Bab 24: Simulasi
-- Rawamangun, Jakarta Timur, 10:30 WIB
Suasana gedung kampus terlihat ramai dipenuhi mahasiswa yang berlalu lalang, baru menyelesaikan kelas mata kuliah mereka. Ada yang berpindah ruangan untuk mengikuti kelas selanjutnya. Ada juga yang tidak memiliki jadwal kuliah hingga siang hari sehingga mereka keluar dari gedung untuk nongkrong di perpustakaan, taman, maupun kantin.
Malika termasuk salah satu mahasiswa yang jadwalnya kosong hingga pukul satu siang nanti. Sebagai mahasiswa baru yang masih rajin nan idealis, ia memutuskan untuk mengerjakan tugas di perpustakaan hingga makan siang. Untuk merambah tujuannya, ia mengambil jalan pintas melintasi taman kampus sambil sesekali menyapa teman-teman yang berpapasan dengannya.
Namun, di tengah jalan, ia melihat pemandangan tak lazim. Seorang lelaki tinggi mengenakan kemeja biru muda sedang mengangkat ponselnya, seperti sedang ber-selfie ria. Dari penampilannya yang begitu rapi, Malika menduga ia bukan mahasiswa. Kemejanya dimasukkan ke dalam celananya yang dililiti sabuk. Rambutnya rapi dan bahunya lebar. Kontras dengan para mahasiswa pria yang umumnya mengenakan kaos dan celana jins.
Ngapain dia selfie di taman kampus? Apa taman ini seistimewa itu sampai dia perlu mengambil foto di sini? gumam Malika dalam hati.
Walaupun Malika hanya bertanya-tanya sambil sepintas lewat, langkahnya dihentikan oleh lelaki tersebut. Wajahnya mengejutkan Malika. Ia adalah lelaki paling tampan yang pernah dilihatnya.
"Permisi, Mbak," ujarnya sambil tersenyum. "Kantor administrasi di sebelah mana, ya?"
Malika terdiam selama beberapa detik sebelum menjawab, "Di gedung yang itu, Mas." Ia menunjuk ke salah satu gedung kampusnya.
"Makasih, ya," sahut lelaki itu, tanpa menghilangkan senyumnya.
Malika heran, namun ia merasa itu bukan urusannya, sehingga ia melanjutkan perjalanannya yang tertunda menuju perpustakaan.
Setelah menemukan meja yang kosong, ia meletakkan tasnya lalu mengeluarkan buku dan laptopnya. Sambil menunggu laptop menampilkan desktop-nya, ia tanpa sadar memikirkan Wirada. Entah apa yang preman itu lakukan pagi-pagi begini.
Paling-paling nyopet lagi, pikirnya. Nggak tahu omonganku kemarin masuk nggak ke otaknya. Tapi paling nggak aku udah berusaha nasihatin dia.
Lalu pikirannya berkelana kepada kejadian beberapa hari yang lalu, ketika Frans memintanya untuk membantunya menyelidiki Wirada. Frans menyebutkan bahwa Wirada terlibat dalam suatu geng preman yang sangat berbahaya. Wirada sendiri kelihatannya tidak terlalu berbahaya, selain hobinya mencuri. Tapi jangan-jangan Wirada sengaja mendekati dirinya untuk membuatnya lengah, lalu menculiknya ke kelompoknya.
Bisa-bisa aku dijadiin donor ginjal. Duh, Bang Frans, gimana update terbarunya?
Malika menggelengkan kepalanya. Setidaknya sampai kini ia masih aman. Sebaiknya ia fokus mengerjakan tugas daripada memikirkan yang tidak-tidak.
Tapi benarkah ia aman? Lelaki di taman tadi benar-benar mencurigakan. Mungkin ia paranoid, tapi mungkin ia perlu menghubungi Frans.
Ia membuka ponselnya dan memeriksa aplikasi chat-nya. Ia memang mematikan notifikasinya supaya tidak membanjiri layarnya. Ada pesan dari Frans setengah jam yang lalu.
Frans Polisi: Mal, lu ada kosong hari ini?
Malika mengernyitkan dahinya. Untuk apa Frans menghubunginya?
Malika: Habis jam 3 Bang. Ada apa?
Kebetulan Frans sedang online. Ia segera membalas pesan Malika.
