Bab 36: Nirhayati
Walaupun terkejut, untunglah Wirada masih sanggup menggunakan otaknya. Sebelum mencecar Malika dengan berbagai pertanyaan, ia mengutamakan keselamatan gadis itu. Tanpa mengatakan apapun, ia menggenggam tangan Malika dan menariknya menjauh dari lorong tempat sel di mana Trisno masih menyembuhkan Rani.
Melesat di dimensi Nirhayati tidak membutuhkan kaki yang menapak tanah. Wirada serasa melayang. Bahkan Malika terasa sangat ringan saat ia menariknya. Mereka menelusuri lorong-lorong gelap yang menyerupai labirin itu. Ketika Wirada melihat tikungan gelap yang tak diterangi cahaya kuning, ia malah berbelok ke sana. Di sudut lorong terdapat sebuah sel yang terbuka pintunya. Ia masuk ke dalam dan merapatkan diri ke dinding, tanpa menutup pintunya. Ia tak sebodoh itu mengambil risiko terkunci di dalam sel menyeramkan di dimensi Nirhayati.
"Mal, jelasin kenapa lu bisa ada di sini," tuntut Wirada. "Lu nggak tahu ini bahaya banget?"
Malika mengedikkan bahunya. "Gue nggak tahu. Tadi gue sempat lihat bayangan jiwa bokap lu di sebelah kasur lu. Terus makin lama penglihatan gue makin jelas. Gue melihatnya memindahkan jiwa lu ke tempat ini. Terus jiwa gue kayak ngikut gitu. Gue bahkan nggak tahu kenapa gue bisa ada di sini. Gue ngikutin lu karena gue nggak tahu apa-apa."
"Mungkin ini yang dibilang Mas Elang, lu udah terikat dengan cincin Paramarta dan dimensi Nirhayati," ujar Wirada sambil meremas rambutnya. Namun tangannya tidak dapat merasakan tekstur rambutnya. "Gue bego banget, sih! Nggak pake mikir, ngasal aja, pake cincin buat nyembuhin lu."
"Kalau lu nggak lakuin itu, mungkin gue udah mati," peringat Malika.
"Siapa tahu Penumbra bisa nyembuhin lu, tanpa harus pake ilmu gaib kayak gini," balas Wirada.
"Yang udah terjadi, nggak akan bisa balik lagi, Wir," tutur Malika. "Lagian kenapa lu anti banget gue masuk kemari? Lu aja udah bolak-balik tanpa masalah besar. Gue udah terlibat masalah ini, sekalian aja terlibat semuanya."
"Ya udah kalau lu mikir gitu, Mal," sahut Wirada. "Pokoknya sekarang kita cari jalan keluar dari dimensi ini. Harapan gue, Mas Elang atau Mbak Ken tahu kita ada di sini dan membawa kita keluar."
"Emang nggak bisa, ya, kita keluar sendiri dari sini, tanpa bantuan mereka?"
"Kata Mas Elang, kalau mau pindah dimensi harus punya ilmu yang udah tinggi dulu. Makanya dia nggak ngajarin gue dari sekarang, soalnya susah. Tapi nggak tahu juga, sih. Siapa tahu lu bisa, Mal. Soalnya lu bisa tiba-tiba masuk kemari tanpa dipindahin siapa-siapa."
"Hmm, kalau gitu gue coba ikutin insting gue, ya. Siapa tahu ada petunjuk," ujar Malika. "Lu jaga-jaga di sini, deh, biar gue mikir bentar."
"Oke," Wirada setuju.
Setelah bergeming selama beberapa detik, Malika teringat akan informasi yang pernah didengarnya. "Eh, Wir, Mbak Ken atau Mas Elang sempat bilang kalau ada tiga cincin, kan?"
"Iya, Amartya, Paramarta, dan Bhuwana."
"Yang lu pake buat sembuhin gue, yang mana? Apa itu ada di tangan lu?"
