Bab 34: Efek Samping
-- Tanjung Priok, 08:00 WIB
Di atas kapal pengangkut barang yang sebenarnya merupakan markas Macan Hitan, Wishnu duduk di sofa merah yang hanya memuat satu orang. Tetesan darah di lantai kapal membentuk jejak sesuai dengan pergerakannya di ruangan tersebut. Dengan tangan kirinya -- di mana cincin Paramarta masih tersemat di jari telunjuknya -- Wishnu menghentikan pendarahan di tangan kanannya yang kini hanya berupa puntung. Namun telapak tangannya tidak tumbuh kembali.
Wishnu memutar tubuhnya, mencari benda yang dapat dijadikan sasaran pelampiasannya. Sayang sekali tidak ada guci atau botol kaca yang bisa ia banting untuk menambah efek murkanya. Pada saat yang bersamaan, Galih masuk ke dalam ruangan.
Sang dokter terbahak. "Jadi bocah tengik itu memotong tanganmu? Lucu, lucu sekali!" Ia berhenti sejenak untuk melanjutkan tawanya sebelum kembali berucap, "Siapa sangka, Wishnu Adipramana yang hebat bukan main bisa dijadikan bulan-bulanan oleh preman level terendah Macan Hitam."
Bergerak secepat kilat, Wishnu mencengkeram leher Galih dengan tangan kirinya hingga kaki dokter itu terangkat dari tanah. Galih memegangi lengan Wishnu dengan kedua tangannya, mencoba melepaskan tangan lelaki itu dari lehernya, tetapi genggaman Wishnu terlalu kuat.
"Brengsek kamu, Kang Galih! Wirada itu bukan orang sembarangan! Dia anak Mas Trisno! Lagipula dia punya kekuatan dari para jin. Dia pasti menukar jiwanya demi kekuatan sementara."
"Aaa ... eerrrhhh ..." Galih berusaha bicara namun tangan Wishnu yang masih bertengger di lehernya menghalanginya.
"Mana tangan prostetik untukku?" tanya Wishnu, mengendurkan jemarinya dan menurunkan tubuh Galih.
"Lepaskan dulu leherku," rintih Galih.
Baru saja Wishnu melepaskan tangan kirinya dari leher Galih seutuhnya, pintu didobrak dengan kasar. Kakaknya berderap penuh amarah ke dalam ruangan.
"WISHNU!!!" teriaknya. "Kamu sudah janji nggak akan mencelakai Marni-ku! Sekarang apa yang kamu lakukan? Di mana Marni?"
Lelaki berusia empatpuluh tiga tahun itu melesat secepat kilat, menabrak tubuh Wishnu dengan tubuhnya, lalu mendorongnya ke dinding. Tenaganya sangat kuat sampai dinding ruangan yang terbuat dari besi itu ringsek.
"Haduh, Marni lagi, Marni lagi. Aku tahu, Mas, tentang cintamu -- maksudku obsesi berlebihanmu -- terhadap wanita jelata itu. Tenang, Marni nggak kenapa-kenapa, kok. Malahan aku pengen nyembuhin dia dengan cincin ...."
"Banyak omong kamu! Sudah kuperingatkan, kamu DILARANG menyentuh sesenti pun dari tubuh Marni! Sekarang kamu malah menyandera Marni lalu ...."
"Salah lagi, Mas. Pertama, aku melibatkan Marni karena mereka duluan yang main-main dengan Rani. Aku harus mencari orang yang disayangi Wirada -- kalau bukan Malika, ya, Marni."
"Kenapa nggak Malika?"
"Malika terlalu alim. Dia punya perlindungan yang sangat kuat. Aku sudah coba menyerangnya, tapi hanya berhasil melukai tubuhnya, bukan jiwanya. Sedangkan Marni ..."
Trisno meninju wajah Wishnu hingga sudut bibirnya meneteskan darah.
