarkan lengannya ke bahu Wirada yang lebih pendek darinya. "Sabar, Nyet, semua ada waktunya. Bukan cuma lu, kok, yang nggak tahu tempat ini. Hampir semua orang yang tinggal di motel ini juga nggak tahu."
"Trus, kenapa lu tahu? Aren tahu nggak?"
"Bocah bangke!" ujar Duren sambil menjitak kepala Wirada. "Ini baru mau gue jelasin."
Duren menyalakan lampu ruang bawah tanah sehingga mata Wirada dapat mendeteksi berbagai macam alat elektronik yang menghuni ruangan tersebut. Meja panjang dengan tiga buah monitor, dua horizontal dan satu vertikal. Proyektor dan dinding kosong berwarna putih sebagai layarnya. Di sudut ruangan, beberapa buah server berbaris dengan lampu berkedip, menandakan bahwa server-server itu berfungsi.
Duren menekan tombol lain sehingga proyektor menayangkan sebuah gambar di dinding. Logo yang sangat dikenal Wirada -- macan hitam -- penanda keanggotaan geng mereka. Duren mengklik laser pointer di tangan kanannya sehingga gambar tersebut berganti menjadi slide presentasi.
"Duduk, Wir," perintah Duren sambil menarik kursi beroda menjauh dari meja komputer. "Sekarang waktunya kuliah singkat dari Profesor Duren."
Wirada duduk sambil mendengus, setengah tertawa. "Profesor jidat lu," gumamnya dengan suara kecil, kalau-kalau Duren mendengarnya.
Untunglah sang kepala preman terlalu sibuk memerhatikan slide presentasinya untuk mendengarkan celetukan kecil Wirada. Matanya menatap ke dinding selama beberapa detik, memikirkan ucapan yang tepat untuk memulai penjelasan.
"Sebelumnya, gue ngasih tahu alasan kenaikan pangkat lu. Jangan gede kepala, ya," peringat Duren yang tampaknya sedang dalam suasana hati yang baik. "Alesan pertama, lu anak buah yang paling bisa gue andalin. Lu udah berjasa banyak nafkahin anggota-anggota kita. Lihat aja, sekalinya lu nggak kerja, harus digantiin lima anak buah lainnya. Kedua, gue lihat anak buah lainnya males-malesan dan cuma ngandalin lu aja. Dalam Macan Hitam, nggak boleh ada satu orang yang terlalu jago. Gue mau ngelatih anak buah lain supaya bisa sejago lu. Terakhir, yang paling penting, lu barusan ditangkep polisi. Gue nggak mau muka lu kelihatan mereka lagi. Nah, semakin tinggi level hierarki lu, semakin susah dideteksi sama polisi. Level preman itu yang paling rendah dan sering nongol di jalanan. Kalau dalam permainan catur, mereka itu umpamanya pion."
Duren mengganti slide ke halaman berikutnya yang menampilkan sebuah piramida dengan lima tulisan di antara garis-garisnya. Paling bawah bertuliskan "PREMAN". Di atasnya, "PASUKAN BIASA", "PASUKAN KHUSUS", "MENTERI", "DEWAN KETUA", dan yang paling atas "RAJA".
"Preman," ujar Duren sambil menunjukkan foto-foto anggota level Macan Hitam paling bawah tersebut. "Sekarang lu masih termasuk anggota preman. Kerjanya, lu tahu sendiri. Nyopet, ngamen, ngemis, bikin rusuh, dan semua yang lu temuin di sini. Beberapa preman yang lebih senior sebenarnya gue tugasin jadi mata-mata. Ada yang kerjanya jadi tukang ojek, penjual gorengan, pedagang asongan, tapi mereka terus mantau daerah mereka dan ngumpulin informasi ke gue. Jadi biarpun mereka level bawah, mereka tetap sangat berguna."
"Lanjuuuut." Wirada mengubah posisi duduknya menjadi condong ke depan. Ia tak begitu tertarik pada penjelasan mengenai preman, namun pembahasan selanjutnya pasti lebih menarik.