Frans Polisi: Sore ini kumpul di Suryajati Tower, kyny lu perlu tahu ini deh
Frans Polisi: Ntar gue kasih tahu ya jam berapa. Habis nunggu bbrp yg pulang kantor jg
Malika: Tahu apa Bang?
Frans Polisi: Ttg gengnya Wirada
Frans Polisi: Tapi gue gak bisa ngomong di sini. Makanya lu dtg aja
Malika: Gue jadi penasaran kan Bang. Oke lah
Frans Polisi: Sip" sampe nanti ya
Malika mengunci ponselnya dan meletakkannya di sebelah laptopnya. Jika Frans bertujuan membangkitkan rasa penasarannya, maka polisi muda itu sangat berhasil. Ia membaca novel karya Ahmad Tohari yang harus dirangkumnya sebagai tugas mata kuliah sastra klasik, namun otaknya tak dapat fokus. Apalagi lelaki tampan yang ditemuinya di taman tadi mengganggu pikirannya.
Malika: Bang Frans, tadi gue ketemu orang yg mencurigakan di taman kampus
Frans Polisi: Mencurigakan gimana?
Malika: Dia selfie di sana trus nanya2 kantor admin. Entah gue yg parno atau dia bener2 aneh
Frans Polisi: Deskripsi?
Malika: Ganteng, pake kemeja, tinggi 180 cm-an, rapi
Frans Polisi: Harus banget disebut ganteng Mal? -_-
Malika: Iya ganteng banget
Frans Polisi is typing ...
Lalu tidak ada balasan.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Frans meneleponnya. Karena di perpustakaan tidak boleh berisik, Malika terpaksa keluar untuk mengangkatnya.
"Kenapa, Bang?"
"Mal, ciri-ciri orang yang lu sebutin itu, jangan-jangan dia pentolannya geng Wirada. Gue bakal ke sana buat mastiin lu aman. Pokoknya jangan di tempat sepi, dan kalau bisa cari temen buat nemenin lu sampe gue dateng. Ngerti?"
Malika heran, Frans memberondongnya sampai sedemikian rupa. Ternyata bukan hanya dirinya yang paranoid, Frans juga.
"Oke, Bang."
"Sekarang lu di mana?"
"Perpus."
"Ya udah, jangan ke mana-mana dulu. Gue langsung ke sana." Lalu Frans mematikan teleponnya.
Selama menunggu, Malika melanjutkan bacaannya. Ia memelototi tulisan demi tulisan sambil mencatat poin-poin yang ditangkapnya dari novel tersebut. Namun suasana perpustakaan yang dingin serta telepon dari Frans membuat bulu kuduknya merinding.
Aku nggak mau berurusan dengan masalah ini. Semua gara-gara Wirada mencuri dompetku di warung saat itu.
Malika menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya. Waktu tidak dapat berputar mundur -- apa yang sudah terjadi tidak dapat dihapus.
.
.
.
-- Bogor, 12:00 WIB
Wirada duduk di meja makan bersama ayah dan ibunya. Reuni keluarga yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya, bahkan di mimpi terliarnya. Namun perkumpulan ini terasa mencekam. Hanya Trisno yang tampaknya menikmati makannya dengan santai. Wirada merasa tegang. Ia memasukkan makanan ke mulutnya, tetapi matanya menatap sang ayah. Marni yang duduk di sisi Wirada juga tak berani mengatakan apa-apa. Ia hanya menunduk dengan ekspresi sedikit ketakutan.
Wirada berpikir, inikah yang dirasakan Marni saat bersama Trisno? Bukan seperti pasangan suami-istri atau kekasih, namun lebih seperti atasan-bawahan. Atau mungkin Marni menyimpan rahasia dari Trisno, makanya ia terlihat gelisah seperti ini.
Otak Wirada berputar cepat. Ibunya tak pandai menyembunyikan emosinya. Cepat atau lambat Trisno pasti akan menegurnya. Wirada harus mengalihkan perhatian Trisno dari kegugupan Marni.
"Dedi," panggil Wirada.
Trisno menggerakkan kepalanya, menatap Wirada. "Ya?"
"Gue mau nurutin kemauan lu, tapi ada syaratnya."
"Saya dengar dulu syaratmu, baru saya pertimbangkan," sahut Trisno cuek.