"Paramarta, Mal. Tapi nggak ada di gue. Masih ada di tangan Om Bangke. Gue cuma ambil kekuatannya aja lewat para jin yang gue temuin di Nirhayati. Gue malah ambil yang Amartya, tapi gue serahin ke Mas Elang."
"Ingat, nggak, Wir? Mas Elang bilang soal jin penguasa cincin dan para ajudannya," ujar Malika. "Berarti ketiga cincin itu saling berkaitan?"
"Bisa jadi gitu, Mal. Terus lu punya rencana apa?"
"Mungkin kita bisa tanya mereka soal jalan keluar? Gimana cara nemuin mereka?"
Wirada terdiam sejenak, berusaha mengingat pertemuannya dengan ketiga jin aneh yang membantunya. "Waktu itu Mbak Ken bilang soal mata batin. Tenangkan diri, lalu rasakan jiwa di sekitar gue." Ia menoleh ke arah Malika, lalu tiba-tiba matanya melebar. "Wah, Mal, gue ingat Mbak Ken dan Mas Elang bisa ngomong ke pikiran gue! Mungkin kalau gue coba, gue juga bisa."
"Itu namanya telepati, Wir. Coba aja," ujar Malika. "Gue juga akan coba, tapi gue nggak tahu gue bisa apa enggak. Gue kan bukan keturunan jin."
"Isshh!" gerutu Wirada. "Gue harap gue bukan keturunan jin."
"Kenapa? Keren, kok," cengir Malika.
"Karena ...." Wirada menarik napas dalam-dalam. "Gue makin nggak ada harapan sama lu kalau gue keturunan jin," lanjutnya dengan suara kecil. Ia menundukkan kepalanya.
"Wir ..." ujar Malika.
"Gue tahu, gue keterlaluan kalau ngarep lu bisa suka sama gue. Gue cuma preman, copet, bego, nggak pantes sama lu yang baik, cantik, pinter, alim pula. Tapi kalau gue berubah ...."
Sebuah senyum geli bercampur iba tersungging di wajah Malika. Ia mendekati Wirada. "Wir, soal itu, kita bahas nanti aja, ya. Sekarang fokus keluar dari sini dulu."
"Nggak usah," potong Wirada cepat. "Maksud gue nggak usah dibahas lagi, bukan nggak usah keluar dari sini." Ia meringis. "Lu pantes dapet yang lebih baik daripada gue, Mal. Lupain aja omongan gue. Bener kata lu, kita mikirin cara keluar dari sini aja."
Malika hanya mengangguk, sementara Wirada mempersiapkan dirinya untuk menggunakan mata batinnya. Pemuda itu memejamkan matanya dan mengatur napasnya. Ia memusatkan pikirannya untuk merasakan hal-hal di sekelilingnya. Jiwa Malika yang begitu lembut dan indah. Suasana gelap, suram, dan mencekam di penjara bawah tanah Nirhayati ini. Lalu pikirannya beralih ke ketiga jin yang pernah ditemuinya.
Tiba-tiba sosok jin yang menyerupai kakek botak itu muncul di hadapan Wirada. Malika pun dapat melihatnya -- ia spontan menutup mulut dengan kedua tangannya.
"Kamu memanggilku, Anak Kecil?" tanya jin itu dengan suara serak.
"Kakek!" seru Wirada, membuka matanya. "Eh, nggak apa-apa, kan, gue -- maksudnya saya -- manggil 'Kakek'?"
"Tidak masalah, asal jangan dipanggil 'Kakek Tua Botak'," sahut jin tua itu.
Wirada meringis. "Maaf, Kek. Saya cuma mau minta tolong ... keluarin kami dari sini, Kek."
Jin tua itu hanya menggelengkan kepalanya. "Kalian ini aneh-aneh saja. Dan kamu, Gadis Muda, kamu nggak pantas berada di sini."
"Saya ... nggak sengaja ikut masuk ke sini, Kakek," jelas Malika.
