Bab 25: Sejarah

"Jadi Kak Tiara bosnya Bang Frans?" bisik Malika ketika mereka selesai memperkenalkan diri masing-masing.

Lelaki tampan berkulit gelap dengan seragam polisi Reskrimum -- kemeja putih, dasi merah, dan celana panjang hitam -- bernama Bagus. Lelaki tampan lainnya, yang duduk di sofa sambil menekuk kaki jenjangnya, bernama Danar, mantan atlet taekwondo yang kini menjadi pelatih di pelatnas untuk Asian Games tahun depan. Sedangkan lelaki kurus berkacamata dengan rambut acak-acakan di belakang monitor bernama Phillip, ahli IT. Gadis manis berkacamata yang duduk disebelahnya adalah adiknya, Lita, yang sama-sama jago IT. Terakhir, gadis yang duduk di treadmill sambil membuka kakinya, ala nongkrong di warteg, dengan rambut kusam yang dikuncir satu, adalah Aren, informan Frans.

"Bos gue sebenarnya Mas Bagus, tapi Mbak Ti itu bosnya Mas Bagus. Jadi, ya, begitulah." Cengiran Frans berubah menjadi ringisan ketika Bagus menatapnya sok galak, walaupun gagal.

"Kamu pasti bingung kenapa dibawa kemari," tutur Bagus, disambut anggukan Malika. "Silakan duduk. Saya punya presentasi untuk kita semua."

"Tapi sebelumnya," sela Phillip, "gue perlu tanya ke Malika, apa lu bisa nyimpan rahasia?"

"Maksudnya apa, Kak?" tanya Malika, merasa bodoh.

"Maksudnya, informasi yang akan kita sampein ini bersifat rahasia dan nggak boleh diketahui khalayak umum," senyum Phillip. "Setelah lu keluar dari ruangan ini, lu nggak boleh kasih tahu informasi ini ke siapapun. Kalau lu nggak sanggup, lu boleh skip bagian presentasi ini. Lagian, tujuan utama kami itu ngelindungin lu. Informasi ini biar buat yang berkepentingan aja."

Malika melirik ke arah Frans, lalu Aren. Yang satu polisi, dan yang satu anggota Macan Hitam. Seharusnya ia tidak terlibat. Ia mahasiswi biasa, hanya mampu mempertahankan diri seadanya, tidak bisa berkelahi atau bela diri. Ia juga tidak tahu apa-apa mengenai dunia kriminal. Namun, di sisi lain, ia sangat penasaran. Lagipula ia sudah berjanji pada Frans akan membantunya. Seharusnya ia tidak setengah-setengah.

"Nggak sepenuhnya pepatah ignorance is bliss itu salah," ucap Lita dari tempat duduknya, sambil menopang dagunya dengan tangan. "Kalau kamu nggak mau tahu informasi ini, nggak apa-apa. Tapi kalau kamu tahu ..." ia mengedikkan bahu, "... mungkin kamu bisa bantuin kami."

"Gimana caranya?" tanya Malika.

"Manipulasi, my darling," ucap Tiara sambil melingkarkan lengannya ke bahu gadis itu. "Kudengar Wirada cuma mau nurutin kamu. Dan sekarang dia ada di Bogor bersama petinggi-petinggi Macan Hitam. Kalau Bagus dan Frans berhasil bawa Wirada keluar, kamu bisa mengorek informasi darinya."

Malika tak pernah berpikir untuk memanipulasi orang. Itu kedengarannya sangat jahat. Namun demi kebaikan masyarakat banyak, mungkin ia harus melakukannya. Walaupun akhirnya ia terpaksa menyakiti hati Wirada.

Tunggu, kenapa aku peduli sama perasaan Wirada? batinnya.

"Baiklah ..." ucapnya, sedikit ragu. "Aku bersedia."