Pasukan biasa adalah level kedua dari Macan Hitam. Mereka menguasai ilmu bela diri tingkat dasar dan mampu menggunakan senjata tajam dan pistol kecil. Tak seperti para preman yang berkeliaran setiap hari, pasukan biasa tak sering muncul. Mereka hanya bertugas jika diperlukan. Umumnya keluar pada malam hari dengan pakaian serba hitam bagaikan ninja. Wirada baru menyadari bahwa di antara penghuni motel di sini, ada beberapa orang yang termasuk golongan level dua. Mereka jarang keluar bangunan dan tak pernah ditugasi mencuri, mengamen, atau mengemis. Namun kadang-kadang mereka pulang membawa tawanan baru, biasanya remaja perempuan atau anak-anak. Remaja-remaja perempuan ini biasanya dijual ke tempat prostitusi -- sebagian disimpan sendiri untuk kesenangan anggota Macam Hitam. Jika ada yang hamil lalu melahirkan, bayi mereka akan dimanfaatkan untuk mengemis, seperti yang dilakukan Aren tadi pagi.
Level tiga, yakni pasukan khusus, tidak ditempatkan di Jatinegara. Mereka ditempatkan di Kota Tua atau Tanjung Priok dan biasanya mengawal petinggi-petinggi Macan Hitam. Kemampuan pasukan khusus tak dapat diragukan lagi. Selain menguasai ilmu bela diri yang tinggi, mereka piawai menggunakan senjata api, obat bius, racun, hingga granat. Sebagian dari mereka juga memahami teknologi dan dapat meretas jaringan-jaringan yang tidak aman. Duren sendiri mengakui, ia jarang bertemu mereka. Anggota level tiga tidak memulai dari level satu. Mereka tidak direkrut dari orang sembarangan, namun dibina sejak kecil dari dalam. Hanya ada segelintir kasus di mana seseorang mulai dari level satu dan mencapai level tiga.
Level empat, menteri, hanya berjumlah sepuluh orang. Mereka adalah kaki tangan dan orang kepercayaan para dewan ketua. Para menteri bertugas mengurusi segala tetek-bengek Macan Hitam dan memiliki wewenang yang cukup tinggi, meskipun mereka tetap harus patuh pada para dewan ketua. Seperti anggota level tiga, para menteri tidak terlihat di dunia luar. Beberapa dari mereka bekerja penuh waktu di Macan Hitam. Sisanya tampak seperti warga biasa, berkeluarga dan memiliki pekerjaan, namun sebenarnya anggota Macan Hitam. Duren tak memberitahu Wirada siapa saja anggota level empat. Yang pasti, salah satu anggota level empat, Ruslan Widayanto, baru saja ditangkap polisi dua bulan lalu. Sekarang Macan Hitam sedang mempersiapkan penggantinya.
Level lima, dewan ketua, hanya berjumlah enam orang. Masing-masing ditempatkan di posisi strategis yang bervariasi, mencakup pemerintahan, bisnis, TNI/Polri, tokoh masyarakat, ilmu pengetahuan, serta media dan teknologi. Lagi-lagi, Duren memberitahukan kepada Wirada bahwa tiga orang dewan ketua mereka baru saja ditumbangkan pahlawan jalanan serba hitam dua bulan lalu. Namun media menyebarkannya sebagai kasus lain.
"Sujatmo Laksono. Anggota Komisi V DPR. Ditangkap akibat menerima suap dari pebisnis terkait proyek pembangunan MRT. Sebenarnya itu adalah sandiwara. Keduanya adalah anggota kami. Lalu Arifin Saputro. Mantan Wakapolda Metro Jaya. Ditahan karena skandal perebutan kekuasaan dengan Kapolda saat itu, Rahardjo Prijanto. Dia juga salah satu dewan ketua Macan Hitam. Dan lu mungkin tahu tentang Krisanto Purnomo. Pebisnis yang ketahuan menyuap Sujatmo dan menyabotase proyek MRT dari tangan Surya Jati. Dia tewas dalam kecelakaan helikopter saat berusaha melarikan diri ke Singapura. Tapi bukan itu yang sebenarnya terjadi. Dia dan anak buahnya kalah dalam pertempuran melawan vigilante yang bernama Senja, dan timnya yang ternyata dibeking pasukan khusus negeri antah-berantah."
