Bab 30: Bangkit
END OF SECOND ACT.
.
.
.
-- Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 00:00 WIB
"Jadi kamu sudah paham tugasmu, kan?" tanya Wishnu sambil mengitari Duren yang berdiri tegak nan kaku, bagaikan singa yang mengelilingi mangsanya.
"Sudah, Tuan," sahut Duren dengan suara datar.
"Ulangi," balas Wishnu singkat.
"Saya, Duryodana, panglima dari Tuan Aryadewa Wishnu Adipramana, bertugas untuk mengawasi perdagangan manusia dengan target seratus orang. Proses pemindahan dengan truk kontainer barang dilakukan sedemikian rupa agar tidak memancing kecurigaan warga setempat dan otoritas yang berwenang. Para korban penculikan diantar ke pelabuhan ini."
"Bagus," ujar Wishnu. "Seperti apa ciri-ciri target penculikan yang harus kamu perhatikan?"
"Sehat jasmani rohani, bertubuh ideal, tidak terlalu gemuk maupun kurus, tidak terlalu muda ataupun tua. Diutamakan dari kalangan warga baik-baik, walaupun preman juga dapat dijadikan target jika kuota sehari belum terpenuhi."
"Lalu bagaimana modus penculikan yang akan kamu dan anak buahmu lakukan?"
"Pada malam hari, di jalanan sepi atau daerah hutan, kami akan menargetkan mahasiswa atau karyawan yang pulang sendirian. Tergantung situasi, kami akan membawa personel yang memadai."
Sekali lagi, Wishnu mengangguk puas. "Amunisimu sudah kupersiapkan. Senjata bius yang tidak mematikan, sekaligus pakaian pelindung untukmu dan anak buahmu. Jangan kecewakan saya."
"Baik, Tuan."
"Laksanakan!"
Sambil memberi hormat, Duren mengundurkan diri dari hadapan Wishnu. Di sofa yang bersandar ke dinding, dua meter dari posisi Wishnu dan Duren berdiri, Trisno, Rani, dan Galih duduk menghadap Wishnu. Hanya dua pasang mata yang menatapnya. Trisno menunduk, dengan kepala bertumpu di tangan kanannya, memikirkan Marni dan Wirada yang hilang.
Wishnu melambaikan tangannya di depan mata Trisno. Namun kakaknya itu tidak merespon. Ketika Wishnu mengepalkan tangannya lalu membuka jarinya secara mendadak, bagaikan kembang api, barulah Trisno mengangkat kepalanya.
"Apaan, dah, Nu!" gerutunya.
"Ojo bengong, Mas," sindir Wishnu.
Trisno menarik napas. Matanya memancarkan cahaya kuning seperti yang Wishnu lihat ketika Trisno ditahan di Polda Metro Jaya.
"Nggak baik, Nu," ujar Trisno. "Mereka punya Perantara. Aku merasakan telepatinya dengan Elang Hardikha."
"Oh, ya? Siapa?"
"Kenari Widyaningrum."
Mata Wishnu memicing tajam. Lalu ia menolehkan kepalanya ke arah tahanannya, lelaki berkostum pendekar Jawa yang masih diikat dengan rantai cahaya keemasan.
"Mas Trisno, hentikan telepati mereka."
.
.
.
-- Markas Penumbra, tempat yang tidak diketahui, 01:00 WIB
Kenari Widyaningrum, perempuan berkemeja kuning dan celana panjang hitam itu, duduk bersila di atas sebuah kursi bulat dengan bantalan berwarna putih dan kaki berwarna beige. Matanya terpejam. Tubuhnya dilingkupi cahaya keemasan.
Tak jauh dari tempatnya, Phillip Darmadi duduk sambil membuka kakinya, kedua sikunya bertumpu di atas lututnya. Matanya memandang ke bawah. Sesekali kepalanya diangkat menghadap pintu, seakan-akan menunggu kedatangan seseorang.