"Kalau Malika bersedia, maka aku akan memulai presentasinya," ujar Bagus dengan senyuman yang menyejukkan hati Malika. "Ambil posisi nyaman, teman-teman. Presentasinya cukup panjang."

Proyektor menampilkan gambar logo ilustrasi macan hitam-putih di layar raksasa.

"Kalian pasti sudah tahu tentang Macan Hitam, kelompok preman yang kita kejar hampir setahun belakangan ini," Bagus memulai. Kemudian ia menjelaskan kepada Malika, "Macan Hitam adalah kelompok preman di mana Wirada bergabung."

Ia menekan tombol di pointer laser yang dipegangnya dan mengubah tampilan layar ke halaman selanjutnya. Lalu menyebutkan berbagai kejahatan yang didalangi oleh kelompok Macan Hitam, mulai dari pencurian di level terendah -- seperti Wirada yang ditugaskan mencopet setiap hari -- lalu tindak kriminal lainnya seperti balapan motor liar, perdagangan narkoba, serta penculikan dan perdagangan manusia. Bahkan Macan Hitam memiliki anggota di perekonomian, pemerintahan, dan TNI/Polri. Korupsi dan suap yang dilakukan anggota DPR yang merupakan anggota Macan Hitam menjadi salah satu sumber dana mereka. Tujuan mereka adalah menguasai Indonesia dengan cara mereka sendiri. Mereka sengaja mengacaukan negara supaya ada alasan bagi mereka untuk melakukan revolusi besar-besaran.

"Dari berbagai laporan yang dikumpulkan oleh Operasi Singa Putih, kita menemukan bahwa struktur organisasi Macan Hitam disusun dalam bentuk hierarki hingga enam level. Level pertama, preman jalanan seperti Wirada. Sebagian besar anggota Macan Hitam yang tertangkap di penggerebekan Kota Tua adalah anggota level satu. Sayangnya, mereka nggak tahu banyak tentang tingkat atas karena memang jalur informasinya diputus demikian."

Bagus berhenti sejenak, lalu menatap Aren yang matanya terpaku pada penjelasan di layar. Sepertinya gadis itu juga baru mengetahui informasi tersebut.

Selanjutnya, Bagus menjelaskan struktur level dua, tiga, empat, dan lima. Bagi Malika, semua nama terdengar asing, namun Tiara, Danar, Lita, dan Phillip mengangguk paham. Sedangkan Frans dan Aren masih menyimak dengan saksama.

"Dan terima kasih kepada rekaman Aren, sekarang kita tahu siapa dalang utama dari organisasi berbahaya ini," ucap Bagus.

Ia menekan tombol di pointer-nya lagi. Layar menunjukkan pohon hierarki dengan gambar tanda tanya dikelilingi persegi panjang di puncaknya. Gambar itu perlahan-lahan berubah, menunjukkan foto Wishnu Adipramana.

Malika menutup mulutnya. "Itu orang yang kulihat tadi pagi!"

Bagus mengangguk. "Makanya saya minta Frans membawamu kemari."

Layar kembali berganti, kali ini menjelaskan detil profil Wishnu.

"Aryadewa Wishnu Adipramana disebut sudah meninggal dua tahun yang lalu di Barcelona. Tapi sebenarnya itu hanya akal-akalan supaya tidak ada yang mencurigainya sebagai ketua utama Macan Hitam. Sebelum Wishnu, kami menduga bahwa ketua utama Macan Hitam adalah ayahnya, Brahmantyo Adipramana, adik mantan presiden kita."

Lalu Bagus menjelaskan profil keluarga Adipramana yang jarang terdengar di ranah politik maupun ekonomi, namun berhubungan erat dengan para pemegang tampuk kekuasaan di setiap dinasti pemerintahan. Mulai dari istri keduanya, Kania, yang merupakan kerabat Sultan Yogyakarta, hingga Rani, putrinya yang menikah dengan Narendra Prananjaya, putra sulung menteri pertahanan Indonesia Satriawan Prananjaya. Keluarga Adipramana juga masih memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarga Purnomo.