Wirada mengepalkan tangannya. "Gile, Bang! Tiga tumbang sekaligus? Gimane ceritanye?"
Duren menggelengkan kepalanya. "Itu bukan cerita yang mau gue inget sekarang. Mungkin suatu hari nanti, gue bisa cerita ke elu. Balik ke penjelasan."
Tidak sembarang anggota dapat ditunjuk menjadi anggota level empat maupun lima. Mereka haruslah berasal dari keluarga yang mengabdi pada Macan Hitam selama beberapa generasi. Mereka diwajibkan berotak cerdas dan berstamina kuat, dituntut menempuh pendidikan tinggi -- minimal sarjana -- dan menguasai ilmu bela diri yang mumpuni.
Selanjutnya, lokasi markas-markas Macan Hitam. Selain di Jatinegara, Kota Tua, dan Tanjung Priok, Macan Hitam memiliki markas di beberapa titik strategis di Jakarta.
"Tunggu!" sela Wirada lagi. "Lu belum cerita tentang 'RAJA'?"
Duren menghela napas. "Dia pemimpin dari seluruh Macan Hitam. Bahkan lebih tinggi dari dewan ketua. Sayangnya, dia sangat misterius. Bahkan gue nggak tahu siapa orangnya. Hanya tahu bahwa dia ada."
.
.
.
-- Menara Burj Al-Arab, Dubai, 13:00 GST (Gulf Standard Time) / 16:00 WIB
Lelaki muda tampan yang baru saja mengunjungi klub malam di Barcelona kini menjejakkan kakinya di atas karpet merah dan keemasan di lobby Burj Al-Arab, hotel paling populer di Dubai, Uni Emirat Arab. Matanya menyapu pilar keemasan yang menyerupai pin boling, air mancur bertingkat, serta akuarium raksasa di sebelah meja resepsionis.
"Tuan Aryadewa Wishnu Adipramana, ayah Anda menunggu di restoran Al Mahara," sapa seorang pegawai hotel lelaki sambil membungkuk hormat kepadanya.
"Terima kasih. Langsung bawakan koperku ke kamarku," ujar Wishnu, demikian panggilannya, sambil memberikan isyarat kepada anak buahnya yang berdiri di belakangnya, membawakan koper tuannya.
Sang pegawai hotel mengambil alih koper Wishnu dari tangan anak buahnya dan langsung menuju kamar yang telah dipersiapkan untuk tuan muda tersebut. Sementara itu, Wishnu dan anak buahnya bergegas ke restoran Al Mahara yang menyediakan pemandangan ala bawah laut karena dikelilingi akuarium raksasa yang berisi ikan air laut dan terumbu karang.
Di salah satu kursi merah yang bersanding dengan meja bertaplak putih, seorang lelaki berusia paruh baya dengan rambut abu-abu dan kumis yang masih hitam pekat duduk menunggunya. Dua gelas berisi sampanye terhidang di hadapannya. Wishnu mempercepat langkahnya mendatangi lelaki tersebut dan memberi salam kepadanya.
"Ayahanda," ujarnya.
"Ah, Wishnu. Ayah harap Ayah tidak mengganggu kesenanganmu di Barcelona," sahut lelaki tua itu sambil tersenyum kecil.
"Your wish is my command." Wishnu membalas senyuman ayahnya. "Sekarang apa yang Ayah inginkan dariku?"
"Ayah ingin kamu mengambil alih posisi Ayah."
Wishnu menatap ayahnya dalam-dalam. Rahangnya sedikit terbuka. "Ayah ingin aku jadi ..." ia menurunkan suaranya, "... ketua Macan Hitam?"