Bunyi tuts keypad terdengar dari luar, menandakan seorang agen sedang dalam proses memasuki ruangan tersebut. Kali ini Phillip menangkap dua siluet tubuh di luar ruangan -- seorang perempuan berkaki jenjang dan seorang pemuda yang tingginya sedikit lebih pendek daripada perempuan itu.
"Ti, Wir, kalian sudah datang," ujar Phillip.
Tiara mengangguk. "Dia masih lama?" tanyanya, menunjuk Kenari.
Tepat ketika Tiara mengakhiri ucapannya, Kenari membuka matanya. Cahaya kuning mengelilingi pupilnya, seperti milik Trisno. Namun tiba-tiba titik-titik peluh mulai bercucuran di dahinya. Cahaya itu berubah oranye, lalu merah. Kenari menarik napas dalam-dalam dan mengerjapkan matanya beberapa kali. Matanya pun berubah normal kembali, irisnya hitam.
"Ada apa, Ken? Kamu baik-baik saja?" ujar Phillip sambil mendatangi tempat duduk Kenari.
"Aku baru saja berkomunikasi dengan Mas Elang melalui dimensi Nirhayati," jelas Kenari. "Ada yang mencegatku. Trisno Adipramana. Ayahmu." Ia menatap Wirada tajam.
Wirada, yang baru saja menikmati kecantikan Kenari, spontan mengangkat tangannya tanda menyerah. "Ampun, Mbak Cantik. Gue nggak ngapa-ngapain, sumpah. Kalau dedi gue, maksudnya bokap gue, eh, ayah gue, gangguin Mbak Cantik, gue nggak tahu apa-apa ..."
Kenari menghela napas, lalu mengusap peluhnya. "Bukan begitu maksudku. Aku cuma mau bilang bahwa Trisno Adipramana bukan hanya seorang ilmuwan. Dia juga seorang Perantara yang sangat sakti. Aku ... aku belum bisa menembus barikadenya." Wajah cantiknya berubah sayu.
Phillip menepuk bahu Kenari. "Nggak apa-apa, Ken, yang penting kita tahu Mas Elang masih hidup."
"Tunggu, tunggu," ucap Tiara sambil mengangkat satu tangannya. "Coba jelaskan, apa itu dimensi Nirhayati dan Perantara yang kalian bicarakan? Lalu siapa itu Mas Elang?"
Kenari duduk di sofa dan tersenyum, lalu membuka mulutnya. "Dimensi yang kita tinggali sekarang ini, Mbak Tiara, adalah dimensi Hayati. Dimensi kehidupan, tempat tinggal semua makhluk hidup. Namun di jagat raya ini, dimensi Hayati bukanlah satu-satunya. Ada dimensi lain, salah satunya adalah dimensi Nirhayati. Dimensi tanpa kehidupan."
Tiara mengangguk paham.
"Aku dan Mas Elang adalah Perantara, maksudnya kami adalah jembatan antara dimensi Hayati dan Nirhayati," lanjut Kenari. "Dan ternyata, Trisno juga memiliki kekuatan yang sama. Kalau dia bukan Perantara, maka dia adalah keturunan jin."
Wirada menjatuhkan rahangnya. "Yang bener, Mbak?"
Kenari mengedikkan bahunya. "Aku belum menyelidiki lebih jauh lagi. Tapi kata Mbak Tiara, kita mau menyusun rencana dulu? Gimana?"
"Caraku selalu sama, Mbak Kenari. Kita kumpulkan semua informasi yang kita ketahui, dan sumber-sumber yang kita punya, lalu bertindak sesuai dengan data-data tersebut," jelas Tiara.
"Kemari, kalian semua," ujar Phillip.
Agen Penumbra itu mengajak Wirada, Tiara, dan Kenari berjalan ke arah sebuah meja bundar berwarna putih. Setelah Phillip menekan sebuah tombol di bawah meja, layar hologram kebiruan muncul tepat di diameter lingkaran.
"Ini semua data yang kita peroleh dari buku merah Bu Marni," jelas Phillip.
