Bab 20: Eksperimen

-- Kosan Frans, Jakarta Selatan, 18:00 WIB

Dalam hati, Frans bersyukur semua teman kosnya sedang menjalankan tugas penyelidikan di lapangan sejak beberapa hari yang lalu. Mereka sesama anggota Divisi Reskrimum Polda Metro Jaya meskipun tak tergabung dalam Operasi Singa Putih. Pemandangan aneh seperti malam ini tentu akan mengundang gelak tawa dari mereka.

Di sofa yang memuat satu orang, Aren duduk sambil merengut, dengan borgol mengekang tangan dan kakinya. Sedangkan di sofa yang memuat tiga orang, Frans memangku laptopnya sambil mencatat laporan. Di sebelahnya, Milva sedang mengerjakan tugas kuliahnya dengan wajah cemberut pula.

Sejam yang lalu, ketika Milva melarikan diri dengan mobilnya, Frans mengejarnya secara spontan. Namun beberapa detik kemudian ia menyadari bahwa hal itu sia-sia. Pertama, ia tidak sanggup mengejar mobil dengan kaki. Kedua, Milva memang sengaja memasang aksi ngambek supaya dikejar olehnya. Ketiga, ia ingat bahwa Aren masih dibiarkan bebas di rumahnya bersama laptopnya. Oleh sebab itu, Frans memutuskan untuk meninggalkan Milva dan memeriksa rumahnya. Benar saja, Aren sedang melarikan diri bersama laptop dan borgolnya. Frans memutuskan untuk mengejar Aren dan menyelamatkan kedua barang berharganya.

Melihat Frans tidak jadi mengejarnya, Milva semakin marah karena taktik ngambek-nya gagal. Akhirnya ia memutuskan untuk mengejar Frans dengan mobilnya.

"Fraannnss!!! Kalau kamu nggak peduliin aku ... kita putus!"

"Eh, Vava, kebetulan," ujar Frans sambil menoleh ke arah kaca jendela mobil yang terbuka. "Jangan putus dulu, dong, Sayang, aku masih butuh kamu. Kejerin cewek itu, dong! Dia nyuri laptopku."

Milva menggerutu namun entah mengapa ia membantu Frans. Ia melajukan mobilnya dan mengambil ancang-ancang untuk menabrak Aren.

"Woy! Vava, jangan ditabrak!" seru Frans.

"Enggak, kok," ujar Milva sambil menekan klakson mobilnya.

Aren menoleh ke belakang. Seorang gadis gila yang cemburu sambil menyetir mobil dapat membahayakan dirinya. Apalagi melihat Frans berlari di sebelah mobil Milva, sepertinya berusaha menenangkan kekasihnya, Aren khawatir Milva benar-benar akan menabraknya. Ia melompat ke sisi kiri jalanan, menghindari mobil Milva. Milva menyerempet Aren namun tidak melukainya. Aren terperosok di selokan yang untungnya kering.

"Bangke! Gue baru mandi, tahu!" teriaknya kepada Milva.

"Kena lu," ujar Frans sambil memborgol tangan Aren sebelum membantunya berdiri. "Duh, laptop gue ... semoga masih bisa nyala." Ia mendesah melihat laptopnya yang terjatuh di tepi jalan, setengah meter di bawah roda mobil Milva.

"Kamu lagi ngapain, sih, Frans? Siapa dia? Kenapa dia diborgol?" tanya Milva yang sudah menghentikan mobilnya dan kini turun di sebelah Frans.

Frans membuka pintu mobil Milva dan mendorong Aren ke dalamnya. "Dia ini informan aku, Va. Kamu ingat aku pernah bilang lagi nyelidikin suatu kasus?"

Dengan wajah memerah, Milva menggigit bibir bawahnya. "Jadi ... kamu bukan selingkuh sama dia?"

"Ya elah, Va .... Ngapain aku selingkuh, coba? Kan aku punya pacar paling baik dan cantik sedunia," cengir Frans sambil duduk di sisi penumpang mobil. "Sekarang, Milva tersayang, gadis yang paling aku cintai, anterin aku balik ke kosan, dong. Nanti aku jelasin, aku janji."