"Jadi mereka lebih suka di balik layar," gumam Frans.

"Benar," ujar Bagus. "Dan sekarang saya akan menyerahkan kepada Phillip untuk sesi presentasi berikutnya mengenai sejarah Macan Hitam."

"Makasih, Gus," ucap Phillip. "Gosip sejenak, ngomong-ngomong, gue kenal sama adiknya Narendra, Arjuna. Tiara juga pasti kenal." Ia menyengir ke arah Tiara, yang melipat tangannya tanpa mengubah ekspresi wajahnya.

"Ya, kami teman lama," sahut Tiara dengan tenang. "Lanjutkan."

***

Zaman Orde Baru dikenal sebagai periode yang penuh misteri. Walaupun disertai dengan kemajuan ekonomi yang memberikan Indonesia julukan 'Macan Asia', korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) merajalela, khususnya di kalangan kerabat dan orang terdekat presiden yang ingin memanfaatkan koneksi bagi kepentingan mereka sendiri. Selain itu, pada tahun 1980-an, Indonesia sempat menjadi sorotan di mata dunia akibat fenomena 'penembakan misterius' yang menghilangkan nyawa orang-orang yang dianggap akan mengacaukan masyarakat.

Di luar pro-kontranya fenomena 'penembakan misterius', pemerintah masa itu menyiapkan pasukan khusus yang berasal dari polisi dan tentara, yang masih bernama ABRI, untuk menyingkirkan para terduga kriminal tersebut. Selama beberapa saat, negara memang menjadi lebih aman. Tidak ada lagi preman yang berkeliaran di jalanan.

Namun, pasukan khusus ini segera disalahgunakan oleh pebisnis dan pejabat untuk kepentingan mereka. Siapapun yang dianggap lawan akan disingkirkan oleh kelompok ini. Saking misteriusnya, tidak ada yang tahu apakah para terduga kriminal itu benar-benar pengacau masyakarat atau hanyalah musuh para pejabat atau pebisnis.

Kelompok ini merupakan cikal-bakal Macan Hitam. Ujung-ujungnya, Macan Hitam menjadi semacam penengah dari antara permusuhan dua pihak. Misalkan pebisnis A menyewa Macan Hitam untuk menyerang pebisnis B. Pebisnis B juga menyewa Macan Hitam untuk menyerang pebisnis A. Macan Hitam akan menerima uang dari kedua belah pihak lalu tetap merugikan dua-duanya. Karena itu, Macan Hitam sangatlah kuat. Selain dibeking pemerintah, polisi, dan tentara, Macan Hitam juga didanai pebisnis yang tidak ingin bisnis mereka dikacaukan oleh Macan Hitam.

Keberadaan Macan Hitam sendiri, walaupun mengabaikan hak asasi manusia, terutama di kalangan rakyat kecil, menjadi semacam necessary evil, kejahatan yang diperlukan untuk menertibkan kekacauan yang lebih besar. Dengan membentuk tatanan organisasi di kalangan preman (sebagian besar dari zaman Orba yang memilih tunduk dan bergabung dengan Macan Hitam daripada dibunuh), Macan Hitam menghindarkan para preman dan anak jalanan dari perkelahian antar mereka sendiri, mencegah terjadinya bunuh-bunuhan di antara mereka.

Sekarang Macan Hitam berusaha bangkit untuk menguasai Indonesia dengan cara mereka sendiri. Mulai dari menempatkan anggota-anggota mereka di posisi strategis pemerintahan, menghasut rakyat untuk saling bertikai, hingga menjalankan berbagai perdagangan ilegal.