"Sakit, Mas! Aku belum selesai ngomong," geram Wishnu. "Marni sendirilah yang meloncat dari gedung, tahu! Aku justru menyelamatkan nyawanya."
Trisno terdiam sejenak. Matanya menerawang. "Ilmu pemindah raga," ucapnya lirih.
Wishnu segera memanfaatkan kesempatan itu untuk melepaskan diri dari cengkeraman Trisno. "Harusnya Mas malah berterima kasih padaku. Berkat aku, Marni sekarang ada di tangan kita. Bahkan dengan cincin Paramarta ini, aku bisa menyembuhkan tubuhnya seperti semula."
"Nggak perlu," tolak Trisno mentah-mentah. "Kamu tahu sendiri apa akibatnya jika kita menggunakan Paramarta untuk menyembuhkan tubuh kita. Kita berutang kepada para jin dan harus menunaikan tugas kita melayani mereka di dimensi Nirhayati. Aku nggak mau itu terjadi pada Marni."
"Ayolah, Mas, kamu tahu tugas itu bisa diwakilkan. Dengan koneksimu sebagai keturunan jin, kan bisa ...."
"Pokoknya kubilang tidak, ya, tidak," tegas Trisno. "Sekarang beritahu aku, di mana Marni?"
"Coba cek di ruang tahanan. Di sana aku bikin tembok pertahanan dari energi yang kupinjam dari dimensi Nirhayati," sahut Wishnu.
Tanpa mengucapkan apapun, Trisno bergegas meninggalkan ruangan dan menuju tempat yang dimaksud oleh Wishnu. Sang adik hanya menggelengkan kepalanya.
"Dasar, kalau udah menyangkut Marni, apapun dihajar," gerutunya. "Ganggu aja proses pemasangan tangan prostetikku. Mana, Kang Galih? Serahkan padaku."
Galih memungut kotak berwarna hitam yang tadi dibawanya saat memasuki ruangan, tetapi terjatuh ketika Wishnu menyerangnya karena menertawakannya. Dengan kedua tangannya, ia membuka kotak itu, menampilkan sebuah tangan prostetik berwarna hitam yang terbuat dari logam titanium, lengkap dengan jari-jari mekaniknya.
Wishnu memandangi tangan buatan itu dengan antusias, tetapi kemudian ia mendengus. "Sial. Aku lebih suka tangan asliku. Ternyata cincin Paramarta nggak bisa mengembalikannya."
"Sudahlah, jangan banyak ribut. Mau apa enggak?" desak Galih tak sabar.
"Iya, iya, Kang Daniel," gerutu Wishnu sambil memutar bola matanya.
"Ya sudah, ikut aku ke ruang operasi," ujar Galih.
.
.
.
-- Markas Penumbra, 09:00 WIB
Di atas tempat tidurnya, Frans masih belum dapat bangun, tetapi untunglah ia dapat menggerakkan kepala dan tangannya. Bangsal perawatan kini hening. Para pasien lainnya, yakni Bagus dan Elang, yang tidak terluka separah Frans, sedang berkumpul dengan Wirada, Tiara, Phillip, dan Kenari untuk menyusun rencana selanjutnya.
Frans menoleh ke tempat tidur di sebelahnya, di mana Aren masih berbaring. Seperti dirinya, Aren juga tidak dilibatkan dalam penyusunan rencana. Gadis itu tidak tertidur, tetapi sedang menatap ke langit-langit. Sepertinya ia sedang berpikir atau melamun.
Sedih banget, sih, nasib gue, batin Frans.
Namun ia tak mau ambil pusing. Ia melihat ponselnya di atas nakas di sebelah kasurnya dan berusaha meraihnya. Sayangnya, ponsel itu tak terjangkau olehnya. Mana ia tak dapat menggeser punggung maupun bokongnya untuk memindahkan posisi tubuhnya.
"Ren ...." panggilnya.
"Ape?" balas Aren.
