Bab 29: Amunisi

Belum sempat Phillip membalas ucapan Marni, suara seseorang menyerbu pendengarannya. Ia mengernyitkan kening dan mengatur suara earpiece-nya agar tidak memekakkan telinganya.

"Ada apa, Kak?" tanya Malika.

"Bentar, saya ada urusan. Mal, temani Bu Marni, ya. Bu, tunggu sebentar, saya harus pergi, tapi nanti saya akan kembali," sahut Phillip.

Sebelum menyelesaikan kalimatnya, lelaki kurus berkacamata itu bergegas keluar dari ruang tunggu di luar bangsal perawatan, meninggalkan Wirada, Malika, dan Marni bertiga duduk di sofa putih yang melingkar bulat membentuk bulan sabit alias setengah donat.

Wirada menjatuhkan tatapannya ke atas karpet bulu putih yang ditapaknya. Sesekali ia mencuri-curi pandang ke arah Malika yang kembali fokus ke laptopnya, mendengarkan entah musik apa melalui earphone-nya. Ingin sekali diajaknya Malika bicara, namun ia tidak ingin mengganggu. Sekali lagi, ia juga bingung harus mengatakan apa.

"Mak," panggil Wirada. "Kenapa kadang-kadang gue kehabisan kata-kata?"

Marni tergagap, mengangkat kepalanya. Tampaknya ia baru saja larut dalam pikirannya. "Eh, Wir, maaf, Emak nggak dengar. Tadi kamu bilang apa?"

Wirada mengurungkan niatnya mengulang pertanyaannya karena Malika sudah melepas earphone-nya dan tersenyum ke arah mereka.

"Jadi Bu Marni benar-benar ibu Wirada?" tanyanya.

Wirada balas menyunggingkan senyum dan merangkul lengan Marni. "Iye, Mal. Ini nyokap gue. Cantik, kan?"

Malika hanya tersenyum dan mengangguk. "Salam kenal, Tante. Saya Malika ... teman Wirada." Ia sempat ragu harus memperkenalkan dirinya sebagai apanya Wirada, dan memilih jalan paling pintas.

"Salam kenal juga, Nak Malika. Nama yang indah," balas Marni sambil mengulurkan tangan.

Malika menyambut tangan ibu Wirada yang memiliki bekas luka dan menyalimnya. Marni sedikit salah tingkah karena salam Malika, namun ia segera menguasai dirinya. Malika menangkap kegelisahan perempuan yang lebih tua tersebut.

"Makasih, Tante. Saya senang bisa bertemu Tante."

"Jadi Nak Malika masih sekolah? Sudah kuliah?"

"Kuliah, Tante, baru semester satu. Masih maba," jawab Malika tanpa melepas senyumnya.

Kedua perempuan itu lalu berbincang-bincang, mengabaikan Wirada sendirian. Namun pemuda itu tidak keberatan dikacangi. Ia mendengarkan obrolan ibunya dan gadis yang disukainya itu dengan tatapan puas. Yah, ia memang baru mengenal ibunya lagi, dan belum tentu akan menuruti perintahnya, namun entah mengapa ia bangga ibunya menyukai gadis pilihannya.

Gadis pilihannya.

Nggak juga kali, oon. Lu milih Malika, emang dia bakal milih elu? Paling dia juga cuma sopan santun sama nyokap lu, yang lebih waras daripada elu, tukang copet, batinnya.

"Kan udah gue bilang, kostum buatan lu itu harus dibenahi. Kayanya lu nggak bisa, deh, nanganin urusan teknologi sekaligus urusan lapangan. Gue udah berkali-kali nawarin supaya kostum gue dibuat di CyberTech, tapi lu maksa harus di Penumbra. Sekarang Bagus bonyok, lu mau tanggung jawab?"

Suara tinggi perempuan yang berjalan di sebelah Phillip bercampur dengan bunyi klak-klik sepatu bot hak tingginya membuyarkan lamunan manis Wirada. Mata pemuda itu melebar melihat perempuan dewasa yang cantik luar biasa bagaikan dewi itu. Otaknya memutar ingatan di mana ia pernah melihat sosok tinggi, langsing, mulus, dengan rambut hitam berkilau dan pakaian ketat serba hitam yang memamerkan lekuk tubuh indahnya.

"Mbak Ros!" ucapnya sambil bangkit berdiri dan menyongsong perempuan tersebut.