"Tunggu," potong Tiara. "Kalau Macan Hitam berasal dari penembakan misterius yang baru muncul pada tahun 1980-an, bukannya Brahmantyo Adipramana atau Krisanto Purnomo lebih tua dari itu? Setahuku, keanggotaan Macan Hitam diwariskan turun-temurun. Bahkan Karina Widayanto saja anak menteri atau dewan ketua Macan Hitam yang terdahulu, dan kakaknya Ruslan Widayanto juga menjadi menteri Macan Hitam. Memangnya berapa kali ketua Macan Hitam ganti? Kukira Macan Hitam sudah lebih tua dari itu."

Phillip terdiam. Ia melipat tangannya sambil memandang layar proyektor. "Masuk akal, Ti. Tapi yang gue dan Bagus temuin baru sampe segini."

"Hipotesisku, Macan Hitam sudah ada sejak lama, mungkin sebelum zaman kemerdekaan," ujar Tiara. "Papaku saja sempat diserang Grup Purnomo pada tahun 1988 -- ya, aku baru tahu itu -- yang diduga menggunakan jasa Macan Hitam."

"Belum ada bukti yang kita kumpulkan menyebutkan fakta tersebut, Ti. Tanpa bukti, kita nggak bisa bilang apa-apa," sanggah Bagus.

"Makanya cuma kubilang hipotesis," ujar Tiara.

"Aku nggak menyangkal hipotesismu, namun belum bisa memastikannya juga," sahut Bagus.

"Mungkin Macan Hitam semacam Empire atau H.Y.D.R.A., diam-diam menyusup di kelompok pembela negara. Atau bahkan cabang Illuminati, Freemasonry, atau Knights Templar," celetuk Lita. Spontan, semua mata tertuju ke arahnya. "Kenapa? Kan mungkin aja."

"Aren, apa yang kamu tahu soal ini?" tanya Bagus.

Aren hanya mengedikkan bahu. "Gue juga baru tahu soal ini."

"Halah, pacar lu kan ketua cabang Jatinegara, nggak mungkin lu nggak tahu apa-apa," cetus Frans, namun Bagus mengangkat tangannya untuk menenangkan bawahannya.

"Aren, coba beritahu kami apapun yang kamu tahu tentang Macan Hitam, bahkan dari level terendah. Semua informasi bisa menjadi kepingan pasel untuk menyusun gambar," pinta Bagus. "Kita butuh itu untuk menyelamatkan Duren dan Wirada."

Aren menghela napas. "Jadi begini ..."

Ia mulai menuturkan pengalamannya menjadi anggota Macan Hitam. Pencopet seperti Wirada ditargetkan mengumpulkan puluhan juta uang setiap hari. Kadang-kadang, Aren sendiri ikut mengumpulkan uang dengan cara mengemis, namun ia lebih banyak tinggal di markas dan membantu Duren mengelola uang tersebut. Biasanya perempuan dan anak-anak jalanan yang mereka culik ditugaskan menjadi pengemis.

"Apa yang dilakukan dengan uang itu?" tanya Bagus.

"Sebagian buat ngidupin kita, tapi sebagian lagi diambil Bang Dur. Dia nggak bilang ke gue, tapi gue duga dikirim ke pusat."

"Lalu dari mana para perempuan itu berasal?"

"Macem-macem, Om. Banyaknya, sih, anak hilang gitu, yang kepisah dari orangtua mereka dari kecil. Ada juga yang emang ditelantarin keluarga. Atau anak jalanan yang mau dipukulin, kami tolongin. Atau pelacur di bawah umur, kami pungut."

"Seperti apa kehidupan mereka di Macan Hitam?"

"Ya, gitu. Pagi sampe sore disuruh ngemis atau ngamen. Malam-malam kadang ngelayanin para cowok yang mau."

"Apakah mereka mengalami kekerasan?"

"Paling-paling cuma ditampar atau didorong doang, tapi nggak sampe dipukulin terus-menerus, kok. Maklum, lah, preman mainnya kasar, Om."

Bagus hanya mengangguk.

