Bab 3: Macan Hitam

Wirada meringis menahan sakit ketika jarum suntik menembus kulit pahanya. Seorang dokter polwan dengan sarung tangan memberikannya penawar untuk obat bius yang melumpuhkan syaraf di sekujur kakinya. Berdiri membelakangi dinding, Frans dan Bagus bersebelahan menatap sang pencopet dengan wajah serius. Meskipun sebenarnya kedua detektif polisi itu menahan geli melihat Wirada yang cemberut karena gagal melarikan diri.

"Sudah beres," ujar sang dokter. "Beberapa menit lagi, kamu akan bisa berjalan seperti biasa. Jangan macam-macam, ya." Ia menepuk paha Wirada yang bekas disuntik.

"Aw!" teriak Wirada. "Om, ini pelecehan!"

"Lebay, lu," ledek Frans sambil mendatangi kursi pasien.

Bagus ikut menghampiri Wirada. Bukan untuk meledeknya, melainkan untuk melepaskan borgol di tangannya. "Kamu sudah tahu misimu, sudah berkenalan dengan Frans juga, sekarang silakan kembali ke gengmu."

Wirada memandang Bagus curiga. "Serius gue dibebasin?"

Bagus mengangguk. "Kalau kamu nggak dibebaskan, gimana bisa menjalankan misi? Ingat, ya, kalau kamu nggak menjalankan tugasmu, kamu akan ditangkap kembali."

"Yakin bisa nemuin gue lagi, Om? Gue ketangkap kali ini karena jebakan. Lain kali, gue nggak akan ketipu," sesumbar Wirada.

Bagus tersenyum. "Kami pasti bisa menemukanmu, Wirada. Oh, ya, sekalian beritahu gengmu, nggak usah menyerang Polda Metro Jaya. Saya tahu mereka berkumpul di sekitar sini, ingin membebaskanmu."

Wirada melongo. "Kok, lu tahu, Om?"

"Jangan meremehkan polisi. Kami punya cara-cara tersendiri untuk mengetahuinya," ujar Bagus, masih tersenyum. "Frans, saya percayakan dia padamu, ya. Jalankan misi ini sebaik-baiknya."

"Siap, Mas," sahut Frans sambil memberi hormat kepada atasannya. Kemudian ia menyeringai ke arah Wirada. "Udah, tunggu apa lagi? Sana pergi."

"Gue diusir, nih, sekarang," gerutu Wirada. "Tunggu, Bang Pret, kaki gue belum bisa digerakin."

Mendengarnya, Frans malah tertawa terpingkal-pingkal.

.

.

.

-- Bagian luar Polda Metro Jaya, Sudirman, 23:00 WIB

Aren mengintai dari balik pagar Polda Metro Jaya dengan teropongnya. Ia merasakan seseorang mendekat ke sebelahnya. Dengan gerakan amat perlahan, ia bersiap menghajarnya. Namun orang itu memegangi pergelangan tangannya.

"Ssstt! Ren, ini gue," bisik suara yang amat dikenalnya.

"Bang Dur!" balas Aren dengan suara tertahan.

"Pinjem teropongnya, Say," ujar Duren sambil mengambil teropong dari tangan Aren.

Duren melihat Wirada keluar dari gedung Reskrimum, berjalan menuju pintu gerbang Polda Metro Jaya, ditemani Frans. Polisi tak berseragam itu membisikkan sesuatu ke telinga Wirada, yang menjawab dengan anggukan. Frans menunjuk ke arah gerbang yang sedikit terbuka, lalu meninggalkan Wirada dan masuk kembali ke dalam gedungnya.

Wirada celingukan. Mencari gengnya. Kata Bagus, mereka mengelilingi Polda Metro Jaya. Benarkah?

"Wir! Wir!" panggil Aren. "Arah jam sembilan!"

Wirada menoleh ke kiri. Samar-samar ia menangkap bayangan dua orang. Yang satu kecil dan kurus, yang satu tinggi dan kekar. Duren dan Aren.

"Bang Dur! Aren!" Ia menghampiri mereka.

Aren memeriksa Wirada kalau-kalau ada alat penyadap yang dipasang ke tubuhnya. Sedangkan Duren mengamatinya dari ujung kepala sampai kaki dengan mata memicing curiga.

"Kok lu dibebasin?" tanya Duren.

