Bab 32: Hajar

Beberapa jam yang lalu, seorang agen perempuan Penumbra mengantar Malika ke sebuah ruangan khusus yang lebih mirip bunker daripada kamar tidur, untuk tempatnya beristirahat malam itu. Malika dapat membukanya dari dalam, namun hanya agen Penumbra yang dapat membukanya dari luar. Kata Phillip, itu demi keamanannya. Phillip dan beberapa orang lain, termasuk Wirada, percaya bahwa Malika-lah target Wishnu selanjutnya, sehingga mereka harus melindunginya dengan berbagai cara.

Interior ruangan itu tak begitu buruk. Sebuah kasur bersprei putih bersandar ke dinding yang juga putih bersih. Di sebelah kasur, terdapat nakas kecil berwarna putih juga. Saking rapinya, kamar ini terlihat sangat tidak bersahabat -- namun Malika tak peduli. Ia berusaha bersyukur karena para agen Penumbra memerhatikan keselamatannya.

Sebenarnya ia bosan. Ia lebih suka tinggal di kosannya bersama teman-temannya, lalu pergi kuliah seperti biasa. Namun apa boleh buat. Keterlibatannya dengan Wirada membawanya ke dalam bahaya.

Setidaknya, koneksi Internet di markas Penumbra sangat lancar. Gratis lagi. Ia masih dapat mengerjakan tugas walaupun tidak menghadiri kelas.

Pukul dua dini hari, setelah mengikuti rapat bersama Wirada, Phillip, Marni, Tiara, dan Kenari, ia segera pergi ke kamar tidurnya. Ia sangat mengantuk. Tidak biasanya ia bangun hingga selarut itu. Namun ia tak kunjung tertidur. Terlalu banyak informasi yang beredar di pikirannya. Terutama soal eksperimen manusia dan dimensi Nirhayati. Yang mengejutkan, Wirada adalah bagian dari keduanya.

Udah, pokoknya, kalau semua beres, jangan deket-deket lagi sama Wirada, deh. Dia berbahaya, nggak aman buatmu. Dia akan mengacaukan rencanamu dan masa depanmu, Malika menegur dirinya sendiri dalam hati.

Untuk menenangkan dirinya, Malika mengucapkan doa singkat sebelum tidur. Ia berdoa untuk keselamatan dirinya. Juga keamanan keluarganya. Tak lupa untuk para agen Penumbra dan polisi agar dapat segera menuntaskan masalah ini. Setelah itu ia menarik selimutnya dan memejamkan mata.

Malika tertidur selama beberapa jam. Mendekati pukul setengah lima, ia terbangun untuk sholat subuh. Namun ia tak dapat menggerakkan tubuhnya.

Sosok bayangan bercahaya kuning menembus masuk bunker-nya melalui pintu. Bayangan itu memiliki wajah Wishnu. Malika terperanjat. Ketika bayangan itu melayang semakin mendekati dirinya, Malika menutup matanya rapat-rapat. Jantungnya berdebar kencang. Keringat dingin mengucur dari pelipisnya.

Tiba-tiba ia teringat untuk berdoa. Maka ia segera berdoa lagi. Doanya manjur, bayangan kuning berwajah Wishnu itu terdorong mundur. Asap hitam membakar punggungnya. Namun bayangan itu tidak menyerah. Ia murka atas kekalahannya.

Matahari mulai terbit. Sinarnya masuk melalui jendela kecil di ruangan tersebut. Wishnu mengangkat kepalanya sejenak, menyadari waktunya singkat. Ia menggunakan cincinnya untuk memanggil raganya ke tempat itu. Kedua cincin di tangan bayangannya bersinar. Kini wujudnya menjadi nyata, tak lagi berupa bayangan.

"Aaaaa!!!" teriak Malika ketika Wishnu menusuk pinggangnya dengan belati.

Pada saat yang bersamaan, jiwa Wirada dan Kenari segera berpindah ke dalam kamar Malika melalui dimensi Nirhayati. Sayangnya, mereka tak dapat memindahkan raga mereka ke sana, seperti yang Wishnu lakukan.

Merahnya darah menodai sprei putih kasur yang ditempati Malika. Wirada membelalakkan matanya panik. Spontan ia mengulurkan tangannya untuk menopang Malika, tetapi tangannya hanya menembus tubuh gadis itu.

"Mbak Ken, apa yang harus kita lakukan?" tanya Wirada cemas.