"Nggak susah, kok, Ded. Cuma tiga," ujar Wirada. Ia berhenti sejenak untuk menarik napas dalam-dalam. "Pertama, lu nggak boleh celakain Emak sampai kapanpun."
Trisno melirik ke Marni, yang menjatuhkan sendoknya ke atas piring. Perempuan itu meringis. "Itu sudah pasti, Wira. Lalu apa?"
"Kedua, lu pastikan Malika selalu aman."
"Di bawah kuasa saya, saya akan pastikan dia aman."
"Ketiga," ucap Wirada, "gue mau ketemu Malika lagi. Minimal seminggu dua kali."
Wajah tegang Trisno melunak. Bibirnya menyunggingkan sebuah senyuman. "Oke. Tapi ada syaratnya. Kamu nggak boleh bercerita pada Malika, atau siapapun, tentang apa yang terjadi di sini. Saya akan mengizinkanmu pergi, tapi kamu harus dipasangi alat penyadap."
Wirada memutar bola matanya. Selalu saja seperti ini. Dirinya dipasangi pelacak, penyadap, dijadikan eksperimen, apa lagi?
Tapi demi Malika ...
"Setuju, Ded."
***
Setelah makan siang, Wirada diminta Trisno untuk menemuinya pukul dua siang nanti. Ia dibiarkan beristirahat selama sejam. Wirada memilih menghabiskan waktunya bersama ibunya. Trisno mengizinkannya, mungkin atas desakan Marni pula. Wirada bersyukur, Trisno masih memedulikan Marni, sehingga Marni dapat menjadi titik lemahnya.
"Mak, apa Emak selalu gugup gitu di depan Dedi?" tanya Wirada.
Marni menghela napas dan menggeleng. "Emak cuma tegang, Wir. Ini pertama kalinya kita berkumpul sebagai keluarga. Perasaan Emak bercampur aduk, antara senang dan terharu. Tapi Emak juga cemas, apa yang ayahmu akan lakukan padamu."
"Abang bukan anaknya Dedi, ya?"
"Bukan, dia anak dari suami Emak yang dulu."
"Jadi gue anak haram?"
Marni menghela napas lagi. "Semacam itulah, Wir. Tapi ... itu nggak penting. Emak sayang kamu, Nak."
Wirada mengedikkan bahunya. "Gue pencuri, preman, anak jalanan. Apalah artinya ditambah anak haram."
"Mas Trisno bukan orang sembarangan, Wir. Dia orang penting."
"Oh, ya?" Suara Wirada terdengar sinis.
"Beneran," desah Marni. "Mungkin Emak dilarang ngasih tahu kamu. Tapi ..." perempuan berusia paruh baya itu menelan ludah dan menggenggam tangan Wirada, "... Mas Trisno adalah keponakan presiden Indonesia yang dulu."
Wirada membuka mulutnya. "Presiden yang mana?"
Marni membisikkan sebuah nama ke telinga Wirada.
"Anjir!"
Marni segera menutup mulut putranya. "Ssttt! Kamu mau Emak dihukum?"
"Dia udah janji nggak akan celakain Emak."
"Tapi nggak berarti dia punya cara lain untuk menghukum Emak."
Wirada mengembuskan napas. "Jadi gue orang penting? Jir! Gue nggak nyangka. Emak ketiban apa sampe bisa ... ehem ... tidur sama dia?"
Marni hanya menunduk. "Emak malu mengingatnya, Wir. Walaupun malam itu menghasilkan dirimu, Emak tetap merasa bersalah sampai saat ini. Dan waktu itu Emak nggak tahu dia keponakan mantan presiden."
"Biar gue tebak. Bapaknya Bang Dur ... bukan suami yang baik?"
"Begitulah. Dulu dia baik, tapi sejak keuangan keluarga kami menurun, dia jadi pemabuk dan pemarah."
Wirada mengangguk paham. "Cukup dengan sejarah gue, Mak. Sekarang gue butuh bantuan Emak. Selama gue pergi dengan Dedi, gue mau Emak ngumpulin buku, catatan, atau apapun yang Emak tahu tentang proyek ini. Atau tentang Macan Hitam. Gue akan pelajarin semuanya. Emak bisa?"
Marni mengangguk ragu.
"Ada buku catatan yang gue pernah lihat. Warnanya merah. Di dalamnya ada foto Emak sebelum jadi cantik seperti sekarang ini."