Raden Sutrisno Adipramana, putra dari pasangan Brahmantyo Adipramana, adik presiden ketiga Indonesia, dan istri pertamanya, Shinta Rachmiyanti, yang meninggal di usia tigapuluh tahun karena kanker serviks. Kondisi sang ibunda memicu Trisno untuk menjadi dokter, namun seiring berjalannya waktu, ia ternyata kurang cocok menjadi dokter sehingga beralih ke jurusan farmasi dan biokimia.
"Shinta memang meninggal karena kanker," kata Phillip sambil mengganti tampilan layar hologram, "namun ternyata itu adalah efek dari Brahmantyo yang berkecimpung dalam ilmu hitam. Shinta dijadikan tumbal."
Wirada membelalakkan matanya. "Jadi kakek gue ngorbanin nenek gue? Demi apa?"
"Biasalah, demi kekuasaan dan umur panjang," sahut Phillip. "Makanya, jangan heran kalau istrinya yang sekarang, Kania Yulisawati, juga sakit-sakitan. Dia sama-sama dijadikan tumbal."
"Jahat banget," geram Kenari.
"Lalu apakah diceritakan asal-usul Trisno berurusan dengan ilmu gaib?" tanya Tiara.
"Ya, ketika Trisno tahu kebenaran tentang kematian ibunya, dia juga mulai mempelajari ilmu gaib. Dan ini ... sulit dipercaya ... tapi ..." Phillip mengubah tampilan layar sekali lagi. "Katanya ia bertemu dengan Shinta di dimensi Nirhayati. Shinta adalah separuh jin."
Tiara melirik ke Wirada. Pemuda itu tampaknya sudah terlalu pusing menyerap informasi yang terlalu banyak.
"Berarti kamu ..." ujarnya sambil menyengir ke Wirada, "seperdelapan jin?" Lalu ia terbahak.
"Nggak lucu ini, Mbak Ti! Coba kalau Mbak Ti jadi gue!" gerutu Wirada. "Bayangin kalau Mbak Ti tahu, Mbak setengah genderuwo. Gimana?"
Tawa Tiara makin keras. Phillip dan Kenari ikut tertawa. Namun Kenari yang pertama kali menghentikan tawanya.
"Nggak aneh, kok, Wir. Memang ada manusia keturunan jin. Cuma nggak terekspos publik saja," jelasnya. Ia terdiam sesaat, berpikir, lalu melanjutkan, "Pantesan, Trisno kuat sekali." Ia mengangguk-angguk. "Tapi aku tahu cara mengatasinya. Boleh giliranku sekarang?"
"Silakan," sahut Phillip.
"Tadi, waktu aku telepati dengan Mas Elang, aku jadi tahu kalau Wishnu sebenarnya memegang cincin Amartya dan cincin Paramarta tanpa seizin para jin. Mereka marah. Trisno-lah yang menenangkan para jin supaya nggak menghancurkan Wishnu. Jadi kekuatan barikade Trisno memang kuat sesaat, tapi dia akan cepat lelah. Aku akan coba manfaatkan itu."
Wirada dan Tiara menatap Kenari seakan-akan gadis itu berbicara dalam bahasa alien.
"Mbak cantik, deh, tapi gue nggak ngerti Mbak ngomong apa," ujar Wirada.
Kenari menepuk dahinya. "Udah, Wirada, nggak usah gombal mulu. Aku udah punya cowok."
"Gue nggak peduli, Mbak tetap cantik walaupun punya cowok."
"Minta dilakban mulutnya?" tanya Tiara.
"Ampun, Mbak Ti!" sahut Wirada sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Udah, gue sama Mbak Ken aja. Mbak Ti galak." Ia menjulurkan lidahnya.
Tiara memutar bola matanya, hendak menjawab namun membatalkannya karena hanya akan buang-buang waktu.