Untunglah Kenari cepat tanggap. "Kita harus kembali ke dimensi Hayati. Kembalilah ke ragamu, beritahu Kak Phillip dan lainnya. Aku akan mengirimkan bantuan kemari sambil menghalau Wishnu juga."

Dengan kata-kata tersebut, Kenari mengutus jiwa Wirada ke tubuhnya, karena Wirada belum mampu melakukan itu sendiri. Sementara itu, Kenari sendiri kembali ke tubuhnya selama beberapa detik, hanya untuk membunyikan alarm tanda bahaya supaya agen-agen Penumbra segera menolong Malika. Kemudian ia kembali ke dimensi Nirhayati untuk melawan Wishnu.

***

TET! TET! TET! TET!

Bunyi alarm di markas Penumbra memekakkan telinga. Beberapa orang agen dan tim medis berlari ke ruangan Malika, termasuk Phillip dan Wirada. Agen yang paling depan menempelkan tangannya ke alat pemindai di dekat pintu untuk membukanya, tetapi tidak berhasil.

"Ada apa?" tanya Phillip. "Kenapa pintunya nggak terbuka?"

"Macet, Agen Phillip," sahut agen tersebut.

"Minggir," ujar Phillip sambil menyeret lengan agen tersebut dan mendorongnya menjauh. Lalu ia mengutak-atik alat pemindai itu, memutuskan sambungan listrik yang mengaktivasi penguncinya. "Dorong!" ia memerintahkan para agen yang lain.

Pintu besi itu terbuka. Di dalam ruangan, Kenari dan Wishnu sedang bertarung di dimensi Nirhayati, tetapi tak ada yang dapat melihat mereka. Anggota tim medis perlahan-lahan memindahkan tubuh Malika ke atas tandu dan mendorongnya ke ruang perawatan.

"Sial!" gerutu Phillip. "Gue nggak memperhitungkan ada kemungkinan serangan dari dimensi Nirhayati!" Ia memukulkan kepalannya ke dinding.

"Gue nggak akan memaafkan Wishnu!" tegas Wirada. "Di mana dia sekarang?" Ia segera berlari ke ruang tengah di lobby markas, di luar bangsal perawatan.

"Mau ke mana lu?" panggil Phillip.

"Nyari Mbak Ken! Gue minta dia ngirim gue balik ke dimensi Nirhayati!" seru Wirada.

Wirada bergegas ke ruangan tempat Kenari masih bersemedi, ruangan yang sama tempat Phillip dan Tiara mempelajari isi buku merah Trisno bersama Wirada. Namun pemandangan yang dilihatnya mengejutkannya. Tubuh Kenari bersinar oranye, lalu merah, dan titik-titik air mengucur dari dahinya.

Kenari terbatuk-batuk. Darah keluar dari sudut mulutnya. Ia membuka matanya -- irisnya menunjukkan cahaya kemerahan lagi. Wirada tahu, Wishnu terlalu kuat bahkan untuk dilawan Kenari.

"Mbak Ken! Mbak Ken!" panggil Wirada.

Terengah-engah, Kenari mengatur napasnya. Ia menyeka mulutnya dengan punggung tangannya. Ia memutar kepalanya mencari sumber suara.

"Wirada! Wishnu ... Wishnu terlalu kuat ... dengan kedua cincin itu," desahnya. "Dia bisa memindahkan jiwanya dan raganya sekaligus. Ini sangat berbahaya. Dia bisa mencelakai Malika lebih jauh lagi."

"Kirim gue. Gue yang akan melawannya," ujar Wirada.

"Kamu?" Kenari melebarkan matanya. "Wir ... Wishnu nggak bisa mencelakai Malika lewat dimensi Nirhayati ... karena dia anak yang baik. Tapi dia bisa mencelakainya lewat dimensi Hayati, itulah yang dia lakukan. Apa yang mau kamu lakukan? Kamu bahkan belum terlatih."

"Gue ..." Wirada memutar otaknya. "Gue saudaranya. Selain itu, gue tumbuh di Macan Hitam. Pasti ada sesuatu yang bisa gue lakukan."

Kenari mengamati Wirada tak yakin. Ia menggelengkan kepalanya perlahan. "Mengirim Perantara tak terlatih sangat berbahaya, Wir. Aku bisa dihukum guruku."

"Tapi gue bukan Perantara," tegas Wirada. "Gue keturunan jin. Dimensi Nirhayati adalah bagian dari diri gue."