"Soalnya gue dibilang lagi melakukan percobaan pencurian. Duit yang gue curi udah disita semua. Tapi gue udah nitip dua juta ke Aren, kok, sebelum ditangkep. Jadi aman," ujar Wirada sambil melotot ke arah Aren, yang terheran-heran mendengar penjelasannya.

Duren mengangguk. "Ya udah, ayo balik. Tapi gue harus cek dulu, lu dipasang tracker nggak sama polisi-polisi bajingan itu. Lu dikasih minum atau disuntik?"

Rahang Wirada terbuka. Ia mengangguk.

"Nah, itu. Bisa-bisa lu ditanamin tracker. Nanti di markas, gue periksa lu dengan alat pemindai," ujar Duren.

"Ada alat begituan di markas, Bang?" tanya Wirada.

"Gue jelasin belakangan. Sekarang lu pulang bareng Aren," sahut Duren.

.

.

.

-- Jatinegara, 00:30 WIB

Wirada berbaring di atas matras tidurnya, menatap langit-langit kamar yang mengelupas, sambil menyandarkan kepalanya di atas kedua lengannya yang menyilang. Ia termasuk beruntung mendapatkan kamar sendiri, meskipun ukurannya sangat sempit. Ia memikirkan kejadian yang dialaminya hari ini, mulai dari misi yang diberikan para polisi, hingga alat pemindai yang ternyata dimiliki gengnya.

Sepulangnya ke motel, Duren membawa Wirada ke sebuah ruangan di lantai lima. Ia menyalakan mesin pemindai canggih yang tak pernah Wirada lihat sebelumnya -- maklum, ia tak pernah menginjakkan kaki di rumah sakit sejak beberapa tahun yang lalu. Kata Duren, alat itu dapat mendeteksi benda asing yang dimasuki ke tubuh Wirada. Wirada merasakan jantungnya berdebar-debar -- hingga Duren menyatakan bahwa ia bersih dari alat pelacak.

Apa lagi yang gue nggak tahu tentang Macan Hitam? tanyanya dalam hati.

Suara ketukan di pintu kamarnya membuyarkan lamunannya. Ia menggeliat, mengangkat kepalanya dan memandang ke arah pintu.

"Siapa?" tanyanya enggan.

"Ini gue, Aren."

"Masuk aja, nggak dikunci," sahut Wirada.

Aren membuka pintu dan masuk ke kamar Wirada, memosisikan dirinya di sisi matras sambil duduk bersilang. Kemudian ia mengambil sebatang rokok dari kotaknya dan menyalakannya, lalu mulai menghisap rokoknya.

"Ren ..." protes Wirada. "Bau kamar gue!"

"Biarin, daripada di kamar gue, ntar ketahuan Bang Dur. Gue bisa dimarahin. Katanya dia nggak suka kalau ciuman gue bau rokok. Kalau di sini, kan, paling elu yang dikira ngerokok," sahut Aren cuek, menghembuskan asap dari mulutnya.

Wirada mengibaskan asap yang melayang ke wajahnya. Ia menegakkan tubuhnya sehingga kini ia duduk di hadapan Aren. "Kayanya elu yang lebih perokok berat daripada gue, Ren."

Aren menghela napas. "Gue butuh pelarian."

"Kenapa emangnya?"

"Anak kecil kaya lu nggak bakal ngerti."

"Bangke! Lu cuma dua tahun di atas gue, Njing."

"Tapi lu jauh lebih cupu daripada gue, Nyet."

Wirada memutar bola matanya. "Gue baru sadar kalau gue nggak tahu banyak tentang Macan Hitam. Padahal gue di sini sejak kecil."

Aren mengangguk. "Emang. Bahkan Bang Dur aja masih termasuk tingkatan bawah di Macan Hitam. Apalagi elu, yang tiap hari kerjanya di luar." Ia berhenti sejenak dan menghisap rokoknya. Hening beberapa saat sebelum sang perempuan kembali membuka mulutnya. "Jujur sama gue, Wir. Dua juta apaan? Lu nggak ngasih apa-apa ke gue."

"Oh, iya. Ini," ujar Wirada sambil menyerahkan segepok uang ke tangan Aren.

Aren memicing curiga, mengamati satu persatu lembaran uang tersebut. "Polisi itu ngapain elu?"

Wirada mengangkat bahunya. Ragu. Haruskah ia bercerita pada Aren mengenai misi yang diberikannya? Sejenak, ia takut apa yang akan Aren lakukan jika ia menceritakannya. Namun, di sisi lain, ia juga tak percaya pada polisi-polisi tersebut.