"Sudahlah," kata Kenari. "Aku akan jelaskan sedikit tentang cincin yang kusebut. Dalam dimensi Nirhayati, ada tiga cincin yang sangat sakti. Yang pertama, Amartya, artinya penguasa. Yang kedua, Paramarta, artinya baik dan mulia. Cincin Paramarta itu yang dulu disimpan oleh Arifin Saputro, mantan Wakapolda DKI." Gadis itu menoleh ke arah Tiara, yang mengangguk paham. "Yang terakhir, cincin Bhuwana, artinya jagat raya. Jika disatukan, pemakai tiga cincin itu nggak akan bisa dikalahkan. Penguasa jagat raya yang baik dan mulia.
"Tapi cincin itu harus digunakan untuk kebaikan. Terutama cincin Paramarta. Jika digunakan untuk kejahatan, maka para jin di dimensi Nirhayati akan murka, lalu mengancam jiwa penyalahguna cincin tersebut."
"Oh, jadi itu sebabnya Arifin hanya menyimpan cincin itu? Bukankah Bagus memberikan cincin itu padamu, Mbak Ken? Kenapa bisa lepas?" tanya Tiara.
Kenari mengangguk. "Orang yang berhati jahat hanya mendapat perlindungan dari cincin Paramarta, tapi nggak bisa menggunakan kekuatan lainnya. Soal cincin yang lepas dari tanganku ..." Ia menarik napas. "Aku menyerahkan cincin itu pada Mas Elang, karena dia lebih banyak menghabiskan waktu di dimensi Nirhayati. Sayangnya, dia kalah dari Trisno."
"Tunggu," kata Wirada. "Tadi Mbak Ken bilang bisa ngalahin Dedi. Tapi Mas Elang lebih hebat dari Mbak Ken, dan dia kalah dari Dedi."
"Dedi?" Kenari mengernyitkan dahinya.
"Bokap gue," ujar Wirada sambil memutar bola matanya.
Kenari meringis, seakan-akan geli bercampur aneh mendengar Wirada menyebut Trisno 'Dedi.' Namun ia segera kembali ke fokusnya. "Siapa bilang Mas Elang lebih hebat daripada aku?" senyumnya. "Aku hanya bilang Mas Elang lebih banyak menghabiskan waktu di dimensi Nirhayati. Lagipula, Trisno kan sudah semakin lemah karena menenangkan para jin yang mengamuk pada Wishnu."
"Kasihan Dedi," desah Wirada. "Wishnu emang bangsat!"
Kenari melotot ke arah Wirada.
"Maaf, Mbak Ken," ringis pemuda itu.
"Tapi Wirada benar," ucap Tiara. "Well, bukan berarti Trisno juga nggak salah."
"Aku tahu, cuma saja, rasanya terlalu kasar," ujar Kenari. "Baiklah, itu ideku. Gimana dengan Mbak Ti? Atau Wirada?"
"Wirada dulu," ujar Tiara. "Tadi kamu bilang kamu punya seseorang yang cuma mau mendengarkan ibumu. Siapa itu? Trisno?"
Wirada melebarkan matanya. "Kok Mbak Ti tahu?"
"Gampang ditebak. Dia kan ayahmu. Tapi kamu yakin kamu bisa mengontrol dia? Mbak Kenari akan melawan dia, kita satu tim dengan Mbak Kenari, apakah dia nggak akan melawan kita?"
Wirada menggaruk kepalanya yang tak gatal. Seketika, idenya yang terasa brilian beberapa jam yang lalu langsung terasa dangkal dibandingkan kedua perempuan ahli strategi ini. Apalagi mendengar tentang kemampuan Kenari yang sangat tidak membumi.
"Emmm ... gue udah bikin bokap gue janji nggak nyakitin nyokap gue ... dan sepertinya dia beneran sayang sama nyokap gue," ujarnya.
"Worth trying," gumam Tiara setelah merenung beberapa menit. "Tapi kita harus punya back-up plan."
"Biar gue dan agen-agen gue yang meng-cover sisanya," ujar Phillip. "Sebenarnya masih ada informasi lainnya tentang asal-muasal eksperimen Trisno dan Galih, tapi terlalu lama kalau dibahas sekarang. Kita sudah tahu tentang manusia eksperimen itu, dan seberapa besar kekuatan mereka. Sebaiknya kita susun rencana aja sekarang."