"Hape gue ... tolong, dong ...."
Aren mengerucutkan bibirnya, tetapi ia mengabulkan permintaan Frans. "Nih," ujarnya sambil mendorong ponsel Frans ke arah tangannya.
"Makasih," sahut Frans. "Yah, baterenya mau abis. Nggak ada yang peduli buat nge-charge."
"Ya iyalah, mana ada yang sempet perhatiin hape lu," ujar Aren.
"Tolong, dong, Ren, cariin charger ... gue perlu ngecek pesan dari cewek gue," pinta Frans dengan wajah memelas.
Lagi-lagi Aren memutar bola matanya. "Gue bersedia, tapi lu juga harus bantuin gue."
"Bantuin apa?"
"Gue mau nolongin cowok gue."
"Apa? Serius?"
"Serius. Bang Dur nolongin gue sampe gue bisa ada di sini sekarang, tapi dia sendiri tertinggal. Gue yakin dia dibawa lagi sama Macan Hitam, entah kali ini diapain. Gue mau para agen itu memastikan, apapun yang mereka lakuin, mereka nggak akan bunuh Bang Dur."
Frans mencerna ucapan Aren, lalu mengangguk perlahan.
"Gimana, lu mau bantu gue?"
"Baiklah," ujar Frans. "Sekarang, tolong mintain charger sama siapapun yang lu temuin di luar bangsal ini."
"Nggak perlu, gue ada, kok. Tadi gue udah nge-charge hape gue." Aren memindahkan adaptor charger ke colokan di nakas Frans dan menyodorkan kabelnya ke tangan Frans.
"Makasih." Frans tersenyum girang begitu ponselnya menyala lagi. "Eh, password WiFi-nya apa, ya?"
"Duh, berisik aja ini orang. Password-nya 'PhillipPalingGantengSedunia'. L-nya dua. Setiap kata diawali huruf besar."
"Eh, seriusan itu?"
"Dari tadi nanya mulu, lu kira gue lagi mood becanda, apa?"
"Maaf, maaf. Gue nggak nyangka aja, Bang Phil receh juga."
Aren hanya mengangkat bahunya lalu kembali berkutat dengan pikirannya.
Setelah berhasil terhubung ke WiFi markas Penumbra, ponsel Frans segera dibanjiri ratusan notifikasi dari aplikasi chat yang paling sering digunakannya. Tentu saja sebagian besar berasal dari Milva. Gadis itu mengirimi pesan selang satu jam sekali sejak Frans ikut serta dalam penggerebekan markas Macan Hitam di Bogor kemarin sore.
Milva: Papans Sayang gimana misi kamu? Udah sukses dong? Hehehe
Milva: Papans, kok masih belum ada kabar sih? Kamu baik2 aja kan? Chat aku Yang :(
Milva: FRAAANNSSSS!!!! Tebak aku lagi mikirin siapa? :(
Milva: Huhuhu Papans aku denger ada kekacauan di RS Bhayangkara Polri. Kamu lagi gak di situ kan Sayang? Kasih tahu aku dong, aku cemas banget nih :(
Milva: Kok lama2 aku kesel ya pacaran sama polisi
Milva: Sayang ... aku doain kamu baik2 aja. Aku takut nih kamu kenapa2 :(
Frans memajukan bibirnya tanpa sadar. Dalam hati, ia merasa bersalah terhadap Milva karena telah membuatnya cemas. Sebelum pindah ke Divisi Reskrimum, Frans bertugas di Korps Brigade Mobil (Brimob) selama dua tahun. Beberapa kali ia diturunkan untuk turut mengamankan peristiwa-peristiwa yang rawan rusuh, tetapi belum pernah sampai absen mengabari Milva hingga lewat sehari. Pertempuran terberatnya adalah dua bulan lalu, saat pertarungan antara sang Vigilante dan Macan Hitam memaksa polisi menutup beberapa ruas jalan di kawasan Sudirman-Thamrin. Itu pun usai dalam sehari.