Kenari menghela napas. "Baiklah."

***

Untuk ketiga kalinya, Wirada menemukan dirinya di dimensi Nirhayati. Lama-lama, ia mulai terbiasa dengan kondisinya. Semuanya terlihat seperti normal -- dinding putih, sofa, meja, lemari, jendela, dan pintu menuju bangsal perawatan, di mana Frans, Aren, Tiara, Bagus, Marni, dan Elang masih berkumpul -- tetapi ia tak mampu menyentuh apapun. Tubuhnya akan menembus semua benda fisik yang ia lewati. Para agen Penumbra yang berlalu-lalang di lobby tidak mempengaruhi dirinya. Mereka tampak seperti manusia, hanya saja wajah mereka buram, dan jiwa mereka bercahaya warna-warni. Ada yang kuning, oranye, maupun merah. Wirada tak mengerti perbedaannya. Yang terpenting, ia mencari Wishnu.

Instingnya memanggilnya ke ruang operasi, di mana tim medis sedang menangani Malika. Di sana, sekumpulan dokter dan perawat berseragam biru muda dengan wajah ditutup masker berkerumun di sekeliling Malika. Lukanya cukup dalam, mengenai lambungnya. Selain itu, belati yang digunakan Wishnu ternyata beracun, sehingga memperparah kondisinya. Malika sempat kejang-kejang sesaat akibat efek racunnya. Bibirnya membiru. Untunglah keadaannya sudah distabilkan.

Wirada tak melihat Wishnu di dimensi Nirhayati. Namun ia curiga Wishnu menyamar menjadi salah satu dokter atau perawat di ruang operasi itu. Bagaimana cara ia memastikannya? Ia tak dapat membuka masker mereka satu persatu.

Apakah gue punya kemampuan khusus buat ngelihat wajah mereka, atau bahkan jiwa mereka gitu? batinnya.

"Punya," sahut sebuah suara di pikirannya. Suara Kenari.

"Mbak Ken?" bisiknya.

"Ya, ini aku, sedang telepati denganmu," ucap Kenari. "Gunakan mata batinmu untuk melihat jiwa mereka dari dimensi Nirhayati."

"Mata batin? Gimana caranya?"

"Selama ini, kamu menggunakan mata jiwamu seperti mata fisik. Apa yang kamu lihat hanyalah hal-hal fisik. Kali ini, cobalah gunakan mata batinmu. Gunakan hati dan perasaanmu. Bayangkan apa yang kamu ingin lihat. Cobalah rasakan jiwa dan perasaan orang-orang di sekitarmu."

Wirada memejamkan matanya. Ia berusaha membayangkan jiwa-jiwa para dokter dan perawat di sekitar Malika. Lalu ia mencoba merasakan keberadaan jiwa Malika yang tubuhnya sedang sekarat.

"Wirada ..." bisik sebuah suara lembut yang dikenalnya.

"Mal?"

Wirada melihat bayangan jiwa Malika, cahayanya redup, tetapi ekspresi wajahnya sangat teduh. Di sisi lain, ia melihat tubuh Malika yang masih berbaring di meja operasi. Mendadak, hatinya terasa sangat sakit. Semua ini gara-gara dirinya. Jika ia tidak mengintai Malika, mungkin gadis itu akan aman sekarang. Jiwanya menangis, walaupun tak ada air mata yang keluar.

"Mal ... maafin gue ... semua ini salah gue ... lu jadi celaka kayak gini gara-gara gue .... Gue nggak berhasil jagain lu, malah bikin lu sakit .... Maafin gue, Mal ...."

Malika menggeleng. "Sekarang bukan saatnya untuk menangis, Wir," ujar Malika. "Gue masih hidup, tapi nggak akan lama lagi, kalau lu nangis terus." Ia meletakkan tangannya di bahu Wirada. Ajaibnya, Wirada dapat merasakannya. "Tubuh gue sekarat, dan Wishnu ada di sini."

"Yang mana?"

Malika menunjuk ke salah satu dokter yang sedang memegang pisau bedah.

"Gila! Gue harus apa? Gue harus apa?" seru Wirada.

"Cincin itu," bisik Malika.

"Apa?"

"Ingat kata Kak Kenari. Cincin itu sumber kekuatan Wishnu. Kalau lu bisa cabut cincin itu dari tangannya ...."

"Maka dia bakal jadi lemah. Tapi gue harus mencegah dia ngapa-ngapain lu dulu," lanjut Wirada. "Mbak Ken! Tolong kirim gue ke dimensi Hayati!"