Sementara itu, Malika memandang Aren dengan campuran iba, kagum, dan horor. Gadis itu mungkin hanya beberapa tahun lebih tua darinya, namun kehidupan yang dialaminya bertolak belakang dari kehidupannya. Dan kehidupan macam inilah yang dijalani Wirada. Tidak heran, ia tak merasa bersalah saat mencuri.

"Cukup pelajaran sejarahnya," ujar Tiara. "Sekarang, gimana strategi kalian buat ngancurin Macan Hitam?"

"Tenang, Ti. Pemain kita sudah lengkap," senyum Phillip.

"Belum," ujar Bagus. "Kurang satu orang lagi."

.

.

.

-- Bogor, 17:00 WIB

Ketika Wirada kehilangan akal sehatnya setelah melihat Malika dalam video Wishnu, ia merasakan tubuhnya menjadi amat lemas. Trisno memapahnya ke laboratorium untuk memeriksanya. Sang ilmuwan menduga bahwa Wirada belum menguasai kemampuan barunya, ditambah lagi hatinya sedang kalut, sehingga menyebabkan efek demikian.

"Kamu harus dilatih untuk menguasai kekuatanmu," ujar Trisno.

"Gue nggak peduli," tutur Wirada lirih. Untuk sesaat pemuda ini kehilangan kerecehannya. "Gue nggak pernah minta dikasih kekuatan super, Dedi. Gue lebih baik jadi orang biasa tapi gue tahu apa yang terjadi pada diri gue."

Trisno menatap wajah putranya yang teramat lesu. Tiba-tiba ia baru menyadari bahwa selama ini ia terlalu terobsesi pada eksperimennya, tanpa memerhatikan perasaan subjek tesnya.

"Maaf, Wira." Ia menggeleng. "Seharusnya saya minta persetujuanmu. Tapi ..."

Entah apa kelanjutannya, Wirada tak pernah tahu. Mereka telah tiba di depan laboratorium Trisno. Wirada berdiri di depan pintu dengan harap-harap cemas. Ibunya mungkin saja berada di dalam, mencari buku atau informasi apapun yang telah mereka bahas setelah makan siang tadi. Ia hanya pasrah. Setidaknya, Trisno telah berjanji tidak akan mencelakakan Marni.

Laboratorium itu kosong. Trisno menyuruh Wirada duduk di meja operasi dan memasang alat-alat medis di tubuhnya. Satu di dadanya untuk mengukur detak jantungnya, yang lain untuk tekanan darahnya. Selain itu, pupil mata, refleks tubuh, serta isi mulutnya juga diperiksa.

"Hanya fatigue atau kelelahan ekstrem," ujar Trisno. "Tubuhmu terlalu banyak mengeluarkan adrenalin."

Ia mengambil botol obat dan mengeluarkan sebuah pil berwarna putih. Lalu menyodorkannya kepada Wirada.

"Minum ini, untuk memulihkan tenagamu."

Tanpa mengatakan apapun, Wirada menerima pil tersebut dan memasukkannya ke dalam mulut. Baru saja ia menelannya dengan segelas air, terdengar suara benturan antara dua benda keras dari ruangan lain, disusul dengan teriakan seorang perempuan.

"Marni!" seru Trisno.

Lelaki itu segera berlari keluar dari laboratorium tanpa menutup pintunya. Wirada ingin menyusulnya, namun terlalu lemas. Ia hanya dapat berharap ibunya tidak dicelakai oleh siapapun.

Tertatih-tatih, ia turun dari atas meja dan berjalan ke pintu. Namun sebelum ia keluar dari laboratorium, ia mendengar suara kertak-kertuk dari salah satu lemari. Sebuah mikrofon mini terpasang di sana. Ia mengernyitkan dahi dan meraihnya. Apakah ini sengaja dipasang oleh Trisno di laboratoriumnya? Atau ada penyusup yang menyelipkan benda itu di sana?