Sang ayah menarik napas sejenak sebelum menjawab. "Ayah ingin lepas tangan, Nak. Politik, bisnis, dan segala tetek-bengek Indonesia sudah tak menarik lagi bagi Ayah. Diperlukan seseorang yang muda, yang bersemangat, untuk meneruskan tradisi Macan Hitam yang menyebarkan cakarnya di segala aspek. Apalagi baru saja tiga orang dewan ketua tumbang."
"Oh, aku dengar itu," potong Wishnu. "Siapa sebenarnya perempuan yang berlagak jadi pahlawan jalanan itu? Kenapa dia bisa begitu kuat?"
Ayah Wishnu mengibaskan tangannya. "Tiara Suryajati, putri Surya Jati yang sekarang mendekam di penjara. Tapi bukan Surya bekingnya, melainkan Penumbra. Kita gagal menyadari bahwa Alfred Darmadi, orang kepercayaan Surya Jati, ternyata seorang agen Penumbra. Tiara hanyalah salah satu pion Penumbra."
"Penumbra has always been a pain in our ass," gerutu Wishnu. "Kenapa nggak dari dulu kita hadapi saja, Yah?"
"Dari dulu Macan Hitam selalu bermain cantik," ujar ayahnya. "Kejadian Krisanto dan Arifin kemarin sebenarnya memalukan. Kita nggak mau publik mengetahui keberadaan kita. Kita tetap harus berada di belakang layar. Sebenarnya agak sulit sekarang karena presiden saat ini bukanlah pion kita. Makanya kita harus menunggu pemilu dua tahun lagi untuk memasang boneka kita di kursi RI satu."
Wishnu mengangguk.
"Ayah pikir, kamu sudah cukup matang untuk mengambil alih jabatan Ayah. Macan Hitam perlu regenerasi. Ganti tiga dewan ketua yang tumbang dengan orang-orang yang lebih dinamis dan kompeten."
"Bagaimana dengan Stevan, anak Krisanto Purnomo?" tanya Wishnu.
"Dia nggak mau berurusan dengan Macan Hitam. Krisanto sebenarnya menyiapkan Raymond, anak gelapnya, untuk menjadi penggantinya. Sayang bocah bodoh itu tewas di rumahnya sendiri."
"Sekali Macan Hitam, selamanya Macan Hitam," gumam Wishnu. "Aku nggak akan memaksa Stevan untuk menjadi dewan ketua selanjutnya. Tapi aku akan coba lihat apa yang bisa kulakukan untuk membujuknya. Dari pengamatanku, sepertinya ia punya dendam dengan Tiara Suryajati."
"Jangan lupa, kamu harus mengisi kekosongan di bagian TNI/Polri dan pemerintahan juga."
"Percayakan saja padaku, Ayahanda," ujar Wishnu dengan yakin.
.
.
.
-- Jatinegara, Jakarta Timur, 11:00 WIB
Beberapa hari berlalu sebelum Wirada kembali bertemu dengan Frans. Bayangannya soal liburan ternyata pupus. Kini ia menghabiskan waktunya berlatih ilmu bela diri bersama Duren dan Awi. Ia tak menyangka bahwa lelaki gemuk itu ternyata mantan anggota level dua yang diturunkan kembali ke level satu karena permintaannya sendiri. Awi lebih memilih mengawasi junior-juniornya di level satu daripada ditugaskan sebagai pasukan. Atasannya, yakni sang ketua level dua, mengizinkannya karena tak ada gunanya memiliki anak buah bertubuh tambun.
"Jadi dulunya lu juga anggota level dua, ye, Bang?" tanya Wirada sambil membenturkan kepalannya ke telapak tangan Awi yang dibalut sarung tangan tinju.
"Iye, kan, udah gue bilangin. Udah lama, sih. Capek, makanya gue minta diturunin lagi," sahut Awi. "Lebih keras, Pret. Ini, sih, kaya ndusel-ndusel manjanya si Kana aje."
Wirada mengerahkan seluruh tenaganya dan memukul tangan Awi dengan keras hingga lelaki gemuk itu terdorong ke belakang. "Rasain lu! Dasar omes, pikirannya nganu mulu."