Milva memajukan bibirnya, namun ia menuruti Frans. Amarahnya sedikit mereda mengetahui Frans tidak berselingkuh. "Tapi ... kenapa tadi siang kamu nggak nelepon atau chat aku, Yang?"

"Aku lagi sibuk, Yang," balas Frans. "Aku tahu ini kedengarannya alasan klise, tapi aku bener-bener sibuk. Seharian aku ngurusin berkas, trus ngurusin informan ini, sampe aku nggak sempat pegang hape."

"Hei, kalian," potong Aren dari jok belakang. "Ada kantong plastik, nggak? Gue mau muntah dengerin obrolan kalian."

Frans dan Milva memandang ke jok belakang dengan tatapan sinis.

"Yang, tahu nggak, gue yakin cewek ini kalau ke pacarnya pasti lebih alay dari kita," ujar Frans.

"Oya, masa, sih, Sayang?"

"Iya, gue lihat foto-fotonya sama pacarnya di hape, alay semua."

"Woy!" seru Aren lagi. "Polisi macam apa lu, bocorin rahasia informan?"

Spontan Frans dan Milva tertawa terbahak-bahak.

***

Malam itu, Frans membeli tiga porsi mi goreng yang dijual pedagang mi keliling di daerah kosannya untuk dirinya, Milva, dan Aren. Mereka berkumpul di meja makan kayu yang dapat memuat empat orang. Frans memborgol tangan kiri Aren ke sandaran kursi.

"Kalau begini gue mana bisa makan?" protes Aren.

"Makan pake satu tangan kan bisa," balas Frans cuek.

Aren merasa tersiksa sepanjang makan malam. Bukan karena satu tangannya diborgol ke kursi, melainkan karena ia harus menonton aksi mesra Frans dan Milva yang menurutnya sangat norak dan memuakkan.

"Aaa, dong. Aaaa ..." ujar Milva sambil menyuapkan mi goreng dengan sumpit ke mulut Frans.

"Aaammm ..." sahut Frans sebelum mi itu masuk ke mulutnya.

Beberapa mi berceceran ke dagunya, sehingga Frans terpaksa membersihkannya dengan tangannya. Selanjutnya bergantian, Frans yang menyuapkan makanan untuk Milva. Namun bukannya memasukkan mi ke mulut kekasihnya, Frans malah makan sendiri.

"Frans!" protes Milva sambil cemberut.

Frans terkekeh. "Iya, Sayang, iya," sahutnya sambil menyodorkan mi ke mulut Milva, kali ini sungguhan.

"Plis, dah, balikin gue ke penjara. Lebih mending daripada nonton ginian," gerutu Aren.

Frans menggeleng. "Nggak bisa. Sampe lu mau ngomong, lu harus nonton adegan gue dan Milva."

"Jijik tau," tutur Aren sambil memutar bola matanya. "Itu dagu cewek lu belepotan minyak mi goreng."

Milva memajukan bibirnya namun mengelap dagunya dengan tisu. "Papans, ingetin aku sekali lagi, kenapa cewek ini harus ada di kosanmu, Sayang?"

"Dia kan informanku, Vava Sayang," sahut Frans. "Udah, jangan ladenin dia. Ayo kita lanjutin makannya."

"Suapin, dong, Papans," ujar Milva.

Aren memutar tubuhnya bersama kursinya supaya tidak melihat adegan menggelikan polisi itu dan kekasih konyolnya, walaupun ia jadi tidak bisa makan. Namun sebelum Frans dapat mengatakan apapun pada Aren maupun Milva, notifikasi ponselnya menyala. Ternyata dari divisi forensik kepolisian.

"Bentar, ya, Sayang. Penting," ujar Frans sambil membuka teleponnya.