Jin itu menggerakkan telapak tangannya yang terbuka di depan wajah Malika. Seakan-akan ada tameng yang menghalanginya, ia tak bisa menyentuh kepala gadis itu. Tubuh Malika bercahaya putih terang, lalu meredup.
"Hmm ... kamu terikat dengan cincin Paramarta akibat ulah bocah itu." Jin itu menunjuk Wirada. "Niatnya baik, tapi sebuah perjanjian tetap saja perjanjian. Syukurlah, utangnya tidak jatuh ke kamu, melainkan ke dia."
Wirada melongo. "Gue? Gue yang harus bayar utang?"
Jin itu tidak menghiraukan ucapan sang pemuda. "Gadis Muda, jangan terlalu lama berada di Nirhayati. Saya melihat cahaya putih di sekitar tubuhmu. Itu berarti kamu sering beribadah. Jiwa mulia sepertimu tidak baik berada di sini. Nanti cahayamu memudar."
Malika mengernyitkan keningnya, berusaha memahami ucapan jin tua itu. "Saya mengerti, Kek. Kami hanya ingin keluar dari sini."
"Ikut saya," ucap jin itu.
"Kalau gue? Gue nggak bercahaya, Kek? Gue layak berada di sini?" protes Wirada.
"Kamu dan ayahmu sama-sama pengacau," ucap jin itu.
"Apa maksudnya gue ngacau? Gue kan baru masuk ke sini," protes Wirada lagi.
Jin itu tidak menjawab. Ia membuka pintu sel tempat mereka bersembunyi, lalu melayang keluar. Wirada dan Malika segera mengikutinya.
Mereka baru menyusuri lorong selama limabelas menit ketika sosok Trisno tiba-tiba menghadang jalan mereka. Ia sendirian, tanpa ditemani Rani, yang berarti sang adik sudah diselamatkan oleh entah siapa -- pastilah Wishnu. Spontan, Wirada berpindah ke belakang jin tua itu. Namun jin tua itu malah menyingkir dari depannya.
"Kakek," ujar Trisno. "Saya tidak akan mencelakai gadis itu. Saya hanya menginginkan putra saya."
Wirada memandangi wajah jin tua itu. Bibir tipis sang jin tua terkatup rapat. Matanya melirik ke Malika yang berada di sebelah kanannya.
"Baiklah," jin tua itu setuju. "Malika, ikutlah dengan saya."
"Tapi ... Wirada ..." protes Malika.
"Ini bukan urusan kita. Keselamatanmu yang utama."
Malika melirik ke Wirada. Wajah pemuda itu cemas, tetapi sorot matanya meyakinkan gadis itu untuk menjauh. Malika mengangguk, lalu mengikuti jin tua itu menyusuri lorong lebih jauh lagi.
Tinggallah Wirada dengan ayahnya. Mereka saling berhadapan. Wirada berkacak pinggang. Alisnya berkerut dan bibirnya dirapatkan, menunjukkan kekesalannya. Sedangkan wajah Trisno tetap datar, tetapi matanya menyiratkan campuran rasa putus asa dan tidak sabar sekaligus.
"Mana Tante Menor?" tanya Wirada.
"Saya yang bertanya, Wirada. Mana cincin Amartya?" balas Trisno.
"Nggak ada di gue, Ded," sahut Wirada. "Pasti Tante Menor udah bareng sama Om Bangke, kan?"
"Itu bukan urusanmu," ujar Trisno.
"Terus apa urusan Dedi sama gue sekarang?"
"Masih sama. Saya mau menjemputmu pulang. Kita berkumpul, seluruh keluarga Adipramana, menjalankan misi yang mulia, untuk menjadikan tanah air lebih baik. Nggak ada lagi yang mengancam kita, Wirada. Saya, ibumu, pamanmu, bibimu, bahkan kakekmu -- kita semua nggak akan terkalahkan kalau kita bersatu."