Frans: Sayang, aku baik2 aja. Aku telepon ya?
Ia menekan nama Milva yang terletak di daftar paling atas kontaknya. Tak lama kemudian, ia pun terhubung dengan kekasihnya. Suara tangisan Milva-lah yang pertama kali ia dengar.
"Vava, Sayang ...."
"Papans!" isak Milva dari seberang telepon. "Aku ... aku cemas setengah mati, tahu! Aku berdoa terus dari tadi, kirain kamu luka parah. Kamu beneran baik-baik aja?"
"Iya, Sayang, aku baik-baik aja, kok. Em ... sebenarnya nggak seberapa, sih. Aku terluka, Va. Tapi aku yakin pasti bisa sembuh." Frans menelan salivanya sembari mengakhiri ucapannya yang ia sendiri tak yakin.
"Ganti video call, Papans!" rengek Milva.
"Sayang ..."
Belum sempat Frans melanjutkan kata-katanya, Milva telah mengganti mode panggilan telepon menjadi panggilan video. Namun pada saat yang bersamaan, Phillip dan Bagus masuk ke dalam bangsal perawatan bersama dokter Farhan.
Melirik ke arah atasannya dan sang agen Penumbra, Frans malah menerima panggilan video dari Milva. Ia menyorotkan ponselnya agar hanya memuat wajahnya sambil tersenyum bagaikan tak ada apa-apa ke arah kekasihnya yang memicing curiga dari seberang telepon.
"Nah, Vava, percaya, kan, aku baik-baik aja?"
Milva mengerucutkan bibirnya. "Itu lehermu kenapa?"
"Cedera dikit, Sayang. Tapi bakal cepet sembuh, kok. Udah, ya, aku harus matiin dulu, ditungguin Mas Bagus. Bye, I love you, muaahhh!"
Tingkah Frans mengundang berbagai reaksi dari tiga penontonnya. Aren berlagak muntah, Phillip hanya melipat lengannya, sedangkan Bagus yang masih duduk di kursi roda menghampirinya. Hanya dokter Farhan yang tidak menunjukkan ekspresi apapun.
"Frans, dokter Farhan akan memeriksamu," ujar Bagus. "Beliau punya teknologi untuk mempercepat kesembuhanmu."
Frans mengernyitkan dahinya. "Apakah ini seperti ibunya Wirada?"
"Semacam itu," ujar dokter Farhan. "Hanya saja, ini berupa serum, bukan rekayasa genetika seperti yang dilakukan Trisno Adipramana terhadap Marni."
Frans menatap Bagus penuh tanda tanya, tetapi atasannya itu tidak memiliki jawaban.
"Saya juga sudah diberikan serum tersebut," ujar Bagus. "Katanya efeknya baru akan terasa setelah beberapa jam."
"Ahem," decak Aren, menyenggol perlahan lengan Frans.
"Mas Bagus," panggil Frans sebelum Bagus menjauh untuk memberikan ruang kepada dokter Farhan. "Saya ... Aren punya usul."
"Hm?" Bagus menoleh ke arah Aren.
"Aren minta dilibatkan dalam misi apapun yang kalian rancang," ucap Frans, bergantian memandangi Bagus dan Phillip. "Dia ingin menyelamatkan Duren."
Bagus menatap wajah Aren, lalu dahinya yang masih diperban, lalu mengernyitkan dahinya. "Tapi Aren masih terluka ...." Ia mengalihkan pandangannya ke arah Phillip. "Karena ini sudah termasuk misi gabungan dari kepolisian dan Penumbra, saya ikut keputusan Phillip saja. Aren sudah di luar wewenang saya."