Tiara mengernyitkan keningnya memandang Wirada, bagaikan melihat rakyat jelata, dengan ekspresi siapa-lu-emangnya-harus-gue-ingat. Namun sorot mata tajamnya melunak ketika otaknya menyuplai memori tentang pemuda tengil di hadapannya itu.

"Oh, Target-Dua-Sembilan, eh, maksudku, Mas Wirada!" ujarnya sambil tersenyum.

"Mbak Ros?" Phillip terpingkal. "Trus lu Upin, Wir? Mana Ipin-nya? Si Frans, kali, ya?"

"Vangke," gerutu Wirada. Namun wajahnya berubah semringah ketika ia memusatkan perhatiannya terhadap Tiara dan mengabaikan Phillip. "Mbak Ros, ada apa mampir kemari? Nyariin gue, ya?"

Tiara hanya memutar bola matanya dan terus berjalan ke dalam bangsal perawatan, diikuti Phillip yang tampak kewalahan seperti menjaga mastiff lepas.

"Jangan diganggu, Wir. Kasihan Kak Tiara, Mas Bagus kan luka parah," desah Malika.

"Eh? Mas Bagus? Bukannya dia bareng gue ngelawan ...."

Wirada menghambur ke dalam bangsal perawatan, melihat Frans, Aren, dan Bagus yang masih terbaring di atas tempat tidur masing-masing.

"Apa yang terjadi?" bisiknya.

Phillip menunduk dan menggelengkan kepalanya. "Aren gegar otak. Benturan di bagian belakang kepalanya cukup keras. Butuh beberapa hari atau minggu untuk memulihkan diri. Bagus patah tulang rusuk, hampir menembus paru-parunya, untung berhasil diperbaiki. Sisanya, luka luar akibat benturan di sekujur tubuhnya. Sedangkan Frans ...." Ia menghela napas. "Frans cedera saraf tulang belakang. Efeknya menyebabkan kelumpuhan pada otot-otot di tubuhnya -- ada kemungkinan ia nggak bisa berjalan lagi."

Tiara, yang duduk di sebelah tempat tidur Bagus, menatap tajam pada Wirada. "Dan kamu ... kamu masih nggak mau membantu kami? Lihat Aren! Lihat ibumu! Lihat Malika! Bahkan, lihat dirimu sendiri! Hidup mereka semua kacau gara-gara Macan Hitam!" Ia mendorong Wirada ke dinding dan menggenggam bahunya erat-erat. "Kamu waras, nggak, sih?"

"Tiara, jangan," ucap Phillip.

Tiara melepaskan cengkeramannya. "Kamu benar. Bocah ini nggak waras. Aku hanya buang-buang tenaga." Ia menghela napas dan kembali duduk ke tempat semula. "Setidaknya, kalau kamu nggak bisa bantu kami, Wirada ... menyerahlah."

Tenggorokan Wirada tercekat. Sepanjang usianya yang belum genap tujuhbelas tahun, ia selalu didominasi perasaan ringan, penuh candaan, dan main-main. Bahkan dalam aksi mencopetnya saja, ia menganggapnya sebagai tantangan yang menyenangkan. Namun kali ini ia merasakan kemarahan bangkit dari titik tengah dadanya, naik ke ubun-ubun. Dadanya naik turun, ia berusaha menguasai emosinya.

"Gue udah berubah!" serunya. "Mbak Ros, atau Tiara, atau siapapun nama Mbak sebenarnya ... gue akan buktikan bahwa gue bisa memberantas Macan Hitam. Bahkan ketika kalian semua gagal."

Tiara melipat tangannya. Matanya kembali memicing tajam ke arah Wirada. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya, melainkan sebuah senyuman mengejek.

"Ngomongnya."

Wirada menggeleng. "Gue punya sesuatu yang kalian nggak tahu."

"Oh, ya? Apa itu?"

"Gue dan nyokap gue punya orang dalam," sahut Wirada. "Nggak ada yang bisa bujuk dia kecuali kami. Atau lebih tepatnya nyokap gue doang. Gue akan kasih kalian informasi yang gue punya, dengan syarat."

Tiara melirik ke arah Phillip. "Main syarat-syaratan. Gue suka anak ini," cengirnya. "Oke, syarat apa itu, Anak Kecil?"

"Pertama, pastikan Mal dan nyokap gue tetap aman," ujar Wirada.

"Deal. Nggak perlu lu bilang begitu, kami pasti akan melindungi mereka," sahut Phillip dengan wajah datar, tidak seperti biasanya.