"Rumah gue ... rumah satu-satunya ... dihancurin sama Dedi sendiri. Dedi masih ingat? Rumah gue di Jatinegara!" ujar Wirada. "Keluarga gue ... Bang Dur ... Aren ... hanya mereka yang gue peduli. Apa yang kalian lakukan? Kalian malah bikin mereka celaka! Bahkan Emak pun jadi korban." Ia menarik napas dalam-dalam. "Sampe kapanpun, Dedi, gue nggak akan mau ikut Dedi, kalau Dedi masih seperti ini."
Trisno menggeleng. "Sebenarnya saya nggak mau melakukan ini, Wirada, karena kamu anak saya. Tapi saya nggak punya pilihan lain."
Kakek! Kakek! Gue harus apa? batin Wirada, berusaha menghubungi jin tua itu dengan telepati.
"Lawan, dong! Kamu sudah dilatih segitu lama, buat apa?" balas jin tua itu.
Eh, nyambung. Tapi gue kan nggak punya cincin ....
Wirada membentuk tangannya seakan-akan memegang bola kasat mata. Ia menggoyang-goyangkan kedua tangannya, berharap ada cahaya kuning yang muncul, seperti yang dilakukan Kenari atau Elang.
"Ha!" sentaknya.
"Kamu lagi ngapain?" tanya Trisno sambil mengernyitkan keningnya.
Anjing! Nggak berhasil gue! Kalau gini, cuma ada satu cara yang bisa gue lakuin, batin Wirada.
Ia memutar dirinya lalu melesat menjauhi Trisno. Akan tetapi, kekuatan supernya hanya berlaku di tubuhnya di dunia nyata. Di dimensi Nirhayati, jiwanya tidak terlatih dan tidak bersenjata. Baru tiga detik ia melarikan diri, ayahnya sudah membuat tali rantai dari energinya, lalu melilitkannya ke sekitar jiwa Wirada. Tanpa butuh banyak tenaga, Trisno menyeret Wirada mendekatinya. Ia tak menghiraukan putranya yang meronta-ronta melepaskan diri. Wirada berteriak sekeras mungkin, tetapi hasilnya nihil.
"Percuma teriak-teriak. Nggak ada yang bisa nolongin kamu di penjara ini," ujar Trisno. Ia membentuk plester lagi dan menutup mulut Wirada. "Maaf, Wirada. Saya terpaksa melakukan ini." Ia membopong jiwa Wirada bagaikan memanggul karung beras.
Mereka menelusuri lorong gelap tersebut. Wirada tak dapat bergerak, tetapi matanya tetap sigap mengamati pintu-pintu yang mereka lalui. Ada yang kosong, ada yang berpenghuni. Ia melebarkan matanya ketika ia melewati suatu sel yang bercahaya redup. Yang menarik perhatiannya, cahaya itu berwarna putih, hampir seperti jiwa Malika. Ketika Wirada berusaha melongokkan kepalanya untuk mengintip penghuni sel itu, ia semakin terkejut dengan apa yang dilihatnya.
Seorang gadis muda sedang duduk bersimpuh di tengah sel. Ia mengenakan gaun putih. Mulanya rambut panjangnya menutupi wajahnya. Namun ketika cahaya kuning dari tali Wirada melewati jendela pintu selnya, ia mengangkat kepalanya. Wajahnya sangat cantik, tetapi sendu. Ia segera bangkit berdiri dan menggenggam jeruji jendela dengan kedua tangannya.
"Tolong! Tolong aku!" bisiknya.
***
"Malika!" seru suara seorang perempuan yang dikenal Malika.
"Mbak Ken!" sahut Malika.
Jin tua itu sudah mengantar Malika keluar dari lorong penjara bawah tanah di dimensi Nirhayati. Kini ia berada di suatu ruangan yang amat luas. Lantainya berwarna putih, begitu pula dindingnya. Tak ada apapun atau siapapun di ruangan tersebut, selain mereka bertiga.
"Kakek," ucap Kenari sambil menunduk hormat kepada jin tua itu.