"Target-Dua-Sembilan, jawab jika mendengar saya. Saya tahu Anda di sana."

Wirada terperanjat. Itu suara Frans. Haruskah ia menjawabnya atau meninggalkannya begitu saja?

"Heh, copet bangke, jawab! Lu masih suka tinggal di sini apa kagak? Mal, gue nyerah. Lu aja, dah, yang ngomong."

"Mal?" balas Wirada. "Dia di sini? Dia aman?"

Terdengar gelak tawa Frans dari seberang mikrofon. "Nggak, Ngke. Tapi dia aman bareng bosnya bos gue."

"Bosnya bos Bang Pret apaan, dah," gerutu Wirada, kesal karena ditipu.

"Lu masih mau di sana? Apa mau gue pandu keluar?"

"Sebentar, Bang Pret, gue mau ngecek sesuatu dulu."

"Wira-wiri!" Kali ini suara Aren terdengar dari mikrofon. "Lu nggak apa-apa, kan? Ini gue, Aren. Gue dateng buat nolongin lu dan Bang Dur."

"Oiya, Bang Dur! Dan nyokap gue!"

"Nyokap lu masih hidup?"

"Masih, Ren," protes Wirada.

"Theta-Enam-Sembilan, target kita bertambah jadi tiga. Ibunya Target-Dua-Sembilan juga ada di dalam," ujar Frans.

"Diterima," sahut Bagus.

***

Sementara itu, Marni terkapar di lantai. Dua meter di hadapannya, Duren berjalan ke arahnya dengan wajah tanpa ekspresi. Di belakang Duren, Rani menyeringai sambil memegang remote control untuk menghentikan Duren apabila ia menjadi terlalu ganas.

"Cahyo ... Cahyo ... ini Emak," rintih Marni sambil menatap mata putranya penuh kesedihan.

Duren berhenti sejenak.

"Kenapa berhenti? Lanjutkan!" seru Rani.

"Baik, Nyonya," sahut Duren.

Ia membungkuk dan mencengkeram leher Marni, mengangkatnya ke atas dengan punggung menempel ke dinding. Marni kesulitan bernapas -- ia terengah-engah saat berusaha menghirup udara melalui mulutnya.

"Cahyo ... Emak sayang kamu ..."

Kepala Duren mendadak terasa sangat sakit. Ia melepaskan Marni hingga perempuan itu terjatuh kembali di lantai. Dengan kedua tangannya, ia memegangi pelipisnya seakan-akan kepalanya mau meledak.

"Nyonya ..." rintihnya.

Rani memutar bola matanya tak sabar. "Kalau kamu nggak becus, biar aku habisi sendiri," ujarnya sambil meraih pistol dari laci meja dan mengarahkannya ke Marni.

Marni mulai menyenandungkan lagu masa kecil yang biasa ia nyanyikan untuk Duren.

"Aaaahhhh!!!" Duren meringkuk di lantai, tangannya masih memegangi kepalanya. "Tolong saya, Nyonya!"

BRAK!

Pintu terbuka. Trisno menerjang masuk. Melihat adik tirinya memegang pistol, ia langsung mendorong Rani dan merebut pistolnya. Tak semudah itu. Rani sempat kalah sesaat karena tak siaga, namun ia melepaskan tangannya dari genggaman Trisno dan menendang wajahnya sambil berputar.

Pistol terlontar dan mendarat di ambang pintu. Posisi Duren dan Marni paling dekat dengan pistol, namun keduanya bergeming. Duren masih melawan sakit kepalanya, sedangkan Marni terlalu lemah untuk bangkit.

Wirada berdiri di depan pintu, menyaksikan kejadian tersebut. Ia meraih pistol itu, namun ia ragu harus menembak siapa. Apakah ia harus menembak Duren tanpa membunuhnya? Atau Rani yang masih bergelut dengan ayahnya?

