Bab 38: Pusaka (Part 1)

Daripada gak apdet mulu, mending apdet sebagian deh :P Draft-nya udah ada dari minggu lalu, tapi lagi ilang mood nulis :( Ini nulis tanpa emosi, semoga gak aneh :P #digetokJimin

.

.

.

"Dulu ... saya dan Mas Bram sangat berbahagia."

Sang ratu mendesah, lalu menatap cucunya sejenak. Yang ditatap masih memerhatikan Shinta dengan saksama. Mata Wirada terbelalak dan mulutnya sedikit terbuka.

"Mas Bram -- mbah kakungmu, Wirada -- punya visi besar untuk bangsa ini. Ia takkan berhenti dan akan menggunakan segala cara sampai ia mewujudkannya. Ia percaya ia ditakdirkan untuk memimpin bangsa ini. Nusantara bersatu, itulah semboyannya.

"Ia tahu, untuk mencapai visinya, dibutuhkan sumber daya yang tidak sedikit. Uang dan tenaga sama pentingnya. Makanya ia minta pertolongan dari para jin dari dimensi Nirhayati. Namun itu semua ada bayarannya.

"Yang lebih parah lagi, ia meracuniku. Aku begitu terjerat dalam ilusi kebesaran visinya, sampai aku setuju untuk membantunya. Dan ia memegang ucapanku." Shinta menggelengkan kepalanya. "Ah, jika kuingat lagi, begitu bodohnya aku. Aku dibutakan oleh cintaku terhadap Mas Bram. Tapi semuanya sudah terlambat. Aku nggak bisa kembali ke masa lalu."

"Emangnya gimana cara Mbah bantu Mbah Kakung?" tanya Wirada.

***

Brahmantyo Adipramana adalah adik dari presiden ketiga Republik Indonesia. Di masa mudanya, yakni pada awal 1970-an, ketika presiden kedua masih memimpin tanah air, Brahmantyo merupakan salah satu anak buah kepercayaan orang nomor satu di negeri ini. Kontras dengan kakaknya yang lebih suka melayani presiden dengan cara menjabat sebagai menteri, Brahmantyo mengabdi sebagai anggota pasukan pengamanan presiden -- yang saat itu disebut Satgas Pomad Para (Satuan Tugas Polisi Militer Angkatan Darat).

Pada tahun 1973, Brahmantyo yang berusia 28 tahun menikahi Shinta Rachmiyanti yang berusia 23 tahun. Shinta adalah putri pertama seorang tentara berpangkat brigadir jenderal yang amat dekat dengan presiden. Setahun kemudian, mereka dikaruniai seorang putra. Kehidupan keluarga mereka tampak begitu bahagia. Brahmantyo yang cerdas dan bersemangat didampingi oleh Shinta yang ceria dan setia. Mereka menjadi panutan bagi anggota Satgas Pomad Para lainnya.

Sebagai istri pengawal presiden, Shinta sudah terbiasa ditinggal suaminya mengikuti perjalanan presiden. Setiap kali Brahmantyo pulang, Shinta selalu mendengarkan cerita tentang visi dan misi presiden untuk bangsa Indonesia ke depannya. Sang suami menuturkannya dengan berapi-api. Hingga pada suatu saat ia mengatakan kepada Shinta bahwa ia juga memiliki cita-cita menjadi presiden.

"Itu impian yang tinggi, Mas," ucap Shinta saat itu. "Tapi semua tergantung pada niat. Kalau niat Mas baik, semoga jalan Mas juga akan dimudahkan."

"Mudah-mudahan, Dek," sahut Brahmantyo dengan mata berapi-api. "Mas sudah menjadi pengawal selama hampir sepuluh tahun. Mas lihat sendiri dengan mata kepala Mas, bagaimana Indonesia semakin maju. Pembangunan begitu terasa. Daerah yang tadinya masih jalanan tanah merah, kini sudah diaspal. Kalau bangsa ini dapat dicerahkan lebih jauh lagi, pasti kita akan menjadi bangsa yang hebat."

