Bab 2: Interogasi
"Bang Dur! Bang Dur!" bisik Aren terengah-engah.
"Aren, lu kenape?" balas kekasihnya itu dari seberang telepon.
Aren tak langsung menjawab. Ia mengatur napasnya agar dapat berbicara lebih jelas. Ia baru saja memacu motornya menjauh dari keramaian pasar malam dan berhenti di sebuah gang sepi. Matanya menyaksikan sendiri bagaimana Wirada ditangkap oleh sejumlah polisi. Dijatuhkan di atas aspal hingga tertelungkup dan dipasangkan borgol pada kedua pergelangan tangannya.
"Wirada ... Wirada ... kode sembilan, Bang," ujarnya.
"Apa? Yang bener? Ceritain selengkapnya, Ren!" Rasa terkejut bercampur dengan tidak percaya terdengar di nada suara Duren.
Di tengah hiruk pikuk riuh rendah suara para preman lelaki dan perempuan di aula -- tepat seperti beberapa jam yang lalu sebelum Wirada dan kedua rekannya pulang -- Duren mengepalkan tinjunya mendengar cerita Aren. Kemudian ia membanting sebuah gelas beling. Para preman berhenti melakukan aktivitas mereka dan menoleh ke arah sang pemimpin. Tak ada yang berani membuka suara, kecuali satu orang.
"Nape, dah, Bos?" Itu suara Awi.
Duren menatap Awi tajam. "Wirada ketangkep. Kita harus nyari cara buat lepasin dia dari kantor polisi. Tengah malem, kita samperin mereka!"
"Siap, Bos!" sahut anak buahnya beramai-ramai.
.
.
.
-- Polda Metro Jaya, 22:00 WIB
Wirada digiring oleh dua orang polisi ke dalam sebuah ruangan sempit tanpa jendela. Di sana hanya terdapat sebuah meja dan dua buah kursi yang saling berhadapan. Salah satu polisi itu mengaitkan borgol tangan Wirada ke tengah meja, lalu keduanya pergi meninggalkan ruangan.
Wirada mengamati sekitarnya. Jadi ini kantor polisi. Ia belum pernah menginjak bagian dalamnya meskipun rekan-rekannya sudah bolak-balik keluar masuk bangunan ini. Kebanyakan diproses di Polres, bukan di Polda. Wirada tahu sedikit struktur kepolisian karena diajarkan oleh gengnya. Tentu saja, untuk menghindari musuh, mereka harus mempelajari informasi tentang musuh tersebut, bukan?
Lalu kenapa gue dibawa ke Polda? Padahal cuma nyopet doang, yaelah.
Selang sepuluh menit kemudian, seorang polisi lain yang kini mengenakan kemeja putih masuk ke dalam ruangan. Polisi yang menangkapnya di Petamburan tadi. Wirada ingat wajahnya. Dilihat dari cara polisi ini berinteraksi dengan polisi-polisi lain, Wirada menebak bahwa ia adalah atasan mereka.
Bagus menempatkan lembaran dokumen yang dibawanya di atas meja dan menatap Wirada lekat-lekat. Tatapan matanya tegas namun tak mengintimidasi. Namun Wirada tak mau membalasnya. Ia memandangi meja, borgol, dinding, kursi, langit-langit -- apapun asal bukan mata polisi di hadapannya. Ia menoleh ke arah kiri dan menggoyang-goyangkan kakinya. Beberapa kali Wirada mencuri-curi pandang ke arah Bagus. Polisi itu sedang membaca dokumen.
Hanya suara gesekan kertas yang terdengar di ruangan interogasi selama beberapa menit. Kemudian Bagus membuka suaranya.
"Perkenalkan, nama saya Bagus, dari Divisi Reserse Kriminal Umum. Saya hanya ingin bertanya beberapa hal padamu, oke? Bersikap biasa saja, kamu bukan lagi dihukum atau dimarahi, kok."
Wirada hanya bungkam, tak menganggap keberadaan Bagus. Ia mengalihkan konsentrasinya dengan memikirkan hal lain yang lebih menyenangkan, seperti perempuan cantik di pasar malam itu.