Informasi yang diterima Frans menyebutkan bahwa pihak forensik kepolisian telah mengidentifikasi korban tewas di Jatinegara yang sebelumnya tidak diketahui karena tubuhnya hancur. Seorang pria bernama Yadi Hidayat, limapuluh sembilan tahun, domisili di Jakarta Selatan. Anehnya, Yadi dilaporkan menghilang belasan tahun yang lalu oleh tetangga-tetangganya, meskipun tidak ada yang melanjutkan pengusutannya.

Frans mengerutkan keningnya. Ia mendatangi Aren dan menunjukkan ponselnya.

"Aren, lu tahu siapa dia?"

Aren mendelik, namun rasa penasaran mengalahkan gengsinya. Ia mengambil ponsel Frans dan melihat foto Yadi yang terpampang di layarnya.

"Enggak. Emang siapa dia?"

"Kalau gue tahu, ngapain nanya elu," sahut Frans. "Dia salah satu korban di Jatinegara waktu gedung itu ..." Ia berhenti sejenak, teringat pada rekan-rekannya yang gugur di sana, lalu melanjutkan dengan suara tercekat, "... rubuh."

Aren menatap Frans dengan curiga, namun polisi itu tampaknya benar-benar bersedih. Ia memperbesar foto Yadi di layar ponsel itu dan memicingkan matanya. Foto Yadi belasan tahun lalu yang tersimpan di basis data kepolisian mengingatkannya pada seseorang. Tiba-tiba ia teringat bahwa Duren-lah yang terakhir kali meninggalkan markas Jatinegara, menyuruh dirinya pergi duluan bersama para korban perempuan dan anak-anak.

Jangan-jangan ...

"Nggak, tuh. Gue nggak pernah lihat mukanya," sahut Aren. Dan ia jujur. Ia memang tak pernah melihat wajah Yadi sebelumnya.

Frans menghembuskan napasnya. "Ya udah." Ia menoleh kepada kekasihnya yang masih duduk manis di meja makan, tanpa menyentuh sisa makan malamnya. "Va, kamu pulang dulu, ya, Sayang. Aku masih ada penyelidikan. Nanti aku temuin kamu lagi."

"Tapi makanku belum habis, Papans," ujar Milva. Lalu ia menarik kaos Frans dan berbisik ke telinganya, "Kamu nggak bakal bermalam berdua sama cewek itu, kan?"

"Enggak, lah, Sayang," balas Frans dengan berbisik pula. "Aku bakal bawa dia ke mana gitu, nggak akan cuma berdua. Tenang, aku cuma cinta sama kamu." Ia menegaskan ucapannya dengan mengecup pipi Milva.

"Yehh, Papans! Mulutmu minyakan tau!" protes Milva sambil mengusap pipinya.

Aren lagi-lagi memutar bola matanya mendengar kelakuan pasangan berisik ini.

.

.

.

-- Bogor, 21:00 WIB

Wirada menyangka si Hantu Hitam akan memberitahunya segalanya setelah ia menunjukkan wajahnya. Ternyata tidak. Lelaki aneh itu hanya menyetir pick up usangnya dalam diam sambil menyusuri jalanan gelap menuju suatu tempat yang ia yakini sama dengan area persawahan di mana alat pelacaknya dulu dihancurkan.

Trisno menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah kecil di tepi sawah. Ia mengeluarkan sebuah alat menyerupai remote control dari saku kemejanya dan menekan tombol. Rumah itu terpisah menjadi dua bagian, menampilkan jalanan landai menuju ruangan bawah tanah. Trisno mengarahkan mobilnya ke ruangan tersebut dan memarkirkannya di sebelah mobil-mobil lainnya, termasuk Kijang Innova yang Wirada ingat, serta beberapa mobil mewah.

"Wah, ternyata lu semacam agen rahasia seperti Ja-mes Bon, ya?" komentar Wirada, menyebutkan nama agen fiksi itu ja-mes, bukannya jeims. "Bedanya, lu jahat." Lalu ia tertawa.

"Baik dan jahat itu relatif, Wirada," sahut Trisno sambil menekan tombol di remote control-nya. Seketika rumah di atas tanah itu kembali menyatu, menutup akses ke bawah tanah. "Menurutmu, kamu sendiri baik atau jahat?"

