Bab 35: Penyusup

"Wir, ada apa? Kenapa lu ngelihatin gue kayak gitu?" tanya Malika.

Wirada mengerjapkan matanya, lalu menggeleng. "Kayaknya gue salah lihat, sih, Mal. Tapi ... tadi ... mata lu ... bersinar kuning."

Malika menyalakan kamera depan di ponselnya, lalu menggunakannya sebagai cermin. Namun warna matanya di layar ponselnya masih tetap cokelat gelap.

"Emang kenapa?" tanyanya.

"Mata Mbak Ken ... dan Mas Elang ... jadi kuning waktu mereka bertapa. Makanya gue kira lu kena efek dari cincin sakti yang gue pake," Wirada berpikir-pikir.

Mulut Malika membentuk huruf O. Ia terdiam sejenak, ikut berpikir. "Bisa jadi. Lebih baik tanya Mbak Ken atau Mas Elang."

"Oke," sahut Wirada, menoleh ke arah Elang yang masih duduk bersemedi di atas tempat tidurnya. Kemudian ia bergegas mendekati sang perantara.

"Eh, Wir, mau ngapain? Jangan ganggu Mas Elang!" panggil Malika. "Maksud gue bukan sekarang, tunggu dia bangun!"

Namun Wirada sudah berada di sisi tempat tidur Elang. Ia melambai-lambaikan tangannya di hadapan mata Elang yang terpejam. "Mas! Mas Elang! Bangun, woy. Gue mau nanya."

Kepala Elang bergetar sejenak. Lalu matanya terbuka, menunjukkan cahaya kuning yang sama dengan Malika.

"Ini bocah, ada apa lagi? Aku sedang memulihkan energiku untuk pertempuran nanti, Wirada," tegur Elang setengah gusar.

"Gue mau nanya," ujar Wirada. Ia menjelaskan perihal mata Malika yang bersinar kuning.

Elang terdiam sejenak, berpikir keras. Wirada merasa sedikit sungkan karena telah merepotkan lelaki ini begitu banyak. Padahal Elang sudah melatihnya cukup lama tadi.

"Err ... mungkin gue salah lihat, Bang. Ya udah, gue nggak ganggu lagi, deh."

"Tunggu," ucap Elang sebelum Wirada melesat dari sisi kasurnya. "Kamu nggak salah lihat. Orang yang disembuhkan dengan cincin Paramarta memang jadi punya keterikatan dengan dimensi Nirhayati." Ia menghela napas, lalu bangkit berdiri. "Kemarilah, kita bicara bertiga dengan Malika."

Wirada mengikuti Elang kembali ke sisi tempat tidur Malika. Mereka duduk di kasur di sebelah kasur Malika yang kosong.

"Eh, Mas Elang," sapa Malika. "Udah kubilangin Wirada supaya nggak ganggu Mas, tapi telat." Ia melirik tajam ke arah Wirada, yang hanya menyengir.

"Nggak apa-apa, Mal. Nanti biar Wirada yang tempur lebih banyak," ledek Elang. "Tapi lama-lama aku merasa jadi tukang eksposisi. Habis Kenari kehabisan tenaga, sih, jadi nggak bisa bantu aku jelasin soal urusan mistis ini."

"Gitu aja ngeluh," cibir Wirada sambil menjulurkan lidahnya. "Lah, gue? Gue ketemu bokap gue, terus tahu ternyata gue ini kelinci percobaan sekaligus keturunan jin. Maklumin aja kalau gue kewalahan nyerap kebanyakan berita."

Elang hanya melirik Wirada sekilas. Lalu menjalin jari jemarinya yang panjang dan meletakkannya di atas lututnya. "Ya udah, singkat aja, biar nggak kebanyakan berita. Intinya gini, kalau kamu udah pake jasa seseorang, kamu pasti harus bayar, kan? Nah, sama dengan urusan cincin itu. Siapapun yang mendapat manfaat dari kekuatan ketiga cincin sakti -- Amartya, Paramarta, dan Bhuwana -- harus membayar kepada para jin yang mengawasi cincin itu."

"Yang kakek tua botak, nenek-nenek gemuk, sama preman gondrong?" tebak Wirada.