Marni tersenyum getir.
"Wir," tuturnya, "wajah asli Emak emang seperti ini. Emak nggak oplas, kok."
"Lah, gue nggak bilang Emak oplas."
"Waktu itu ... bapaknya abangmu sering mukulin Emak. Makanya muka Emak jadi banyak luka."
Wirada mengepalkan tangannya geram. Lelaki macam apa yang memukul istrinya sendiri?
"Tapi itu masa lalu. Emak tahu, kok, buku yang kamu maksud. Beberapa hari terakhir ini, Emak udah nggak lihat lagi buku itu bersama Mas Trisno. Entah dia simpan, atau dia kasih ke orang lain."
"Om Wishnu?"
"Mungkin."
"Kalau terlalu berbahaya ... Emak cari yang lain aja dulu."
"Emak akan berusaha," sahut Marni.
***
Pukul dua siang, Wirada menemui Trisno di ruangannya. Melihat kedatangan putranya, Trisno mengangkat wajahnya dari buku yang sedang dibacanya. Spontan, Wirada berusaha membaca halaman buku tersebut, siapa tahu ada informasi yang dapat diperoleh, namun sepertinya itu hanya jurnal penelitian biasa.
"Kamu sudah datang," ujar Trisno.
"Iya," sahut Wirada singkat.
"Ikut denganku."
Wirada mengikuti ayahnya keluar dari ruangan tersebut. Mereka masuk ke dalam lift yang membawa mereka ke lantai bawah tanah. Setelah melalui lorong yang panjang dan penuh tikungan, dengan dinding putih membatasi mereka bagaikan tikus dalam labirin, mereka tiba di sebuah ruangan yang dilapisi kaca tebal. Ada dua lapis -- ruangan luar memiliki mesin dan komputer seperti ruang panel kontrol, sedangkan ruangan dalam hanya dilapisi matras dan dibatasi tembok kaca, tanpa ada perabotan apapun di dalamnya.
"Ini adalah ruang simulasi," jelas Trisno. "Kita akan menguji coba kemampuanmu di ruangan yang dalam. Saya akan menjalankan simulasinya dari ruangan kontrol ini. Nantinya, kaca ini akan menampilkan hologram yang menyerupai kejadian sungguhan. Namun jangan sentuh kacanya karena saya melapisinya dengan laser untuk proteksi diri seandainya ada kejadian yang tidak diinginkan."
Wirada memanyunkan bibirnya, lalu mengangguk.
"Pakailah ini," ujar Trisno sambil menyerahkan kostum ketat berwarna abu-abu.
Ia menunjukkan ruangan privat di mana Wirada dapat berganti pakaian. Setelah mengenakan kostum tersebut, Wirada dipasang alat-alat di kepala, tangan, dan kakinya. Kata Trisno, alat-alat tersebut merupakan sensor untuk mengukur kemampuan dirinya.
"Siap?" tanya Trisno.
"Hologram yang gue lihat itu apa?" balas Wirada. "Nggak serem, kan?"
"Tidak. Hanya kejadian-kejadian kritis seperti kebakaran, kecelakaan mobil, banjir, atau jatuh dari gedung tinggi. Dari sana kita bisa melihat kemampuanmu sebenarnya."
"Kedengarannya udah serem," gerutu Wirada. "Oke, gue siap."
Wirada masuk ke dalam ruangan simulasi. Lampu dimatikan. Hologram menampilkan gambar jalan raya yang sangat ramai, penuh dengan kendaraan berkecepatan tinggi. Sebuah mobil melaju ke arahnya. Efek suara klakson dan deru mobil di sekelilingnya menambah perasaan nyata dari pengalaman ini.
Spontan, Wirada melompat dan menghindar. Ia menemukan dirinya di sudut ruangan, nyaris terjatuh saking cepatnya, namun ia dapat menyeimbangkan tubuhnya. Jantungnya berdebar cepat. Itu terasa sungguhan.
"Bagus. Sesi berikutnya." Suara Trisno terdengar dari pengeras suara di atas ruangan.
Suasana berganti. Hologram menampilkan bangunan tua yang mengitari Wirada. Bangunan itu sudah rapuh dan hampir runtuh. Batu-batu penyusun dinding mulai berjatuhan. Wirada merasakan sesuatu menimpa pundaknya. Ketika ia menoleh untuk melihat bahunya, ia melihat serbuk putih di sana. Ternyata batu sungguhan.