"Kedua, kalian akan kasih gue persenjataan seperti apapun yang gue mau."

"Dengan syarat," ujar Tiara. "Kamu harus dilatih terlebih dahulu."

Gerakan tangan Bagus mengalihkan perhatian Tiara, yang sejak tadi masih memegangi tangan kekasihnya.

"Dia bangun! Phil, dia bangun!"

Phillip mengamati monitor yang menunjukkan statistik kondisi kesehatan Bagus, sementara Tiara melepas masker oksigen yang menutupi hidung dan mulut sang pemimpin Operasi Singa Putih tersebut. Mata Bagus sebelah terluka baret akibat pecahan helmnya, namun ia masih dapat melihat.

"Kalian ... berisik banget dari tadi ... Aku nggak bisa istirahat," ujar Bagus.

"Bagus benar," ujar Phillip. "Kita harus keluar dari bangsal perawatan. Ayo, Wir. Ti, lu gimana, masih mau di sini?"

Tiara mengangguk. "Nanti gue nyusul."

***

"Bang Phil, lu pernah lihat buku merah yang disimpen nyokap gue?" tanya Wirada ketika ia, Phillip, Malika, dan Marni berjalan menuju suatu ruangan tertentu yang terletak di bawah tanah. Kata Phillip, ruangan kedap suara dengan pengamanan tingkat tinggi sehingga mereka dapat menceritakan semuanya dengan aman.

"Hmm," respon Phillip. "Sepertinya Frans sempat menyerahkan buku kecil di kumpulan dokumen arsip yang disimpan Penumbra. Saya lupa apakah warnanya merah atau bukan, hanya melihat sepintas. Tapi saya akan minta dibawakan kemari. Ada apa di buku itu?"

"Emak gue bilang itu penting," ujar Wirada.

Phillip mengangguk, namun tidak menyahut. Ia menekan-nekan angka digital di keypad elektronik di depan pintu, lalu menempelkan telapak tangannya, dan membiarkan sebuah kamera mungil memindai retinanya, sebelum ruangan itu terbuka.

Ruangan berbentuk tabung itu terletak di bawah tanah, jauh di dalam perut bumi, terpisah dari lantai bawah tanah lainnya. Untuk mencapainya, mereka menuruni lift tanpa tombol akses langsung ke lantai tersebut -- Phillip harus memasukkan kata sandi dan memindai chip di jam tangan khususnya untuk mengakses lantai tersebut. Setelah itu, mereka masih harus menuruni tangga dengan seratus tapak batu, dengan penerangan seadanya. Lampu-lampu hanya menyala ketika mereka lewat, dan padam kembali ketika mereka sudah menjauh.

Kaca hitam yang mengitari ruangan menjadi pembatas antara dalam dan luar ruangan. Entah apa gunanya, karena tak ada pemandangan yang dapat disaksikan dari dalam ruangan -- semua hanyalah kekelaman yang gulita. Namun entah mengapa Wirada merasakan deja vu dengan tempat ini -- seakan-akan ia pernah memasuki tempat serupa.

Ruang simulasi yang dilakoninya bersama Trisno.

"Agen K-dua-satu-sembilan-enam, Agen Phillip Darmadi di sini. Kirimkan barang bukti dengan kode F-tujuh-tiga-sembilan-empat," ujar Phillip ke sebuah mikrofon mini yang terpasang di dekat pintu.

Tidak lama kemudian, di bagian kaca di sebelah pintu, sebuah jendela kecil berbentuk persegi terbuka, menyodorkan bakiak logam dengan buku agenda kecil berwarna merah di dalamnya. Mata Marni langsung melebar melihat benda yang dikenalnya itu.

"Ini?" tanya Phillip sambil mengacungkan buku itu kepada Marni.

Marni mengangguk. "Saya pernah melihat isinya, Mas Phillip, hanya saja saya nggak paham artinya. Istilah-istilah biologi seperti itu."

"Kita punya mesin penerjemah di sini, Bu," cengir Phillip. "Baiklah, bisa kita mulai sekarang?"

.

.

.

-- Berlin, 2005

Marni menjejakkan kakinya turun dari pesawat pribadi milik Trisno. Di sebelahnya, lelaki itu selalu menjaga langkahnya, memegangi sikunya dengan lembut, seakan-akan Marni adalah guci antik yang mudah pecah. Tidak mengapa, Marni memang masih belum pulih dari cederanya yang menyebabkan jalannya timpang. Di pelataran datar saja ia belum lancar berjalan, apalagi menuruni tangga.