"Astaga, nggak sopan sekali kamu, Wir." Elang menepuk dahinya. "Ya, mereka hanya ajudan penguasa para cincin yang sebenarnya. Mereka nggak sudi bertemu dengan orang rendahan semudah itu. Anyway, aku melenceng. Tadi Malika kan udah disembuhin pake cincin Paramarta, makanya sekarang dia terikat dengan cincin itu."

Wirada mengangkat tangannya. "Brenti dulu, Mas. Biar gue cerna." Ia berpikir selama beberapa detik.

"Berarti saya harus membayar kepada para jin, Mas Elang?" tanya Malika.

"Benar, Mal," sahut Elang.

Malika mengernyitkan dahinya. "Jangan bilang ... bayar pake jiwa."

"Tergantung seberapa besar manfaat yang kamu dapatkan dari cincin itu. Kalau cuma disembuhkan seperti tadi, seharusnya kamu nggak perlu terlalu lama melayani mereka," ujar Elang. "Tapi bisa digantikan, kok. Orang lain bisa membayarkan utangmu." Ia melirik ke arah Wirada.

"Gue?" Wirada mengangkat alisnya.

"Lah, katanya kamu mau tanggung jawab untuk keselamatan Mal," tagih Elang.

"Tapi ... gue ... bisa apa?" Wirada cemberut. "Lagian, repot amat bayarnya pake jiwa. Kenapa nggak mau pake duit aja? Kan bisa gue copet terus kasih ke mereka, beres, kan?"

"Wir!" tegur Malika. "Baru mau gue puji karena gue kira lu udah heroik, ternyata ...."

"Gue bercanda, Mal," ujar Wirada dengan campuran ekspresi penurut dan menyesal.

"Lagian para jin nggak butuh duit, Wir," timpal Elang sambil menoyor kepala Wirada. "Orang duit aja bisa mereka lipatgandakan. Buat apa duit dari lu?"

Wirada merengut. "Iya, iya, gue gantiin. Cuma utang gue udah banyak, dong? Tadi gue udah pake cincin Paramarta, Amartya juga. Gue harus berapa lama jadi kacung di dimensi Nirhayati?"

"Tergantung mereka, dan tergantung kinerjamu di sana," jawab Elang. "Kadang bisa dilepasin lebih cepat, kadang bisa lebih lama."

"Mas Elang atau Mbak Kenari nggak berutang kepada para jin, kan?" tanya Malika.

"Nggak, lah. Kami cuma pindah-pindah dimensi, tapi kekuatan yang kami pakai bukan berasal dari para jin."

Wirada dan Malika mengangguk-angguk serempak.

Elang melihat ke jam tangannya. "Ada yang mau ditanya lagi? Nanti siang aku akan ikut rapat buat menyusun rencana. Aku harus nge-charge diri dulu sampai seratus persen."

Wirada tertawa. "Emangnya Mas Elang hand phone?"

"Bentar, Mas. Saya mau nanya," sela Malika sebelum lelaki itu menjauh.

"Silakan," sahut Elang.

"Tadi Mas bilang, saya terikat dengan cincin Paramarta. Apa artinya?" tanya Malika.

Lagi-lagi Elang terdiam sejenak. Ia menggali informasi dari ingatannya. "Hmm ... kalau nggak salah, Mal, aku lupa soalnya, kamu bisa mendengar semacam 'panggilan' dari cincin itu kalau jaraknya dekat. Aku juga lupa kalau kamu harus masuk ke dimensi Nirhayati dulu atau enggak."

"Tadi waktu saya sekarat, saya sempat berkomunikasi dengan jiwa Wirada. Apa saya berada di dimensi Nirhayati?"

"Belum. Tapi kamu sudah di ambang perbatasan antara kedua dimensi," sahut Elang.

"Kalau saya bisa membantu ...."

"Mal, jangan," Wirada memulai.

"Gue capek, Wir. Capek dilindungi terus, capek jadi korban terus. Kalau gue bisa bantu sedikit pun, gue akan melakukannya," protes Malika.

Kepala Elang mengangguk-angguk seperti boneka per. "Aku harus diskusi dulu dengan Kenari. Nggak boleh sembarangan orang dilempar ke dimensi Nirhayati begitu saja. Tapi ... kadang ada perkecualian."

.

.

.

-- Tanjung Priok, 14:00 WIB

Mata Wishnu memandangi tajam tangan prostetik titanium hitamnya yang sudah terpasang pada lengan alamiahnya. Ia menggerak-gerakkan jemarinya, memastikan mereka berfungsi layaknya tangan asli. Kemudian ia mengarahkan kepalan tinjunya ke dinding dan melontarkan peluru dari ruas jarinya. Ia tersenyum melihat lubang yang terpampang di sana.