"Baiklah," ujar Kenari. "Aku nggak nyangka kamu malah melihat jiwa Mal, tapi, ya sudah, sama-sama berguna."

Wirada menemukan dirinya berada di lobby, tempat terakhir sebelum ia masuk ke dimensi Nirhayati. Ia segera berlari ke arah ruang operasi dan mendorong pintunya. Namun terkunci. Ia menggedor pintu berkali-kali, tanpa hasil. Tiba-tiba ia teringat kekuatannya. Ia berlari mundur secepat mungkin, lalu kembali ke depan ruang operasi, menghantam pintu. Pintu pun terbuka.

Dokter dan perawat di ruang operasi itu tercengang melihat Wirada menerobos masuk. Bagaikan kilat, ia menyambar masker wajah milik Wishnu dan mendorongnya ke dinding.

"Ini dokter penipu!" teriaknya.

Wishnu mengepalkan kedua tinjunya dan mengarahkannya ke para dokter dan perawat. Wirada segera menghalanginya. Energi dari kedua cincin itu sangat panas, membakar telapak tangannya. Namun Wirada bertahan.

BLAR!

Listrik di ruangan itu padam. Dokter dan perawat di sana kehilangan kesadaran mereka, seperti para polisi di Polda Metro Jaya kemarin. Untunglah Wirada menekuk tubuhnya ke belakang sehingga ia tak terkena efek cincin Wishnu ketika energinya menyebabkan ledakan tersebut. Namun tangannya menjadi korban. Telapak tangannya merah terbakar.

"Kamu," kata Wishnu tenang. "Akhirnya ketemu juga. Apa kabar, keponakan?"

"Bangsat!" geram Wirada, mengarahkan tinjunya ke wajah Wishnu. Namun meleset.

"Sebenarnya kamu nggak ada apa-apanya dibandingkan saya, tapi saya masih menghormati Mas Trisno. Jadi saya akan mengikatmu sementara saya menyelesaikan pekerjaan saya," ujar Wishnu sambil menyorotkan cincinnya ke arah Wirada lagi.

Wirada sadar, tak mungkin ia menang jika melawan Wishnu dengan kekerasan. Ia harus menggunakan kecerdikannya. Ia teringat perkataan Kenari, cincin Paramarta harus digunakan untuk kebaikan, atau para jin akan murka.

"Cincin Paramarta," ujarnya. "Om Bangke, lu tahu kan kalau cincin itu nggak boleh lu pake buat ngelakuin hal-hal jahat?"

"Sok tahu kamu," cibir Wishnu. "Saya nggak khawatir dengan para jin. Saya mengontrol mereka di bawah kekuasaan saya."

"Ya, Dedi korbannya," sahut Wirada. Tunggu, Dedi! Mungkin sekarang saat yang tepat untuk memanggil Trisno sebagai bala bantuan. Entah ia bersedia atau tidak.

Wishnu tertawa. "Nggak, tanpa Mas Trisno pun, saya bisa menguasai mereka. Kamu pikir saya nggak bikin semacam countermeasure dulu sebelum menggunakan cincin ini? Nggak, Wirada, saya nggak sebodoh itu."

"Mbak Ken!" seru Wirada. "Lempar gue ke dimensi Nirhayati!"

"Apa rencanamu?" tanya Kenari melalui telepatinya.

"Gue akan kasih tahu sambil jalan."

Di dimensi Nirhayati, Wirada melihat tiga bentuk jiwa yang memandangi Wishnu kesal. Melihat wujud mereka yang berbeda dari jiwa manusia, ia langsung menebak bahwa mereka adalah jin. Yang satu menyerupai lelaki tua berkepala botak dan jenggot panjang. Satu lagi mirip seorang perempuan tua gemuk dengan konde di belakang kepalanya. Yang terakhir, mirip pemuda tanggung yang gondrong dan selalu mengantuk.

"Gue Wirada, gue perlu bantuan kalian."

"Apa maumu, Bocah?" tegur jin yang paling tua, dengan kepala botak dan jenggot panjang.

"Kalian tahu om gue pake cincin Paramarta sembarangan, dan kalian nggak suka itu. Gue minta kalian mematikan kekuatannya, atau memindahkannya ke tangan gue, apa aja asal dia nggak berkuasa lagi."

"Sayangnya, pamanmu benar," desah jin tua itu. "Dia mengalahkan kami, sehingga kami nggak bisa berbuat apa-apa padanya."