"Menurut gue, bisa jadi ada untungnya kalau Aren ikut," timpal Phillip setelah berpikir sesaat. "Mau nggak mau, kita pasti harus menangkap Duren lagi. Dia terlalu berbahaya di tangan Wishnu. Kemarin malam saja, sudah ada kejadian ...." Ia melirik ke arah Aren dan menghentikan ucapannya. "Yang penting, Aren harus sembuh total dulu sebelum ikut. Kita lihat efek dari serum ini."
"Kapan kalian akan menyerang?" tanya Aren.
"Kami masih menunggu Mas Elang dan Kenari pulih. Mereka dibutuhkan untuk menopang Wirada," sahut Phillip.
"Wirada?" Aren melebarkan matanya tak percaya.
"Ya, bocah itu ternyata punya kekuatan. Nanti gue update kalian dengan berita terbaru. Sekarang, biar dokter Farhan menangani kalian dulu," jelas Phillip.
***
Di ruang simulasi Penumbra, Wirada mengenakan kostum pemberian Tiara -- persis sama dengan yang disumbangkan sang pebisnis kepada Operasi Singa Putih untuk memberantas Macan Hitam. Namun kepalanya tidak tertutup helm. Tiara sedang mengajari Wirada cara mengoperasikan kostum tersebut. Beberapa kali Wirada salah memberi perintah yang malah berefek membahayakan diri sendiri dan juga Tiara.
"Dorong gue!" seru Wirada.
Sesuai dengan perintahnya, kostumnya memberikan daya dorong kepada Wirada, tetapi ia malah menabrak tembok.
"Aduh! Mbak Ti, kok gini, sih, jadinya?" keluh pemuda itu sambil mengusap dahinya yang nyeri.
Tiara hanya mengembuskan napas dan menepuk dahinya. "Saya kan sudah bilang, nggak perlu pakai tenagamu kalau mau pake dorongan kostum. Jadinya terlalu jauh."
"Oh, gue kira kostumnya bisa baca otak gue. Eh, iya, gue bahkan nggak pake helmnya," cengir Wirada. "Kalau yang ini bisa ngapain, tuh?"
Ia mengangkat tangan kanannya dan menekan tombol di jarinya. Gelang di pergelangan tangannya memuntahkan peluru misil yang mengarah ke Tiara. Untunglah sang vigilante segera berguling menghindar sehingga tidak tertembak.
"WIRADA! Kamu mau bunuh saya?" seru Tiara.
"Maaf, maaf, Mbak Ti."
"Saya berikan kamu kesempatan untuk test drive, asal jangan sampai terbunuh saja," ujar Tiara pasrah.
"Tes dry itu apa, Mbak?"
"Uji coba," sahut Tiara, terlalu malas mengoreksi ucapan Wirada yang salah.
Ia menyingkir ke luar ruang simulasi dan duduk di sebelah Elang. Lelaki berkulit sawo matang dengan brewok tipis itu tersenyum ke arah Tiara.
"Perjalanannya masih panjang," ujarnya.
"Panjang sekali." Tiara menghela napas. "Baru saja dua bulan lalu saya turun ke jalan menjadi vigilante. Saya kira saya satu-satunya. Ternyata banyak hal yang jauh lebih aneh. Urusan cincin, para jin, dan dimensi Nirhayati." Ia menggelengkan kepalanya. "It seems like everything has escalated quickly."
"Banyak hal yang belum Anda tahu, Mbak Tiara," timpal Elang. "Yang saya dan Kenari ketahui ini telah hadir jauh sebelum negara ini berdiri. Bahkan sebelum kerajaan-kerajaan menguasai wilayah Nusantara." Lagi-lagi ia melemparkan senyumnya. "Saya paham, ini pasti sulit diterima oleh otak, hanya bisa dipercaya oleh orang yang pernah mengalaminya."
Tiara mengedikkan bahu. "Mau nggak mau, saya harus percaya. Saya melihat sendiri efeknya dengan mata saya."
"Baiklah, sepertinya ini giliran saya," ujar Elang sambil beranjak dari tempat duduknya.