Shinta menatap suaminya penuh cinta. "Kalau niat Mas memang sangat mulia, aku pasti akan mendukung Mas sepenuh hati." Ia mendekatkan dirinya kepada Brahmantyo, yang meraih tangan mungilnya lalu mengecupnya. Lalu mereka memandangi putra kecil mereka sedang tertidur dengan begitu damainya.

***

Trisno Adipramana baru berusia lima tahun ketika ibunya mulai jatuh sakit. Ia tak mengerti mengapa Shinta semakin jarang bertemu dengannya. Ia hanya tahu ibunya selalu berbaring di atas tempat tidur, di suatu bangunan yang ramai dan berbau aneh. Trisno pun dilarang melihat sang ibu berlama-lama, hanya diperbolehkan datang pada jam-jam tertentu saja. Dengan ayahnya yang semakin sibuk, bocah itu lebih banyak menghabiskan waktu dengan kakek, nenek, dan bibinya dari pihak ibu.

Shinta menderita leukimia di usia 29 tahun. Dokter memvonisnya langsung stadium empat. Aneh memang, karena Shinta tidak pernah merasa sakit sama sekali. Dari riwayat keluarga pun, tidak ada kerabat dekat yang menderita leukimia. Mendengar kabar tersebut, hati Shinta hancur berkeping-keping. Rasa takut, sedih, dan khawatir bercampur menjadi satu. Takut akan kematian, sedih karena harus berpisah dengan Brahmantyo dan Trisno, serta khawatir akan nasib suami dan anaknya setelah ia pergi nanti. Kemudian rasa nyeri itu menggerogoti kesadarannya. Setiap hari dijalani Shinta dengan sakit yang teramat sangat. Radiasi dari proses kemoterapi yang diikutinya merontokkan rambut indahnya.

Di tengah-tengah penderitaan Shinta, sang suami masih rutin mengunjunginya di sela-sela kesibukannya mengawal presiden. Brahmantyo mengatakan padanya bahwa presiden mengizinkannya cuti untuk merawat istri. Namun Shinta menolaknya mentah-mentah.

"Jangan, Mas! Aku nggak mau merepotkanmu. Mas tetap harus bekerja. Aku ... aku akan baik-baik saja di sini."

Brahmantyo terdiam sesaat dan menutup mulutnya. Ia berbalik badan, terlalu sedih dan terharu pada ucapan istrinya.

***

Setahun kemudian, kondisi Shinta semakin memburuk. Ia menghembuskan napas terakhirnya pada suatu siang yang cerah, hanya didampingi oleh adiknya yang menemaninya sejak seminggu terakhir usianya. Brahmantyo sedang bertugas ke luar kota, sedangkan Trisno -- yang sebentar lagi masuk SD -- sedang berada di rumah orangtua Shinta.

Di acara pemakaman Shinta, Trisno menangis dengan begitu derasnya, walaupun ia tak sepenuhnya memahami konsep kematian dan lebih terpengaruh dengan sekitarnya yang selalu menangis. Brahmantyo sangat murung, tetapi air matanya tak keluar. Ia hanya menggandeng Trisno dengan wajah sekeras batu.

Pada hari itu, hanya satu kalimat dari ayahnya yang diingat Trisno hingga dewasa.

"Jangan menangis. Kamu harus tegar. Kamu laki-laki, harus jadi pemberani."

***

"Ketika saya terbangun, saya menemukan diri saya dikelilingi petal bunga melati, di dalam sebuah peti kayu yang terapung di sungai di depan istana ini," tutur Shinta. "Langit berwarna kelabu. Sekumpulan lelaki dan perempuan, seperti pagar bagus dan pagar ayu, berdiri menyambut saya di tepi sungai. Mereka membantu saya keluar dari peti, lalu mengantar saya kepada seorang lelaki yang berpakaian paling mewah, bagaikan raja di tempat ini.

"Dia memanggil saya putrinya. Bagi saya, itu sangat aneh, karena saya tahu ayah saya bukan dia. Bapak masih hidup, bersama Ibu. Namun dia menyebutkan bahwa dialah ayah saya yang sebenarnya."

Wirada mengernyitkan keningnya. "Apa maksudnya, Mbah?"