Wishnu membalikkan telapak tangan kanannya sehingga menghadap ke atas. Di tengah telapaknya, ia membuka penutup lubang kecil dan mengisinya dengan peluru berukuran mungil. Setelah menutupnya kembali, ia menolehkan kepalanya ke arah Galih.

"Lumayan," ujarnya. "Aku merasa seperti Terminator atau Anakin Skywalker. Ada untungnya juga tangan prostetik, bisa dijadikan senjata. Sekarang saatnya aku mengambil cincin Amartya dari tangan keponakan tengilku itu."

"Hati-hati," peringat Galih. "Jangan sampai kamu kembali dengan tangan kiri terpotong. Aku cuma punya satu prototipe tangan prostetik yang secanggih itu. Sisanya hanya terbuat dari logam biasa, tanpa senjata."

"Benar juga," ujar Wishnu. "Kalau aku datang ke sana lagi, bisa jadi buah simalakama. Di satu sisi, aku mau mengambil cincin Amartya-ku. Di sisi lain, aku seperti menjajakan cincin Paramarta-ku dengan bebas. Tapi kalau aku menitipkannya pada Mas Trisno ... tidak, aku butuh kekuatan dari Paramarta untuk teleportasi tubuh."

Galih hanya mengedikkan bahu. "Urusanmu. Aku nggak ngerti soal urusan dunia mistismu."

"Mas Trisno masih di tempat wanita rendahan itu?" tanya Wishnu.

"Sepertinya begitu," sahut Galih.

Wishnu keluar dari ruang operasinya menuju ruang perawatan di mana Marni masih berbaring. Di sana ia melihat Trisno masih duduk di sebelah tempat tidur perempuan yang masih tak sadarkan diri itu, memegangi tangannya erat. Cahaya kuning yang melingkupi tubuhnya menandakan bahwa ia sedang memulihkan staminanya.

Wishnu mengetukkan jari titaniumnya ke bahu kakaknya. "Mas Bro, bangun. Mas Bro, aku butuh bantuanmu."

Cahaya kuning itu memudar. Trisno membuka matanya dengan tampang kesal. "Apa lagi, Nunu?"

"Nunu, anjir," gerutu Wishnu. "Aku mau Mas Trisno mengambil cincin Amartya dari tangan Wirada, sekaligus mengambil jiwa Rani kembali."

Trisno memutar bola matanya. "Kurasa kekuatanmu lebih besar daripadaku. Kenapa nggak pergi ke sana sendiri dan mengambilnya?"

Wishnu menggeleng. "Aku nggak mau mengambil risiko cincin Paramarta-ku diambil juga oleh Wirada."

"Takut?" ledek Trisno.

"Enak aja. Kamu tahu tenagaku belum pulih setelah melakukan ilmu pemindah raga untuk memindahkan dua tubuh. Apalagi aku cuma disokong cincin Paramarta. Ayolah ... kan aku udah bawa Marni kemari ... giliranmu menyelamatkan Rani untukku."

Trisno menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya. Ia beranjak dari sisi tempat tidur Marni, lalu mengusap pipi perempuan itu lembut. "Untunglah, sel-selnya mampu beregenerasi dengan cepat. Tanpa cincin Paramarta, ia bisa sembuh sendiri."

"Makanya, kamu nggak usah khawatirin Marni. Aku akan menjaganya kalau kamu pergi."

"Aku nggak bisa percaya ucapanmu, setelah apa yang terjadi padanya." Trisno menggeleng.

Kali ini giliran Wishnu yang menarik napas dalam-dalam. "Sama, aku juga sulit memercayai Mas. Rani bilang, Mas hampir saja berpihak pada Marni dan Wirada. Tapi dengan keberadaan Marni di sini ...." Ia menyeringai. 

Trisno tidak menjawab. Ia berjalan menuju tempat tidur lain yang terletak di bagian lebih dalam ruang perawatan tersebut. Di balik dinding kaca, seorang perempuan berbaring di atas tempat tidur berukuran besar. Wajahnya masih terlihat merona, seperti sedang tidur saja. Namun tubuh itu hanyalah sebuah cangkang kosong -- jiwanya masih ditahan di dimensi Nirhayati.