"Gue ..." Wirada terdiam. Ia tidak pernah menganggap dirinya jahat, namun di mata orang-orang 'normal', pencuri sepertinya tentulah jahat. Apalagi menurut Malika.

Mal, gumamnya dalam hati. Maafin gue, Mal. Gue ... terlalu jahat untuk berubah. Gue udah terperosok sedalam ini ... demi ngelindungin lu.

Tidak, ia tidak akan menyerah. Ia harus memastikan si Hantu Hitam benar-benar tidak mencelakai Malika. Ia akan mengikuti sandiwara orang aneh itu hingga ia tahu semua rahasianya. Yang penting Malika aman.

Wirada menghela napas. "Gue bukan orang baik, tapi gue juga bukan orang jahat, Om."

Trisno memandang Wirada lekat-lekat. Sorot matanya aneh, penuh kenangan dan perasaan. Seakan-akan Wirada mengingatkannya pada sesuatu atau seseorang.

"Om! Om! Ngapain lu ngeliatin gue? Lu ... bukannya suka sama gue, kan?"

"Ughh." Hanya itu yang diucapkan Trisno, sambil menarik lengan Wirada ke dalam bangunan bawah tanah.

Mereka melewati lorong yang dikelilingi kotak-kotak kaca, seperti akuarium. Sebagian besar dari kotak-kotak tersebut kosong dan berdebu. Hanya sebuah kotak yang memiliki penghuni. Ia duduk di sudut kotak, menatap mereka dengan mata merahnya. Ketika Wirada dan Trisno melaluinya, ia tetap bergeming di sana, seakan-akan tak mengindahkan keberadaan mereka. Namun, setelah Wirada dan Trisno berjarak dua meter di depannya, makhluk itu meninju dinding kaca dengan tangan kosongnya.

PRANG!

Kepingan pecahan kaca berceceran di lorong. Makhluk itu mengabaikan kepalannya yang terluka, seakan-akan tidak sakit sama sekali. Dari belakang, ia mencekik leher Wirada, yang berjalan setengah meter di belakang Trisno. Wirada terjengkang dan jatuh telentang. Ia menggulung tubuhnya membentuk huruf C, menggunakan kakinya untuk menendang wajah makhluk tersebut. Cengkeraman makhluk itu mengendur, namun tidak terlepas. Wirada menggigit tangan lawannya kuat-kuat. Makhluk itu kesakitan, lalu melepaskan genggamannya di leher Wirada. Wirada mengusap lehernya yang sakit, penuh bekas jari makhluk tersebut. Ia menoleh ke belakang untuk melihat wajah penyerangnya.

"Bang Dur?"

Itu Duren, namun tidak seperti Duren yang diingatnya. Duren kali ini berkali lipat lebih ganas dan menyerupai binatang buas. Ia mengabaikan panggilan Wirada. Sepertinya Duren tidak mengenalnya.

"Bang Dur! Ini gue, Wirada! Wira-wiri!" seru Wirada ketika Duren berlari ke arahnya untuk menyerangnya sekali lagi.

Duren melompat. Wirada berguling. Ia melihat ke sekelilingnya. Sial, ia sendirian -- Trisno telah menghilang entah ke mana, mungkin menyelamatkan dirinya.

Tua-tua cemen, gerutu Wirada dalam hati. Padahal ia tahu kemampuan bela diri Trisno sangat hebat, melebihi dirinya.

Duren mengangkat tubuh Wirada dan melemparnya menjauh. Wirada menabrak pintu di lorong dan terhempas ke lantai. Sekujur tubuhnya terasa sakit. Tangannya memegang kenop pintu dan memutarnya, namun terkunci.

"Bang Dur, sadar! Ini gue!" seru Wirada sambil meninju wajah sahabatnya itu. Tidak mempan. Malahan, kepalannya terasa sakit seperti memukul tembok.