"Nak Kenari, lama nggak melihatmu," balas sang jin tua. "Ini, saya antarkan Nak Malika ke tanganmu. Semoga aura hitam di penjara bawah tanah nggak melukai jiwanya."
"Makasih, Kek," ujar Malika.
"Astaga, penjara bawah tanah?" Kenari melebarkan matanya. "Waduh, makasih banyak, Kek, sudah menolong Malika." Ia melihat ke sekelilingnya, seakan-akan melupakan sesuatu atau seseorang. "Oh, iya, Wirada mana? Apakah kalian tadi bersama?"
"Ya, tapi Trisno mencegat kami. Saya nggak bisa menjaga kedua jiwa sekaligus melawan Trisno. Ia sudah terlalu kuat, dan saya makin lemah. Saya mengutamakan keselamatan Malika."
"Baiklah," ujar Kenari. "Ayo, Mal, ikut denganku."
***
"Dia sadar!" ujar Frans yang sejak tadi mengawasi sisi tempat tidur Malika.
Mata Malika terbuka. Cahaya kuning yang mengitari pupilnya perlahan memudar. "Bang Frans!" Lalu ia melihat Phillip dan dokter Farhan di ujung kaki tempat tidurnya. "Kak Phil, dokter! Apa yang terjadi?"
"Lu tersedot ke dimensi Nirhayati, Mal," jelas Phillip. "Gue yakin Kenari bisa jelasin lebih baik."
Malika menolehkan kepalanya dan melihat Kenari sedang duduk bersila di atas tempat tidur di sebelahnya, dilingkupi cahaya kuning seperti biasa. Ketika jiwa Kenari kembali ke raganya, gadis cantik itu pun membuka matanya. Ia langsung melompat turun dari atas kasur dan memeriksa Malika.
"Denyut, napas, dan reaksi pupil mata semuanya normal," ujar Kenari. "Dokter, coba periksa lagi."
Mendengar aba-aba sang perantara, Dokter Farhan segera mendekat dan memeriksa Malika seperti permintaan Kenari. Frans dan Phillip menjauh untuk memberi ruang.
"Apa yang terjadi, Mbak Ken?" tanya Frans.
"Jiwa Malika terbawa ke penjara bawah tanah dimensi Nirhayati. Untunglah ia segera dibawa keluar, kalau nggak ..." Kenari menggelengkan kepalanya. "Tapi Wirada dalam bahaya. Trisno menculiknya. Aku yakin, sebentar lagi mereka akan melakukan ilmu pemindah raga pada tubuhnya."
Spontan, Frans dan Phillip memindahkan fokus mata mereka kepada tubuh Wirada yang masih berbaring di atas kasurnya.
"Nggak bisa dicegah, Ken?" tanya Phillip.
Kenari menggeleng. "Bisa, tapi nggak perlu. Lagipula strategi kita memang menyusupkan Wirada ke Macan Hitam, kan?"
Benar saja, perlahan-lahan tubuh Wirada berubah menjadi debu, seperti halnya Wishnu dan Marni di tepi gedung tadi pagi.
"Eeehhh ..." ujar Frans sambil bergidik ngeri.
.
.
.
-- Tanjung Priok, 15:00 WIB
Di sisi tempat tidur Rani, Wishnu memandangi wajah perempuan itu sambil terus memegangi tangannya, supaya ia dapat merasakan pergerakan sekecil apapun. Lebih dari setengah jam, tidak ada perubahan. Ketika Wishnu sudah hampir bosan dan berpikir untuk menyusul kakaknya ke dimensi Nirhayati, tiba-tiba Rani membuka matanya dan bernapas terengah-engah.
"Wishnu! Wishnu!" serunya sambil menegakkan tubuhnya.
Wishnu langsung memeluk saudarinya. "Rani, tenanglah. Ini aku. Aku di sini. Aku menjagamu," bisiknya.