"Itukah yang namanya cinta?" ejek Trisno. "Bahkan untuk menyelamatkan jiwanya saja, kamu minta bantuan orang lain."

"Rani juga adikmu, Mas," balas Wishnu. "Lagipula aku nggak keberatan siapa yang menyelamatkannya -- yang penting ia selamat."

"Aku lupa, orang yang paling kamu cintai di dunia ini ... adalah dirimu sendiri," cibir Trisno.

"Nah, itu tahu. Ayolah, cepat. Demi mencapai tujuan kita. Jangan sampai Ayahanda tahu apa yang terjadi pada Rani," desak Wishnu. "Atau suami keparatnya," tambahnya dengan suara kecil.

Sekali lagi, Trisno memutar bola matanya.

"Mas Trisno nggak perlu pake ilmu pemindah raga ke sana. Aku tahu Wirada sedikit percaya padamu. Manfaatkan kepercayaan itu untuk menipunya. Ambil cincin itu dari tangannya," lanjut Wishnu.

"Aku paham, Nu," sahut Trisno. 

.

.

.

-- Markas Penumbra, 14:30 WIB

"Hoaammm ...." Frans mengulet di atas tempat tidur sambil meregangkan kedua tangannya. Nyaman sekali akhirnya bangun setelah terlelap untuk beberapa waktu yang lama. Terakhir kali ia sadarkan diri berjam-jam yang lalu. Saat itu, tubuhnya sama sekali tak bisa digerakkan. Bahkan lehernya dibebat erat dan disangga agar tetap diam di tempat.

"Heee? Gue udah bisa gerak sekarang?"

Ia menegakkan tubuhnya dan meraba lehernya. Masih dibebat, tetapi rasanya tidak perlu lagi. Tangannya melepas perban dan penyangga lehernya. Terasa sejuk ketika udara kembali menyentuh kulitnya. Selanjutnya, ia mencoba turun dari tempat tidur. Ketika kakinya menapak lantai, tubuhnya sedikit terhuyung, tetapi ia segera menenangkan dirinya.

Frans menoleh ke sisi kanannya. Aren sudah tidak ada di kasur sebelahnya. Pasti gadis itu sudah bangun terlebih dulu dan pergi entah ke mana. Dua kasur lainnya, yang tadinya ditempati oleh Elang dan Kenari masing-masing, juga sudah kosong. Ia gantian menoleh ke sisi kirinya. Malika masih duduk di atas tempat tidurnya, membaca buku. Infus terpasang di tangan kanannya. Di kasur lain di sebelah kiri kasur Malika, Wirada tertidur pulas sambil mendengkur.

"Mal," panggil Frans.

"Eh, Bang Frans udah bangun?" sapa Malika.

"Hooh. Yang lain pada ke mana?"

Malika melirik sejenak ke arah tempat tidur Wirada, lalu kembali mengarahkan matanya ke Frans. "Tadi Mas Bagus dan Kak Phillip datang. Mbak Aren, Mbak Kenari, dan Mas Elang pergi dengan mereka. Katanya mau menyusun rencana buat serangan malam ini. Aku disuruh jagain Bang Frans, kasih tahu mereka kalau Bang Frans udah bangun."

"Gue nggak bakal ditinggal, kan?" tanya Frans lagi.

"Enggak, lah, Bang. Aku disuruh tanyain Abang juga, gimana badannya masih sakit?"

Frans memutar kepalanya, menggerakkan lengan dan kakinya, lalu menekuk punggungnya. Ia berjalan mondar-mandir mengitari ruang perawatan. Mula-mula pelan, kemudian ia mempercepat langkahnya hingga berlari. Ajaib, tubuhnya sudah pulih. Ia mencoba berdiri dengan tangannya lalu bersalto.

"Lumayan," ia menyengir. "Gue udah sembuh, Mal. Serumnya manjur juga. Pantes si arem-arem itu keluar duluan. Trus itu si Wira-wiri malah molor begitu aja?"

"Dia capek, Bang. Katanya tadi latihan keras sama Kak Tiara dan Mas Elang. Kak Phillip bilang, tenaganya terlalu banyak dipakai kalau dia menggunakan kekuatan supernya." Kemudian Malika menceritakan kepada Frans tentang apa yang terjadi pada Wirada.