Beberapa detik kemudian, ia menggeleng. "Mereka cuma interogasi gue, terus gue dibebasin."

"Lu nggak ngomong apa-apa soal Macan Hitam, kan?"

Wirada menggeleng. "Gue nggak banyak jawab pertanyaan mereka."

"Wir, lu mungkin pencopet ulung, tapi lu pembohong yang payah." Aren membuang puntung rokoknya dan menggilasnya dengan tumitnya.

Wirada menghembuskan napasnya. "Janji, Ren, jangan cerita ke siapa-siapa."

Aren mengangguk.

"Terutama Bang Dur, jangan sampe tahu. Gue bisa digiles."

"Tenang, gue bakal tutup mulut."

Wirada menceritakan bahwa ia dipaksa menjalankan misi oleh pihak kepolisian. Mereka mengancam bahwa ia akan ditangkap lagi jika ia tak menuruti mereka. Bahkan ia telah diberikan rekan kerja dari pihak kepolisian juga.

"Gue terpaksa pura-pura setuju. Mereka menembak gue pake peluru bius, gue nggak bisa apa-apa. Tapi gue janji, kesetiaan gue tetap sama kalian."

Aren menatap Wirada lekat-lekat. "Yah, gue rasa lu nggak punya pilihan lain. Tapi lu udah nggak aman. Polisi kali ini nggak main-main. Kalau mereka bilang bisa nangkap lu, mereka beneran bisa nangkap lu. Entah sejak kapan, tiba-tiba mereka jadi sangat pinter dan canggih."

"Sejak ada si pahlawan serba hitam itu yang suka muncul malam-malam. Lu tahu dia siapa, Ren?"

Aren menggeleng. "Dugaan Bang Dur, itu bukan satu orang yang sama. Berganti-ganti. Tapi yang pasti dia bekerja sama dengan polisi. Dan pasti didukung orang kaya, soalnya senjatanya canggih semua."

"Kenapa geng kita nggak nangkap dia aja?"

"Kalau bisa, udah dari dulu dilakuin, Wir."

Wirada menghela napas lagi. Kembali diam sejenak. "Bang Dur bilang ... gue nggak usah tugas dulu besok. Disuruh pendinginan." Ia mengangkat bahunya. "Butuh sampe lima orang buat gantiin tugas gue." Ia menyengir.

"Iya, gue tahu," ucap Aren ketus. "Gue disuruh jadi ibu-ibu pengamen lagi. Untung si Wiwin baru ngelahirin. Jadi gue punya bayi buat dibawa-bawa. Kesel banget gue."

"Mending, Ren, daripada harus gendong anak umur setahun atau dua tahun. Udah berat," cengir Wirada.

Aren mendengus. "Yah, gue siapin aja stok susu dicampur obat tidur yang banyak. Biar nggak rewel sepanjang hari."

"Sabar, ya, Ren," ujar Wirada.

***

"Abah! Abah! Jangan, Bah!" seru seorang anak kecil dengan suara parau akibat menahan tangisnya. "Jangan pukulin Emak, Bah!"

Air mata mengalir di pipi anak lelaki yang berdiri di depan ibunya, berusaha menghalangi seorang lelaki berkumis dengan tongkat sapu yang patah. Namun usahanya sia-sia. Lelaki itu tanpa belas kasihan mengangkat putranya dan melemparnya ke sudut ruangan. Sang anak terjatuh setelah membentur dinding. Sekujur tubuhnya terasa ngilu. Meskipun demikian, ia tak menyerah. Ia memeluk kaki ayahnya.

"Abah, jangan pukul lagi! Kasihan Emak, kasihan adek bayi!" ujarnya.

Perempuan itu meringkuk di sebelah meja. Pelipisnya berdarah. Ia memegangi perutnya yang buncit.

"Wanita jalang seperti dia nggak pantas dilindungin, Cahyo! Anak haram yang di perutnya juga pantas mati!" ujar lelaki tua itu sambil memukuli istrinya dengan tongkatnya.

"Ini anakmu, Bang!" seru sang istri lirih.

"Bohong! Emang aku nggak tahu pas kamu tidur sama tetangga? Hah?" teriak sang suami sambil menarik rambut panjang istrinya.

Sang ibu kembali merintih kesakitan.

"Sumpah, ini anakmu! Aku nggak pernah tidur sama Mas Kusno!"

"Itu panggilan mesramu buat dia, kan? Dasar jalang! Babi hina!"