Rani tak segera menyahut. Ia mengatur napasnya. "Wishnu ... aku takut sekali ...."
"Itu takkan terjadi lagi, Ran. Aku janji," sahut Wishnu. Ia perlahan membaringkan Rani ke atas bantalnya lagi. "Istirahatlah baik-baik, Rani-ku Sayang. Kamu pasti akan segera pulih. Kamu nggak apa-apa."
"Iya, Nu ...."
Wishnu mengusap pipi Rani dengan lembut. "Aku tinggal sebentar, ya? Aku mau mengecek keadaan Mas Trisno."
"Wishnu ... jangan pergi ..." rengek Rani sambil menggenggam tangan saudara kembarnya.
"Aku akan kembali, Ran," ucap Wishnu sambil mengecup kening Rani. "Mas Trisno cuma di sana, tuh." Ia menunjuk bagian depan ruangan yang lebih dekat dengan pintu.
Wishnu berjalan mendatangi Trisno yang sedang duduk bersila di lantai. Cahaya kuning yang melingkupi tubuhnya sudah memudar, menandakan bahwa jiwa Trisno sudah kembali ke tubuhnya. Sang kakak mengatur napasnya sebelum membuka matanya.
"Gimana?" tanya Wishnu sambil membungkukkan tubuhnya.
"Nu, aku perlu bantuanmu untuk memindahkan tubuh Wirada," sahut Trisno tanpa basa-basi.
Wishnu melebarkan matanya. "Hah, buat apa?"
"Aku akan melakukan eksperimen padanya."
"Lagi?"
"Kali ini aku akan membuatnya menurut denganku."
Wishnu mengernyitkan dahinya. "Boleh, buat tambahan koleksi pasukan manusia superku. Tapi pastikan dia bisa dikontrol. Aku nggak mau punya makhluk vangke seperti dia dengan kekuatan ekstra."
"Tentu saja," sahut Trisno. "Sekarang, ayo bantu aku."
Wishnu tak langsung menjawab. Ia menatap Trisno tajam. "Mas nggak berhasil bawa cincin Amartya, kan?"
"Cincin itu nggak ada di Wirada. Lagipula, aku menyalurkan sebagian energiku untuk memulihkan jiwa Rani. Kamu mau Rani atau mau cincin?"
"Dua-duanya."
"Sana, lakukan sendiri," geram Trisno sambil bangkit berdiri. "Aku sudah menyelamatkan Rani, dasar adik tak tahu terima kasih."
"Maacih, Kangmas Terganteng," ujar Wishnu dengan suara dilucu-lucukan. "Aku cuma mikir, kalau aku yang .... Ah, sudahlah. Ayo, sini, kita pindahin tubuh anak jelekmu itu."
Trisno hanya mendengus, tetapi malas menanggapi ejekan adiknya. Kedua saudara itu memejamkan mata mereka, fokus memusatkan pikiran dan kekuatan mereka. Tubuh mereka dilingkupi cahaya kuning. Mulut mereka komat-kamit merapalkan mantera. Kemudian sosok Wirada berupa cahaya kuning mulai terwujud di lantai ruangan. Awalnya hanya berbentuk bayangan, seperti hologram, tetapi lambat laun menjadi tubuh fisik. Tubuh Wirada tergeletak di lantai, tanpa kesadaran.
Wishnu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Wirada. "Kok nggak bangun-bangun?"
"Jiwanya belum kembali ke tubuhnya," jelas Trisno. "Aku mengurungnya di penjara bawah tanah. Biar dia kapok."
"Kamu tega juga, Mas. Nanti Marni bilang apa kalau dia tahu?" Wishnu menyeringai.
"Marni nggak akan tahu," ujar Trisno. "Sekarang, menyingkirlah. Aku akan melakukan eksperimen padanya." Ia membungkuk dan mengangkat Wirada ke atas kasur beroda di sebelah kasur ibunya.
"Oke, aku balik ke Rani," sahut Wishnu. "Jangan lupa, cincin Amartya, Mas."