Perlahan, batu-batu yang lebih besar berjatuhan ke arahnya. Ia mendongak -- batu-batu itu bukan hologram tapi sungguhan. Wirada langsung menghindar dari batu yang akan mengenainya paling cepat. Kemudan batu berikutnya. Lalu berikutnya. Ia bergerak sangat cepat hingga pinggangnya seperti tertarik. Persendiannya terasa ingin lepas. Namun ia berhasil menyelamatkan dirinya.
Lalu ruangan itu kembali terang.
"Menarik. Kamu lebih banyak melakukan gerakan defensif," ujar Trisno.
"Sebenarnya gue ngapain?" tanya Wirada.
"Coba lihat rekaman ini," sahut Trisno.
Layar berganti menunjukkan Wirada yang bergerak sangat cepat di ruangan kosong. Ia ingat, itu gerakannya saat ia menghindar dari mobil yang akan menabraknya. Ia berlari sangat cepat dengan jarak pendek, seperti teleportasi namun tidak benar-benar berpindah tempat secara instan. Lalu tubuhnya terlihat sangat lentur saat ia menghindar dari batu-batu yang berjatuhan ke arahnya, lebih lentur daripada gerakan atlet gimnastik. Seakan-akan ia tidak memiliki sendi. Bukan elastis seperti Reed Richards dari Fantastic Four atau Elastigirl dari The Incredibles, namun mendekati kemampuan mereka.
"Hmm," Wirada mengusap dagunya. "Ini kemampuan gue?"
"Ya," sahut Trisno. "Saya lihat apa yang kamu lakukan di lab kemarin, Wira. Kamu bisa meloloskan diri dari sabuk pengamanmu dengan cara melenturkan lenganmu. Selain itu, dari rekam jejakmu sebagai pencuri gesit yang tak pernah tertangkap, saya menduga kamu punya semacam kekuatan super speed."
"Tapi gue nggak seperti The Flash?"
"Kelihatannya tidak seperti itu. Lebih ke arah lari cepat yang pendek-pendek. Belum tahu apakah kamu bisa bertahan dalam jangka panjang. Bisa kita uji kalau kamu belum lelah."
"Gue butuh istirahat bentar," sahut Wirada sambil menopang tubuhnya dengan bertumpu ke dinding. Ia baru sadar dirinya kehabisan napas.
Tiba-tiba lampu di ruang simulasi berkelip. Padam sebentar lalu menyala kembali. Salah satu sisi dinding kaca menampilkan video taman terbuka di area kampus.
"Sial, Wishnu ngebajak," gumam Trisno sambil menekan tombol di panel.
"Bentar, kita lihat apa pesannya," ujar Wirada.
"Halo, Wira!" sapa Wishnu dalam video. "Haha, saya om yang buruk, kan? Saya bukannya menemuimu, malah jauh-jauh pergi ke Rawamangun cuma buat vlogging. Anyway, saya hanya mau mengucapkan selamat untuk mas saya tercinta, Trisno, dan juga kamu, Wira, karena kalian berhasil berkumpul kembali. Reuni keluarga yang penuh perasaan, kan?
"Sekarang, saya mau membuktikan bahwa saya adalah om yang baik. Saya mau memberikan kejutan padamu, Wira. Kamu tahu di mana saya sekarang? Di Universitas Negeri Jakarta ..."
Tubuh Wirada menegang. Tangannya mengepal. Jika dia berani dekat-dekat Mal ...
"Kamu pasti sudah bisa menebak, untuk apa saya ke UNJ? Saya ingin menunjukkan seseorang padamu. Seseorang yang kamu pedulikan, tentunya."
Video beralih ke gambar selfie Wishnu di taman dekat gedung jurusan PBI, di mana seorang gadis cantik berambut ikal yang mengenakan kardigan krem dan celana jins tampak di latar belakang Wishnu.
"Nah, sudah lihat, kan? Saya baik, kan? Saya tahu kamu pasti kangen dengan teman kesayanganmu itu, makanya ..."
"Hentikan!" teriak Wirada.