Wirada mengubah strateginya. Ia menunduk, masuk ke kolong kaki Duren yang jangkung, lalu mengambil pecahan kaca untuk melukai lengan Duren, berharap itu akan menghentikannya. Duren berteriak kesakitan, lalu memegangi lengannya yang terluka. Darah mengucur membasahi jemarinya. Ia mengikuti perbuatan Wirada, mengambil pecahan kaca dan melemparkannya ke arah kepala Wirada. Wirada berguling, namun kaca itu membaret pipinya.

Mustahil mengalahkan orang sekuat dan sesinting ini, pikir Wirada.

"Bang Dur!" teriak Wirada sekali lagi. "Lu bener-bener nggak inget gue? Kalau gitu lu pasti inget Aren, kan?"

Langkah Duren terhenti sementara. Nama itu membangkitkan memori yang menyakitkan di otaknya. Ia memegangi kepalanya seakan-akan mau pecah. Namun tiba-tiba ia melanjutkan serangannya, mencekik leher Wirada dan mendorongnya ke dinding.

"Siapa Aren?" teriaknya.

"Aren, cewek lu!"

"Cukup!" Suara Trisno mengejutkan mereka berdua. Di tangannya terdapat remote control untuk menghentikan serangan Duren. Seperti sebelumnya, kepala Duren terasa amat pening, lalu ia pun terjatuh.

"Dari tadi, kek," gerutu Wirada sambil mengusap pipinya yang berdarah. "Lu ngapain Bang Dur sampe jadi kaya gitu?!"

"Tenang, Wirada. Nanti saya ..."

"Nanti, nanti!" seru Wirada sambil mendorong Trisno ke dinding. "Gue udah muak sama lu, Hantu Busuk! Gue nggak mau ikut dalam permainan lu lagi. Bang Dur sahabat gue, lu ngerusak dia sampe kaya gini, demi apa? Jawab!"

Trisno tidak menjawab. Ia menggenggam lengan Wirada kuat-kuat, lalu melepaskannya.

"Aaaa!" seru Wirada ketika lengannya terkilir.

"Kamu nggak tahu apa-apa, Anak Kecil," ujar Trisno.

"Makanya kasih tahu gue!"

"Mas, hentikan!" Suara seorang perempuan mengejutkan mereka berdua.

Perempuan itu mirip dengan foto yang dilihat Wirada di buku catatan Trisno, namun berkali lipat lebih cantik. Ia berlari mendatangi Duren yang terkapar di lantai dengan wajah kebiruan.

"Cukup, Mas. Biar aku saja yang jadi eksperimenmu. Tapi jangan sentuh anak-anakku juga!"

"Anak?" Wirada mengernyitkan alisnya. "Emak?" Ia berusaha mengingat tentang ibunya, namun seperti yang selalu terjadi setiap kali ia melakukannya, kepalanya terasa sakit.

"Aku hanya menepati janjiku, Marni," sahut Trisno. "Kubilang aku akan mengumpulkan mereka, dan aku sudah melakukannya."

"Tapi nggak seperti ini, Mas! Kamu merusak mereka ..."

Trisno menggeleng. "Tidak, Marni. Aku memperbaiki mereka, seperti aku memperbaikimu."

Wirada merasakan ruangan itu berputar. Lalu ia terjatuh dan tidak sadarkan diri.

***

Ketika ia membuka matanya, ia menyadari dirinya berada di sebuah meja operasi, dengan sabuk-sabuk mengikat tubuhnya erat. Di sebelahnya, Duren berbaring di meja serupa, masih tak sadarkan diri. Perempuan yang tadi dilihatnya berada di antara kedua meja tersebut, menggenggam tangannya dan tangan Duren.

"Emak?" bisik Wirada lirih.

Marni melepaskan tangan Duren dan beralih kepadanya. "Wira, ini Emak," ujarnya.

"Gimana ... gimana bisa? Gue ... nggak ingat apa-apa tentang Emak ..."

"Nggak apa-apa, Wir. Kamu istirahat aja. Nanti pelan-pelan Emak ceritain."

"Mak? Gue ... masih punya Emak?"

"Iya, Wira, ini Emak, emakmu," sahut Marni.