"Ambil sendiri!"
Wishnu hanya mengacungkan jari tengahnya sambil berjalan menuju tempat tidur Rani.
.
.
.
-- Markas Penumbra, 19:00 WIB
Frans, Aren, dan Malika menyimak dengan saksama ketika Bagus menampilkan cetak biru digital di proyektor di ruangan presentasi Penumbra. Pemimpin Operasi Singa Putih itu menunjukkan denah markas Macan Hitam di kapal pengangkut barang yang sudah dipetakan oleh tim intelijen Penumbra yang dipimpin Phillip tadi siang.
"Mas Elang, sewaktu Anda ditahan di sana, Anda bilang sempat menjelajahi kapal dengan jiwa Anda, bukan?" tanya Bagus.
"Itu benar," sahut Elang.
"Kalau begitu, di mana lokasi para manusia super?" Bagus menyodorkan pointer laser yang dipegangnya kepada pria berewokan tipis itu.
Elang mengarahkan lasernya ke salah satu ruangan di peta. "Yang ini."
"Kita pertama kali lumpuhkan mereka. Frans, saya akan mengirim kamu dan empat agen Penumbra utusan Phillip untuk menyapu lapangan. Kostum baru sedang dipersiapkan dengan senjata bius yang bisa melumpuhkan mereka. Pokoknya kali ini kalian harus sangat berhati-hati. Saya sendiri akan memimpin tim sniper dari titik-titik strategis yang tersembunyi."
"Siap!" ujar Frans sambil memberi salut.
"Aren, kamu akan menyusul belakangan," kata Phillip. "Kalau Duren sudah diamankan, kamu boleh berbicara dengannya. Tapi lagi-lagi utamakan keselamatan dirimu."
"Ini ... terlalu berisiko," ujar Bagus. "Apakah Aren pasti dapat menyadarkan Duren? Gimana kalau gagal?"
"Kita lumpuhkan dia," sahut Phillip. "Tapi kalau berhasil, kita membawa satu aset ke pihak kita."
"Tapi, Phil, Aren adalah warga sipil. Ini nggak sesuai prosedur," ujar Bagus.
"Gue yang tanggung jawab, Gus," tegas Phillip. "Gue akan turun tangan melindungi Aren secara langsung."
Bagus sedikit tidak yakin, tetapi ia terpaksa menerima. "Untuk urusan mistis, saya serahkan pada Kenari dan Mas Elang."
"Aku akan membawa Malika," tutur Kenari. "Gus, aku minta penjagaan buat tubuh kami selama kami memasuki dimensi Nirhayati."
"Tentu saja," sahut Bagus.
Phillip menerima pesan melalui earpiece-nya. Ia pun membuka pintu ruangan dan membiarkan dua orang agen Penumbra masuk. Mereka mendorong lemari kaca besar yang memuat kostum-kostum untuk personel yang akan terjun lapangan nanti. Semua orang mendapat satu, termasuk Aren, Malika, Kenari, dan Elang.
"Khusus Aren, Malika, Kenari, dan Mas Elang, kostum kalian dilengkapi mekanisme pertahanan otomatis. Kalian nggak perlu mempelajari cara menggunakan kostumnya karena nggak ada waktu. Yang penting, kalau ada musuh mendekati kalian, kostum ini akan melindungi kalian secara otomatis," jelas Phillip.
Frans memandangi kostumnya dengan penuh semangat. Bentuk dan warnanya menyerupai kostum lamanya, tetapi kali ini helmnya terintegrasi dengan kostumnya dan tidak dapat dialihkan kepada orang lain. Pertama-tama ia memasang pelindung dada dan punggung. Kemudian ia memasang pelindung kaki, tangan, dan terakhir helmnya.
"Kalian sudah siap?" tegas Bagus.
"Siap!" sahut para agen serempak.
.
.
.
Bersambung.
(18 Januari 2019)
3000++ kata
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top