Ia pun masuk ke dalam ruangan simulasi, menghadap Wirada yang duduk bersandar ke dinding sambil mengunyah energy bar-nya.
"Gimana, capek?" tanya Elang.
"Lumayan, Bang. Masih kuat, sih," sahut Wirada dengan mulut penuh.
"Saya nggak akan ajarin kamu pindah dimensi dengan sendirinya, karena mempelajari proyeksi astral butuh waktu yang sangat lama, bahkan untuk keturunan jin sepertimu. Saya tetap akan memindahkan jiwamu antar dimensi. Kamu cukup berlatih menyesuaikan bertarung dengan kostum sekaligus berpindah antar dimensi. Gimana, ngerti?"
Wirada menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Langsung tunjukin ke gue aja, Bang. Pusing kalau kebanyakan penjelasan."
"Saya harus pergi ke kantor," ujar Tiara setelah memeriksa ponselnya. "Nanti sore mungkin saya akan kembali."
"Baik, Mbak Tiara," respon Elang sambil merapatkan dua jarinya dan menggerakkannya.
"Bye-bye, Mbak Ti. Makasih udah ngasih kostum keren ini ke gue. Maaf tadi gue hampir bunuh Mbak Ti," sambung Wirada sambil melambai-lambaikan kedua tangannya ke arah kaca yang membatasi ruang simulasi dengan bagian luar.
.
.
.
-- Tanjung Priok, 11:00 WIB
Trisno menatap Marni yang terbujur kaku di atas tandu beroda di ruang perawatan, masih di atas kapal pengangkut barang itu. Wajahnya sangat pucat, bagaikan tak bernyawa. Namun ketika Trisno memeriksa denyut jantungnya, ia pun bernapas lega. Marni masih bernapas.
Mata Trisno terpejam. Mulutnya komat-kamit merapalkan mantra. Ketika ia membuka matanya, warna irisnya berpendar kekuningan. Ia telah berpindah ke dimensi Nirhayati.
"Marni," ujarnya dengan suara tercekat.
"Mas Trisno?" Suara lembut Marni selalu dapat menenangkan jiwanya.
"Marni, maafkan aku karena gagal melindungimu," lanjut Trisno dengan penuh penyesalan.
"Aku lelah," aku Marni. "Aku capek hidup seperti ini terus, Mas. Aku hanya ingin hidup tenang dengan anak-anakku. Aku ingin bertemu Diah dan cucu-cucuku. Apakah kamu bisa memberikan itu padaku?"
Trisno menatap Marni nanar. Rasa sakit terpancar di matanya. "Marni ... maafkan aku ... tapi kamu sudah terlalu jauh terlibat dengan semua ini. Aku nggak bisa melepaskanmu. Tanpa perlindunganku, Wishnu akan membahayakanmu. Aku janji, setelah misi kami selesai, aku akan memberikanmu kehidupan yang kamu inginkan."
"Aku sudah hidup belasan tahun seperti ini. Menunggu setahun atau dua tahun nggak akan ada bedanya," desah Marni. "Tapi bisakah kamu juga menjamin keselamatan Cahyo dan Wira?"
"Akan kuusahakan, Sayang," sahut Trisno.
Trisno membuka matanya. Ia telah kembali ke dimensi Hayati. Marni masih berbaring di atas tempat tidurnya. Ia memeriksa keadaan fisiknya. Dampak kejatuhannya meremukkan tulang rusuknya dan menggeser persendiannya, tetapi kemampuan regenerasi selnya akan menyembuhkan semua cederanya.
Hanya saja ....