"Abah! Abah!" panggil Cahyo sambil menangis. "Jangan pukulin Emak lagi, pukul Cahyo aja."

"Cahyo, kamu pergi aja, Nak. Emak ... Emak bakal baik-baik aja, kok, Nak," ujar sang ibu.

Cahyo mengusap air matanya dengan lengan bajunya. "Tapi adek ... Cahyo harus jagain Emak sama adek," ujarnya.

"Kamu denger kata wanita hina ini. Pergi sana! Bukan urusan anak-anak seperti kamu!" kata sang ayah.

Cahyo berlari keluar. "Pokoknya kalau Cahyo udah gede, Cahyo bakal nolongin Emak! Cahyo akan balas dendam ke Abah!" 

***

Pagi berikutnya, Wirada bangun dengan tak nyaman. Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia merasa takut dan tegang di rumahnya sendiri. Ia takut Macan Hitam akan membuangnya jika mereka tahu ia dipaksa bekerja sama dengan polisi. Ia dapat memercayai Aren, namun berapa lama sebelum rahasianya akan terbongkar? Lalu apa yang akan mereka lakukan padanya? Dibuang terlalu baik. Bisa-bisa ia kehilangan nyawanya.

Sepintas ia teringat dengan ucapan Tiara. Setiap hari kamu diancam, dan nyawamu menjadi taruhan. Baru kali ini ia menyadari kebenarannya.

"Ah! Daripada ngegalau, mending gue jalan-jalan aja di luar," gumamnya.

Ia segera mandi -- karena preman juga mandi -- dan mengenakan pakaian yang cukup layak agar tak disangka preman. Di luar, ia melihat Aci dan empat rekannya mengeluh karena harus bangun pagi-pagi. Mereka ditugaskan menggantikan Wirada, mengumpulkan sepuluh juta rupiah hari itu. Selain mereka, Wirada berpapasan dengan Aren yang sedang mempersiapkan selendang dan botol susu bayi. Di sebelahnya, seorang perempuan muda berambut kusut -- Wiwin -- berusaha mendiamkan bayinya yang merengek perlahan. Frustrasi dan kekesalan tergambar jelas di wajahnya.

"Udah, Win! Susuin dulu sana. Gue males bawa bayi rewel. Kalau dia udah tidur baru gue jalan," gerutu Aren.

Wiwin hanya menghembuskan napasnya dan berlalu.

"Eh, Wira-wiri, mau ke mana lu?" tanya Aren, melihat Wirada telah berpakaian rapi. Bahkan rambutnya diberi gel. "Bukannya Bang Dur ..."

Wirada buru-buru meletakkan telunjuk di bibirnya. "Gue butuh angin segar. Nggak lama, kok."

"Inget, lu masih dalam pendinginan. Jangan ke mana-mana," kata Aren.

"Tenang, Ren. Gue yakin nggak bakal ketangkep lagi," ujar Wirada sambil berlalu, mengabaikan panggilan Aren.

Aren menatap punggung Wirada kesal. Namun ia tak mau menarik perhatian Aci dan rekan-rekannya, karena itu akan menjerumuskan Wirada ke dalam masalah. Maka ia diam saja dan meneruskan kegiatannya. Menggerus obat tidur dan mencampurnya ke dalam botol susu bayi. Lalu mengocoknya. Walaupun demikian, matanya masih terus mengamati gerak-gerik Wirada.

***

"Hoi! Hoi! Wir!" panggil seorang tukang ojek dengan jaket lusuh dan helm hitam usang.

Wirada tersentak. Tukang ojek itu membuka kaca helmnya. Frans.

"Anjir, Bang Pret! Lu, kok, bisa ada di sini?"

"Lu lupa, ya? Gue kan partner baru lu," sahut sang polisi enteng.

"Jangan di sini, ah! Gue nggak kenal lu," kata Wirada, menaikkan tudung jaketnya dan menurunkan topinya sehingga separuh wajahnya ketutupan.

"Eh, ngomong-ngomong, lu belum sarapan, kan? Gue traktir bakwan Malang, yuk," ujar Frans, menyalakan mesin motornya. "Anggap gue tukang ojek."

Mendengar kata 'traktir', Wirada tentu saja tak dapat menolak, walaupun ia mengerucutkan bibirnya dan mendengus.

"Agak jauh, sih, dari sini. Deket UNJ di Rawamangun," jelas Frans sambil menyerahkan helm kepada Wirada. "Oh, ya, kalau ditanya gue siapa, bilang aja gue anak geng Kelelawar Kelabu."