Bagus tak menghiraukan sikap defensif yang ditunjukkan preman kecil ini. "Jadi namamu Wirada? Usiamu tujuhbelas tahun? Apakah itu benar?"
Wirada mulai bersiul mendendangkan lagu yang sering ia dengarkan di markasnya.
"Saya lihat, di kumpulan dokumen saya, tidak ada keterangan nama orangtua, akta lahir, KTP, maupun dokumen sah negara lainnya yang berkaitan dengan keberadaanmu," ujar Bagus sambil menarik napasnya. "Baiklah, di pasar malam tadi, apakah kamu cuma sendirian? Nggak bersama teman-temanmu yang lain?"
Wirada tetap mengabaikan suara sang polisi. Ia semakin keras menggoyang-goyangkan kakinya dan memutar tubuhnya menyamping sehingga tak menghadap Bagus.
Bagus mencondongkan tubuhnya ke depan, berusaha menangkap mata Wirada. "Dek, tenang saja. Anggap ini seperti kenalan, ngobrol-ngobrol biasa. Nggak usah dibawa tegang begitu."
Cih! Gue tahu makhluk bernama polisi dan semua yang kerja di bawah hukum. Ngomong sedikit, bisa dijadiin keterangan, informasi, dan semacamnya. Lu kira gue bodoh, Om? gumam Wirada dalam hati.
Dari film-film aksi yang sering ditontonnya, biasanya pelaku kriminal atau saksi memiliki hak untuk tetap diam. Apalagi ia tak mengerti hukum. Bisa berabe kalau salah ucap. Apalagi polisi tak semuanya bodoh. Bicara sedikit saja, banyak fakta yang terungkap.
Hm. Wirada mendapat ide.
"Om, gue minta pengacara," celetuknya.
Bagus tersenyum geli menahan tawa mendengar ucapan Wirada. Namun ia tak menanggapinya. Malah melemparkan pertanyaan lagi.
"Saya ulangi, ya? Tadi di pasar malam, apakah kamu sendirian?"
Wirada tak menjawab. Enak aje gue dikacangin. Gue kacangin lu, tau rasa, Om. Huahaha.
"Apakah kamu tahu isi tas yang kamu curi?" tanya Bagus lagi.
Masih diam.
"Mau lihat isinya?"
Ah, sial, pikir Wirada. Kalau gini kan gue jadi penasaran.
Bagus membaca binar ketertarikan dari sorot mata Wirada. Ia tersenyum kecil dan bangkit berdiri, membuka pintu ruangan dan mempersilakan seorang perempuan masuk.
Tanpa sadar, Wirada membuka rahangnya. Perempuan yang sama dengan yang dilihatnya di pasar malam. Masih dengan terusan putih tanpa lengannya. Dari jarak dekat, kecantikannya semakin memukau Wirada -- walaupun ia masih merasa perempuan ini terlalu kurus. Apalagi lengannya termasuk berotot untuk golongan perempuan.
Mana enak dipeluk-peluk? Keras kali, tulang semua. Enakan yang kaya lagu Mbak Meghan Trainor, agak berisi gitu lebih menarik, pikir Wirada.
"Hai," sapanya dengan suara semanis madu.
Gile, suaranya juga enak didengar! Kok, ada makhluk sesempurna ini, ya ampun?
"Kamu tadi ngambil tasku yang ini, kan? Mau lihat isinya?" lanjut perempuan itu.
Wirada mengalihkan matanya dari wajah sang perempuan ke tas yang dipegangnya. Tiara membuka pengait tas dan menunjukkan isinya. Kosong. Hanya ada selembar kertas yang dilipat. Sang copet mengernyitkan keningnya.
"Ambil aja, nggak apa-apa," bujuk Tiara.
Wirada memandang Tiara ragu, lalu mengambil kertas tersebut dan membukanya. Sekali lagi, rahangnya terjatuh. Kertas itu bertuliskan, Maaf, Anda belum beruntung. Coba lagi.