"Bilang aja lu iri gara-gara belum pernah," balas Awi sambil menjulurkan lidahnya.
"Gue nyari yang berkelas," kilah Wirada.
"Yang berkelas nggak mau sama elu," ejek Awi. "Tuh, mending coba aja sama salah satu cewek di sini. Kan masih muda-muda dan seger-seger juga."
Wirada meninju rahang Awi. "Bilang sekali lagi! Gue yakin gue bisa dapetin cewek yang gue mau. Bukan cewek-cewek bekasan yang ada di sini."
Awi mengusap dagunya yang berlipat. "Coba, gue tantang lu. Kalau lu bisa nidurin cewek yang lu suka, gue kasih seratus ribu rupiah."
"Apaan segitu, mah. Gue minta motor lu."
"Trus gue ngojek pake apa?"
"Bodo amat," ujar Wirada.
"Woy, brenti!" Suara Duren yang tiba-tiba masuk ke dalam ruangan mengejutkan mereka. "Bang Awi, gimane si Wira-wiri?"
Awi mencebik. "Kagak kuat, dianye. Terlalu kurus. Kayanya perlu gedein badan dulu sebelum jadi anggota level dua."
Duren mengamati Wirada dari kepala sampai kaki. "Hm, bener juga, lu, Bang Awi. Dulu kan Wira-wiri harus kurus biar lincah dan gesit. Sekarang dia udah bukan copet lagi. Bubar dulu, dah, kalian, makan siang sana. Bang Awi, temenin Wirada makan siang. Kasih daging yang banyak. Jangan dimakan sendiri, ye."
Wirada tertawa sementara Awi mendengus. Walaupun demikian, mereka berdua tak membantah Duren dan berjalan keluar dari motel. Tak jauh di seberang jalan, di bawah pohon yang tak seberapa rindang, Frans duduk di atas motor usangnya sambil memegang helmnya. Wirada menangkap matanya dengan terkejut, lalu melirik ke arah Awi dengan cemas. Frans mengisyaratkan kepada Wirada untuk mendatanginya.
Bodo amat! Cuekin aja si polisi gila itu. Udah enak-enak hidup gue naik pangkat, malah didatengin lagi. Kaya ngapelin orang pacaran aja. Najis! pikir Wirada sambil membuang muka.
"Bang, mau makan di mana?" tanya Wirada.
"Kata si Duren suruh makan daging. Steik mau?" Awi balik bertanya.
"Mau!" sorak Wirada. "Udah berapa abad gue nggak makan steik. Eh, tapi harus ganti baju, nggak? Nanti kita diusir?"
"Bener juga! Ya udah, yuk, ganti baju dulu," ujar Awi sambil berbalik kembali ke motel.
Wirada ikut memutar badan. Ia mengabaikan Frans yang masih berusaha menarik perhatiannya. Mau berjoget poco-poco sampai belasan jam pun takkan ia hiraukan.
Frans mendengus. Kesabarannya sudah mencapai ambang batas. Sesantai-santainya dan sekonyol-konyolnya dia, dia masih memiliki wibawa. Enak saja ia harus menarik perhatian bocah preman tengil hanya untuk menggali informasi darinya. Sebaiknya harus diapakan? Setelah beberapa saat berpikir, akhirnya Frans memutuskan untuk menyambangi Wirada di restoran tempat mereka santap siang saja. Toh, ia cukup menghubungi markasnya untuk mengetahui posisi Wirada yang sudah dipasang nano tracker di dalam tubuhnya.
.
.
.
-- Outback Steakhouse, Sudirman, Jakarta Selatan, 12:00 WIB
"Epsilon-tiga-satu!" bisik Frans ke earpiece-nya sambil membolak-balik buku menu. Matanya hampir keluar membaca harga appetizer yang mencapai ratusan ribu rupiah.
"Kenapa, Kappa-lima-delapan?" tanya Bagus dari markas Polda Metro Jaya.