***
Duren bergerak cepat. Setelah menerima perintah dari Wishnu untuk merencanakan penculikan warga sipil, ia tak membuang waktu dan segera melancarkan aksinya. Di seluruh pelosok Jakarta, ia dan rekan-rekannya, sesama manusia berkemampuan super, berkendara motor untuk menyusuri jalanan untuk mencari mangsa. Mengenakan jaket hitam, celana panjang hitam, helm hitam, dan mengendarai motor hitam, mereka bagaikan pasukan kematian.
Mereka menculik korban dengan cepat dan tanpa suara, tanpa saksi mata, karena siapapun yang melihat kejadian itu langsung dilumpuhkan pula. Anak buah mereka, anggota Macan Hitam level dua dan tiga yang masih manusia biasa, menunggu di dalam mobil van yang bersembunyi di sudut jalan. Mereka memasukkan korban ke dalam mobil van, lalu mobil van itu mengirim para korban ke truk kontainer, yang berkendara ke Pelabuhan Tanjung Priok.
"Bagus," ujar Wishnu ketika Duren kembali ke markasnya beberapa jam kemudian. "Sekarang, Kang Galih bisa memeriksa kesehatan mereka, sebelum kita menjual mereka kepada Tuan Ulyanov. Sekarang pergilah dan istirahat. Tugasmu akan dilanjutkan besok malam."
Tanpa mengatakan apapun, Duren hanya mengangguk, lalu meninggalkan lobby kapal. Setelah panglimanya pergi, Wishnu masuk ke dalam kamarnya. Rani sudah menunggu di atas tempat tidur, duduk sambil menyilangkan kaki jenjangnya. Tubuh seksinya hanya berbalut kimono sutra. Wishnu menatap adiknya dengan mata berbinar-binar, namun Rani tidak memberikan respon yang sama.
"Sebentar lagi pagi. Aku harus pulang," ujar Rani.
Wishnu berdecak. "Bisakah kamu menggugat cerai Narendra?"
Rani menggeleng. "Kamu gila? Aku masih memerlukan sandiwara ini sampai tujuan kita tercapai, Nu."
"Tapi aku udah nggak sabar," desah Wishnu. "Aku nggak mau berbagi kamu dengan siapapun. Termasuk anak-anakmu."
"Sssstt!" ujar Rani. "Di sini nggak aman. Jangan macam-macam."
"Persetan."
Tanpa sepengetahuan mereka, sekelibat bayangan dengan cahaya keemasan menyapu jendela kamar. Bayangan itu memiliki wajah Elang Hardikha, rekan Kenari, yang ditahan di kapal.
***
Aren membuka matanya. Kepalanya terasa sangat sakit. Ia menyentuh keningnya yang diperban. Sambil mendesah perlahan, ia menoleh ke sekitarnya. Kasur-kasur hampa berjajar di sebelahnya. Hanya ada satu kasur yang terisi. Milik Frans. Polisi itu masih belum sadarkan diri. Aren meraih jam di atas nakas di tempat tidurnya. Menunjukkan pukul setengah lima pagi.
Di mana ini? Apa yang terjadi? Di mana Bang Dur?
Perlahan, ia menjejakkan kakinya di lantai dan berusaha berdiri. Kepalanya masih terasa pusing. Ia berpegangan pada tempat tidur untuk menyeimbangkan dirinya.
"Jangan turun dulu, Nak." Sebuah suara mengejutkannya.
"Siapa itu?" tanya Aren.
"Saya dokter Farhan, yang menangani kamu. Sebaiknya kamu tetap beristirahat di atas tempat tidur."
"Oke, kalau dokter bisa jelasin gue di mana, dan apa yang terjadi pada Bang Dur," ucap Aren.
"Kamu di bangsal perawatan suatu rumah sakit khusus. Sayangnya saya nggak bisa jelaskan lebih lanjut. Mengenai Bang Dur, siapapun itu, dia nggak ada di sini, Aren."