Frans hanya mengusap dagunya sambil mengangguk-angguk. Selagi mereka berbincang, mendadak bulu kuduknya berdiri. Frans melirik ke dinding. Posisi AC tidak menyemburkan angin ke arahnya.

"Mal ..." bisiknya sambil menundukkan kepala. "Lu ngerasain sesuatu? Kok tiba-tiba dingin?"

Malika terdiam. Ia melebarkan matanya dan membiarkan angin membelai lengannya yang terbuka. Awalnya ia tidak merasakan apa-apa, tetapi lambat laun ia merasakan angin berhembus lebih kencang di sebelah kiri.

"Bang, aku merasakan ini ... pagi subuh tadi ... waktu aku ditusuk," sahut Malika dengan suara kecil pula. "Di sebelah kiri, Bang."

Frans spontan berpindah ke sisi kiri Malika, di antara kasur gadis itu dan kasur Wirada. Ia memasang posisi siaga. Namun ia tahu lawannya bukanlah manusia kasat mata. Mulutnya komat-kamit melafalkan doa yang diingatnya.

"Lepaskanlah kami daripada yang jahat," gumamnya.

Samar-samar, Malika melihat bayangan di sebelah Wirada. Iris matanya kembali bercahaya kuning. Kini pandangannya semakin jelas. Ia dapat menangkap sosok Trisno berdiri di sebelah kanan Wirada, di belakang Frans. Tangan Trisno memegangi kepala Wirada. Perlahan-lahan jiwa Wirada terhisap oleh tangan bercahaya kuning tersebut.

"Bang Frans, aku melihat ayahnya Wirada," beritahu Malika.

Frans menoleh ke arah gadis itu. "Mal, matamu ...."

Tiba-tiba tubuh Malika terkulai ke atas tempat tidur. Frans buru-buru menyangganya agar tidak langsung terhempas, lalu meletakkan kepala gadis itu di atas bantal. Jarinya menekan tombol di sebelah kasur untuk memanggil perawat.

Beberapa menit kemudian, dokter Farhan dan perawat masuk ke dalam ruangan. Sesaat, mereka terkejut melihat Frans yang sudah berdiri di atas kedua kakinya. Namun polisi muda itu langsung menunjuk Malika yang berbaring di kasurnya bagaikan mati suri.

"Bukan saya, dia!"

Dokter dan perawat mengalihkan perhatian mereka kepada Malika. Mereka memeriksa detak jantungnya, pernapasannya, dan pupil matanya. Semuanya normal. Dokter Farhan menoleh ke arah salah satu perawatnya.

"Beritahu Agen Phillip dan Agen Widyaningrum," ujarnya. 

***

Wirada menemukan dirinya di suatu tempat yang tidak dikenalnya. Ia berada di sebuah lorong gelap dengan penerangan seadanya -- entah lampu templok yang bersinar kuning atau obor yang menyala di sisi dinding. Anehnya, matanya tidak butuh menyesuaikan dengan kegelapan itu. Ia juga tidak dapat melihat ke mana lorong ini menuju, atau terbuat dari apakah dinding-dinding yang mengitarinya. Setelah memerhatikan lebih lanjut, ia merasakan dirinya bagaikan berada di dalam penjara bawah tanah di game fantasi yang kadang-kadang ia pinjam dari Duren.

"Anjir, gue pasti mimpi!" serunya. Ia mengangkat kedua tangannya -- terlihat transparan. Barulah ia sadar di mana ia berada. "Dimensi Nirhayati," geramnya. "Tapi gimana gue bisa masuk ke sini? Gue nggak dibawa Mas Elang atau Mbak Ken."

"Saya yang membawamu, Wir," sahut sebuah suara yang dikenalnya.

Wirada memutar tubuhnya. "Dedi," geramnya ketika melihat sosok Trisno bersandar ke dinding sambil melipat tangannya. "Mau apa di sini? Kenapa bawa-bawa gue?"

"Saya mau mencari tantemu," ujar Trisno. "Saya membawamu sebagai jaminan, kalau-kalau Elang atau Kenari menyerang kemari."

Barulah Wirada tersadar. Tempat itu memang penjara bawah tanah -- di dimensi Nirhayati. "Tante gue? Apa tante-tante menor yang mau celakain Emak itu?"

Trisno berusaha keras menahan tawanya. "Ya, dia."

"Ngapain ditolong? Tante bangsat kayak gitu, biar aja ditahan di sini terus."