Trisno mengepalkan kedua tinjunya. Wishnu memang keterlaluan. Ia melibatkan Marni dengan dimensi Nirhayati ketika ia memindahkan raga Marni dari markas Penumbra ke kapal ini dengan cincin Paramarta. Padahal itulah yang paling ingin ia hindarkan dari Marni. Cukup Marni berurusan dengan N.I.M.R.O.D saja. Jangan sampai ia terpengaruh dunia para jin. Karena itu sangat berbahaya, tak lagi mengancam tubuh fisik, melainkan jiwa. Siapapun yang berhubungan dengan dimensi Nirhayati, takkan bisa lepas seumur hidupnya.
Kecuali ....
Ada yang menggantikan posisinya.
Namun itu pun tak boleh sembarang orang. Harus orang tertentu, yang diterima dan disetujui oleh para jin.
Trisno tahu, ia harus mengorbankan dirinya demi Marni. Namun ia masih terikat suatu perjanjian. Perjanjian yang menjadikan dirinya pelindung sekaligus pengikut Wishnu.
.
.
.
-- Markas Penumbra, 11:45 WIB
"Bangun!" panggil Elang kepada tubuh Wirada yang masih tergeletak di lantai ruang simulasi.
Pemuda itu masih belum tanggap ketika jiwanya telah kembali ke tubuhnya. Seharusnya ia segera bangkit dan melanjutkan pertempuran dengan tubuh fisiknya, tetapi ia masih butuh waktu untuk penyesuaian.
Wirada segera melompat ke atas kakinya. Sebuah target hologram terpampang jelas di depan matanya. "Misil!" serunya sambil mengarahkan pergelangan tangannya kepada target. Peluru misil itu melesat menembus kepala target.
"Telat dua menit. Kalau begini di medan perang, kamu udah keburu mati," kata Elang sambil menoyor kepala Wirada dengan tangannya.
"Emang kalau tubuh gue mati, tapi jiwa gue masih di Nirhayati, gimana jadinya?" tanya Wirada.
"Ya, kamu jadi hantu gentayangan," sahut Elang cuek.
"Beneran, Bang?" Wirada membelalakkan matanya.
Elang menggeleng. "Tanpa tubuh fisik, kamu nggak akan bisa kembali ke dimensi Hayati. Makanya, selama pertempuran, harus ada yang menjaga tubuh fisikmu." Ia berhenti sejenak untuk berpikir. "Kecuali ... ada tubuh kosong yang bisa kamu pakai. Tubuh itu pun harus masih dalam kondisi prima, misalnya orang yang lagi koma atau baru saja meninggal tapi tubuhnya masih utuh. Tapi itu cuma bisa kalau ilmumu udah tinggi."
Wirada mengangguk-angguk. "Terus kenapa gue nggak bisa di-teleport aja?"
"Teleportasi, atau kami menyebutnya perpindahan raga, memerlukan energi yang sangat besar karena menyangkut dua dimensi sekaligus," jelas Elang. "Makanya kenapa Wishnu membutuhkan cincin Amartya dan Paramarta untuk memindahkan raganya."
"Tapi tadi dia bisa menghilang ... sekaligus bawa Emak juga," protes Wirada.
"Ucapanku belum selesai," tegas Elang. "Tanpa kedua cincin, seseorang yang ilmunya sudah tinggi bisa melakukannya. Tapi energinya sangat besar. Ia takkan bisa melakukan jurus-jurus lain sebelum energinya pulih. Karena itu, ilmu pemindah raga sangat berisiko. Tadi, Wishnu masih menggunakan bantuan dari cincin Paramarta. Jadi ia tak menggunakan seluruh energinya. Hanya saja, sekarang dia pasti masih sangat lemah karena memindahkan dua raga sekaligus. Raganya sendiri dan raga ibumu."
"Kalau gitu sekarang kita harus serang dia, dong!" timpal Wirada.
"Tapi saya dan Kenari juga masih sama-sama lemah."
Wirada mengembuskan napasnya. "Emang nggak ada pendekar lain yang bisa dipanggil untuk membantu kita?"