Aren menghela napas. "Berarti mereka gagal membawanya. Gue harus cari Bang Dur!"
"Tenang, Aren," ujar dokter Farhan. "Orang-orang kami pasti akan mencarinya. Kamu istirahat saja yang cukup, supaya cepat sembuh."
"Apa yang terjadi pada gue?"
"Kamu gegar otak, Nak. Kepalamu terbentur cukup keras. Kamu ingat?"
Aren mencoba mengingat. Terakhir kali, ia bersama Duren berlari menyusuri tangga, ke puncak gedung rumah sakit, berusaha menaiki helikopter. Lalu ia terjatuh.
Pantes gue pusing bener, batinnya.
"Iya, dokter."
"Syukurlah, memorimu nggak terganggu," ujar dokter Farhan. "Kepalamu mengalami luka luar, namun otakmu masih berfungsi dengan baik. Istirahat saja. Jangan terlalu banyak berpikir."
Aren masih belum puas. "Gimana dengan dia?" Ia menunjuk Frans yang berbaring telentang di atas tempat tidurnya.
Dokter Farhan menggeleng. "Dia cukup parah. Lehernya terluka, mengenai saraf tulang belakang. Dia bisa lumpuh."
"Lalu Wirada? Apa dia di sini?"
"Ya, Wirada ada di tempat ini. Tadi dia dirawat di sebelahmu, tapi sudah membaik, jadi dia boleh pergi."
"Ke mana? Panggil dia kemari. Gue mau ketemu dia," pinta Aren.
"Aren ..."
"Panggil dia, dokter! Atau gue akan turun dan cari dia sendiri."
Dokter Farhan menghela napas. "Baik, saya akan carikan Wirada dan beritahu dia untuk menemuimu."
***
Sementara itu, Wirada sedang menjalani serangkaian pemeriksaan untuk mengetahui kondisi fisiknya, karena ia cepat lelah jika menggunakan kekuatannya. Ia harus menurut ketika dadanya dipasangi alat-alat untuk mengukur denyut jantung, pembakaran kalori dalam tubuhnya, serta respon otot dan sarafnya pada gerakan-gerakan tertentu.
Kemudian ia diminta menggunakan kekuatannya di dalam suatu ruangan simulasi yang sedikit menyerupai milik Trisno, namun bukan menggunakan layar hologram. Ruangan ini penuh dengan peralatan olahraga seperti yang dapat ditemui di gym, namun digerakan secara otomatis. Ketika sebuah bola karet yang tergantung dari langit-langit bergoyang dan akan mengenainya, Wirada spontan menekuk tubuhnya ke samping. Lalu ia terjengkang menghindari tiang melintang yang hampir memukul dadanya sehingga tiang itu melewati kepalanya. Belum lagi balok-balok yang timbul ke atas dari permukaan lantai.
Ketika simulasi selesai, ia benar-benar lelah. Rasanya ia ingin berbaring di permukaan lantai ruang simulasi tanpa harus bangun lagi. Matanya saja sudah hampir terpejam. Namun Phillip memanggilnya keluar.
"Kami akan buat semacam energy bar buat memenuhi kebutuhan kalorimu, supaya nggak cepet capek," jelasnya. "Kasihan lu, udah cungkring, ntar makin kayak batang lidi." Ia menepuk punggung Wirada dengan keras.
Wirada ingin menggerutu, namun ia terlalu lelah.
"Tiduran di sini aja," ujar Phillip sambil menunjuk tempat tidur berukuran satu meter kali dua meter dengan bantal dan selimut.
Mulut Wirada ternganga. "Surga!" ujarnya, lalu berbaring di atas tempat tidur itu dan memejamkan matanya.
Phillip hanya menggelengkan kepala. "Kalau gini, apa lu siap tarung?"
"Siap ... Bang ... gue ... cuma ... ngantuk ... banget."
Lalu ia memejamkan matanya dan segera mendengkur.
.
.
.
Bersambung.
(4 November 2018)
2500++ kata
Perangnya ntar aja ya. Lagi males nulisnya. *ditabok massa
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top