"Nggak bisa," ujar Trisno. "Saya harus menolongnya. Bagaimanapun juga, dia adik saya."

"Adik tiri, kan, Ded? Adik tiri, mah, biarin aja."

"Diam kamu," perintah Trisno sambil membentuk rantai dari cahaya kuning, lalu mengikat pergelangan tangan Wirada dengan tangannya.

"Hei! Dedi! Apa-apaan ini?" protes Wirada.

"Biar kamu nggak kabur sementara saya mencari Rani."

"Emak mana?" tanya Wirada, berharap mengenai titik lemah ayahnya.

"Ibumu sudah aman. Dia ada di markas kami."

Wirada menghela napas. "Pasti ini suruhan Om Bangke, kan? Gue nggak ngerti, kenapa Dedi selalu aja nurut sama Om Bangke. Padahal dia udah celakain Emak. Emak, loh, Ded! Dedi cinta sama Emak, kan?"

"Bocah diem," tegur Trisno sekali lagi.

"Dedi utang, ya, sama Om Bangke?" tebak Wirada.

Raut wajah Trisno langsung berubah. Ia melebarkan matanya sesaat, lalu memicingkan matanya ke arah Wirada. "Jangan ngomong sembarangan."

"Gue pasti bener," ujar Wirada yang tak mau menutup mulutnya. "Dedi, gue emang terbilang cupu soal urusan gaib, tapi gue udah dijelasin sama Mas Elang. Katanya kalau pake kekuatan cincin, bakal utang sama jin. Dari situ gue nebak kalau Dedi juga utang sama Om Bangke. Soalnya Dedi marah-marah mulu tapi nurut juga."

Trisno memutar bola matanya. Ia membuat plester dari cahaya kuning, lalu membungkam mulut Wirada. Kemudian ia menyeret pemuda itu menyusuri lorong, sesekali mengintip di balik jendela di pintu-pintu yang berderet di lorong untuk mencari Rani.

Wirada penasaran. Ia ikut mengintip di salah satu jendela pintu. Pemandangan yang dilihatnya sungguh membuatnya hampir muntah. Wajah menyeramkan menyerupai tengkorak dengan cairan hijau muda pekat seperti makanan busuk menyambut penglihatannya. Dalam hati ia bertanya-tanya, apakah itu jiwa manusia? Dan apa yang menyebabkannya seperti itu?

Setelah menelusuri lorong dalam waktu yang cukup lama, Trisno pun berhenti di depan sebuah pintu. Ia melepaskan rantai dan plester mulut Wirada. Cahaya kuning itu kembali ke tubuhnya. Lalu ia membuat alat pemukul dinding berukuran besar dari energinya dan menabrakkan alat tersebut ke pintu. Pintu pun terbuka, menampakkan seorang perempuan yang sedang meringkuk di sudut.

"Rani!" ujar Trisno.

Perempuan itu mengangkat wajahnya. Sorot matanya sangat memelas. Ia terlihat menyedihkan, cemas, dan ketakutan. Jauh berbeda dari wanita ganas yang Wirada ingat hampir membunuh ibu kandungnya.

"Mas Trisno ..." lirihnya.

Terbebas dari belenggu ayahnya, Wirada -- seperti sebelumnya -- melihat kesempatannya untuk melarikan diri. Ketika Trisno mengalirkan sebagian energinya untuk memulihkan jiwa Rani, Wirada mengendap-endap di luar tembok sel, lalu bersiap melesat jauh.

Baru beberapa meter dari sel tempat Rani ditahan, Wirada berhenti. Seorang jiwa lain menghadangnya. Ia membelalakkan matanya. Jiwa itu pun melakukan hal yang sama. Namun alasan mereka berbeda. Sosok itu terkejut karena tindakannya ketahuan. Sedangkan Wirada terkejut karena melihat wajah sosok itu.

Itu wajah Malika. 

.

.

.

Bersambung.

(16 Januari 2019)  

2800++ kata

Hayo tebak, kenapa Malika bisa masuk ke situ? 

Seharusnya habis ini Klepto rajin apdet. Aku usahain nulis tiap hari yah. Satu bab biasanya ditulis 2-3 hari, tergantung inspirasi. 

Oya, Jakarta Vigilante (prekuel cerita ini, harusnya pada tahu sih wkwkwk) lagi buka pre-order tuh. Mampir ke lapaknya buat info lebih lanjut. #promosi

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top