Di bawah, tiga orang lelaki berjas putih, ciri khas dokter, telah menunggu mereka. Seorang dari mereka berkulit sawo matang muda khas Asia Tenggara, sedangkan dua lainnya berambut pirang dan coklat muda, serta berhidung mancung khas bangsa kulit putih. Sebuah kursi roda didorong oleh dokter yang berkulit sawo matang.

"Kenalkan, ini Galih, sahabatku. Dan ini dokter Hartmann dan dokter Schulze. Mereka akan menyembuhkanmu," bisik Trisno ke telinga Marni. Kemudian ia berbicara kepada dokter Hartmann yang berambut pirang dan dokter Schulze yang berambut coklat muda dalam bahasa Jerman.

"Nice to meet you, Ma'am," ujar dokter Hartmann dengan logat Jerman yang kental, mengulurkan tangannya kepada Marni.

"Thank you," sahut Marni, menyambut tangan dokter Hartmann. Bahasa Inggris yang diketahuinya sangat minim, dan hanya thank you yang ia ingat saat itu.

"Jangan khawatir, serahkan pembicaraan padaku," ucap Trisno sambil membantu Marni duduk di kursi roda dengan perlahan. "Kamu hanya perlu menurutiku saja. Percayalah, aku akan melakukan apapun untuk menyembuhkanmu."

***

"Apa yang Ibu ingat dari kedua dokter tersebut? Nama depan mereka, tempat tinggal mereka, ciri khas khusus mengenai mereka?" tanya Phillip sambil mengusap dagunya.

Marni memejamkan matanya dan menarik napas. "Saya lebih banyak nggak sadarkan diri semasa operasi, Mas Phillip. Saya nggak tahu siapa yang melakukan operasi apa pada saya. Yang pasti, saya nggak pernah ketemu dua dokter itu selain di bandara dan ruang operasi."

"Bagaimana dengan dokter Galih?" lanjut Phillip sambil menatap data diri tentang Galih yang terpampang di salah satu bagian kaca.

"Kalau dokter Galih, saya cukup sering ketemu dia, Mas Phillip. Dia yang bantu saya selama masa pemulihan."

"Coba jelaskan lebih lanjut, Bu Marni."

***

Hal terakhir kali yang Marni ingat, ia diberi air mineral dalam botol yang masih bersegel. Beberapa menit setelah meminumnya, ia tak sadarkan diri. Ia tak pernah tahu bahwa ia tidak dibawa ke rumah sakit, melainkan ke sebuah laboratorium rahasia di bawah tanah suatu bangunan yang berkedok sebagai pabrik obat-obatan. Di sana, ia juga hampir tidak pernah bertemu dengan pasien lain. Interaksinya dengan manusia hanyalah menemui Trisno dan Galih. Di satu sisi, ia merasa lega. Ia tidak dapat berbicara bahasa Inggris maupun Jerman, dan ia tidak perlu mengkhawatirkan hal tersebut jika bertemu Trisno dan Galih. Namun, di sisi lain, ia merasa curiga. Walaupun ia tidak terlalu pandai dan jarang menonton film atau serial fiksi ilmiah, ia tahu rumah sakit seharusnya tidak seperti ini.

Yang lebih mencurigakan, ia tidak pernah diberikan cermin.

"Kurasa aku sudah sembuh, Mas Trisno. Bisakah aku pulang? Aku mau bertemu anak-anakku," pinta Marni.

Trisno membetulkan kacamatanya dan menutup buku merahnya sebelum menjawab kekasihnya. "Cahyo dan Yoyo baik-baik saja, Sayang. Mereka dijaga oleh orang-orangku. Begitu pula Diah, putri sulungmu. Sekarang ia sudah pindah bekerja di sebuah pabrik pembungkusan obat di Tangerang. Aku menyuruh anak buahku yang paling kupercaya untuk menjaganya, dan kalau mereka saling jatuh cinta, aku suruh mereka untuk menikah. Tentu saja dengan persetujuanmu, Sayang."

Marni menghela napas. "Sudah berapa lama aku di sini, Mas?"

"Dua tahun."

"Dua tahun?"

Spontan, Marni meletakkan kedua tangannya di pipi. Terasa sangat mulus, tanpa bekas luka. Ia baru sadar kulit tangannya yang tadinya kasar dan pecah-pecah bagaikan kulit jeruk, kini mulus dan halus bagaikan saputangan sutra. Kemudian ia memegang rambutnya. Lurus, panjang, dan tebal.