"Lah, tapi para jin yang melawan Dedi?"

"Dedi?" tanya ketiga jin itu kompak.

"Trisno Adipramana," sahut Wirada.

"Oohh," respon jin perempuan tua. "Trisno ditipu Wishnu."

"Apa?" Wirada melotot.

"Ya, sebenarnya para jin yang menyerang Trisno itu, hanya jin rendahan yang nggak kami kabarin soal dominasi Wishnu atas para jin," sahut jin perempuan tua. "Wishnu melarang kami memberitahunya, supaya Trisno nggak curiga."

Wirada mendengus. "Jahat sekali Om Bangke itu. Gue nggak ada waktu dengerin bacotan kalian, tapi gue butuh bantuan kalian. Bisa nggak?"

Lagi-lagi, para jin itu saling berpandangan. "Tapi Wishnu ... akan balas dendam ...."

"Bangke!" gerutu Wirada. "Gue akan mengambil posisinya di dunia Nirhayati. Ngerti? Gue ini turunan jin."

"Kamu anaknya Trisno Adipramana, kan? Berarti cucu Shinta Rachmiyanti?" tanya jin lelaki tua.

"Benar," sahut Wirada.

Hening sesaat. Akhirnya jin lelaki tua itu membuka suara lagi. "Baiklah, kami akan membantumu. Kekuatan cincin Paramarta akan kami pindahkan ke tanganmu, asal kamu berada dalam radius sepuluh meter dengan Wishnu. Kecuali kamu mengambil cincinnya."

"Makasih," ujar Wirada, matanya berkilat tegas.

Wirada kembali ke dimensi Hayati. Ia merasakan kekuatan baru di tangannya. Paramarta, berarti baik dan mulia. Mungkin ia dapat menggunakannya untuk menyembuhkan Malika. Ia mengatur napasnya, memusatkan pikirannya, lalu membuka telapak tangannya ke arah Wishnu. Berhasil. Lelaki yang sedang melanjutkan rencana busuknya terhadap Malika itu terlontar, punggungnya menabrak dinding.

Wirada hampir muntah melihat sayatan di perut Malika semakin dibuka. Sepertinya Wishnu ingin mengambil organ gadis itu -- mungkin ginjalnya. Ia membentuk kubah dengan tangan kanannya, di atas perut Malika. Ajaib! Luka itu segera tertutup, seakan tak pernah terbuka. Namun wajah Malika masih pucat dan membiru.

"Mbak Ken! Malika belum sembuh! Gimana ini?"

"Letakkan tanganmu di dadanya dan buang racunnya."

"Apa?"

"Jangan berpikir mesum, Anak Kecil. Kamu mau menolong Mal atau enggak?" tegur Kenari.

Wirada menoleh ke arah Wishnu, yang masih terkapar. Ia segera meletakkan tangannya di atas dada Malika, lalu memusatkan pikirannya. Ia dapat merasakan energi negatif yang berkeliaran di tubuh gadis itu. Ia mengumpulkannya di jantung Malika, lalu membuangnya keluar.

Tubuh Malika tersentak. Ia batuk-batuk, tetapi wajahnya kembali merona normal. Wirada menarik napas lega.

Pada saat yang bersamaan, Wishnu bangun dan mengusap darah dari sudut bibirnya.

"Bocah sialan," ujarnya. "Kamu merebut kekuatan cincin Paramarta dariku. Kamu tahu apa risikonya?"

"Nggak, dan gue nggak peduli," sahut Wirada. "Yang penting Mal selamat."

"Sayang sekali," kata Wishnu. "Kamu memilih cincin yang salah. Cincin Paramarta nggak bisa digunakan buat menyerang. Tapi cincin Amartya bisa."

Ketika Wishnu mengarahkan cincinnya ke Wirada, siap menyerangnya dengan energi dari Amartya, sosok jiwa yang bercahaya kuning muncul. Elang Hardikha. Ia menyandera sosok jiwa lain di tangannya.

"Hentikan, atau jiwanya takkan sanggup kembali ke tubuhnya selamanya," tegasnya.

Wirada dan Wishnu berbalik. Mata mereka terbelalak, terutama Wishnu.

Itu sosok Rani Adipramana.

.

.

.

Bersambung.

(17 November 2018)

2400++ kata

Ini kenapa tokoh baru muncul terus? Tunggu woy, jatah kalian di MK. XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top