DOR! DOR! DOR!

Pertama-tama, Trisno tumbang. Lalu Rani. Selanjutnya Duren.

Wirada menoleh ke belakang. Seorang lelaki jangkung berkostum hitam-kelabu seperti yang dilihatnya di markas Kota Tua menembak tiga kali. Ia tahu itu Frans. Sang polisi mengaktivasi mode cepat dari kostumnya dan memborgol kedua tangan dan kaki Duren. Lalu rekannya membopong Marni keluar dari ruangan tersebut.

Kini giliran Frans menangkap Trisno dan Rani. Namun sebelum ia berhasil, Rani segera bangun kembali, bagaikan tak terluka sama sekali. Tiba-tiba asap memenuhi ruangan. Granat asap yang dilemparkan Rani membuat Wirada dan Trisno terbatuk-batuk. Frans dan rekannya yang mengenakan helm masih terlindungi dari gas beracun itu. Hanya pandangan mereka yang menjadi buram.

"Aku akan memberitahu Wishnu perihal pengkhianatanmu, Mas Trisno," ujar Rani sebelum menghilang.

"Sial," gerutu Frans.

***

Wirada duduk di jok belakang mobil van yang dikemudikan seorang polisi, dengan Frans di sebelahnya. Hidung dan mulutnya ditutup masker oksigen untuk menggantikan efek gas beracun yang sudah memasuki paru-parunya. Trisno duduk di seberang mereka, hidungnya ditutup masker yang sama. Duren dan Marni berbaring di tandu masing-masing, tak sadarkan diri.

Wirada melirik ke Frans, tak tahu harus berterima kasih atau bersikap menyebalkan. Rencananya belum berhasil, namun setidaknya ia sudah keluar dari tempat itu bersama Marni dan Duren. Sedangkan Trisno -- ia tak tahu harus berpikir apa mengenai ayah kandungnya itu. Trisno memang meruntuhkan markas di Jatinegara, menjadikannya subjek percobaan, dan mengancam Malika. Namun sepertinya Trisno masih bersikap baik pada Marni dan Wirada. Entahlah, mungkin Trisno dapat diajak bekerja sama?

Mobil van itu berhenti di pelataran parkir sebuah bangunan menyerupai asrama polisi yang dikelilingi hamparan sawah, menandakan mereka belum jauh dari markas Macan Hitam tersebut. Pintu belakang van terbuka, dan dua orang paramedis mengeluarkan Duren dan Marni dari dalam van. Wirada, Frans, dan Trisno menyusul kemudian. Frans lebih mengutamakan menjaga Trisno daripada Wirada -- tentu karena menangkap Trisno lebih sulit daripada menangkap Wirada.

Seorang gadis berlari keluar dari bangunan, menyambut mereka. Wirada membuka mulutnya dan langsung memeluk gadis itu.

"Aren!" serunya.

"Wira-wiri, untung lu baik-baik aja!" sahut Aren. "Mana Bang Dur?"

Wirada spontan menunjuk tandu di mana kekasih gadis itu berbaring. Aren langsung melepaskan pelukannya dan menghampiri tandu tersebut, mengganggu paramedis yang akan membawanya ke tempat perawatan.

"Dia baik-baik aja, kan, Mas? Jawab gue!"

"Dia masih hidup, Mbak. Ini kami mau periksa dulu," sahut paramedis tersebut.

Aren berbalik dan melotot ke arah Frans.

"Gue cuma bius dia, kok. Tenang aja, nanti juga bangun lagi," ujar polisi itu tanpa merasa bersalah.

Dari kejauhan, Wirada melihat asap membumbung tinggi di tengah hamparan sawah. Rumah sederhana yang menjadi kedok markas Macan Hitam terbakar hangus, menghitam sampai rata ke tanah. 

.

.

.

Bersambung.

(15 September 2018)

2900++ kata

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top