"Mas ... apa yang terjadi ..."

Marni segera mengambil sendok dan bercermin.

"Sayang, apa yang kamu lakukan?!" seru Trisno, merebut sendok itu dari tangan Marni.

"Mas, jujur padaku, apa yang kamu lakukan padaku?"

Dada perempuan itu naik turun. Napasnya mulai tak teratur. Kemudian ia tergeletak di lantai, kejang-kejang.

"Mas ... Mas ... tolong aku ..."

"Galih!" panggil Trisno. "Kemari, cepat! Marni nggak stabil!"

***

Keheningan merebak di tengah ruangan tersebut. Wirada, Malika, dan Phillip tidak membuka suara ketika Marni menghentikan ceritanya untuk menarik napas. Mata Wirada dan Malika membulat, namun Phillip tetap mempertahankan ekspresi seriusnya.

"Saat itu saya baru sadar apa yang terjadi pada tubuh saya," ujar Marni. "Dia bukan hanya menyembuhkanku, tapi juga membuatku awet muda." Ia mengusap pipinya dengan punggung tangannya. "Sebenarnya saya nggak protes. Siapa yang protes dibuat lebih cantik?" Ia tertawa. "Namun efek sampingnya menakutkan bagi saya."

"Apa itu, Mak?" Wirada tak dapat menahan rasa penasarannya.

"Kalau Emak lagi merasa sangat emosional, misalnya panik, cemas, atau sedih yang berlebihan, tubuh Emak jadi kejang-kejang," jelas Marni. "Bukan hanya itu. Kemampuan regenerasi yang saya dapatkan nggak sempurna karena kondisi tubuh saya yang sudah lemah. Seperti yang kamu lihat di rumah sakit tadi, Wira, Emak pasti akan kejang-kejang sesaat untuk memperbaiki sel-sel yang rusak. Lalu Emak akan langsung merasa bugar setelahnya." Ia menggelengkan kepala. "Tapi kata Mas Trisno ... semua ini nggak bisa membohongi waktu."

"Apa maksudnya?" tanya Phillip.

"Setiap kali saya mengalami kejang-kejang, lalu fisik saya pulih, sebenarnya ada sesuatu yang diambil dari tubuh saya. Entah apa itu, saya nggak tahu. Saya merasa, setiap kali itu terjadi, umur saya semakin pendek."

"Mak, jangan ngomong yang aneh-aneh." Wirada bergidik.

"Itu efek samping dari eksperimennya. Kamu pernah mengalami kejang-kejang? Atau kelelahan yang berlebihan setelah menggunakan kekuatanmu?" Marni balas bertanya.

Wirada terperanjat. Jadi itulah alasannya ia selalu merasa lelah, pusing, dan tak berdaya setelah menggunakan kekuatannya.

"Bentar, Mak," ujarnya dengan jantung berdebar-debar, "ada yang bikin Wira bingung. Kenapa Wira dan Bang Dur jadi lupa ingatan, tapi Emak enggak? Apa hubungannya lupa ingatan dengan eksperimen ini?"

Marni menggeleng. "Nggak ada, Wir. Kalau lupa ingatan itu ... sengaja dibuat."

.

.

.

-- Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, 23:00 WIB

"Kamu meminjam topengku tanpa bilang-bilang, Nu," tegur Trisno.

Keempat pentolan Macan Hitam -- Wishnu, Rani, Trisno, dan Galih -- sudah kembali ke markas mereka di dalam salah satu kontainer di kapal yang berpura-pura menjadi kapal pengangkut barang. Wishnu berjalan paling depan, didampingi Rani dan Trisno di kiri dan kanannya, lalu Galih di belakang, menuntun Duren yang tangannya dirantai.

"Ah, Mas, jangan pelit gitu, dong. Saking kerennya Hantu Hitam, makanya aku juga pengen sesekali ngerasain," cengir Wishnu sambil menyerahkan topengnya ke tangan kakaknya.

"Halah, ngibul kamu, Nu," dengus Trisno sambil menggantung topengnya di paku yang menancap di dinding kontainer.

"Nggak seru kalau tujuan tercapai gitu doang. I wanna do it with style," ujar Wishnu sambil memamerkan gaya swag.

"Cukup ngebacotnya," potong Rani. "Dari hasil pertempuran kali ini, kita nggak bisa dibilang seratus persen menang. Kita gagal membawa Wirada."