"Tapi ... tapi ..." Tiba-tiba kepalanya terasa pusing lagi. "Aaahhh! Hantu sialan!"

Pintu terbuka. Trisno masuk ke dalam dan memeriksa sabuk Wirada yang masih mengikatnya erat.

"Marni, sudah kubilang jangan membuatnya terlalu bersemangat," ujarnya. "Aku masih harus menyempurnakan eksperimenku padanya."

"Bukannya sudah cukup, Mas? Wira sehat sampai sejauh ini, kurasa eksperimenmu berhasil. Sekarang kembalikan Cahyo-ku," rengek Marni.

"Kamu salah, Sayang," ujar Trisno sambil mengusap pipi Marni. "Eksperimen Wirada ... baru saja dimulai."

Wirada meronta-ronta. Namun sabuk itu mengikatnya semakin erat. Meja operasinya bahkan tidak bergerak sama sekali.

"GUE NGGAK MAU JADI BAHAN PERCOBAAN LU, HANTU BUSUK!"

Namun Trisno hanya menyumpal mulutnya dengan kain.

"Diam, Wira. Hantu busuk ini adalah ..." Ia mendekatkan mulutnya ke telinga Wirada. "Ayahmu."

Bangke.

.

.

.

-- Suryajati Tower, Jakarta Selatan, 22:00 WIB

"Yadi Hidayat, kelahiran Cilegon, 24 Oktober 1958. Keluarganya pindah ke Jakarta saat usianya duabelas tahun. Ia merintis usahanya sendiri hingga sukses sebagai pedagang di Pasar Jaya. Menikah dengan Marni dan memiliki dua anak, Diah dan Cahyo. Diah tercatat bekerja sebagai karyawati di pabrik tekstil di Karawang, sedangkan Marni dan Cahyo menghilang duabelas tahun yang lalu," ucap Phillip sambil menunjukkan data tentang Yadi di proyektor markasnya di lantai bawah Suryajati Tower. "Tapi ada yang aneh, laporan tetangga menyebutkan Yadi dan Marni memiliki tiga anak, bukan dua."

Frans mengedikkan bahunya. "Saya sudah periksa, akta lahir, kartu keluarga, semua menunjukkan hanya dua anak, Phillip."

"Coba lihat ini," ujar Bagus sambil menyerahkan sehelai foto usang kepada Frans. "Saya memperolehnya dari berkas lama saat Yadi dilaporkan menghilang."

Frans memandangi foto tersebut dengan saksama. Foto seorang perempuan bersama dua anak. Yang satu berusia sekitar enam atau tujuh tahun, yang satu lagi masih bayi di gendongan ibunya.

"Benar, kan, dua anak, Mas?"

Phillip menggeleng. "Anak pertamanya perempuan, lalu anak keduanya lelaki, Frans. Tapi foto itu menunjukkan anak lelakinya lebih besar."

"Biar aku minta anak buahku mencari tahu lebih lanjut," ucap Bagus. "Sementara itu, gimana dengan pergerakan Wirada, Phil?"

"Sinyalnya lagi-lagi menghilang di Bogor," ujar Phillip. "Tapi kali ini gue punya back up, Gus. Pelacaknya terhubung langsung dengan satelit sehingga nggak akan pernah hilang. Dengan triangulasi, gue bisa memperkirakan lokasi Wirada sekarang."

"Tapi Mbak Binar bilang sinyalnya mati," komentar Frans sambil membaca pesan di ponselnya.

"Gue nemu sesuatu," sahut Phillip. "Gue pasang malware ke aplikasi pelacak yang dijalankan Binar."

"Phil ..." protes Bagus.

"Dengan tujuan baik, Gus," potong Phillip. "Ternyata Binar sengaja mengganggu kerja aplikasinya setiap kali Wirada mendekati lokasi 'tanpa sinyal' di Bogor itu. Dengan kata lain ..." 

Ia menatap wajah Bagus dan Frans bergantian. 

"Binar adalah penyusup." 

.

.

.

Bersambung.

(25 Agustus 2018)

2600++ kata

Did anybody see that coming? XD

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top