"Jadi Bapak yang selama ini saya kenal, bukanlah ayah saya yang sebenarnya," desah Shinta. "Tapi cerita itu untuk lain kali. Intinya, karena saya keturunan jin, saya dibawa ke dimensi Nirhayati setelah meninggal."

Wirada bergidik, menyadari bahwa ia juga keturunan jin. Apakah itu berarti ia akan pergi ke dimensi Nirhayati setelah meninggal, seperti neneknya?

"Saya tahu apa yang kamu pikirkan, Wirada," sela Shinta.

"Pertanyaan itu untuk lain kali juga, Mbah?" tanya Wirada.

"Benar," sahut Shinta. "Sekarang saya akan lanjut menceritakan bagaimana kekuatan saya bisa jatuh ke tangan Wishnu."

***

Ternyata ayah Shinta -- kakek buyut Wirada -- merupakan seorang penguasa di salah satu daerah di Nirhayati. Ia menjelaskan kepada Shinta tentang tata cara kehidupan para jin di sana, sekaligus mengajarinya menggunakan kekuatan dari dimensi Nirhayati. Sebagai putri raja, Shinta mewarisi kekuatan yang sangat besar. Kekuatan itu dapat dihibahkan kepada siapapun yang ia inginkan, walaupun transaksi antara dua individu itu tidak gratis, alias harus ada bayarannya. Selain itu, ia juga mempelajari aturan antara dunia manusia dan dimensi Nirhayati. Para jin tidak boleh sembarangan mengunjungi dunia manusia. Sama halnya, manusia juga tidak dapat menembus dimensi Nirhayati, kecuali mereka yang telah memelajari ilmu gaib.

"Jin yang sembarangan berkelana ke dunia manusia adalah jin yang melanggar aturan," jelas ayahnya. "Jin terhormat seperti kita harus mengikuti aturan. Kita hanya boleh berkunjung ke dunia manusia jika ada alasan yang sangat kuat, misalnya memperingati mereka akan suatu mara bahaya yang sangat besar."

"Apakah mengunjungi suami dan putraku termasuk alasan yang sangat kuat?" tanya Shinta. "Ayahanda, saya merindukan mereka."

Sang raja menatap Shinta prihatin. "Putriku, seandainya kamu berkunjung ke dunia manusia pun, suamimu dan putramu tidak akan mampu melihatmu. Kamu tidak lagi memiliki tubuh fisik."

***

Namun, tanpa sepengetahuan ayahnya, Shinta mencari tahu cara mengunjungi dunia manusia. Ternyata ada sebuah portal yang menghubungkan dimensi Nirhayati dan dunia manusia, terletak di inti dimensi Nirhayati. Tempat itu dikunjungi Malika dan jin tua botak yang mengantarnya ke dunia manusia, berupa aula kosong yang dikelilingi dinding putih. Di sanalah Kenari menjemput Malika untuk kembali ke dimensi kehidupan. 

Walaupun demikian, Shinta tidak dapat melewati portal untuk mengunjungi dunia manusia. Ia sudah memelajari berbagai cara dari kitab-kitab kuno yang dibacanya di perpustakaan istana ayahnya, tetapi tidak berhasil. Hingga suatu saat, kedatangannya ke aula putih itu diperhatikan oleh jin penunggu di sana.

"Mengapa Anda sering sekali datang kemari, Nona?" tanya jin penunggu itu.

Shinta pun menjelaskan duduk perkaranya. Sambil mendengarkan cerita Shinta, jin penunggu itu menganggukkan kepalanya, kemudian memindai Shinta dengan matanya. Jiwa Shinta berpendar kelabu bagaikan asap.

"Nona sudah meninggal. Jiwa yang sudah meninggal tidak diperkenankan kembali ke dunia manusia, kecuali dua hal."

"Apa itu?"

"Pertama, ada yang tidak beres dengan kematiannya. Kedua, ia memiliki ilmu khusus yang memampukannya melakukan itu."

"Tapi saya separuh jin! Ayah saya adalah penguasa di daerah Lawang Pitu," protes Shinta.

Jin itu memindai Shinta sekali lagi. Kali ini, jiwanya memancarkan cahaya keemasan. "Nona benar. Namun aturan tetaplah aturan. Apakah Anda punya izin untuk berkunjung?"