"Tapi setidaknya kita berhasil mengambil Duryodana kembali. Lagian, Wirada sebenarnya, tuh, nggak terlalu berguna. Dia terlalu amatir dan susah diatur. Kalau kita mau apa-apakan dia, Mas Trisno pasti marah. Kalau Duryodana, dia nggak terlalu peduli. Benar, kan, Mas?" ujar Wishnu.

Trisno hanya mengedikkan bahu. "Tetap saja, jangan sampai dia celaka. Marni bisa ... Tunggu, di mana Marni?"

"Marni juga dibawa oleh agen Penumbra," desah Galih.

"Kalau begitu, hasil ini nggak bisa dianggap kemenangan. Fifty-fifty," gerutu Rani.

"Jangan khawatir, Sis. Kita lihat nanti," ujar Wishnu sambil melingkarkan lengannya ke bahu Rani. "Dan jangan lupa, kita masih punya ini." Ia menunjukkan kepalan tangannya yang masih mengenakan kedua cincin ajaib itu. "Enak banget pake ini, aku jalan semua pingsan, berasa dewa beneran."

"Tetap saja, harus berhati-hati, Nu," peringat Trisno. "Jin di dimensi Nirhayati hampir saja menghancurkanmu. Aku harus menenangkan mereka supaya membatalkan serangan mereka."

"Tunggu sampai aku menguasai dimensi Nirhayati," seringai Wishnu. "Maka mereka pun akan takluk padaku."

.

.

.

-- Markas Penumbra, 01:00 WIB (dini hari)

Wirada sudah berbaring di atas tempat tidurnya. Rapat dengan Malika, Phillip, dan Marni masih akan dilanjutkan. Namun Phillip menyuruh mereka semua beristirahat sebelum memulai hari berikutnya. Buku merah milik Trisno sekarang sedang dianalisis oleh Divisi Riset dan Ilmu Pengetahuan Penumbra.

Dari penghuni bangsal perawatan semula, hanya Bagus yang dipindahkan ke kamar pribadi atas permintaan Tiara. Sedangkan Wirada, Frans, Aren, dan Marni tetap di bangsal. Wirada menatap Aren prihatin. Tak lazim hatinya terenyuh, namun itulah yang ia rasakan sekarang. Aren sudah seperti kakaknya sendiri, salah satu orang yang paling dipercayainya, selain Duren.

Lalu Frans. Polisi muda itu sejak tadi tak sadarkan diri. Perban tebal membalut lehernya, dikelilingi bantal untuk mencegah lukanya membentur benda keras yang rawan membuatnya kembali terbuka. Ingatan tentang Frans yang terluka, dengan pisau menancap di lehernya, lukanya mengalirkan darah, memasuki pikiran Wirada.

Tidak.

Sekesal-kesalnya ia pada Frans, ia tidak ingin polisi sialan itu meninggal, apalagi karena menyelamatkannya. Itu akan menghantuinya seumur hidup. Ia tidak ingin hidup dihantui siapapun.

Wirada menghela napas, menatap wajah Frans yang tenang, dengan bantuan cahaya remang-remang dari lampu di nakas, lalu beranjak kembali ke atas tempat tidurnya. Baru saja ia akan menarik selimutnya, suara lemah Frans membuyarkan aktivitasnya.

"Va ... va ...."

"Ada apa, Bang? Vangke?" bisik Wirada.

"Vava ... maafin aku ...."

"Cih, ngigau." Wirada memutar bola matanya.

Sinar putih jatuh di atas sprei putih kasurnya, menyilaukan mata Wirada yang telah terbiasa di remang-remang. Sosok seorang perempuan berpakaian serba hitam masuk ke dalam ruangan. Langkahnya senyap -- jika Wirada sudah tidur, ia mungkin takkan sadar ada yang memasuki ruangan.

Tiara. Mau apa perempuan itu datang kemari? Bukankah kekasihnya sudah dipindahkan ke tempat lain? Mungkin mau mengambil barang yang tertinggal?

Tahu-tahu, Tiara sudah berada di sebelah kasurnya.

"Wirada," bisiknya. "Kamu belum tidur?"

"Belum, Mbak Ros ... maksud gue, Mbak Tiara."

"Ikutlah denganku."

"Mau apa?"

"Menyiapkan amunisi, untuk melawan balik." 

.

.

.

Bersambung.

(30 Oktober 2018)

2900++ kata

Tenang, gak bakalan jadi JV season 2. :P

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top