"Pendekar lain, sih, banyak," senyum Elang. "Tapi mereka punya tugas masing-masing yang nggak bisa ditinggalkan secepat itu. Lagipula mereka nggak berada di dekat sini. Pendekar yang menjaga Jakarta, ya, cuma Kenari."
"Satu Mbak Ken menjaga seluruh Jakarta?" Wirada membelalakkan matanya tak percaya.
"Sebenarnya sebutan 'pendekar' kurang tepat," ujar Elang. "Kami lebih tepat disebut 'Perantara.' Penghubung antara dimensi Hayati dan dimensi Nirhayati. Dan, ya, hanya satu Kenari yang 'menjaga' seluruh Jakarta. Sudah cukup pertanyaannya. Sekarang lanjut latihan."
***
Menjelang makan siang, Wirada baru selesai berlatih. Ia sudah kelaparan setengah mati. Ketika Phillip menjemputnya untuk mengantarnya ke kantin Penumbra, Wirada sebenarnya ingin mengamuk melihat antrian yang cukup panjang. Namun Phillip memelototinya agar ia tidak bertingkah macam-macam.
"Kalau lu nggak berkelakuan baik, gue yang kena batunya. Terus ujung-ujungnya gue harus ngusir lu dari sini," ancam Phillip.
Wirada menggoyangkan kakinya tak sabar, tetapi ia terpaksa menurut. Ketika gilirannya tiba, ia langsung mengambil porsi besar dan menumpuknya di atas piringnya. Bahkan ia mengambil piring kedua dan mengisinya dengan sama penuhnya.
Phillip tak berkomentar melihat ulah Wirada. "Gimana latihanmu?"
"Mhayan," sahut Wirada dengan mulut penuh. "Thaphi chaphek."
"Maksud gue, lu udah siap ngadepin paman lu yang gila itu?"
Kali ini Wirada menelan makanannya sebelum menjawab. "Ayolah, Bang. Tadi aja gue berhasil rebut cincin Amartya dan motong tangan Om Bangke sebelum gue latihan. Apalagi sekarang."
"Dia berhasil melukai Malika. Dan nyokap lu ada di tangannya sekarang. Kita nggak bisa menggunakan efek surprise seperti tadi -- walaupun harus gue akuin, lu punya potensi."
Wirada menghela napas. "Gimana keadaan Mal sekarang? Gue boleh jenguk?"
"Boleh, setelah makan."
Ajaibnya, Wirada berhasil menandaskan dua piring penuh makanan tersebut hampir secepat Phillip menghabiskan satu piringnya yang tidak penuh-penuh amat. Setelah meletakkan piring bekas mereka di meja khusus piring kotor, Wirada dan Phillip berjalan menuju bangsal perawatan. Malika telah dipindahkan ke ruangan yang sama dengan Frans dan Aren. Kenari dan Elang pun beristirahat di sana.
Malika masih berbaring di tempat tidurnya, tetapi ia sudah sadarkan diri. Ketika melihat Wirada memasuki ruangan, ia menutup buku karangan Pramoedya Ananta Toer yang sedang dibacanya.
"Mal!" Wirada setengah berlari mendatangi sisi kasur Malika. "Syukurlah lu udah sadar. Gue takut setengah mati, Wishnu celakain lu."
"Ya, berkat bantuan lu, makasih, Wir," sahut Malika.
Wirada melirik ke arah Elang dan Kenari, tetapi Kenari masih tertidur dan Elang sedang berbicara dengan Phillip.
"Mal, apakah ada efek samping dari pengobatan yang gue lakuin? Soalnya ... lu tahu ... gue pake cincin sakti buat nyembuhin lu."
Malika mengernyitkan dahinya. "Gue baru bangun selama sejam, Wir. Selama ini, rasanya nggak ada yang aneh."
Namun Wirada merasa sepintas ia melihat kilat cahaya kekuningan di mata Malika.
.
.
.
Bersambung.
(7 Januari 2019)
3300++ kata
Noh mamam panjang. :P
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top