Shinta mendesah. "Tidak."

Sebelum jin itu mengucapkan sepatah kata apapun, Shinta segera berbalik dan meninggalkan tempat itu.

***

Untuk beberapa saat, Shinta terpaksa menerima kenyataan bahwa ia tidak dapat menemui Brahmantyo dan Trisno lagi. Ia menghibur diri dengan berkeliling Lawang Pitu, daerah kekuasaan ayahnya. Sempat terpikir oleh benaknya, ia ingin memalsukan izin untuk berkunjung ke dunia manusia -- ia seorang putri, seharusnya ia dapat menyalahgunakan wewenangnya. Sambil menyusun rencana, ia mengembara sendirian ke sebuah bukit yang cukup jauh dari istana ayahnya.

"Tolong! Tolong aku!"

Suara erangan dari sungai membuyarkan lamunannya. Ia bergegas mendekati tepi sungai dan melihat jiwa seorang lelaki terperangkap di antara bebatuan di tengah sungai. Shinta terperanjat ketika memandang wajah lelaki itu.

Ia Brahmantyo.

"Mas Bram!" seru Shinta sambil melayang ke antara bebatuan, lalu menarik jiwa suaminya sekuat tenaga.

"Shinta! Kenapa kamu bisa ada di sini?"

"Ceritanya panjang. Seharusnya aku tanyakan balik pada Mas Bram, kenapa Mas bisa ada di sini?"

Bukannya menjawab, Brahmantyo malah menangis. "Shinta ... ini semua salahku."

"Apa maksudnya?"

Ternyata Brahmantyo memelajari ilmu gaib agar posisinya di sisi presiden tetap aman. Seperti semua ilmu sesat, ilmu gaib itu membutuhkan korban jiwa manusia. Selama ini, Brahmantyo mengorbankan tumbal jiwa dari orang-orang yang tidak ia sukai, misalnya saingannya atau orang yang dikenal jahat di daerah-daerah yang ia kunjungi. Sayangnya, semakin tinggi ilmu yang ia pelajari, semakin besar pula pengorbanan yang harus ia lakukan.

Hingga akhirnya Brahmantyo diwajibkan mengorbankan keluarganya sendiri. Tentu saja ia tidak mau mengorbankan Shinta. Ia berusaha mengakali perbuatannya dengan menjadikan sanak saudara jauhnya sebagai tumbal. Namun pengorbanannya tidak diterima. Ketika Shinta jatuh sakit, Brahmantyo kelabakan. Ia panik karena ilmu itu akhirnya berbalik menyerang keluarganya. Ia mencari solusi dari berbagai orang pintar yang ia temui di daerah-daerah, tetapi tidak berhasil. Shinta meninggal dunia setelah setahun menderita leukimia yang sangat menyakitkan.

Setelah mendengar cerita suaminya, Shinta terdiam. Ia tak tahu harus marah atau kasihan. Kesal dan sesal bercampur menjadi satu. Kesal karena ambisi suaminya mencelakai dirinya dan keluarganya. Namun ia juga menyesal tidak mengingatkan suaminya sebelum ambisi itu memakan dirinya.

"Terus Mas masih belum jawab, gimana Mas bisa kemari?" desak Shinta.

"Mas mencarimu, Shinta. Mas ingin menebus kesalahan Mas. Kalau bisa, Mas ingin menghidupkanmu kembali," sahut Brahmantyo.

"Mas sudah gila? Hentikan, atau nanti Trisno yang akan menjadi korban selanjutnya!" tegur Shinta. "Ambisi bisa dicapai tanpa harus menggunakan ilmu gaib. Kerja keras dan perilaku baik akan membawa Mas ke tempat yang Mas inginkan."

Brahmantyo tertawa pahit. "Kamu kira begitu, Dek? Sedikit saja Bapak Presiden nggak suka bawahannya, orang itu langsung dibuang. Aku nggak boleh sampai seperti mereka."

"Tapi ... tapi ..."

"Sudahlah, Shinta, yang penting Mas menemukanmu lagi," potong Brahmantyo sambil menarik Shinta ke dalam pelukannya. 

.

.

.

Bersambung.

14 Februari 2019

1800++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top