Kampret! Apa-apaan ini!
Ia meletakkan kertas itu di atas meja dan mengangkat tubuhnya, meskipun sulit karena tangannya masih diborgol ke meja. Lalu menatap Tiara, setengah memelas.
"Mbak, jadi Mbak mempermainkan saya? Sakitnya, tuh, di sini," ujar Wirada sambil menepuk dadanya.
Tiara melirik ke arah Bagus, yang hanya mengangkat satu alisnya.
"Yah, begitulah. Masa saya kasih kamu tas Prada asli? Sayang, dong, cuma buat nangkap preman kecil kaya kamu," ujarnya sambil tersenyum angkuh.
"Terus, kalian mau ngapain saya?" tanya Wirada.
Kali ini Bagus mengambil alih. "Saya ingin memberikan kesempatan kedua kepada kamu, Wirada. Supaya kamu bebas dari kehidupan geng. Saya menawarkan sebuah pekerjaan. Jika kamu bersedia menjadi mata-mata bagi kami untuk memberikan informasi mengenai gengmu, kami akan membantumu lepas dari mereka. Tapi, kalau kamu nggak bersedia," Bagus berhenti sejenak, "terpaksa kami proses lebih lanjut untuk kasus pencurian. Kami sudah memiliki bukti lengkapnya, kok. Silakan memilih."
Wirada memicingkan matanya. Ia tak mau masuk penjara. Namun ia juga tak mau membantu polisi. Bebas? Lepas? Selama ini ia bahagia, kok, bersama Macan Hitam. Oke, kadang mereka sedikit kasar terhadapnya. Namun itu hal yang wajar, kan? Enak, tak usah sekolah, tak usah bekerja. Lagipula kehidupan geng itu seru. Siapa yang mau meninggalkannya?
Tapi ... kalau ia bisa jadi agen bermuka dua ...
"Tergantung. Ada syaratnya," ujar Wirada.
"Apa itu?" tanya Bagus.
"Pertama, gue harus ngumpulin sepuluh juta hari ini. Kurang dua juta lagi. Kalian bikin gue gagal. Jadi kalian harus ngasih gue dua juta supaya target hari ini terpenuhi."
Wirada memerhatikan reaksi kedua orang di hadapannya. Bagus melirik ke Tiara, yang mengangguk perlahan.
"Baiklah," ujar Bagus.
"Kedua," cengir Wirada, "kenalan, dong, sama mbaknya? Siapa namanya, Mbak?"
Tiara tersenyum. "Mawar," sahutnya.
Wirada balas tersenyum. "Yang bener, Mbak Mawar?"
"Bisa-bisanya kamu baca pikiranku. Oke, aku bohong. Namaku Rose," sahut Tiara.
"Ros?"
Tiara mengangkat bahunya. "Silakan saja kalau mau panggil Ros."
Bagus hanya memerhatikan interaksi mereka sambil menahan geli.
"Kalau gue bantuin kalian, berarti gue sering ketemu sama Mbak Ros, kan?" tanya Wirada sambil berusaha merayu Tiara dengan matanya. Tentu saja tidak mempan. "Mbak Ros, Mbak itu cewek paling cantik yang pernah gue lihat. Seriusan. Bahkan malam-malam begini aja, masih kelihatan cantiknya."
Tiara masih menyunggingkan senyumnya, menahan geli. "Makasih, Mas ..."
"Wirada."
"Oke, Mas Wirada."
Tiara berjalan ke arah Wirada dan memerhatikan lebam dan bekas luka di lengan kurus pemuda tersebut. Ia menekan salah satu memar yang masih biru. Wirada meringis sedikit sakit.
Anjir! Sentuhannya! Kuat banget, tapinya?
"Mas Wirada," lanjut Tiara dengan lembut, "saya tahu sedikit apa yang kamu hadapi. Setiap hari, kamu diancam dan diperintah, dengan nyawamu sebagai taruhan. Coba kamu pikirkan ulang dalam hati kecilmu. Apakah kamu benar-benar nggak mau lepas dari ini semua?"