"Mereka makan di Outback Steakhouse. Outback! Saya bahkan nggak pernah ajak Milva kencan di sini."
Frans mendengar suara tawa atasannya. "Trus gimana?"
"Jangan ngetawain saya, Mas. Mentang-mentang ceweknya orang kaya."
"Saya juga nggak pernah makan di Outback Steakhouse." Bagus masih tertawa di seberang earpiece-nya.
"Pokoknya saya minta refund. Nggak mau bangkrut buat beginian."
"Iya, pastinya di-refund." Frans mendengar atasannya menghela napas. "Tapi lucu, sih, bisa-bisanya kamu dibawa ke Outback Steak."
"Siapa bilang preman miskin," gerutu Frans.
"Sudahlah, kamu nggak usah khawatir soal pengeluaran. Nanti kalau kamu kembali ke markas, saya titipkan kartu kredit buat kamu. Yang penting kamu menjalankan misimu dengan baik," Bagus menenangkan bawahannya.
"Oke, kalau begitu," sahut Frans. "Saya laporkan situasinya. Target-dua-sembilan bersama temannya, seorang lelaki dengan ciri-ciri K-lima, R-tujuh, T-medium, dan B-X-tiga." Ia menyebutkan penampilan Awi dalam bahasa sandi khusus yang berarti kulit sawo matang, rambut hitam, tinggi badan sedang, dan berat badan berlebih.
"Kemungkinan besar Junaedi alias Jayawikata alias Awi, salah satu anggota senior MH," sahut Bagus dari seberang. "Lalu apa rencanamu selanjutnya?"
***
Sementara itu, Wirada berusaha keras menahan agar air liurnya tak keluar saat memandangi gambar daging panggang berukuran besar di buku menu.
"Paling enak yang mana, sih, Bang?" tanyanya.
"Rib biasanya paling enak. Trus milihnya rare, biar masih empuk-empuk juicy gitu."
"Apa itu 'rer'? Apa itu 'jusi'?"
Awi terbahak. "Rare itu artinya dimasak nggak matang. Juicy, ya, duh, susah jelasinnya, pokoknya nggak kering gitu, deh. Kaya bibir cewek seksi kalau dicium."
Wirada hanya ber-oh ria sambil mengarahkan matanya kembali ke buku menu. Setelah beberapa saat membaca dan tak kunjung mengerti, ia menyerah.
"Udah, ikut Bang Awi aja gue."
Awi berbicara kepada pelayan wanita yang mengambil pesanan mereka. "Dua rib-eye steak, Mbak. Rare." Kemudian ia mengedipkan sebelah matanya sambil bersiul kecil kepada sang pelayan.
Baru saja pelayan itu berlalu, mereka dikejutkan dengan suara nyaring Frans yang menempatkan dirinya di sebelah Wirada. Polisi itu merangkul Wirada sok akrab.
"Eh, Wirada! Kebetulan ketemu di sini! Bareng, dong?" ujar Frans sambil menyengir ke arah Awi. Ia mengulurkan tangannya. "Edy, Bang."
Spontan Awi membalas salaman Frans, namun matanya melirik ke arah Wirada. "Lu kenal sama dia?"
Wirada hanya membuka mulutnya tanpa menjawab. Raut wajahnya menunjukkan campuran antara kesal dan terkejut. Yang pasti, ia tak mengharapkan bertemu Frans di sini dan tak ingin melihatnya lagi.
"Ah, lu masa lupa sama gue, sih? Minggu lalu kan kita ketemu di Rawamangun," desak Frans sambil menepuk bahu Wirada.
"Dia ..." ujar Wirada. "Dia kode tigabelas-A, Bang Awi."
Frans mengamati wajah gemuk Awi berubah sangar.
"Lu tahu, Bencong? Gue peringatin sekali aja. Pergi dari sini, atau lu nggak akan keluar dari restoran dengan selamat."
.
.
.
Bersambung.
(20 Maret 2018)
#852 Action
3000++ kata <-- tuh kan di atas 3k lagi -_-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top