Ia menerjang Trisno dan mendorongnya ke dinding. Lalu memukul-mukul panel mesin bagaikan orang kalap. Setelah beberapa tombol dipencet, akhirnya layar yang menampilkan video itu pun mati.
"Kalau dia berani ngapa-ngapain Mal ..."
"Tenang, Wirada, tenang," ujar Trisno.
"Mana bisa gue tenang? Lu janji, Mal nggak akan celaka! Mana janjinya?"
Trisno meninju wajah Wirada hingga pemuda itu terjatuh. "Kamu turuti saya, maka Mal akan selamat."
"Apa lu bisa ngatur si Wishnu? Jawab gue!"
"Saya kakaknya."
"Tapi dia ketuanya, kan? Ketua Macan Hitam?"
"Kalau kamu menuruti saya," ulang Trisno, "maka Malika akan baik-baik saja, Wirada. Pakai akal sehatmu."
"Gue mau keluar. Sekarang juga. Gue mau nemuin Mal."
Kekuatan super sialan! Apa gunanya lari cepat dan tubuh lentur kalau tidak bisa melarikan diri dari penjara terkutuk ini?
.
.
.
-- Suryajati Tower, Jakarta Selatan, 16:00 WIB
Sementara itu, Malika -- yang masih baik-baik saja -- bersama Frans masuk ke lobby utama Suryajati Tower yang sangat mewah. Mata Malika menyapu dinding yang dilapisi marmer krem dengan aksen kayu dan lapisan keemasan, sofa-sofa yang berjajar bagi para tamu yang menunggu di sana, serta karpet bulu berwarna krem di bawah sofa.
"Kenapa Suryajati Tower?" tanya Malika.
"Ini adalah markas lain kami," sahut Frans.
"Wah." Hanya itu yang terucap dari mulut gadis itu.
Mungkin mereka menjadikan salah satu unit apartemen sebagai kantor mereka, pikirnya.
Namun ia heran ketika Frans masuk ke balik pintu yang bertuliskan, "Staff Only." Mereka menyusuri lorong kosong dan berhenti di depan pintu besi yang bertuliskan, "Do Not Enter." Di balik pintu itu, Malika berharap ada mesin-mesin seperti genset, pengatur AC, atau ruangan khusus monitor CCTV. Rupanya bukan. Mereka masuk ke dalam lift yang membawa mereka ke bawah tanah.
"Sebenarnya tempat apa ini, Bang?" tanyanya.
"Kan gue bilang, ini markas. Lu termasuk orang beruntung yang boleh masuk ke sini tanpa harus ditutup matanya. Bos anggap lu boleh tahu."
"Kenapa gue?"
"Entah, Bos nggak bisa ditebak maunya apa."
"Siapa bosmu, Bang?"
Frans hanya tersenyum.
Lift berhenti. Pintunya terbuka, menampilkan markas yang disebut-sebut oleh Frans. Ruangan yang cukup besar, lengkap dengan beberapa komputer, layar proyektor, alat berlatih olahraga, hingga manekin-manekin yang memajang beberapa model kostum.
Enam orang sudah menunggu di sana, tiga lelaki dan tiga perempuan. Mereka semua berpenampilan berbeda. Perempuan yang paling depan mengenakan setelan kemeja dan rok sepan, lengkap dengan sepatu hak berwarna hitam. Lelaki di sebelahnya mengenakan kemeja putih dan dasi merah. Perempuan dan lelaki yang duduk di belakang monitor berwajah mirip, sama-sama mengenakan kacamata. Perempuan yang duduk di treadmill dengan posisi duduk di bangku warteg mengenakan kaos hitam dan celana jins. Terakhir, lelaki yang duduk di sofa mengenakan kaos hitam dan celana training.
"Kalau 'Vava Sayang' tahu, dia pasti ngamuk lagi," ucap Aren sambil terkekeh. "Belum sehari, udah bawa cewek baru aja."
Frans hanya menatap tajam pada gadis di treadmill itu, namun ia tidak menjawab. Ada yang lebih penting daripada menanggapi celotehan gadis preman.
"Halo, Malika," ujar perempuan yang mengenakan kemeja, sambil mengulurkan tangannya. "Namaku Tiara. Selamat datang di markasku."
Malika hanya melongo.
.
.
.
Bersambung.
(8 September 2018)
2800++ kata
Akhirnya Avengers assemble? Belum, Wirada belum ikutan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top