Wirada termenung. Lalu kembali menatap Tiara dan lengannya yang mulus. Lalu memandang lengannya yang penuh lebam. Apakah ada suatu dunia di mana kekerasan bukanlah makanan sehari-hari? Sepertinya menarik untuk melihat dunia itu.
"Oke, gue bersedia!" ujarnya.
"Baguslah. Kalau begitu, saya akan menjelaskan pekerjaan yang akan kamu jalankan," ujar Bagus. Ia melirik ke arah Tiara yang mengangguk paham.
"Iya, iya, aku pulang," kata Tiara. "Nanti nyusul ke apartemen, ya?" Ia mencium pipi Bagus dengan cepat lalu keluar dari ruangan interogasi.
"Idih," ledek Wirada. "Kagak profesional, lu, Om. Lihat, tuh, lipstiknya nempel."
Bagus spontan mengusap pipinya dengan punggung tangannya. Melihat tak ada bekas lipstik yang menempel di tangan, ia sadar bahwa ia dikerjai.
Wirada terpingkal-pingkal.
"Wirada, saya minta kamu serius dengarkan saya," ujar Bagus, menopang tubuhnya dengan kedua tangannya yang bertumpu ke meja. "Jangan terganggu dengan pikiranmu sendiri. Begini, tugasmu sederhana. Kamu cukup kembali ke gengmu dan melaporkan kepada kami apa yang terjadi di sana. Nanti kami akan mengenalkanmu dengan rekanmu. Oh, ya, ini uang dua juta rupiah yang kamu minta tadi."
Wirada tersentak ketika Bagus menyodorkan amplop coklat ke hadapannya. Karena tangannya masih diborgol, ia tak dapat mengambilnya. Ia melebarkan matanya heran.
"Kenapa gue?" tanyanya.
Bagus menegakkan tubuhnya. "Alasannya nggak bisa saya ungkap. Anggap saja kami merasa paling bisa bekerja sama denganmu."
Dengan kata-kata tersebut, ia melepaskan borgol Wirada dari meja dan menggiringnya keluar dari ruangan interogasi.
***
Frans duduk di dekat mejanya sambil bermain ponsel. Di hadapannya terdapat setumpuk dokumen berisi informasi mengenai Wirada -- salinan dokumen yang dibawa Bagus ke ruang interogasi. Plakat namanya terletak enam puluh sentimeter di hadapannya: Brigadir Dua Frans Sedya Situmorang. Di sebelah plakat, berdiri sebuah pigura foto dirinya dan seorang perempuan cantik. Ia masih mengenakan seragam Brimob, dan perempuan itu mengenakan seragam putih abu-abu. Di bawahnya tertera tulisan, "Frans", gambar hati, "Milva".
"Frans!" Terdengar suara Bagus.
Frans segera meletakkan ponselnya dan berdiri tegak. "Ya, Mas Bagus!"
"Aku mau ngenalin kamu sama Wirada. Wirada, ini Frans, rekanmu. Frans, ini Wirada."
"Halo," ujar Frans sambil mengulurkan tangannya.
"Uh, hai?" balas Wirada tak yakin.
"Frans ini umurnya dekat denganmu. Dia salah satu yang termuda di skuadku. Jadi kurasa kamu bisa lebih nyaman dengannya, daripada denganku," jelas Bagus. "Oh, ya, dia mantan anggota Brimob. Jangan macam-macam sama dia." Nadanya tak terdengar mengancam, namun bercanda.
Wirada hanya memutar bola matanya. "Terus, sekarang gue ngapain?"
"Kalian ngobrol-ngobrol dulu aja," ujar Bagus. "Frans, aku tinggal sebentar, ya?"
"Oke, Mas," sahut Frans.
Sang brigadir dua menarik kursi dari meja di sebelahnya yang kosong dan mempersilakan Wirada duduk. Pemuda itu masih mengatupkan bibirnya, tak yakin apa yang harus dikatakannya.