Wirada lagi-lagi mendengus. "Jadi geng Kelelawar Kelabu, tuh, geng pol ..."

Frans segera membekap mulut Wirada. "Jangan bacot, woy. Udah cepetan naik."

.

.

.

-- Rawamangun, Jakarta Timur, 08:00 WIB

Suasana pagi hari di Jakarta Timur sangatlah ramai. Jalanan disesaki kendaraan pribadi maupun kendaraan umum, roda empat maupun roda dua. Namun berkat kepiawaian Frans mengendarai motornya, mereka tiba di warung bakwan Malang yang Frans sebut dalam waktu kurang dari setengah jam.

Warung itu terletak di sebuah ruko tanpa pintu, sehingga suasananya setengah outdoor. Tak ada AC, hanya ada kipas angin yang sedikit menyejukkan panasnya udara Jakarta akibat kepulan asap kendaraan bermotor yang membisingi jalan raya di depan warung. Beberapa mahasiswa dan mahasiswi Universitas Negeri Jakarta sedang menyantap sarapan di warung itu sebelum memulai kuliah mereka.

"Lu mau pesen apa, Wir?" tanya Frans.

"Samain aja sama lu," ujar Wirada acuh tak acuh. Matanya sibuk memerhatikan sekumpulan mahasiswa dan mahasiswi yang duduk di meja di seberangnya.

Wirada membayangkan seandainya ia merupakan salah satu dari mereka. Tahun depan usianya delapan belas. Sebagian remaja sebayanya akan memasuki dunia perkuliahan. Meskipun ia tak tertarik kuliah -- belajar hanya membuat otaknya lelah -- namun kelihatannya kehidupan kampus amat menyenangkan.

Dua perempuan dan seorang lelaki sedang mengobrol santai sambil menghabiskan mangkok bakwan Malang mereka. Sesekali mereka menertawakan candaan yang mereka buat sendiri. Salah satu mahasiswi itu sangat cantik. Rambutnya hitam pekat, hidungnya mancung, dan matanya besar, dikelilingi bulu mata yang amat lebat.

Dia pasti blasteran, bukan keturunan Indonesia asli, pikir Wirada. Ia tak begitu pandai membedakan jenis keturunan luar, apakah campuran Barat atau Arab. Pokoknya sama-sama mata besar dan hidung mancung.

Puas mengamati wajahnya, mata Wirada bergerak turun ke tubuh gadis itu. Ia mengenakan kemeja longgar dan celana jins. Walaupun pakaiannya sama sekali tak terbuka, Wirada dapat melihat bahwa posturnya tak begitu langsing, sedikit berisi. Ia menyengir.

"Hei!" Suara Frans kembali membuyarkan lamunannya. Polisi muda itu meletakkan nampan berisi dua mangkok bakwan Malang di atas meja. "Ngelihatin jangan sampe gitu banget, Wir. Malu-maluin gue."

Wirada menggerutu. Ia buru-buru mengarahkan pandangannya ke meja makan. "Lu ganggu banget, sih, Bang Pret."

Frans melirik sejenak ke arah kawanan mahasiswa tersebut. Mahasiswi yang dipandangi Wirada sedang tertawa sambil mengeluarkan uang dari dompetnya.

"Lumayan juga selera lu."

"Bodo, ah, Nyet. Laper gue," ujar Wirada sambil memasukkan sendok ke dalam kuah. Lalu menyuapkan ke dalam mulutnya. "Anjir! Panas!"

Frans lagi-lagi menertawakannya.

"Inget, lu udah punya cewek. Itu jatah gue," komentar Wirada.

"Gue punya cewek, nggak berarti gue dilarang bilang cewek lain cantik, kan?" cengir Frans.

Dalam hati, Wirada sedikit kecewa ketika sang mahasiswi meninggalkan warung tanpa melempar sedikit pun pandangan ke arahnya. Gadis itu naik ke boncengan motor teman perempuannya. Sementara itu, teman lelakinya mengendarai motornya sendirian.

Baru saja Wirada berhasil mengunyah potongan bakso yang sudah tak terlalu panas. Tiba-tiba ia mendengar teriakan gadis itu.

"Dompet gue ilang!" 

.

.

.

Bersambung. 

(25 Februari 2018)

#182 Action

2400++ kata

.

.

.

Catatan penulis: Aku masuk mode semi-hiatus. Nggak tahu bakal update bab 4 kapan.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top