"Nih, minum dulu," ujar Frans sambil menyodorkan segelas air putih. "Tenang, nggak ada apa-apanya, kok. Orang aku baru ambil dari sana." Ia menunjuk water dispenser yang berjarak beberapa meter dari mejanya.
Frans duduk kembali di kursinya yang telah diputar sehingga menghadap Wirada. Ia terus berbicara. "Lebih suka pake gue elu? Gue juga bisa, kok," ujarnya ramah. "Yah, gue ngerti kalau lu pasti kaget dan bingung di kantor polisi. Menurut catatan" -- ia melirik ke tumpukan dokumennya -- "lu belum pernah ketangkep, kan? Mantap juga." Ia tertawa kecil. "Eh, bukan berarti gue dukung pencopetan, loh. Di mana-mana, ngambil barang yang bukan milik sendiri itu salah."
"Gimana gue bisa percaya sama kalian kalau kalian aja nggak mau ngomong apa yang kalian mau dari gue?" tanya Wirada tiba-tiba.
Frans mengangguk-angguk. "Pertanyaan bagus, sih. Kalau kita mau kerja sama, sebaiknya kita emang saling percaya." Ia mendorong plakat namanya ke hadapan Wirada. "Nih, nama lengkap gue. Gue lulus SMA langsung masuk sekolah kepolisian jalur bintara. Terus gue muter-muter di beberapa divisi. Pernah di lalu lintas. Pernah dilatih sementara, terus masuk Brimob. Sekarang gue dipindah ke Reskrimum buat bantuin Mas Bagus.
"Jadi gini, kami sedang menyelidiki geng lu. Lu tahu, kan, kejadian yang dua bulan lalu itu? Kejar-kejaran di Jakarta sampe ngancurin beberapa gedung?"
"Terus kalian nuduh geng gue yang di belakangnya?"
"Wir, mungkin lu nggak tahu sebanyak itu. Tapi geng lu itu berbahaya. Nggak ada jaminan lu bakal selamat kalau di situ terus. Lah, orang petingginya aja saling mengkhianati. Apalagi di level anak buah?"
Wirada memalingkan wajahnya. "Lu bayangin, deh, Bang Pret. Kalau ada orang asing jelek-jelekin keluarga lu," ia melirik ke pigura dengan gambar Frans bersama perempuan cantik itu, "atau pacar lu, lu bakal langsung percaya?"
"Pertama, nama gue Frans, bukan Pret. Kedua, lu memang bisa percaya atau enggak dengan omongan gue. Tapi lu nggak bisa bohongin hati nurani lu sendiri. Ketiga, lu nggak punya pilihan lain. Bantuin kami atau masuk penjara."
Wirada mendengus. "Eh, gue kebelet, dong. Ada WC di mana?"
Frans bangkit berdiri. "Biar gue anter."
Kedua lelaki itu berjalan menuju kamar mandi. Wirada mengamati sekitarnya. Polisi yang berjaga tak banyak. Bagus sudah pergi. Ia bisa menyerempet dinding, melompati meja-meja, lalu berlari keluar. Mereka tak mungkin menembaknya, kan? Mereka butuh dirinya.
Wirada membenturkan kepalanya ke kepala Frans. Kemudian menendang kakinya hingga terjatuh. Ia segera menempelkan tubuhnya ke dinding, lalu melompat ke atas meja. Dengan gesit ia berpindah dari satu meja ke meja lainnya hingga mencapai pintu keluar. Ia menoleh ke belakang sekali. Dilihatnya Frans sedang mengarahkan pistol kepadanya.
Dia beneran mau nembak gue! pikirnya panik.
Frans menarik pelatuknya. Namun bunyi tembakan tak terdengar. Lagi-lagi, Wirada merasakan sesuatu menancap di kakinya.
Sial! Ini lagi! Ini lagi!
Dan ia pun terjatuh.
.
.
.
Bersambung.
(16 Februari 2018)
#306 Action
2200++ Words
.
.
.
Catatan penulis: Pake template bab 1 versi dulu. Abaikan komen2 yang udah ada.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top